Sabtu, 01 September 2007

Puisi-Puisi Inggrid Pangkey: "Mawalemorfosa, Pulang Pada Cinta, ..."

MAWALEMORFOSA

Untuk apa mengelana ke selatan

sementara di sini tersedia

cukup tanah yang menghidupi

sinaran jiwa bunda

mencurah tegar bijak sang ayah

menyejuk sukma, memancar ramah

dari mata sedarah

bahwa tanah ini

kan kita bagi bersama.

Untuk apa menjejal takdir ke selatan

ternyata di sini masih cukup

banyak cinta

sebar ketulusan tak hanya ucap

tapi terulur panjang menjamah hati tetap

mendekap erat, supaya tak lepas harap

berseru kekasih

mari membajak di tanah sendiri


PULANG PADA CINTA

Mengapa gontai jejaki takdir?

Mari pulang..pulang pada cinta

yang wariskan keabadian darah

mahkotahkan kodrat

berhias kemurnian rasa

percuma mengais hidup

di hati yang kerontang.

Mari pulang.. pulang pada cinta

yang melautkan setia

meriak seia

menepi rindu

sauhlah segala rasa

karam di dermaga

karena cinta menanti

kan nikmati senja nanti

maknai usia

dengan karya


TENTANG SUATU BANGSA

Mengkristal kini budaya

pada prasasti raya

tentang suatu bangsa

Terpajang indah pula

kilau jayanya

dalam romansa

artefak sejarah

yang dengan bangganya dikumandangkan

sebagai wujud kekinian peradaban

bangsa itu

sungguh ironis…

pembenaran yang bercumbu munafik

berkilah sebagai pewaris

tapi mengemis pada gerimis globalisasi

yang bengis, meringis pada sang pewaris

yang saying, terlalu tersenyum manis

terdengar kini hanyalah dongeng konon

dan setumpuk buku

berbaris kata “pernah”…


TENTANG KASIH

Kasih yang t’lah terbakar sucinya

menyisakan debu yang terbang

bersama kepulan asap

usaha ‘tuk menghirup sisa kemurniannya

ternyata hanya menyesakkan saluran hidup

keperkasaanmu dulu

yang akhirnya

tinggal menjadi dongeng tidur bagi anakku

Awan hitam berkabung atas layunya harummu

laut keruh, seiring kulitmu yang keriput

akh, inikah tandanya waktu kan berhenti

tidak!!!

Wahai dunia,

sambil meratap

kita tinggal menunggu

datangnya hari penghakiman


REALITA

Nyiur melambai di tepian

lirih, menatap kelambu hitam

yang halangi mentari mencurah

cahya nirwana

membasuh fana

dosa yang terjebak bencana

mulut – mulut yang menganga

meraup baka..ampuni jiwa

demi satu dua hela nafasnya

Nyiur melambai di tepian

miris, berkhayal dalam imaji

bilakah mulut – mulut itu terkatup janji

bukankah nasi yang tersaji

meski meronta nadi menuntut gizi

tetap tak terucap

hasrat mengecap

tirani mendesak

Nyiur melambai di tepian

perih, merontah sukma

berserakkan raga – raga

taruna pengemban sabda

yang jejali dunia dengan sok mulia

terlupa menentang tameng

atau, memang sengaja

yakin jiwa terlalu baja?

Dogma sang bunda

katanya serak mengiang

pecahkan gendang

menabuh bintang

tapi apa?

Terseret meraka

bersama arus neraka

Cerpen Karya Greenhill G. Weol: "Cot di Bukit Tareran"


Cot di Bukit Tareran

Semuanya siap di posisi. Semua larut dalam ketegangan masing-masing. Semua diam. Hanya raung rie-rie di kejauhan yang sekali-kali naik-turun mengusik peka telinga. Semua mata mengarah ke tikungan jalan. Laras-laras juga menujuk ke arah itu. Senjata-sejata sudah dikokang sejak setengah jam lalu, semenjak scout terakhir kami kembali dengan terengah-engah dengan laporan “Tentara Pusat sudah hampir melewati Wuwuk! Lima belas menit lagi giliran kita”. Kulirik jam tanganku. Pukul tiga lewat lima. Ini terlalu lama, pikirku. Seharusnya mereka sudah di sini seperempat jam lalu. Pasukan kami yang di tempatkan di desa sebelah tidak seberapa jumlah dan persenjataanya, hanya lsekitar sepuluh orang, lima tentara regular dan sisanya anak-anak sekolah lanjutan yang diberi senjata. Tidak mungkin mereka bisa bertahan terlalu lama melawan lapis baja. Lagipula letusan senjata sudah tak menggema lagi sejak lebih duapuluh menit. Mereka bertugas hanya untuk memperlambat gerak musuh agar kami bisa bersiap lebih lama lagi, bisa membuat pertahanan yang lebih sulit di penetrasi. Aku tak tau berapa lama kami juga bisa bertahan namun setidaknya sekarang ada delapan belas tentara terlatih lengakap semi otomatik, sekitar sepuluh laskar rakyat dengan bedil dan satu pom-pom mengawal cot ujung kampung Rumoong Atas.

“Komandan, dinamit di jembatan Tunan sudah selesai dipasang” sebuah suara berbisik pelan. Lima orang tentara bergerak hati-hati ke depan. Dua kearah pekuburan seberang jalan tepat di bawah cot, tiga menganbil posisi di semak depan. Jembatan bikinan Belanda walaupun tua perlu perlu penanganan khusus, salah penempatan peledak, bergeming pun tidak. Jembatan Pineleng contohnya, karena tak cermat diledakkan Cuma hancur sebagian. Hanya setengah hari diperlukan tentara Pusat untuk merekonstruksinya. Sungai tunan bertempat di ujung sebelah kampung ini. Jembatan di atasnya peninggalan kolonial. Pasukan Karundeng memasang peledak di sana hampir dua jam. Dia memang ahlinya. Pensiunan KNIL ini sudah meledakkan hampir sepuluh jembatan. Kelima orang anggota regunya juga tentara terlatih. Mereka anggota pasukan Ular Hitam yang dulunya bertugas di wilayah pantai Bolaang Uki, yang bertugas menjemput dan mengawal kiriman senjata dari Tawao. Setelah Kotamobagu jatuh, mereka ditarik mudur dan bergabung ketitik-titik pertahanan kami di selatan. “Jangan jauh-jauh dariku”, aku menanhannya pada waktu ia hendak merayap maju ke parit di depan.

Tentara Pusat datang dari arah bawah, arah Tumpaan, dengan kekuatan dua tank dan dua panzer, serta satu truk dan infantri yang jumlahnya kami tak tau pasti. Setelah sebulan mulai memborbardir Amurang, seminggu lalu mereka berhasil mendaratkan pasukan dan merebutnya, dan sekarang moncong senjata mereka mulai diarahkan ke pedalaman. Mereka mulai menjelajah ke atas. Bukit Tareran adalah wilayah pembatas antara pesisir pantai dan pegunungan. Dari arah selatan, di tempat inilah pertahanan terdepan kami, “Orang Gunung”, sebagai last line of defence. Bahkan sejak ratusan tahun lalu, dikala Malesung bersengketa dengan Mongondouw, tempat ini sudah melegenda sebagai tempat pembantaian serdadu-serdadu musuh. Bahkan konon, Bukit Tareran adalah jelmaan dari tumpukan jasad pasukan Mongondouw yang jatuh korban. Kami hanya bertahan.

Musuh tak pernah melewati garis ini. Pasukan gabungan walak-walak se- Minahasa selalu mampu mempertahankan batas. Tetapi itu dulu. Sekarang, ceritanya lain. Tidak ada tentara gabungan. Aku telah meradio Kawangkoan minta tambahan pasukan, namun katanya cadangan sudah dikirim ke Tondano. Pasukan disana lagi kewalahan menangkis gempuran musuh dari dua titik sekaligus, dari arah Tonsea Lama dan dari Tomohon. Andai saja si Mongdong tidak menyerah segampang itu, mungkin Pusat masih sejauh Tinoor dan akan ada pesediaan tenaga untuk menjaga front selatan. Utusan yang kukirin ke Motoling pun sampai detik ini belum kembali. Kabarnya disana keadaan lagi genting-gentingnya. Pusat beusaha untuk memotong garis komunikasi dan aliran logistik pasukan kami yang bergerilya di hutan-hutan Mongondow dengan menguasai selatan Minahasa. Dengan begitu mereka mengisolasi wilayah PERMESTA menjadi hanya di dataran tinggi. Jadi, dengan kekuatan yang tak lebih dari tiga regu dan persediaan amunisi yang terbatas, kami kelihatannya harus benar-benar memberikan semua yang kami punya. Sejak dua hari lalu parit-parit pertahanan telah digali. Jalan diblokir dengan drum-drum bekas dan sebuah bis tua. Cot dibentengi dengan karung-karung pasir. Sayang, kami tidak punya ranjau darat. Jika punya berapa unit saja kami... “Mereka tiba!” seru seorang tentara di parit terdepan membuyar lamunanku. Benar. Sayup-sayup suara derit rantai dan gir mulai terdengar. Semua kelihatan menahan napas...

Puisi-Puisi Alfrits Oroh: Kalender Tondano I - II"

KALENDER TONDANO I

Wer somu – somu

kong udara dingin

beking tulang maso dinging

sampe badan so manucu

kalu nyanda tahang

gampang dapa saki.

Panas kadang datang

mar ujang nda pernah alpa

nda kanal bulan,

mar dorang tetap ba tanang padi

deng piara ikang karamba.

Itu no depe nama Tondano

ada UNIMA tampa ba kuliah.

Tanah subur nda pernah kring

aer mengalir dari danau Tondano

Ibu kotanya Minahasa.

Dapa inga...

Kalu dulu qta cuma dengar

tu danau Tondano bersih deng lebar

ada hidop burung Manguni,

ikang payangka, bomboya, mujair deng nike.

Kasiang skarang taong so baruba

qta so nda riki lia

tu burung Manguni,ikang payangka, bomboya,

deng depe lebarnya danau Tondano

karna jenjer so balingkar kong

pohong so banya orang potong.

Mar untung jo…

Qta masih rasa om kumis pe masakan

mujair woku deng tu nike goreng tamba tinorangsak

qta makang sampe ta kanyang – kanyang

riki amper pica ta pe puru

KALENDER TONDANO II

Pasiar ka pasar Tondano

kalu cuma mo bajalang kaki

jang banya ba lia ka kanan ato ka kiri.

Lebe bae jalang turus jo

kong pasang mata di kaki

supaya nda ta injang

tai kuda ato sapi.

Bagitu lei kalu mo pasiar

ka pinggir danau Tondano.

Nae bendi balia pemandangan ka kiri ato ka kanan,

kage-kage so dapa lia wewene

mandi nda sadar diri ba talanjang bulat

sampe om Lole so tagantong badiri.

Itu Lince bataria ta rabe – rabe,

cari depe anak bapontar so lupa pulang.

Karna tadi sore Lince cuma babauni

deng bakarlota di birmang pe ruma.

Hele laki so pulang kobong dia nda tau

kong blum momasa

for mo makang ini malang.

Ado kasiang depe laste

piring terbang deng tu kobong binatang

kaluar tabongkar dari depe sarang.

Puisi-Puisi Fredy Sreudeman Wowor: "Minahasan Blues I - III

MINAHASAN BLUES

(I)

Bus ka Manado

Menghembus laju malintas

Tiap tikungan

Qta deng dia

Masih aja bersetia

Dalam kedirian masing-masing

Dari balakang

Kondek datang tagi doi

3000 pera for dopulu kilo lebe dari Tomohon

Eh, baru tre lewat partigaan Pineleng

Tong pe oto Dong kase brenti

Pemur lei ! tenga hari tua bagini ada suepeng

Nyanda puas Dong deng gaji bulanan

Salalu jo bapajak pa sopir-sopir

Baru tadi pagi lei di pinus Lahendong

Dong pajak sopir-sopir Sonder-Tomohon

So nda butul komang ini pamerenta

Pulisipulisi caparuni Dong masih pake lai

Mo ator lalu lintas kata

Pii…

Mo bapancuri gaji sa’nu !

MINAHASAN BLUES

(II)

Bajalang

Di pusat kota Tomohon

Cari oto

Ka bekas terminal Sonder

Di prampatan Paslaten

Qta bobou sate ba

Samantara bakar sapanjang rei Sion –

Kios buku GMIM

Yang skarang so lebe maraya

Di tenga serbuan VCD bajakan utiuti

Deng kepungan rental play station

Di amper samua lorong

Pas sampe ruma

Qta dengar Sion FM

Papa da stel

Cukimai,

Orang-orang gunung lidah baminya-minya

Bicara Lu-Gue di Ajang Curhat

So bukang gampang komang

Tong pe kayomba’an ini

Apa jo nanti torang pe dotu-dotu mo bilang

Kalu de pe turunan skarang

Mo pake Tong deng Dong saja

Minder stenga mati

Ini nimbole kase biar, tamang

Mo taru di mana tong pe muka ?

Wahai, anak-anak puyun ni Lumimuut-Toar !

MINAHASAN BLUES

(III)

Ujang karas

Sapanjang jalang ka Sonder

Beking Tomohon di balakang tatinggal

Dalam kabutan

Sabla pa qta

Parampuang pasung dari Sarongsong

Resah dititik tetesan

Aer ujang yang manyusup retakan

Bagean atas pinggiran pintu mikrolet

Dari tape oto

Qta dengar Pussy Cat

Mangalun dalang lagu

Yang qta sandiri so nda tau apa judulnya

Maso Kolongan Atas

Kage sopir kase mati tu tape

Ada panumpang bataria

“iko akang dang di lorong tenga”

Cukurungan,

Qta make dalang hati

“Itu lagu blum riki klar”

Tape sopir so nyanda pasang ulang

“Beking tagantong jo !”

Kamis, 30 Agustus 2007

Esei Denni Pinontoan: "Memimpikan Indonesia"

Indonesia, adalah nama untuk sebuah negara yang lahir dari komitmen bersama untuk memerdekkaan atau membebaskan diri dari penjajahan. Proklamasi 17 Agustus 1945, mestinya bukan pertama-tama sebagai monumen untuk menandakan kemenangan mengusir penjajah dari ibu pertiwi, melainkan, dan ini yang utama adalah adalah harapan kesejahteraan dan keadilan manusia-manusia yang berdiam di atas tanah air ini.

Sudah 62 tahun Indonesia merdeka. Mestinya sudah begitu lama juga rakyat di negara yang plural ini merasakan kemerdekaan dari keterjajahan apa saja. Tapi, kemerdekaan sebenarnya adalah mimpi, sebagaimana kita memimpikan Indonesia.

Semua akhirnya memang dua adanya. Ada hitam ada putih. Ada kehidupan ada kematian. Ada penjajahan ada kemerdekaan. Begitulah proses berada manusia. Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah, dengan tokohnya Minke dalam novel itu akhirnya harus berkata: “Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat...”

Kemerdekaan bukan jalan tengah. Sebab di sisinya yang sebelah, dan sangat dekat dengannya adalah penjajahan atau penderitaan (ketidakmerdekaan). Begitulah sehingga barangkali Pram melanjutkan dialog Minke itu, “Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian.”

Di sinilah sebenarnya kesulitan kita memaknai kemerdekaan itu. Bahwa ternyata kemerdekaan belum berarti keselamatan, apakah keselamatan seperti yang diartikan agama, budaya, atau keselamatan seperti seseorang yang akan menyeberang sebuah sungai yang banyak buayanya. Kemerdekaan tidak bisa diidentikan dengan keselamatan. Sebab kemerdekaan aku bisa juga berarti ketidamerdekaan dia. Kalau tidak dilestarikan, bisa saja Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah awal dari ketidakmerdekaan tanah air ini. Tapi keselamatan, adalah soal aku, kau serta mereka (kita semua) yang telah sampai pada cita-cita hidup. Cita-cita, mestinya tidak hanya soal ruang dan waktu tapi juga kondisi yang terbebas dari segala kesakitan dan penderitaan hidup.

Begitulah sehingga yang bisa kita lakukan sekarang adalah memimpikan Indonesia. “Sekarang saya katakan kepada kalian sahabatku, meskipun kita menghadapi kesulitan masa kini maupun mendatang, saya tetap mempunyai impian,” kata Martin Luther King, Jr pada 28 Agustus 1963.

Ini mimpi Martin Luther King, Jr itu: “Saya mempunyai impian bahwa suatu hari di perbukitan Georgia yang merah putra para mantan budak dan putra para mantan pemilik budak akan dapat duduk bersama di atas meja persaudaraan. Saya mempunyai impian bahwa suatu hari bahkan negara bagian Mississippi, yang dipenuhi panas ketidak adilan, panas penindasan, akan berubah menjadi sebuah oasis kebebasan dan keadilan. Saya mempunyai impian bahwa keempat anakku yang kecil suatu hari akan dapat hidup di sebuah negara di mana mereka tidak dipandang berdasarkan warna kulit mereka namun melalui isi sikap mereka. Hari ini saya mempunyai impian...” Sebuah mimpi yang lahir dari ketidakadilan struktur dan diskriminasi ras. Ini sebenarnya sama juga dengan penjajahan diri dan nurani

Mimpi, kita samakan saja dengan cita-cita yang paling ideal. Ideal memang, tapi mimpi bukan berarti mustahil menjadi kenyataan. Mimpi tentang Indonesia atau mimpi Martin Luther King, Jr itu, tentu harus dibedakan dengan mimpi yang ditafsir penjudi untuk kupon undian berhadiah. Mimpi kita tentang Indonesia sama dengan mimpi Martin Luther King, Jr itu, adalah suatu kondisi yang selamat, bebas dari segala macam penderitaan.

Memimpikan Indonesia yang selamat belum selesai kita lakukan. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah pernyataan tegas tanah air ini, yang mestinya harus dilanjutkan dengan tekad yang kuat tapi mulia dan jujur untuk membawa Indonesia pada Indonesia Merdeka yang sesungguhnya. Ke 62 tahun Indonesia Merdeka, masih banyak hal yang membuat Indonesia ini belum mencapai ke keselamatan, cita-cita luhur para founding fathers. Korupsi masih merajalela. Kekerasan masih terjadi di mana-mana. Diskriminasi masih sering dipraktekkan. Berekonomi masih membuat rakyat terasing dari hasil keringatnya sendiri. Dalam pergaulan internasional, Indonesia masih sering dipermainkan. Naik turun dolar, masih bisa membikin kita merasa was-was. Di mana kemerdekaan Indonesia kalau begitu?

Indonesia yang selamat memang masih sedang diimpikan oleh anak-anak bangsa ini. Tekad yang kuat, segala kerja keras, ide yang terus didialektikkan dengan kenyataan, membawa kita pada pengertian bahwa Indonesia masih sementara menjadi menuju ke kesempunrnaan kemerdekaannya. Dengan segala yang diri ini punya dan ibu pertiwi ini kandung, Indonesia jangan dibiarkan bergerak mundur. Ia harus maju, agar Proklmasi 17 Agustus 1945 memang benar sebagai harapan menuju ke kesejahteraan lahir maupun batin. Begitulah mimpi kita di tengah kesulitan bangsa ini untuk tidur nyenyak karena perang sengit melawan mimpi-mimpi jahat. Teruslah berjuang demi Indonesia baru….

Puisi-Puisi Greenhill Glanvon Weol: "Kristen KTP, Gagak-Gagak Itu Mesti Mati,..."

Kristen KTP

For apa le mo maso greja

Kalu di dalang Cuma baku toreba

Baku bongkar orang pe besae

Baku cari orang pe kelemahan

For apa le mo pigi berdoa

Kalu di dalang punung pikiran jaha

Karlota-karlota orang pe kalakuang

Hojat-hojat orang pe kekurangan

Hei kasiang!

Jadi kristen bukang ja lia dari ba maso greja

Jadi kristen bukang ja tengo di jago berdoa

Mar bagimana torang mo setunjung pa dunia

Tu cinta dia yang dorang da paku di Golgotha!

Ado kasiang!

For apa le mo maso greja

For apa le mo banya berdoa

Kalo nanti di pintu sorga

Cuma mo dengar papa ye’ ma basuara:

Kaluar ngana!

Kita nyanda kanal pa ngana!




Gagak-Gagak Itu Mesti Mati!

Apakah mereka kau yang undang?

Sebab tana ini kita yang punya

Semua kobong

Semua padi

Semua kembang

Kita hidup ribuan tahun

Makan dan memberi makan

Menyanyi

Menari

Anak-anak kita bertelanjang kaki

Berlari

Tana ini kita yang punya!

Apakah mereka kau yang ajak datang?

Sebab ruma ini kita yang punya

Undakan setiap tangga

Tiang-tiang

Guratan-guratan kayu

Deretan jendela

Koi tempat kita dilahirkan dan melahirkan

Makan

Bersulang

Jelaga dan asap dodika

Api

Ruma ini kita yang punya!

Bukan!

Katamu, bukan!

Lantas siapa?

Mereka datang dari laut

Dari tanjung

Dari utara maut!

Katamu:

Mereka datang memohon makan

Lalu kita beri mereka tumpang

Sebab begitu nenek moyang kami mengajarkan

Lantas mereka jadi besar

Perut mereka tak pernah kenyang

Gagak-gagak itu,

Tana kita!

Ruma kita!

Lalu anak-anak kita

Kita!

Keluarkan lilang yang kau simpan di rumamu!

Gali tumbak yang kau tambung dalam tanahmu!

Mustika merah yang kau tukarkan dengan kitab berpalang itu!

Dan demi tanah dan rumah,

Darah

Sekarang kita mesti marah!

I yayat u santi!




No For Mo Apa Le

dengar, dengar, dengar pa kita

dengar, pemai, dengar kita mo basuara

buka basar ngoni pe talinga

pemai, dengar, dengar kita mo bacirita

dengar, hey utu keke minahasa

ngoni samua tu rasa ngoni gaga

ngoni samua tu Cuma jago di bicara

kasiang jo, ngoni nyanda ada apa-apa

hey tole, pake ngana pe ontak

jangang Cuma kuat baetag

badang pe bagus,

mar cap tikus so kase rusak

siang tasono, malam di leput

bagitu-bagitu trusjo ngana

sampe datang maut menjemput

budel so jual pa orang samua

Cuma gara-gara mo kredit satria

So cocok no ini samua

Abis baku spai deng botol

Antar motor rupa gila

Ada kasiange tuama

Akhirnya depe hasil

Tuhan yang memberi

Satria yang mengambil!

Deng ngana keke, jang kira so lolos

Jang Cuma poco-poco mulu los

Ngoni Cuma mo andalkan tu body?

Bapake sexi deng kuli pe puti?

Kong saban malam baforo di ha-ha deng hai ki?

Puki! Serta so abis doi, so mulai jual diri

So ini no ngoni pe biongo

Sasadiki le so muat di posko

Tu felem da bakunae di oto

Wartawan kudapuki so kase maso!

Mo apa le tare kalo so bagitu

Mama papa so user karna so beking malu

Kage cari-cari di kampung sonyanda ada

Nintau kote so jadi tambio di jayapura!

no ngoni tidor-tidor jo

no ngoni mekep-mekep jo

no ngoni melep-melep jo

no ngoni disko-disko jo

no for mo apa le

Esei Greenhill Glanvon Weol "KEBUDAYAAN MINAHASA: Sesuatu yang Terjadi Hari ini, Bukan Kemarin"

"... Culture should be regarded as the set of distinctive spiritual, material, intellectual and emotional features of society or a social group, and that it encompasses, in addition to art and literature, lifestyles, ways of living together, value systems, traditions and beliefs". (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco), 2002).

Culture? What Culture?

Saya tersenyum geli, ketika pertama kali mendengar lagu makaaruyen yang di-remix dengan sampel-sampel disko dari sound system menghentak sebuah mikrolet. Bukan karena campuran yang lucu itu, tetapi karena akhirnya tiba-tiba ada irama khas Minahasa, yang selama ini oleh sebagian anak muda dianggap sebagai musik “pangge-pangge ujang”, mendapatkan “raga” baru dan pemaknaan baru sehingga bisa kembali tampil melaksanakan tugas, sebagai bagian dari fungsi estetikanya, untuk menghibur manusia yang menciptakannya. Sambil tersenyum, pikiran saya mulai berliar-liar tentang lantai-lantai disko yang sering dipadati clubbers Manado dan mulai mengimajinasikan tubuh-tubuh yang bergoyang diiringi niko mokan si gumenang lah sa aku lewo wia niko… He he he, saya jadi tergelak, ternyata kebudayaan Minahasa belum mati.

Tapi tunggu, apa lagu remix yang dipakai untuk berkeringat semacam itu bisa dianggap sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai “kebudayaan”? begitu mungkin anda langsung menyanggah. Bukankah kebudayaan itu sesuatu yang kita saksikan dalam ritus-ritus dan situs-situs purba? Bukankah kebudayaan itu sesuatu yang kita lihat terpampang rapi dalam museum-museum? Bukankah kebudayaan itu adalah kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan oleh pihak-pihak terkait, pemerintah terutama, seperti festival kesenian tradisional semacam Maengket, Kawasaran, Pindah Waruga atau yang sejenisnya? Bukankan kebudayaan adalah sesuatu yang agung, indah, dan monumental? Anda tidak keliru, jika kita bicara tentang kebudayaan sebagai sebuah warisan dari masa lalu. Melville J. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:

  • Kebudayaan material

Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

  • Kebudayaan nonmaterial

Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

Tetapi tolong jangan berhenti pada pemahaman itu saja. Kebudayaan kita bukan hanya sesuatu yang telah terjadi. Sesuatu dari hari kemarin. Kebudayaan kita juga adalah apa yang sedang terjadi hari ini, sekarang. Jadi, sebenarnya gerakan-gerakan yang tadi saya imajinasikan sedang dilakukan di lantai disko Ha-Ha Café tidaklah beda berbudaya dengan serangkaian gerakan seorang penari Maengket! Pula sebuah lagu remix yang mendentum dalam mikrolet punya kesetaraan kultural dengan tembang yang dinyayikan dalam tari Maengket! Mungkin anda bisa saja tersinggung dengan ide seperti ini, tetapi ini dikarenakan kebudayaan juga menurut J.J. Hoenigman, dibedakan menjadi tiga wujud:

  • Gagasan (Wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

  • Aktivitas (tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

  • Artefak (karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Suatu ketika, seorang sahabat yang juga bergiat dalam bidang budaya berkata bahwa tanpa menggali sedalam-dalamnya kultur, lewat berbagai artefak dan praktik, kita tak akan bisa mengerti apapun tentang itu. Beliau memang telah cukup dalam menggali budayanya, terbukti dengan terkumpulnya sejumlah benda-benda kultural di rumahnya, juga dari pengetahuan-pengetahuan meta-kultur yang telah dikuasainya. Saya hampir-hampir setuju dengan pendapat itu. Tetapi saya lantas berpikir: apakah sebagai tou Minahasa, saya dikehendaki oleh leluhur saya untuk kembali membongkar kubur-kubur tua, memburu berbagai mustika dan benda kuno lainnya, yang, meminjam istilah seorang sastrawan Minahasa saudara Pnt. Fredy Wowor, usaha melap-lap benda usang agar mengkilat kenbali? Saya rasa tidak. Kebudayaan Minahasa adalah hari ini, bukan kemarin.

Ada pula seorang praktisi budaya yang mempertanyakan kepada saya mengapa kebanyakan orang Minahasa praktis sudah meninggalkan tradisi-tradisi shamanisme kuno semisal upacara foso dan, bentuk besarnya, konsep teologi tradisional. Saya katakan bahwa dia salah. Orang minahasa tidak melupakan semua itu. Akan halnya sistem religi yang universal, ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik menusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:

... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.

Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", yang dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Agama tradisional telah menjawab kebutuhan rohani tou Minahasa akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri. Dan saat ini, kata saya, orang Minahasa telah menemukan itu semua dalam keimanan mereka terhadap Empung Kasuruan dalam Yesus Kristus. Jabatan shaman saat ini dipegang para pemimpin jemaat. Tidak ada yang berubah.

Beliau kemudian juga berargumen tentang rendahnya minat orang Minahasa saat ini terhadap “pengetahuan-pengetahuan” tradisional semacam ilmu mengendalikan kekuatan alam. Saya tersenyum dan berkata bahwa itu juga salah. Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).

Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

  • pengetahuan tentang alam
  • pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
  • pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia
  • pengetahuan tentang ruang dan waktu

Teknologi, saya selalu menggolongkan pengetahuan-pengetahuan semacam itu dalam perspektif ini, adalah segala sesuatu yang menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

Jadi, lanjut saya, jika pada suatu masa leluhur saya menggunakan aspek-aspek teknologi zamannya semacam memakai cidako (yang menurut saya pasti sangat modis pada saat itu), maka saat ini saya sebagai orang Minahasa yang hidup di milenium ketiga memilih memakai jins dan t-shirt. Atau, jika dulu ada peti kayu untuk menyimpan benda berharga, sekarang saya punya flashdisk untuk sesuatu yang kurang lebih sama. Dan, mungkin ini yang paling menarik: kalau dulu nenek moyang saya perlu menggunakan telepati (atau apalah namanya) untuk mengirimkan pesan ke tempat yang jauh, sekarang saya tinggal memencet tombol telepon genggam. Jadi, sekali lagi, tidak ada yang berubah. Saya yakin orang Minahasa tidak pernah meninggalkan aspek-aspek budayanya. Jika kelihatan ada yang berubah, itu karena memang yang berubah adalah yang kelihatan saja, wujud fisiknya saja. Sedangkan esensinya, lebih tepat: filosofinya, tetap ada dan tinggal.

Saya katakan kepada rekan itu bahwa saya percaya Kebudayaan Minahasa adalah sesuatu yang everchanging, sesuatu yang terus-menerus berkembang, berubah dan beradaptasi menurut kebutuhan masanya. Kebudayaan Minahasa bukanlah sebuah finished product, namun sebuah ongoing process. Kebudayaan yang stagnan, yang hanya mengelu-elukan kebesaran dan kejayaan masa lampau, menurut saya adalah kebudayaan yang mati. Kebudayaan yang agung adalah kebudayaan yang menghargai identitas ancient civilization-nya sekaligus memiliki perspektif jauh ke depan.

Redefining Minahasan Culture

Saya dan beberapa saudara tou Minahasa lainnya sedang mempersiapkan penerbitan sebuah Antologi Puisi Penyair Minahasa. Ini dilakukan dengan kesadaran penuh akan “…lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut” tadi. Dalam draft buku tersebut saudara Jenry Kora’ag dalam puisinya Mawale mencantumkan kata-kata:

aku ingin pulang

tapi bukan kepada batu

karena batu tak mampu mengisahkan

segala kisah tentang sejarah

aku ingin pulang

tapi bukan kepada pohon

karena pohon tak bisa tuturkan

liku jalanan panjang cermin lalu

aku ingin pulang

tapi bukan kepada gunung

karena gunung hanya diam

tak dapat cerahkan coretan alam.

Semua ini adalah usaha sadar untuk kembali “menemukan” apa yang kita harapkan akan diberi label “Kebudayaan Minahasa”. Sesuatu yang lebih dari sekedar “batu” atau “gunung”. Sesuatu yang kelak dapat kita pertanggung-jawabkan di dihadapan leluhur kita dan, terutama, dapat kita wariskan kepada generasi sesudah kita, sampai tiba giliran anak-cucu Lumimuut-Toar untuk kembali meredefinisikan kebudayaan Minahasa di masa mereka.

Mengapa sastra (baca: tulisan)? Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari Bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Fungsi bahasa secara umum adalah:

Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah:

  • Mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari (fungsi praktis).
  • Mewujudkan seni (fungsi artistik).
  • Mempelajari naskah-naskah kuno (fungsi filosofis).
  • Untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, bukan begitu?

Mengapa? Karena salah satu kelemahan “Kebudayaan” yang hanya mengacu pada artefak dan aktifitas adalah kecenderungan untuk menjadi apa yang dijabarkan sebagai "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture), yang pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas , seni tingkat tinggi, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature).

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu — berkebudayaan dan tidak berkebudayaan — dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik pop sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.

Saat ini kebanyakan ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama — masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Demikian halnya lagu disko remix tadi, yang dentumannya saya yakin telah merambat sampai ke sudut-sudut terdalam tana’ Minahasa, biarlah menjadi penyadar bagi kita bahwa esensi kebudayaan Minahasa adalah kemampuan untuk selalu dapat memahami kontekstualitas kehidupan hari ini. Memang, sejarah selalu diciptakan hari ini. Kebudayaan Minahasa adalah hari ini, bukan hanya hari kemarin. Niko mokan si gumenang lah sa aku lewo wia niko…

I yayat u santi!