Selasa, 18 Desember 2007

ESAI : SENI UNTUK PUBLIK

Dunia saat ini adalah kapitalisme, tak terkecuali Indonesia. Telah banyak ekonom - ekonom kritis yang dengan sadar memberi nama baru untuk sistem ini dengan melihat perkembangannya yang semakin gila di akhir abad 20 : neoliberalisme. Dari sudut pandang ekonomi politik, kapitalisme dapat diartikan tentang bagaimana suatu aspek kehidupan, yang seharusnya dapat diakses oleh semua orang, menjadi milik segelintir orang yang beruntung (secara ekonomi). Dan kerja – kerja kesenian, semacam lukisan-lukisan, buku – buku puisi, kerajinan tangan ataupun ukir-ukiran, lagu - lagu dan sebagainya, bukanlah pengecualian dari hukum umum ini.

Dewasa ini, kondisi tersebut bagaimanapun telah menjadi suatu realitas di Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana lukisan-lukisan indah, patung-patung berestetika tinggi, sampai ke kerajinan-kerajinan tangan bermutu dipajang dan dijual dengan harga sangat tinggi di galeri-galeri bonafit. Dalam ingatan waraga Sulut, khususnya di kota Manado tentu masih ingat tragedi terjualnya lukisan Sonny Lengkong ketika pameran tunggalnya diadakan di salah satu hotel mewah di kota Manado mencapai total lebih dari Rp 300 juta beberapa waktu silam ? Tentu saja akhirnya, para penikmat seni yang datang ke galeri ataupun pameran pun relatif mapan secara ekonomi. Tak jarang sebuah karya seni mahal tersebut setelah laku terjual, dibawa pulang ke rumah, diletakkan dalam satu ruangan khusus yang hanya bisa diakses segelintir orang, atau untuk dinikmati oleh pribadi ataupun keluarganya. Sebuah karya seni telah kehilangan sifat publiknya.

Manusia sejatinya tidak dapat dipisahkan dari kesenian termasuk menikmati karya seni. Karya seni telah semakin nyata teralienasi dari manusianya seiring berjangkitnya neoliberal sebagai perkembangan tertinggi kapitalisme dunia. Sepertinya, tangan manusia semakin kurang panjang agar mampu menggapai karya – karya seni tersebut. Yang ironisnya justru lahir dari bekal pengalaman yang kemudian lahir dan menemukan medianya dalam bentuk karya seni.
Namun setiap thesis tentu memiliki anti-thesis. Realitas kesenian di bawah imperum kapitalisme pasti memiliki kontradiksi internal dalam dirinya. Untuk dapat membongkarnya, pertama-tama kita harus mengetahui dengan benar bagaimana wujud kerja kapitalisme dalam kesenian.


MISTIFIKASI SENI

Secara teori, perpusatakaan, museum maupun galeri dimaksudkan untuk menjamin akses publik terhadap kesenian, menyediakan ruang tertentu agar nyaman dalam menikmatinya, dan memang sukses tetapi dalam derajat tertentu. Meskipun demikian, masih banyak apresian seni, terutama yang berkemampuan ekonomi lemah, telah terlanjur membenarkan dalam pikirnya bahwa tempat – tempat semacam itu tidaklah mungkin dibuat untuk kalangan mereka. Suasana khidmat perpustakaan besar, museum dan galeri membuat mereka seperti terintimidasi. Sebagaimana kenyataan sekarang bahwa tempat – tempat itu memang “ada” untuk kaum menengah maupun kelas atas. Dan sungguh sebuah kesialan yang sangat tepat untuk watak masyarakat kita yang masih kurang percaya diri dalam mengapresiasi maupun untuk menghasilkan karya seni itu sendiri.

Seorang teoritikus seni terkenal, John Berger, menggambarkan proses yang sedang berlangsung ini sebagai sebuah bagian utuh dari kecenderungan umum mistifikasi terhadap kesenian di dalam dunia kapitalisme. Seorang Pierre Bourdieu, ahli sosiologi Perancis, melakukan obsevasi yang mirip seperti diatas. Penelitian itu mengantarkannya pada sebuah fakta bahwa terdapat perbedaan cara pandang terhadap kesenian untuk maing – masing kelas sosial yang berbeda tingkatannya. Secara hegemonis maupun ekonomis, kelompok masyarakat kelas bawah akan dipaksa untuk terus menganggap bahwa karya-karya seni yang tengah dipajang di galeri-galeri adalah suatu hal yang sakral (bukan untuk kalangan mereka) dan tidak terjangkau.

Langkah kedua adalah tentang bagaimana upaya sistematis dari kapitalisme untuk terus mencegah akses manusia secara luas terhadap kesenian adalah dengan menjadikan karya seni sebagai komoditi mewah untuk diperjual belikan di pasar dengan harga yang sangat mahal.

Seniman-seniman profesional didorong untuk tunduk dan membebek pada pola pasar agar bisa terus bertahan hidup. Sedang sekelompok kecil individu – individu yang kaya raya memiliki dan menguasai karya – karya seni yang mashyur dan mahal. Tak luput untuk ketinggalan, institut - institut kesenian, sebagai alat ideologi formal penghasil seniman – seniman, secara seragam mengajarkan kepada semua anak didiknya bagaimana berkesenian agar mampu terjual dengan harga tinggi nantinya. Dan secara tak sadar, akhirnya mereka melakukan kerja kesenian dengan tidak menggunakan sense, melainkan logika pasar. Sayangnya logika tersebut pada perjalanannya, semenjak lahirnya di abad 18, tak pernah seiring dengan logika mayoritas rakyat.


SENI LANGSUNG TURUN KE JALAN

Lalu bagaimana cara untuk melawan arus kapitalisme dalam seni ? Salah satu carayang bisa dicoba adalah dengan mengeluarkan seni dari perpustakaan elit, museum ataupun galeri ke jalanan. Biarkan seluruh apresian seni yang adalah rakyat, dari tua muda, kaya maupun miskin, mampu menikmatinya. Galeri – galeri mewah itu terlalu sakral untuk masyarakat kita yang mayoritas adalah kaum miskin. Setidaknya meletakkan kesenian di jalanan akan menghancurkan elitisme dari galeri - galeri, museum – museum, maupun perpusatakaan elit, sekaligus untuk mendapatkan kembali ruang publik dan menghambat upaya - upaya pengkomoditian kesenian.

Hal ini contohnya telah banyak dilakukan oleh seniman-seniman muda di Sulawesi Utara. Di bidang seni pertunjukan, pentas teater jalanan yang diadakan oleh Teater Kronis Manado selama rentang tahun 1997 sampai 2004, Komunitas Pekerja Sastra (KONTRA) Sulut sepanjang 2001 sampai 2005, lalu dilanjutkan Kolektif Kerja Budaya Rakyat (KKBR) Manado selama rentang tahun 2005 - 2007, adalah anti thesis terhadap pertunjukan – pertunjukan teater yang digagas oleh lembaga – lembaga pemerintah (penguasa) seperti Persatuan Artis Teater Sulut (PATSU) ataupun Dewan Kesenian Sulawesi Utara, yang hanya terus sembunyi di gedung – gedung mewah, sibuk dengan lomba – lomba yang lebih berorientasi pada kalah menang dan perebutan uang hadiah.

Di bidang seni rupa, bisa mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh seniman Arie Tulus bersama Mawale Art Comunity pada tanggal 7 April 2007 bersamaan dengan pentas dan musikalisasi puisi, ia memamerkan lukisan – lukisannya di ruang terbuka dan secara langsung menjemput apresiasi publik. Mendorong terciptanya iklim apresiasi seni yang kondusif yang dengan serta merta dapat menjawab kebutuhan para seniman tentang isi perutnya.
Di bidang sastra, penerbitan buku – buku puisi karya penyair lokal secara underground dan peluncurannya yang justru hanya di laksanakan di sekretariat – sekretariat komunitas ataupun kelompok seni, atau kedai kecil di fakultas Sastra UNSRAT. Sebuah ruang yang terbuka akan akses para apresian, tanpa harus menemukan kesulitan yang berarti. Buku – buku yang juga dicetak dan di publikasikan secara underground menjadi tamparan telak bagi banyak seniman mapan yang ingin karya – karyanya diterbitkan oleh penerbit besar dan akhirnya secara sadar menjebakkan diri dalam budaya mengemis. Dan ketika biaya menjadi hambatan, proses kreatifpun seringkali mandek atau bahkan berhenti sama sekali.

Di bidang seni musik, apa yang dilakukan oleh musisi Witho Bangsat Abadi (yang populer lewat hitsnya Maitua & Aku Bukan Dispenser) mungkin bisa dijadikan bukti nyata betapa untuk menghasilkan seni yang kerakyatan dan anti hegemoni dan privatisasi adalah mungkin. Lagu – lagu ciptaannya yang kemudian populer di chart indie beberapa radio lokal seperti Radio Suara Minahasa (93.3 FM) dan SIP FM tidaklah direkam di studio mewah yang penuh peralatan mahal. Namun hanya berbekal kemampuan memanfaatkan teknologi lalu mempublikasikannya lewat jaringan seni yang dipunyai (ingat, bahwa pacar, teman, ataupun keluarga termasuk jaringan seni kita yang paling dekat), Witho BA memberi bukti eksistensi musik indie di tengah gempuran major label yang hanya berorientasi pada akumulasi keuntungan. Dan tentu saja ada garansi akan kualitas karya musik tersebut.

Tentu saja, hanya dengan adanya kesenian di jalan tidak secara otomatis menjadikan kesenian tersebut kerakyatan dan menghasilkan iklim apresiasi yang positif. Kita pasti ingat, bahwa para penguasa di negeri manapun selalu membangun patung-patung atau monumen – monumen mengenai diri atau kekuasaan mereka untuk ditampilkan di tempat – tempat publik. Tujuan bangunan – bangunan tersebut adalah untuk mengintimidasi rakyat dan membuat agar kita terus menganggap bahwa kekuasaan mereka yang otoriter itu adalah hal yang alami. Tak perlu mengambil contoh jauh – jauh, para penguasa kerajaan - kerajaan di Nusantara pun tidak lupa melakukannya. Berbagai prasasti, patung-patung dan artefak lainnya peninggalan zaman mereka telah menunjukkan kecenderungan itu. Terlepas bahwa apa yang dihasilkan juga merupakan sebuah hasil dari tingkat kesenian pada saat itu.

Tapi konsep kesenian model penguasa yang saat ini dipraktekkan pada rakyat akan sangat jauh berbeda dari kesenian jalanan yang sejati. Mereka (karya – karya seni penguasa) hanyalah merupakan alat agitasi dan propaganda penguasa pada rakyatnya demi langgengnya kekuasaan. Kesenian jalanan yang kerakyatan menunjukkan suatu potensi bagi sebuah dunia di mana kesenian adalah bagian integral dari hidup kita. Sebuah perayaan atas kretivitas kita dan kekayaan atas imajinasi kita. Program – program kesenian yang bersifat massal (misal : program sejuta mural untuk rakyat) di seluruh kota haruslah menjadi prioritas pertama untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni. Sehingga nantinya, masyarakat kita yang mengerti akan estetika dari sebuah karya seni bukan hanya sekedar mimpi.

Oleh : Andre GB

REPORTASE KEGIATAN Oleh : Fredy Sreudeman Wowor*

KOMEDI DON JUAN DAN AJAKAN REFLEKSI
Sabtu, 15 Desember 2007

I

Gedung Kesenian Pingkan Matindas tampak lain dari biasanya. Para pekerja seni dan pemerhati seni berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan dari Balai Teater yang berjudul “Don Juan, Laki-laki dari Utara, Laki-laki Bataru”. Naskah yang dipentaskan ini diadaptasi dari “Komedi Don Juan” Karya Moliere. Dramawan Prancis yang terkenal dengan lakon-lakon lucu tapi penuh sindiran. Adaptasi naskah ini dilakukan oleh Eric MF Dayoh berdasarkan terjemahan Winarsih W. Arifin dan saduran Rudolf Puspa.
Pertunjukan yang dihadiri 150-an penonton ini mengisahkan perjalanan hidup Don Juan yang mengembara dari pelukan satu perempuan ke pelukan perempuan yang lain. Perjalanan hidup untuk memenuhi pilihannya menjadi manusia. Pilihan untuk menjadi manusia yang menghargai perasaan.Walau akhirnya dia harus berhadapan dengan kenyataan akan betapa pahitnya pilihan itu karena banyak orang tidak senang dengan pilihannya itu terlebih lagi Elvira istrinya.
Keyakinannya untuk memilih hidup dalam ketidaksetiaan dan mereguk kenikmatan fana sebagai syarat untuk menjadi manusia modern dapat kita simak dalam dialog Don Juan di adegan 3 :
”Hah! Kesetiaan bukanlah syarat utama manusia modern. Itu hanya kekonyolan masa lalu, ketika teknologi dan segala macam pengetahuan, baru menjadi milik segelintir orang, yang lalu disebut kaum terpelajar. Hanya kakek-nenek yang menganutnya. Di masa sekarang, setiap perempuan muda mempunyai hak untuk memikat siapa saja yang diinginkannya. Dan yang dipikat punya hak melayaninya. Ini kodrat, bung ! Manusiawi! Coba bayangkan, betapa indahnya menikmati tumpahan gelorah asmara, mendengar rintihan kerinduan : malu-malu tapi suka, disentuh gelora gairah laki-laki yang membuncah, mengajak kegairahan liar di balik kelembutan dan rasa malu-malu, membelit diri dalam gelora permainan libido yang menakjubkan, sekaligus menjijikkan dan tak beradab! Mencintai, memiliki, menaklukan, dan saling melibas. Itulah anugerah, talenta tamang…yang mesti dinikmati, agar tak sia-sia dan mubasir. Saling memberi dan saling melengkapi. Tak ada kekuatan apapun di muka bumi ini, yang sanggup membendung hasrat menguasai sesama untuk menaklukan dunia. Sebagaimana Iskandar Zulkarnaen, saya pun ingin menjamah dunia, memperluas jangkauan asmaraku.”
Berdasarkan dialog ini, kita bisa mendapatkan gambaran betapa paralelnya persoalan cinta dan persoalan kekuasaan.
Pahitnya sebuah pilihan dapat kita simak dari kata-kata Don Juan di adegan 5 berikut ini :
“Hah! Hantu, setan, neraka, sorga,aku tak perduli. Aku hanya menjalani sejarah yang telah dituliskan untukku. Kalian hanya melihat akibat. Apakah kalian mempertimbangkan sebab-musababnya? …. Tuhan inilah aku, Don Juan ciptaanmu! Mendamba cinta dari lorong-lorong sampai perampatan, dari mal hiruk pikuk hingga ke kafe-kafe temaram…Hah ! Bullshiit ! … Apa kamu tahu, sejak kecil aku terbiasa dengan uang sebagai jalan keluar untuk segala-galanya. Apa kamu tahu, Hah!? Enak saja nasihati aku…Dimana mereka ketika aku sedih dan menangis? Ketika aku menahan rindu dan ingin mendengar sapaan? Ketika aku kalut, bingung dan tak sanggup mengambil keputusan untuk memilih? Selalu yang dicekokin hanya kehormatan dan gengsi keluarga. Begitulah aku belajar hidup selama ini!...Munafik ! Aku tak takut, karena uang adalah jalan keluarnya….
Yah! Karena aku dicap sebagai pencemar kehormatan keluarga besar. Zaman edan,gila! Orang lebih suka menari dengan topeng menjadi pemain sulap dan akrobat. Mengolah hidup dengan kelicikan sambil mengumbar janji-janji sorga yang kosong, tapi diyakini sebagai tindakan suci….
Mana lebih penting, dari dari kemunafikan yang sudah dianggap kebajikan? Hah! Munafik telah menjadi pekerti dalam kesantunan, dalam pergaulan bersama. Orang tak segan-segan bersembunyi di balik nilai-nilai kebenaran, agar tetap bisa tampak suci, bahkan bisa mendapat pembelaan di mana-mana, menghilangkan rasa bersalah dan berdosa.
Aku terus didesak untuk bertobat,seolah-olah aku sumber kebejatan itu. Benar-benar terlalu! Kenapa mata ini tak sanggup melihat balok yang ada di depannya? (Setelah diam sejenak). Baik, Elvira, hari memang telah larut, tapi janganlah menolak keinginanku untuk mengantarmu pulang, karena disana kita bisa lunaskan semua kegundahan yang terus meronta-ronta di hati kita….”
Dan demikianlah kisah ini usai, seperti nyanyian orkes bamboo di adegan 6 :
“inilah, sepenggal kisah hidup anak manusia
kita semua ada di dalam cerminnya
berkaca bersama
berbenah bersama
karna,don juan memang don…
karna don, memang soal kita bersama…”
Pentas yang disutradarai oleh Eric MF Dayoh ini menampilkan Franky Supit (Don Juan), Donna Keles (Elvira), Sylvester Setligt (Sagan), Irene Buyung (Gusmar), Sandra Dewi Dahlan (Karlote), Ventje Mait (Pier), Melissa Nayoan (Maturin), Frangky Kalumata (Narator), Servy Maradia (Pelayan), dan Ferro Kuron, Roy Kumaat, Dolfie pantouw (Orkes Bambu/Pigura).
Adapun pelaksana pentas produksi ke 9 Balai Teater ini adalah Teddy Kumaat, Donna Keles, Recky Runtuwene dan Frangky Kalumata. Penata artistik : Ilham Nasikin, Penata Busana : Bebe, Penata Rias : Choi.
Hal penting yang bisa dicatat dari pementasan ini adalah penampilan Sylvester (Sagan) yang dinamis dan berhasil menggelitik tawa sekaligus membuat kita makang hati dapa terek, patut diacungi jempol, begitu pula penampilan Irene (Gusmar), Sandra (Karlote), Melisa (Maturin), Servi (Pelayan), yang bisa mengimbangi kedinamisan Sylvester. Penampilan Frangki Supit dan Fence Mait cukup menggelitik walaupun mesti diakui faktor daya tahan napas cukup mempengaruhi kedinamisan mereka. Penampilan Donna Keles berhasil memberikan nuansa serius di tengah kekocakan sagan dan kekenesan Don Juan. Begitu pula penempatan orkes bambu di atas panggung bagiku cukup menimbulkan efek dalam menjaga momen-momen transisi antara adegan yang satu ke adegan yang lainnya.
Terlepas dari adanya keterbatasan akibat kondisi gedung seperti pohon natal di depan panggung yang cukup mempengaruhi penglihatan dan lampu yang menyala tiba-tiba di tengah penonton, saat pertunjukan berlangsung, pentas ini mengasyikkan dan berhasil memancing gelak tawa sehingga penonton bisa bertahan dari awal sampai akhir pertunjukan. Apalagi inovasi yang berhasil dilakukan oleh sutradara pada adegan perkelahian antara Pier dan Don Juan berhasil memunculkan ingatan purba melalui pukulan tambor kabasaran, bagaimana dahulu orang bertarung memperebutkan perempuan tidak selamanya dilakukan dengan pertarungan fisik tapi melalui adu kemampuan berdebat dengan puisi.

II

Selain pementasan teater,di tempat ini berlangsung pula sebuah sebuah dialog budaya yang menghadirkan Benny J. Mamoto. Seorang pemerhati seni yang berhasil mendorong kajian-kajian, symposium-simposium, dan penerbitan buku-buku seni budaya serta mengadakan festival-festival seni budaya Sulawesi Utara seperti festival Maengket, Kabasaran, tari Jajar, Mahamba, musik Kolintang, musik Bia, dan tari Kabela.
Dalam dialog yang dipandu oleh Hendra Zoenardji ini, hadir para wartawan dari berbagai media massa dan para seniman Sulawesi Utara dari berbagai generasi seperti Eric MF Dayoh, Iverdikson Tinungki, Ari Tulus (SAT Tomohon), Ie hadi G, Deni Pinontoan (Radio Suara Minahasa), Greenhill Glanvon Weol (KONTRA), Vick Chenore (Teater Karang Mantra), Jenry Koraag (KAMISAMA), Rulan Wawoh, Frangky Kalumata, Inggrid Pangkey (KAMISAMA), Huruwati Manengkey, Hence Makalew, dan Bobby Anggai (Teater Club fakultas SASTRA UNSRAT), Andre GB (9 SOCIETY), Ifan Kiraman (KKBR Manado), Maikel Booluis Pelealu (Teater Bukit Hijau), Richard Rhemrev, Frangki Supit, Inyo Rorimpandey, Fence Mait, Joni Sangeroki, Roy Kumaat, Dolfie Pantouw, dan Ferro Kuron.
Dalam kesempatan ini Benny J. Mamoto menyampaikan beberapa pokok pikiran berkaitan dengan usaha-usahanya mendorong kemajuan seni budaya Sulawesi Utara. Dia mengatakan bahwa ada 2 alasan yang melatar belakanginya untuk mengambil peran aktif mengurus kebudayaan.
Pertama, karena selama seperempat abad ini, ia menekuni secara optimal profesinya sebagai seorang polisi, aparat hukum dan kamtibmas maka dia menjadi orang yang sangat menyadari mutlak pentingnya faktor budaya. Betapa banyak problem sosial dan hambatan dalam penegakan hukum yang berpangkal dari masalah nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.
Kedua, karena sebagai anak keturunan Minahasa Sulawesi Utara yang tumbuh di rantau, ia ingin menikmati kehangatan dari akar budayanya dan menerima kekayaan batin dari kebudayaan yang luhur ini.
Apakah salah jika saya ingin lebih dekat dengan kebudayaan leluhur saya sendiri? Adakah sesuatu yang bisa mencabut hak azasi saya di bidang kebudayaan ? Tanyanya.
Dia menjelaskan bahwa apa yang telah dilakukannya bersama teman-teman dengan mengedepankan segi kuantitas, seperti sejumlah rekor MURI untuk berbagai cabang seni tradisional secara massal, tak lain dari semacam upaya untuk membangun kesadaran dan ingatan masyarakat luas bahwa seni budaya adalah satu faktor. Seni budaya kita ada. Seni budaya adalah bagian eksistensial diri kita sendiri. Kita tidak dapat mengabaikannya begitu saja.
Beberapa pokok pikiran yang disampaikannya mengawali dialog budaya ini merupakan pokok-pokok mendasar yang disampaikannya dalam Pidato Refleksi Akhir tahun Bidang Seni Budaya berjudul Sekedar Ajakan Refleksi Untuk Rekomitmen Peran Budaya dan Budayawan.
Iverdikson Tinungki mengusulkan agar supaya dibuat sebuah antologi sastra yang melibatkan seluruh seniman Sulawesi Utara dengan ukuran ketebalan tertentu untuk mendapatkan rekor MURI dengan ini diharapkan publik luar Sulawesi Utara dan dunia akan lebih mengenal kesusastraan kita.
Greenhill Glanvon Weol mengatakan bahwa perlu diadakan pembangunan basis-basis seni budaya ke seluruh pelosok daerah Sulawesi Utara, karena berdasarkan penelusurannya sejak tahun 2005 meliput iven-iven seni budaya dia menemukan kenyataan bahwa di pelosok-pelosok daerah Sulawesi Utara terutama Minahasa aktifitas seni berbasis kelompok atau sanggar sangat kurang bahkan di beberapa tempat sudah tidak ada sama sekali.
Dia menggambar visinya dengan mengambil perbandingan Gerakan Mawale (Mawale Movement) yang dilakukan para Peteater dan Sastrawan Muda Minahasa yang sejak penghujung tahun 2004 mengadakan pembangunan basis-basis teater di seluruh Minahasa dan melalui basis-basis teater ini diadakan pelatihan dan pendidikan dasar seni budaya terutama sastra dan teater, musik serta seni rupa. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dalam bentuk pentas-pentas dan pagelaran teater, pembacaan dan musikalisasi puisi, serta peluncuran buku. Ada sekitar 30-an buku telah diterbitkan secara underground sampai akhir tahun ini dan berdasarkan pendataan akan ada 25 biji buku siap terbit tahun 2008. Untuk memfasilitasi proses penerbitan ini telah dibangun 9 SOCIETY PRESS . Sebuah penerbitan independent yang akan memfasilitasi pendistribusian karya-karya sastra ini. Sejak akhir tahun 2004-2007 ini karya-karya berupa puisi, cerpen, novel dan drama ini telah disebarkan sampai di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Australia, Jerman, Belanda dan Amerika. Dalam perkembangan terakhir karya-karya ini punya kemungkinan dibaca di seluruh dunia seiring dengan di bangunnya sebuah blog sastra di internet yaitu sastra-minahasa.blogspot.com
Secara kritis dia memberikan tanggapan terhadap beberapa iven budaya yang dilakukan di hotel-hotel berbintang. Dia mengatakan, terlepas dari kepentingan promosinya, mesti selalu disadari bahwa dampak dari penyelenggaraan iven-iven di hotel-hotel berbintang ini dapat mengakibatkan terasingnya seni dari masyarakat yang justru menjadi sasarannya.
Bagiku pribadi, apa yang telah dilakukan oleh Benny J. Mamoto bersama teman-teman di Institut Seni Budaya Sulawesi Utara harus disambut baik dan didukung. Karena, apa yang dilakukannya untuk membangun citra dan identitas ini merupakan tugas kita juga.
Apalagi sekarang kita hidup di era globalisasi. Era dimana penyeragaman dan homogenisasi menjadi satu kemustian. Era dimana imperialisme budaya merajalela. Imperialism is the export of identity, demikian Edward Said dalam tulisannya On Jean Genet’s Late Works. Perjuangan budaya di zaman ini adalah perjuangan menegakkan identitas.
Pembangunan kebudayaan kita sebaiknya tidak cuma terkonsentrasi pada seni tradisi tapi juga musti melihat perkembangan seni kontemporer.
Dalam bidang musik perlu diadakan eksplorasi lebih jauh terhadap Makaaruyen dengan mengadakan kajian-kajian maupun workshop-workshop yang melibatkan para pemusik yang ada. Perlu juga diperhatikan perkembangan musik populer seperti rock n’ roll dan metal mengingat banyaknya anak muda yang membentuk band-bandnya sendiri. Mereka sangat inovatif mencipta dan mengadakan konser-konser dengan dana seadanyanya serta berusaha merekam dan memasarkan karyanya. Contoh yang bisa saya berikan adalah Konser Malendong, Akustika dan Art For Heaven yang dilaksanakan di Ruang teater fakultas Sastra sejak tahun 2000.
Dalam bidang seni rupa, harus diadakan kegiatan workshop dan pameran-pameran dengan prioritas pada anak-anak dan kaum muda. Dalam bidang teater perlu di adakan workshop-workshop acting, penulisan naskah, dan pentas produksi teater. Kemajuan di bidang teater ini diharapkan akan menjadi landasan bertumbuhnya iklim perfilman kita, karena dengan pelatihan yang intens, problem aktor dan aktris serta naskah yang dapat menghalangi pertumbuhan kualitas penggarapan film dapat teratasi.
Dalam bidang sastra, perlu dikaderisasi angkatan penulis baru agar proses perkembangan tidak tersendat-sendat dan terputus-putus, ini bisa dilakukan melalui workshop penulisan kreatif dan penerbitan karya serta pemberian penghargaan bagi mereka yang menciptakan karya inovatif.
Semua ini dilakukan dengan memperhitungkan pembangunan wacana dan jaringan KESUSASTRAAN TEPI PASIFIK sebagai terobosan lebih lanjut untuk menjadikan kesusastraan kita menyebar ke seluruh dunia.
Pada ujungnya semua ini bermuara pada perlu dibangunnya sekolah seni yang akan mendorong lahirnya seniman-seniman yang sadar akan keberadaan dirinya dan memiliki daya tahan serta inovasi. Pembangun sekolah seni ini harus diimbangi dengan pembangunan pusat dokumentasi seni budaya Sulawesi Utara, sehingga penemuan-penemuan kreatif dan data-data historis yang sangat penting bagi eksistensi kita tidak tercecer, dicuri atau malah punah dari muka bumi.
Pembangunan pusat dokumentasi ini bagiku adalah langkah strategis untuk menerobos kebuntuan budaya selama 500 tahun terakhir ini,karena sejak pengetahuan baca-tulis dikenal oleh orang minahasa dan orang-orang Sulawesi utara lainnya mulai dari kisaran tahun 1500-an sampai sekarang, belum ada sebuah pusat dokumentasi yang benar-benar memenuhi kriteria : menampung semua sumber pengetahuan dan informasi tentang Minahasa serta daerah-daerah lain di Sulawesi Utara, baik itu pengetahuan dan informasi dari masa lalu maupun masa kini.
Pendapatku ini tentu saja tidak bermaksud menafikan apa yang telah dilakukan oleh Dr. Bert Supit dengan Perpustakaan Minahasanya dan Syeni Watulangkow dengan Perpustakaan Masarangnya.
III

Kegiatan lain dalam rangkaian pementasan teater di akhir tahun ini adalah Pidato budaya yang disampaikan oleh Benny J Mamoto. Pidato budaya ini mengajak para pekerja budaya berefleksi untuk membangun kembali komitmen peran budaya
Seluruh kegiatan ini ditutup dengan pembacaan puisi para penyair Sulut bersama beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama. Pembacaan puisi ini di awali oleh Pastor Cardo Renwarin, Gembala Teddy Batasina selaku Pucuk Pimpinan KGPM, Iverdikson Tinungki, Ie Hadi G, John Piet Sondak, Fredy Sreudeman Wowor dan Greenhil Glanvon Weol

* Penyair, Dramawan, aktif di Teater Kronis Manado
Sekarang Dosen di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unsrat

CATATAN KAKI DARI PELUNCURAN 3 BUKU & DAN DEKLARASI 9 SOCIETY PRESS

Report by : Andre GB

Kembali lagi dari kaki gunung Lokon, hadir sekaligus tiga jawaban untuk tanah Minahasa : seni di sini, nyanda parna mati !
Buku Maesa Rondor Makaaruyen (kumpulan puisi Malayu Manado) karya Fredy Sreudeman Wowor, Enigma karya Greenhill Glanvon Weol dan Malesung Orisinil (kumpulan puisi Malayu Manado) karya Andre GB, diluncurkan bersamaan bertempat di Grace O’Nelwan Library Tomohon di rangkaikan sekaligus dengan acara deklarasi 9 Society Press (organisasi penerbit yang mengkonsentrasikan diri pada penerbitan khusus karya – karya sastrawan muda di Utara Celebes).
Pada acara yang di hadiri perwakilan 17 komunitas, sanggar, kolektif seni maupun para apresian seni sastra di Utara Celebes antara lain Komunitas Seni O (kOsen) Gorontalo, Teater Ungu FBS UNIMA Tondano, Teater Theknique FATEK UNIMA, Kolektif Kerja Budaya Rakyat (KKBR) Manado, Teater Bukit Hijau Perkamil Manado, Conggregacion Theatre Center (CTC) KGPM, Teater Kronis Manado, Kontra Sulut, Teater Lingkar Dua Tondano, Kelompok Studi Sastra Perempuan (KSSP) Tondano, Studio X Sonder Minahasa, Sanggar Arts Tomohon (SAT), Radio Suara Minahasa, Perpusatakaan AZR Wenas Tomohon, Theater Club Fakultas Sastra UNSRAT Manado, Bengkel Seni Teater Lilin (BSTL) UKI Tomohon dan 9 Society Press ini membicarakan soal proses lebih maju dari kegiatan kesusastraan di wilayah Utara Clebes ini.
Acara launching yang dirangkai diskusi tentang perkembangan seni yang menghadirkan narasumber Fajran Lamuhu (kOsen) membicarakan tentang riak -riak aroma sastra di daerah Gorontalo. Narasumber berikutnya yaitu Arie Tulus, memaparkan tentang gerak maju sastra di Sulawesi Utara.
Lalu ada agenda brainstormingdari ketiga penyair yang telah mengeluarkan karyanya seputar proses kreatif yang di jalani, bagi – bagi tips menyiasati susahnya penerbitan buku, juga ada pembagian buku puisi yang di luncurkan sebagai bentuk solidaritas dan stimulus berkarya bagi kelompok – kelompok yang datang.
Grace O’Nelwan sendiri mewakili 9 Society memaparkan tentang rencana ke depan siasat penerbitan karya sastra di Utara Celebes dan sebagai monumen pembuktian kepada diri sendiri juga kepada publik nasional maupun lokal, kalau karya seni khususnya sastra dari Utara Celebes ada dan terus tumbuh meski penuh tantangan.
Dan lagi – lagi, Tomohon bergolak dengan kehadiran 3 buku sekaligus. Menunggu Tondano, Sonder, Manado, Airmadidi, Amurang, Gorontalo, Kotamobagu dan Ratahan. Karena dari lantai dua Grace O’Nelwan Library sudah terdengar teriakan : Tomohon so ada ulang, kapan ngoni ?!

(Tomohon, 5 Desember 2007)

Minggu, 16 Desember 2007

Cerpen Witho B. Abadi: "Cerita Tai"

(Redaksi tidak bertanggungjawab atas kerusakan psikologis yang dapat anda alami dengan membaca cerita ini...)

SATU

Sekolah itu begitu kumuh. Seluruh bangunan muram, tak jelas warnanya. Dinding-dinding kelas telah lapuk dan berlubang. Begitu pula dengan pintu. Sebagian besar sudah hancur. Jendela-jendela banyak yang tak berkaca.

Guru sedang mengajar di ruang kelas yang bersiswakan tujuh orang. Hening di seluruh penjuru ruangan. Siswa-siswa sibuk mengerjakan tugas. Tak ada suara. Tak ada yang bicara.

Guru menerbangkan pandang. Tatapnya terhenti pada seorang siswa laki-laki yang kurus dan dekil. Sekonyong-konyong ia berdiri dari kursi dengan gerakan hampir melompat. Jarinya menuding tepat ke wajah dekil itu. Tatapan kebencian bersinar di matanya.

“HADI !!! Ngana yang salalu bera di rawa kang ? So ngana no tu ja beking bobow tu kampung !!!”

Anak yang bernama Hadi itu terkejut. Ia terhempas dari kursinya, terhantam getaran suara Guru. Gemetaran, ia berdiri. Darah menetes dari mulutnya, memerahi seragam yang tak lagi putih. Ia menyeka bibirnya ke lengan baju. Dengan jarinya yang pendek ia balas menuding wajah pak guru.

“Bapa le satu ja bera di situ !!! Tu hari kita da dapa lia pa bapa sementara bera.”

Guru ternganga. Jawaban itu sama sekali tak ia duga. Pitamnya naik. Api amarah menyala-nyala di seluruh tubuhnya, membakar kumis dan rambutnya. Hanya pakaiannya yang tidak. Ia menggeram. Harga dirinya sebagai seorang Guru terasa diskon.

Ia melebarkan kakinya. Menarik napas dalam-dalam. Energi terpusat di perut. Disertai satu teriakan ia melepaskan kekuatan dahsyat itu ke arah sasaran : Hadi !

“Diam !!! Bapak jarang !!!”

Ruang kelas bergetar hebat. Kaca jendela pecah. Meja-meja berhamburan. Siswa-siswa berlari tak beraturan, keluar dari kelas. Awan gelap menutupi langit.

Hadi tak mampu menahan serangan itu, roboh !

Demikianlah kemarahan Guru yang selanjutnya diikuti dengan didirikannya Hadi di depan tiang bendera di lapangan sekolah di bawah tak teriknya sinar matahari siang bolong yang terhalang awan tebal.

Angin yang ditugaskan mengibarkan bendera di tiang itu berhenti. Ia sudah tak sanggup lagi bekerja seperti ini setiap hari, meniup bendera lusuh yang sobek di sana sini. Ia akan menyatakan pengunduran dirinya kepada Kepala Sekolah.

Ketika ia mendongak ke bawah, tampak olehnya sebuah sosok yang dikenalnya, berdiri di depan tiang bendera. Tak seperti biasanya saat mereka bertemu. Kali ini ia tak melihat layangan di tangan sahabatnya itu. Angin berusaha berpikir mengapa Hadi dan tiang bendera saling berhadap-hadapan tanpa berbicara. Sayang sekali karena ternyata dirinya tak disertai dengan otak, Angin tak bisa memahami apa yang terjadi pada Hadi, selain wajah yang menanggung penderitaan yang teramat berat.

Tak ada hubungannya sama sekali dengan kejadian di sekolah, sore itu juga seluruh penduduk desa baik pria, wanita, anak-anak, sampai yang lanjut usia berkumpul di pinggir lapangan desa, menonton pertandingan sepakbola antar RT. Pertandingan sore hari ini mempertempurkan dua tim Papan Atas Likupang, Papan Nama dan Papan Iklan. Papan Atas ini adalah hasil olahan alam asli Likupang yang tidak ada di negeri lain, terbuat dari kayu pohon Sehwo murni yang hanya tumbuh di Likupang, dan pengetahuan untuk membuatnya hanya dimiliki oleh beberapa keluarga tukang kayu ternama di Likupang.

Lapangan sepakbola ini sebenarnya belum memenuhi standar FIVA dan hanya diperuntukkan bagi pertandingan antar kampung. Panjangnya tidak terlalu panjang dan lebarnya cukup lebar, diselimuti rumput hijau berkepala donat yang lebat yang diimpor dari negeri lain di luar dunia cerita ini dengan menggunakan teknologi teleport yang canggih yaitu, Mesin Telaahport ciptaan Prof. Witho.

Pertandingan berjalan dengan keras, saling colek, saling cubit, saling hujat, saling tuduh dan saling fitnah. Kedudukan masih belum juga berdiri, kosong-kosong. Sorak-sorai penonton riuh memberikan dukungan pada tim masing-masing.

Penonton bersorak ketika pemain Papan Nama melepaskan tendangan jarak jauh sekali yang luar biasa. Sayang berhasil digagalkan oleh kiper. Papan Iklan tidak tinggal diam. Dengan kerja sama di lapangan tengah, berhasil membuka pertahanan Papan Nama dan menusuk ke dalam kotak penalti hingga bocor. Sebuah tembakan dilepaskan dari dalam kotak penalti. Untunglah kiper cukup gesit sehingga sempat mengelak. Jika tidak, pasti nyawanya melayang. Tembakan tersebut mengenai seorang burung yang langsung jatuh dan tewas seketika itu juga. Babak pertama berakhir dengan korban satu orang burung. Dua orang komentator segera menjalankan segala tugas dan kewajiban mereka.

“Bung Roni, bagaimana komentar anda tentang babak pertama tadi bung?”

“Begini bung Kus. Harusnya tim tuan rumah memanfaatkan keuntungannya bermain di kandang sendiri bung”.

“Tapi bung, kedua tim ini sama-sama tuan rumah bung. Dan mereka tinggal di kandang yang sama bung. Lagipula bung, ini lapangan sepakbola bung, bukan kandang bung.”

“Benar bung, maksud saya mereka sekandang di peternakan Kuntua bung”. Roni tampak menyadari kesalahannya.

“Tapi bung, tadi anda mengatakan bahwa lapangan ini adalah kandang bung”. Sergah Kus dengan nada tersinggung dan mulai emosi dengan pernyataan Roni tadi.

“Maaf bung, kenapa anda tersinggung bung? Ini kan masalah lapangan sepak bola bung”.

Kus yang telah emosi berdiri sambil melempar gelas di mejanya dan berteriak. “Bapak saya adalah salah satu dari tukang yang membuat lapangan ini bung”.

Bogem mentah setengah matang diikutsertakan ke wajah Roni. Roni terjungkal dari tempat duduknya. Kus tak memberi kesempatan, langsung menerjang Roni dan menghajarnya. Keduanya berguling di lantai. Roni berusaha melepaskan diri. Ratusan pukulan sudah hinggap di wajahnya. Ditendangnya perut Kus dengan sekuat tenaga. Kus roboh. Secepat kilat Roni berdiri dan mengeluarkan sebuah pistol air dari saku jasnya. Ia menembak Kus tepat di matanya. Kus roboh meregang nyawa. Melihat Kus belum juga tewas, Roni mendekat dan kembali menembak mata Kus, dua kali. Kus tak bergerak lagi.

“Ini adalah formula rahasia yang kubuat. Campuran anyir ikan dan air jahe dikombinasikan dengan air bekas cuci piring. Sangat mematikan.” Ia memasukkan pistol airnya ke balik jas dan berbalik meninggalkan tubuh Kus yang tergeletak di lantai. Tanpa ia sadar, Kus ternyata belum tewas. Dengan sisa tenaga yang ada Kus mencabut sepatunya dan melemparnya ke kepala Roni. Roni roboh dan Kus pun kembali roboh. Tim medis segera datang. Tak lama kemudian mereka menyatakan bahwa keduanya telah tewas dan pertandingan babak kedua sudah bisa dimulai. Penonton bernapas dengan lega, tak ada lagi kata ‘bung’ yang diteriakkan dari mulut corong yang tampak lelah berteriak di atas tenda panitia.

Di babak kedua, Papan Nama mencoba menyerang dari sisi kanan. Pemain sayap kanannya mencoba menerobos dari pinggir lapangan. Ia mengepakkan sayapnya, terbang, dan tak pernah kembali lagi. Bola diambil oleh gelandangan Papan Iklan. Ia tak punya rumah dan pekerjaan. Sudah dua hari ini ia belum makan. Dengan rakus ia memasuki daerah pertahanan Papan Nama dan mencoba melahap bola itu. Sayang bola kulit itu terlalu alot untuk digigit. Pemain bertahan Papan Nama membujuknya dengan sejumlah uang receh. Gelandangan itu menatap seolah tak percaya. Matanya membelalak. Air liurnya menetes. Ia melepaskan bola itu dan menyambar uang receh dari tangan pemain Papan Nama kemudian berlari keluar lapangan menuju warung makan terdekat.

Serangan semakin gencar dilakukan Papan Nama. Sebuah umpan silang disambut dengan sundulan keras ke arah sudut bawah gawang. Sekali lagi kiper berhasil menyelamatkan dirinya dengan menggeser gawang sehingga bola mengenai tiang. Pemain kedua tim mulai kelelahan dan putus asa. Pelanggaran semakin banyak terjadi sehingga wasit terpaksa memberikan kartu kepada tiga orang pemain dan mengirim mereka ke tempat judi terdekat.

Saat pertandingan hampir berakhir, pemain Papan Iklan mendapat ruang kosong melompong. Dengan kegesitan yang luar biasa hebatnya ia meliuk-liuk bagai ular sambil mendesis diiringi irama suling melewati tiga orang pemain bertahan Papan Nama. Sekarang ia berhadapan langsung dengan penjaga gawang. Ia mengambil ancang-ancang untuk menembak. Dengan kekuatan penuh ia menghujamkan sepatunya ke tubuh bola itu. Belum sempat kakinya menyentuh bola, tiba-tiba ia terpeleset sesuatu. Jatuh dan terguling-guling, lehernya patah.

Ia tewas.

Wasit menunjuk titik putih.

Tendangan pinalti!

Pendukung tim tuan rumah bersorak. Pemainnya berpelukan. Kemenangan sudah di depan mata. Pemain dan pendukung Papan Nama yang juga, adalah tuan rumah, protes. Wasit tetap pada pendiriannya.

Panitia mengangkat papan bertuliskan “1”. Satu menit lagi pertandingan akan berakhir.

Dari kerumunan penonton yang riuh, seseorang yang bersenjatakan peda badung masuk ke lapangan dan mengejar wasit sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Semua pemain lari keluar lapangan, kecuali, tentu saja yang lehernya patah.

Maka berlarilah sang wasit di tengah lapangan dikejar orang itu. Sebuah sabetan nyaris merenggut kepalanya. Untunglah ia cukup gesit. Orang itu terus berusaha sekuat tenaga membacok wasit dengan peda badungnya namun wasit yang ternyata sangat lincah selalu berhasil mengelak. Setelah satu menit, wasit melirik jam di tangannya dan meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir.

Pengejaran selesai.

Penuh rasa kecewa, orang berpeda badung itu berjalan keluar lapangan dengan kepala menunduk.

Orang-orang memasuki lapangan dan mengerumuni mayat pemain tadi dengan rasa penasaran dan heran. Ini adalah yang pertama kalinya seseorang tewas di lapangan sepakbola dengan leher patah. Dalam sejarah sepakbola Likupang, orang yang mati di lapangan sepak bola selalu tewas dengan leher putus setelah terjadi kekacauan di tengah pertandingan.

Rasa penasaran dan heran itu seketika menjadi rasa takut yang menggetarkan ketika mereka melihat apa yang sebenarnya menyebabkan pemain itu mati. Di sepatunya terlihat semiran berwarna kuning kecoklatan.

“Itu adalah pece!” seru seorang penonton.

“Bukan, itu adalah emas!” seru seorang yang lain.

Suasana tiba-tiba hening sesaat dan terpecah ketika semua orang berteriak dengan panik.

“TAI !”

Di dekat mayat itu terlihat secercah Tai yang telah terinjak. Benar! Pemain itu tewas terpeleset Tai. Kerumunan itu bergidik. Hidung-hidung melolong dengan suara menyayat hati. Bau Tai begitu hebatnya menusuk jantung mereka. Wajah-wajah yang tadinya antusias kini menampakkan gambaran putus asa. Pria-pria berdiri mematung terpaku tak berdaya. Wanita dan anak-anak menangis berpelukan. Awan gelap bergerak menutupi langit disertai bunyi guruh dan halilintar. Suara tawa menakutkan berkelebaran di langit memecah gendang telinga.

(Semua efek bunyi dilakukan secara manual oleh saya sendiri, hanya dengan menggunakan gitar elektrik).

Benarkah itu Tai ? Jika itu memang Tai, entah nasib buruk apa yang akan menimpa umat manusia.....

Malam itu, Kuntua menggelar sidang darurat di Balai Desa untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di lapangan sepak bola tadi sore. Semua penduduk desa hadir. Sejumlah tokoh masyarakat menjadi juri. Ayah Hadi berperan sebagai Pria berpeda badung yang menjadi tersangka dan sang wasit yang menjadi korban diperankan oleh Guru. Kuntua membuka sidang dan mengajukan pertanyaan kepada sang tersangka.

“Yang terhormat bapak tersangka, sudikah kiranya anda menjelaskan kepada sidang ini mengenai sebab-musabab, yang mana daripada anda telah mengejar sang wasit dengan peda badung, yang mana daripada hanya memiliki ijin kelas B2 yakni untuk memotong kelapa, dan bukannya sebagai perlengkapan untuk suporter sepakbola.”

Sang tersangka berdiri dari kursinya. ia memandang sang wasit dengan ekor matanya penuh kebencian, kemudian berkata ;

“Dia da tuduh kita pe anak yang jaga bera di rawa kata. Padahal kita pe anak bilang justru dia yang jaga bera di situ. Kita tersinggung. Itu sama jo deng dia da bilang kalu kita pe anak keturunan Tai.”

Pengakuan sang tersangka sontak membuat semua yang hadir di sidang terkejut bukan main. Bisik-bisik segera beredar ke seluruh penjuru ruangan sidang.

Berak di rawa adalah tindakan yang sangat serius dan brutal, tidak bermoral, tidak beradab, dan tidak berbudaya. Sebagai seorang wasit, Guru tidak seharusnya melemparkan tuduhan seberat itu kepada anak yang masih sekolah.

Ruang sidang menjadi riuh. Kuntua mengetuk meja menenangkan semua yang hadir di ruangan itu.

Sidang diistirahatkan selama 15 menit. Meja dihajar 3 kali, ia tak sempat mengelak, telak!.

Meja jatuh pingsan. Tim paramedis segera berlari untuk menyelamatkan nyawanya.

Peserta sidang bubar. Bisik-bisik di terdengar di sana-sini.

Dua jam kemudian, sidang dilanjutkan kembali. Para juri memutuskan bahwa hasil akhir dari sidang ini adalah seri dan karena itu perlu diadakan perpanjangan waktu untuk menyelidiki masalah Tai di rawa tersebut. Mereka akan mendatangkan seorang ahli untuk meneliti darimana Tai-Tai di rawa itu berasal. Jika tetap tidak berhasil, maka dengan terpaksa harus diadakan adu pinalti. Sidang pun ditutup. Tidak ada yang dihukum. Guru dan ayah Hadi berpelukan bahagia. Semua orang pulang ke rumah dengan rasa tidak sabar.

Besoknya, masih pagi-pagi benar sudah terdengar deru mobil berdatangan. Prof. Witho B.A dan timnya telah tiba. Beliau adalah seorang ahli Ilmu Kotoran yang mengkhususkan diri di bidang Tai. Masyarakat sangat berharap figur ini dapat menemukan jawaban yang selama ini menghantui hidung mereka.

Kuntua menyambut kedatangan Prof. Witho dengan jabatan tangan dan pelukan hangat.

“Selamat datang di Likupang. Terima kasih atas kesediaan anda untuk memenuhi panggilan kami. Bantuan anda sangat kami butuhkan.”

Prof. Witho tidak menggubris ucapan Kuntua. Ia membetulkan topinya dan memandang berkeliling.

“Di mana gadis-gadis yang muda dan cantik itu ?” tanya Prof. Witho tanpa berpaling. Kuntua terkejut, ia segera sadar dengan karakter dari orang di depannya.

“Aduh, maaf. Saya lupa. Lagipula, ini masih pagi.” Kuntua memberi kode kepada seorang bawahannya yang segera mengangguk dan pergi.

“Jangan khawatir. Anda pasti akan mendapatkan gadis tercantik di sini.” Lanjut Kuntua.

Prof. Witho berpaling perlahan memandang Kuntua dengan kening berkerut. Jarinya diacungkan ke wajah Kuntua, bergoyang ke kanan dan ke kiri.

“Bukan gadis, tapi gadis-gadis”. Ia berkata dengan dingin sambil berlalu meninggalkan Kuntua yang geleng-geleng kepala. Dari kejauhan kembali terdengar Prof. Witho berteriak. “Jangan khawatir. begitu kau bawakan gadis-gadis cantik itu, semua masalah di sini akan beres. Aku adalah Witho. Dan aku adalah yang terbaik dalam urusan Tai menai”.

Beberapa jam kemudian, kesibukan memenuhi lapangan sepakbola dan rawa-rawa di sekitarnya. belasan orang berpakaian serba putih hilir mudik dengan berbagai peralatan aneh di tangannya. Prof. Witho duduk sambil mengawasi anak buahnya yang sedang memasang sebuah alat berbentuk payung besi dengan jala-jala kecil di atasnya. Alat tersebut ditancapkan ke tanah di tengah lapangan sepak bola. Lampu-lampu di tubuh alat itu berkedip-kedip. Prof. Witho mengeluarkan sebuah alat seperti komputer mini dengan layar kecil dari saku jaketnya. Ia memencet tombol-tombol di samping layar dan dengan wajah serius memperhatikan tampilan yang muncul. Mimik wajahnya tegang, kemudian tak sampai semenit berikutnya ia tersenyum sambil meneteskan air liur.

Dari kejauhan salah seorang anak buahnya datang dengan berlari seperti kesetanan.

“Prof! Prof! Aku menemukan sesuatu di dalam rawa.”

Dengan terkejut Prof. Witho berbalik ke arah anak buahnya itu. Ia mendengus dengan marah.

“Apa kau tak lihat aku sedang sibuk?” teriak Prof. Witho sambil mengacungkan alat di tangannya ke arah anak buahnya itu. Anak buahnya melihat tampilan yang ada di layar kemudian tersenyum.

“Ah, prof. sedang menonton video porno ya? Itu kan videonya Gil, mahasiswi prof. di fakultas.”

Wajah Prof. Witho merah padam. Cepat-cepat ia memasukkan alat itu ke jaketnya.

“Sudah, diam. Tunjukkan apa yang kau lihat.”

Anak buahnya menuntun Prof. Witho menuju ke arah rawa. Tiga orang anak buahnya ikut serta. Setelah tak berapa lama menyusuri rawa yang becek, Prof. Witho dan anak buahnya tiba di sebuah tanah berlumpur yang luas, yang bahkan lebih luas dari lapangan sepak bola. Jantung Prof. Witho berdegup kencang. Sebersit rasa takut merasuk dadanya. Matanya membelalak seolah tak percaya dengan pemandangan yang membentang di hadapannya.

DUA

Tiga hari lamanya Prof. Witho dan timnya melakukan penelitian terhadap Tai-Tai yang ditemukan di sekitar rawa, termasuk dari kolam Tai raksasa yang mereka temukan di tengah hutan. Setelah merasa yakin dengan hasil penelitian yang dilakukan, akhirnya Prof. Witho menyuruh Kuntua untuk mengumpulkan seluruh masyarakat dan mengumumkan hasil dari penelitannya.

Wajah-wajah yang muncul begitu muram dan penuh ketidakpastian. Semua mata kuyu memandang Prof. Witho dengan telinga yang tidak sanggup lagi mendengar kabar buruk.

Prof. Witho memandang setiap wajah yang hadir di hadapannya, kemudian menunduk seakan tidak sanggup melihat air muka mereka yang bergejolak dan berombak saat ia mengumumkan hasil penelitiannya.

“Tai-Tai itu berasal dari Panta!”.

Kuntua dan masyarakat terkejut, hal ini benar-benar di luar perkiraan mereka.

Panta?!!!

Bagaimana mungkin Tai itu bisa berasal dari Panta?!!!

Itu sungguh sebuah hal yang mustahil dan tidak dapat dipercaya!!!

Bukankah bangsa Panta sudah lama diusir dari peradaban manusia?

Jangan-jangan kini mereka datang untuk balas dendam ?!

Maka sepucuk surat permohonan diterbangkan ke Istana Presiden. Meminta agar Presiden memperhatikan masalah serius ini.

Dalam hitungan menit, seluruh anggota Dewan dikumpulkan guna membahas tindakan yang akan dilakukan guna mengatasi masalah renik ini. Berbagai pro kontra terjadi dalam sidang. Anggota Dewan saling teriak, saling tuding, dan bahkan terlibat adu jotos. Tawuran antar anggota Dewan pun tak terhindarkan. Meja dan kursi beterbangan dengan sayap mereka yang kecil dan lucu. Anggota Dewan yang tidak memiliki ilmu bela diri turut aktif memberikan dukungan moral dan yel-yel sementara yang lain tertidur pulas karena sering kerja malam.

Setidaknya, keributan dalam sidang tersebut membuahkan sebuah resolusi untuk masalah Tai ini. Dengan pertimbangan bahwa Tai itu tidak hanya lembek dan licin, tetapi ada juga Tai yang keras, Presiden memutuskan untuk menggunakan cara kekerasan, kalau perlu brutal.

Seluruh kekuatan militer dikerahkan untuk misi ini dibawah pimpinan seorang Jendral bernama General W.C atau biasa dipanggil Jendral Cupez.

Segera, pasukan Jendral Cupez mengobrak-abrik seluruh sudut negeri. Mulai dari WC umum, kolong jembatan sampai kakus di rumah-rumah semuanya disapu bersih. Segala penjuru yang berpeluang untuk dijadikan tempat bera tak ada satu pun yang luput dari cengkeraman sang Jendral. Pertempuran hebat tak terhindarkan. Puluhan juta tentara tewas dalam perang terbesar abad ini. Kota-kota yang dulunya megah hancur menjadi puing-puing. Deru pesawat, letusan bom dan bunyi rentetan tembakan serta desingan peluru terdengar di mana-mana. Debu dan asap menyatu menggambarkan pertempuran yang tak terhingga. Ribuan Panta berhasil ditawan. Dari para tawanan tersebut diketahui bahwa ternyata selama ini mereka telah menyusup ke dalam peradaban manusia tanpa ada satu orang pun yang menyadarinya.

Semua Panta yang berhasil diringkus ditawan di kamp-kamp konsentrasi untuk dibina menjadi Panta yang berbudi pekerti. Di kamp ini Semua Panta diwajibkan mengikuti program “Cebo Kilat”.

Asisten Jendral Cupez yang bernama Kolonel Adolfianto Hitleruddin menulis kisah mengenai pembinaan Panta di kamp ini dalam bukunya yang berjudul “Kemah Saya”, telah diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Me In Camp Eve”. Dijual khusus di dunia kita.

Pertahanan terakhir pasukan Tai ada di kota Manado. Kota ini dilengkapi dengan sistem pertahanan terkuat yang pernah ada di dunia. Dalam radius dua Kilogram dari kota, genangan Tai Hidup siap menelan apapun yang masuk ke dalamnya, membuat serangan dari darat terasa tidak mungkin.

Pertahanan udaranya berupa bau Tai beracun dan Gas Konto yang akan menghancurkan apapun yang datang dari atas kota. Ribuan Panta Anti Serangan Udara disiagakan untuk menembak jatuh setiap pesawat yang lewat.

Di sinilah pertempuran terakhir yang menentukan nasib umat manusia terjadi. Bangsa Panta telah tersudut dan terkepung, tapi sama sekali tidak ada jaminan bahwa Pasukan Jendral Cupez mampu menaklukkan kota ini.

Empat tambah setengah tahun lamanya Jendral Cupez mengepung kota itu. Belum pernah ada satu kalipun serangannya yang berhasil menembus ke dalam.

Tidak ada harapan.

Jendral Cupez telah menyadarinya. Tinggal menunggu waktu sampai semua pasukan manusia habis dan Panta akan balas menyerang sampai menguasai dunia. Seluruh umat manusia bergandengan tangan bersama, duduk dan makan, kemudian tidur setelah sebelumnya bersenggama terlebih dahulu demi menciptakan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan mereka.

Saat semua telah pasrah, harapan muncul.

Prof. Witho berhasil menciptakan senjata yang bisa membungkam bangsa Panta. Setelah disetujui oleh Presiden, saatnya untuk beraksi. Ribuan senjata ciptaan Prof. Witho siap untuk diluncurkan dari segala penjuru mengepung kota Manado. Prof. Witho dan Jendral Cupez berdiri di depan layar kontrol utama, siap meluncurkan senjata-senjata itu.

“Ini adalah harapan terakhir kita. Jika ini tidak berhasil, berarti sejarah kita akan terhapus selamanya”. Suara Jendral Cupez tidak lagi selantang dan sewibawa dulu. Kegagalan selama bertahun-tahun telah mengikis semangatnya.

Prof. Witho hanya tersenyum kecil, sambil menyeruput kopi di gelasnya.

“Jangan khawatir. Aku sudah mempelajari sifat alami dari Panta. Lubang tempat mereka mengeluarkan Tai itu ternyata punya kegunaan lain dan itu justru menjadi kelemahan mereka.”

Kening Jendral Cupez berkeruput membentuk tanda tanya.

“Apa maksudmu Wit?”.

“Aku telah menemukan bahwa ternyata kelemahan bangsa Panta ada di Lubang Tai itu. Kita bisa menghancukan mereka dengan memasukkan Tolor ke dalam lubang itu”.

“Benarkah?”.

“Benar. Karena itulah aku menciptakan senjata yang bentuknya seperti Tolor. Begitu senjata ini masuk ke Lubang Panta, habislah mereka.”

Jendral Cupez tampak mangangguk-angguk mendengar penjelasan Prof. Witho.

“Tapi bagaimana jika kita gagal memasukkan senjata itu ke Lubang Panta?”.

Lagi-lagi Prof. Witho hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Jendral Cupez.

“Jangan khawatir. Bangsa Panta memiliki hasrat alami untuk memasukkan Tolor ke Lubangnya. Jadi kita tidak perlu merisaukan hal itu.”

“Baiklah. Aku percaya pada penilaianmu.”

“Ada lagi”. Lanjut Prof. Witho. “Kau tahu mengapa senjata-senjata itu aku beri nama Vibrator?”

“Tidak”

“Karena mereka punya kemampuan untuk bergetar. Bangsa Panta tidak akan tahan melihat Tolor yang bisa bergetar dan akan berebutan untuk segera memasukkannya ke Lubang Tai mereka.”

Senyuman menghiasi wajah kedua tokoh tersebut. Segalanya akan segera berakhir ketika jari telunjuk Prof. Witho menekan tombol berwarna biru di depannya.....

TIGA

Waktu telah berlalu. Perang telah berakhir. Tidak ada lagi yang pernah melihat Prof. Witho sejak saat itu. Ada yang bilang ia tewas dalam pertempuran terakhir. Ada juga yang bilang bahwa ia telah tinggal dengan damai di tempat khusus yang disediakan pemerintah. Ada juga yang bilang bahwa ia menyepi untuk melakukan penelitiannya. Tidak ada yang tahu di mana dia sebenarnya. Tapi yang pasti, bagi rakyat dan negeri Likupang, ia adalah pahlawan.

Kalau menurut saya, dimanapun beliau berada, yang pasti beliau berada di tempat yang ada gadis-gadis cantiknya karena beliau tidak tahan jika dalam satu hari tidak melihat gadis cantik. Setidaknya begitulah Prof. Witho yang kukenal. Bila ia menyepi, berarti ia memboyong satu atau beberapa orang gadis cantik dan menyepi bersama mereka. Mungkin juga pemerintah menyediakan gadis-gadis cantik untuk menemaninya di tempat yang mereka disediakan. Tapi setahu saya, Prof. Witho bukanlah orang yang suka berdekatan dengan pemerintah.

Aku menggunakan mesin Telaahport untuk masuk ke negeri Likupang menemui Kuntua. Saat ini aku sedang menulis cerita mengenai pertempuran manusia melawan Tai di negeri itu. Kuntua telah berjanji untuk mempertemukanku dengan orang-orang yang menjadi saksi mata saat pertama kali menemukan Tai di Lapangan sepak bola Likupang.

Kehidupan di Likupang tampak ramai. Penduduk desa sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan masing-masing. Kehadiranku menarik perhatian beberapa orang. Wajar saja pikirku, makhluk non-manusia terakhir yang mereka lihat adalah para Panta. Mungkin saja mereka masih trauma dengan kehadiran makhluk yang tidak sejenis dengan mereka.

Ada yang menarik perhatianku.

Ya, Panta telah mengisi kehidupan manusia negeri ini, sebagai budak yang melayani dengan setia. Anak-anak manusia tampak bahagia mempermainkan anak-anak Panta. Beberapa orang terlihat sedang berjalan-jalan dengan Panta di belakangnya. Ada yang sedang berdiskusi satu arah dengan Panta sebagai pendengar setia di warung kopi.

Semua orang bahagia dengan Panta. Demikian pula dengan Guru. Ia senang karena Panta telah menjadi pintar sehingga bisa menggantikannya mengajar bila ia tak bisa masuk sekolah karena lelah setelah menarik ojek di malam hari dan juga menggantikannya sebagai wasit pada pertandingan sepakbola antar RT sehingga ia tak perlu lagi mengalami pengejaran bersenjata. Siswa-siswa tak lagi takut ujian. Mereka bisa bertanya pada Panta, sehingga tiada lagi kata mencontek dalam otak mereka.

Ketika aku tiba di rumahnya, Kuntua sedang duduk dengan santai di teras rumah sambil menikmati kopi bersama Panta. Tidak ada lagi masalah rumit yang harus ia pikirkan. Kematian pemain dalam pertandingan sepakbola antar RT kembali normal yakni dengan leher putus dibacok dan sama sekali tidak ada lagi pemain yang mati karena terpeleset Tai. Bahkan telah dibentuk tim sepakbola Panta yang difungsikan sebagai tim yang harus selalu kalah. Umat manusia telah menemukan kedamaian dan ketentraman bersama Panta.

Akhirnya, anak-anak manusia mulai tergoda dengan keelokan dan kecantikan anak-anak Panta sehingga terjadilah persetubuhan antara manusia dengan Panta.

Panta tak lagi bera.

*

Ketika semua manusia bersetubuh dengan Panta, ada hal yang mereka lupakan. Para Vagina mulai resah dan mempertanyakan fungsi keberadaan mereka. Sebuah gejolak baru mungkin akan muncul . . . . .

FAKTA-FAKTA SEJARAH

  • Perang Tai berlangsung selama enam tahun dari tahun 626 sampai tahun 632.
  • Empat tahun setelah perang berakhir, Kuntua memerintahkan untuk membangun patung Prof. Witho di depan Balai Desa sebagai penghargaan untuk jasa-jasanya.
  • Jendral Cupez pensiun pada umur 62 tahun dan meninggal di kolam ikannya pada usia 67 tahun. Beliau tidak pernah menikah ataupun berhubungan kelamin (dengan perempuan).
  • Guru diangkat menjadi Kepala Sekolah. Tujuh tahun kemudian ia menjadi Menteri Pendidikan dan Olahraga. Ia dibunuh tahun 646 saat memimpin pertandingan antara Papan Luncur melawan Papan Curi di Lapangan sepakbola Likupang.
  • Tahun 648, di Manado dibangun Museum Perang Tai. Di sini disimpan benda-benda yang berhubungan dengan Perang Tai, termasuk gelas kopi dan alat yang digunakan Prof. Witho untuk menonton film porno.
  • Hadi menjadi dukun terkenal di Likupang. Ia tewas dibakar pada peristiwa pembantaian dukun santet oleh massa tahun 668.
  • Bangsa Panta diperbudak selama hampir tiga ratus tahun. Lewat perlawanan yang terus-menerus, akhirnya pada tahun 918 mereka mendapatkan pengakuan. Tahun 934, Arment Lohang merupakan Panta pertama yang menjadi Kuntua Likupang lewat pemilihan langsung.
  • Tahun 941, atas perintah Arment Lohang, Lapangan sepakbola Likupang dibongkar dan dibangun kembali dengan kapasitas 54000 orang dan 42000 Panta. Pembangunan ini selesai pada tahun 943. Lapangan baru ini pertama kali digunakan untuk Final Piala Cempyen yang mempertemukan Poloi United dengan Papan Kayu. Kerusuhan terjadi dan menelan korban 27 orang dan 19 Panta meninggal dunia serta ratusan luka-luka.
  • Tahun 952, lewat Konvensi Perdagangan Internasional, Vibrator diproduksi secara masal dan dijual secara bebas. Hak patennya dipegang oleh pemerintah.
  • Tahun 992, Murhan Tombong menjadi Panta kedua yang menjadi Kuntua Likupang. Kepemimpinannya yang otoriter menyebabkan banyak perlawanan dan kerusuhan yang terjadi.
  • Masih pada tahun yang sama saat ia terpilih, Murhan mengeluarkan UU Perlindungan Panta.
  • Tahun 997, Murhan memerintahkan untuk membongkar patung Prof. Witho di depan Balai Desa. Tindakannya mendapat perlawanan dari kelompok manusia. Terjadi kerusuhan di Balai Desa yang menewaskan 63 orang.
  • Tahun 999, Murhan mengeluarkan UU Tre-fiking yang mengundang kontroversi serta demo besar-besaran.
  • Tahun 1005, Murhan melakukan Kudeta. Membunuh Presiden beserta keluarganya, dan mengangkat dirinya menjadi Kuntua Dunia. Ia mengubah sistem pemerintahan dari Republik menjadi Kekuntuaan.
  • Akhir tahun 1006, terjadi usaha pembunuhan terhadap Murhan oleh kelompok Vagina Lestari. Pembunuhan ini berhasil digagalkan oleh pasukan pengawal Kuntua. Setelah percobaan pembunuhan ini, Murhan memerintahkan untuk membunuh semua Vagina di negeri itu. Ini menyebabkan munculnya kelompok-kelompok perlawanan, gerilyawan, dan kaum separatis baik dari kelompok manusia maupun dari kelompok Vagina yang menentang kepemimpinan Murhan dan membenci bangsa Panta sampai sekarang.
  • Saat ini, alat yang digunakan oleh prof. Witho untuk menonton video porno telah dimiliki oleh hampir semua orang. Berbagai kemampuan telah ditambahkan, bisa untuk menelepon, kirim pesan, MMS, GPRS dan juga untuk mendengarkan musik, bahkan berinternet.

Cerpen Grace O' Nelwan: "Master of The Art of Loosing"

(Dari sebuah email kepada Charly)

Hi, there Charly

I tried to call you, didn’t get through.

You’re number blocked. Mungkin kamu benar-benar ingin menendang aku dari kehidupanmu. That is ok.

Aku sudah terlalu terbiasa dengan kehilangan dan penolakan. Elizabeth Bishop benar, bahwa “The Art of Losing isn’t hard to Master.” Dan aku adalah buktinya.

Kehilangan Daddy

Waktu berumur 7 tahun, aku kehilangan my Daddy.

I loved my Dad! And Dad loved me very-very much! I was dad’s little angle.

Then suddenly everything changed when Tante Lisa came to our life.

I saw war every day and all the UFO (you know, “the real piring terbang…”) flied all over the living room. Mom and Dad were fighting almost everyday. My home, used to be my sanctuary, became a war field. Tapi papi masih terus bilang “Ade, papi sayang sama ade, dan TIDAK AKAN ninggalin ade en mami.” I trusted him!.. Trusted him with all my heart. Hey… tak akan mungkinkan, Papi akan meninggalkan malaikat kecilnya???

But Dad had to make his decision. And you know what Charly? Papi memilih meninggalkan mami and I. He asked me to understand (tho’ I was too young to understand). Papi told me one day, “Ade, tante Lisa need papi. Papi harus tinggal dengan tante Lisa, but PAPI WILL ALWAYS LOVE YOU. Ade will always be papi’s little angel.”

Aku marah, kecewa, so…. Aku pakai my kid’s weapon!!! Aku merengek, menangis, berteriak. Aku pikir, dengan begitu, papi akan merasa kasihan dan WILL CHOSE TO STAY with mami en I. But I was wrong… air mataku tidak cukup kuat untuk menghalangi cinta papi dan Tante Lisa. Papi tetap pergi. Dia memilih menghancurkan hatiku dan Mami, supaya tante Lisa tidak merasa sakit hati. Dad Chose Tante Lisa Over His Little Angle.

(I miss him, but it wasn’t a disaster)

Kehilangan Fiance

Long time ago I always said to everyone, “Hidup sekali, mati sekali dan mencintai hanya sekali.” That was when I in love with “Fie”. He was my world, my life, my breath, my sunshine, my everything!!! Dan aku tahu, dia juga teramat sangat menyayangiku.

He was adorable, handsome and loveable. Tapi ketika jarak terbentang lebar diantara kami, dia berubah. Suatu hari dia menelponku dan berkata,” Gie, I love you; you will always be in my heart. It was the condition that makes us apart.” Dan beberapa bulan kemudian dia menikah dengan Brianna.

Aku kecewa dan marah!!! Sangat marah!... Aku coba senjata yang lain. Kali ini aku tidak menangis…. Tapi Aku mengancam dia, berteriak-teriak ditelpon, memaki dia… aku bahkan menyiksa diri sendiri dengan tidak makan berhari-hari… Tapi tetap saja… Aku kehilangan dia. He hurted me, supaya hati Brianna tidak hancur. “Fie” Chose Brianna Over “Gie”.

(Aku kecewa bertahun-tahun, but again, it was not a disaster)

Kehilangan Husband

Kemudian, aku bertemu dengan Bagaskara. He loved me. And I thought, aku sangat beruntung. Karena bukankah lebih baik dicintai daripada mencintai?

I said “YES’, when Bagaskara asked me to marry him. I told him that I can’t cook, can’t do ‘pekerjaan rumah tangga’. He was ok with that, and told me that he was looking for a wife and not looking for a pembantu rumah tangga. He was nice person, smart, mature, and kelihatannya setia. Walaupun aku tidak amat sangat mencintai dia… Aku rasa, that I can learn to love him because he was so sweet. And I did love him. But you know what? He cheated. Yah, dibalik tampang sucinya, dia selingkuh sebelum kami merayakan ulang tahun pertama pernikahan kami.

Aku capek kehilangan, so I didn’t want to lose him. Aku kecewa!! Tapi aku tak mau kehilangan lagi, apa senjataku? I had cried for Daddy, I’ve been marah-marah ke “Fie”… tapi tetap aja aku kehilangan mereka. Apa yang harus aku lakukan? Untuk tetap memiliki Bagaskara, aku tutup mata dengan semua perselingkuhannya. Aku tutup telinga kuat-kuat dan tak mau mendengarkan kata orang-orang tentang semua perempuan-perempuan yang menjadi selingkuhannya. Aku berusaha untuk tidak peduli! That was my lethal weapon; “Tidak Peduli”. Aku bertahan 12 tahun… Sampai Selvi, sahabatku merebut Bagaskara (dan senjatanya adalah ‘anak’; yah … seorang anak yang tidak bisa kuberikan pada Bagaskara). Dan seperti yang sudah-sudah… Bagaskara juga memilih menghancurkan hatiku, supaya hati Selvi tidak hancur. My Husband for 12 years Chose Selvi over His Wife.

(Hard… but none of these brought disasters)

Kehilangan kamu

When I met you, I was so happy. Aku bisa punya kaka and sahabat. Semua yang kuimpikan dari seorang kaka (kaka yang tak pernah kumiliki) ada padamu. Kamu baik, funny, care dan punya banyak cerita. Walau jarak kita sangat jauh (aku di Indonesia sedangkan kau di negeri bermusim 4), kita seakan begitu dekat dan melewati banyak waktu bersama. Shared sadness and happiness, berbagi cerita, berbagi mimpi dan berbagi cita-cita. Sahabat-sahabatmu menjadi sahabatku dan keluargaku menjadi keluargamu. Waktu aku mulai kehilanganmu- karena perempuan yang kau cintai tidak menyukai persahabatan kita- aku bingung sekaligus sedih. Senjata apa lagi yang kupunya untuk membuatmu tetap tinggal? Dan tetap menjadi kaka dan sahabatku. Apakah aku harus menangis? Marah-marah? Mengancam? Tidak perduli? Semuanya sudah pernah kucoba untuk membuat orang-orang yang kusayangi tidak meninggalkanku, but… Didn’t Work. Dan kini aku kehabisan senjata!! So… aku tidak mencoba untuk mempertahankamu lagi. Sekali lagi aku kehilangan. I lose a friend, a brother, a you, a Charly.

(But hey…. I am the MASTER of “The art of Losing”, remember??? So.. This is also not a disaster)

Hanya saja kadang aku heran dan bertanya pada diri sendiri,” mengapa aku cenderung kehilangan orang-orang yang aku cintai, dan orang-orang yang aku sayangi?” “What is wrong with me???” Apa ada yang salah, sehingga rasa-rasanya semua orang memilih untuk menghancurkan hatiku demi menjaga hati yang lain. But well, I learn my lesson. Yah aku belajar… Bahwa jangan pernah mengharapkan cinta tulus dari manusia. Only God loves me with unconditional love. God loves me always. Saat aku cantik, saat aku jelek, saat aku sakit, saat aku sehat, saat aku gendut saat, aku kurus. Ada saat aku marah ke Tuhan, merengek, merajuk, memaki… but ..amazing… God still loves me. Tuhan bahkan mencintai aku saat aku tidak mencintai-Nya dan disaat aku tak percaya bahwa Tuhan itu ada.

Mungkin ini akan menjadi email terakhirku padamu. Bukan karena aku marah, tapi karena aku menghargai pilihanmu. Charly, hidup adalah pilihan. Dan persahabatan, seperti juga macam-macam hubungan yang lain, adalah sebuah kesepakatan. Tidak ada kesepakatan diantara kita, karena ketika aku memilih untuk menjadi sahabatmu, engkau memilih untuk ‘kick me out of your life’. Dan karena kita adalah orang-orang merdeka, I respect your choice. Appreciate your decision. So, I’ll stop trying untuk membuatmu menerima aku jadi sahabatmu. Semoga kau selalu bahagia.

All the best for the future,

“The MASTER”

Puisi-Puisi Fredy Wowor: "Ecce Homo, Sajak Anti Agama, Sebuah Sajak Buat Ie' Ladore..."

(Serpihan sajak dari tahun 1994)

ECCE HOMO*

Qita tidak lagi mesti

Terpaku pada tatakrama segala

Minta janji ditepati

Qita tidak lagi mesti

Terpesona pada senyum perempuan pingitan

Minta cinta dihargai

Qita tidak lagi mesti

Terpasung pada setiap aturan larangan

Minta sumpah ditaati

Mari,

Ikutkan irama lapar menggelegak

Dan hanguskan desah napas

Memburu pagutan perempuan dursila

Tidak perduli sypilis ngeram dalam nadi

Sedikit lagi bertambah terinfeksi HIV

Mencinta layak tak ada lagi hari esok

Jelajahi lembah-lembah ajaib Venus

Gunung-gunung menjulang dengan kepundan membara

Berlaku segila Nietsche – Gott Ist Tott !!

Belum cukup diri

Tembak-ledakkan dahimu seperti

Laki berkuning rok punya hitam kaca mata

Terkekeh seolah punya sepuluh jiwa –

TERKUTUK

*Inilah Manusia

SAJAK ANTI AGAMA

Masih parcaya kalian pada agama

Institusi bejat ini telah mengubur Tuhan

Di balik kekeramatan gedung peribadatan

Kitap sucinya juga menulahi segala

Dengan seringai kepicikan aturan larangan

Jadi apa keturunan kita nanti

Bila diingusi selalu oleh impian laknat

Kelancungan petitih para rohaniwan munafik

Hingga loba senantiasa menelikung jiwa

Cukup sampai disini saja

Kebenaran sejati tidak lahir

Dari kedegilan hati manusia

SEBUAH SAJAK BUAT Ie’LADORE

Ini dosa Tuhan

Tapi kenapa Engkau biarkan

Aku lumat bibirnya

Ini dosa Tuhan

Tapi kenapa Engkau biarkan

Aku jamah totonya

Ini dosa Tuhan

Tapi kenapa Engkau biarkan

Aku perawani kesuciannya

Ini dosa Tuhan

Tapi kenapa Engkau biarkan

Dosa itu nikmat

BOHEMIAN FUCKING BLUES

AMBIL TALI GANTUNG DIRIMU !

----------------------------------------------

So laat skali

Langit bergelimang bintang-bintang ganjil

Laut berbuih topan-topan gendeng gelombang celaka

Padang kerontang kering berkabut asab mesiu

Ada juga bau limbah pabrik

Dan radio aktif dari pipa-pipa bawah tanah

Masih ada lagi AIDS tambah EBOLA

Ini jiwa hilang dunia manusia tempat

Dimana kanak dulu lagi ? aku percaya pernah

Keperkasaan sumpah leluhur

Keagungan cinta luhur bersama

Kereda-damaian surat-suratan sahabatan dan

Kata ahli agama serta petitih para penggantang asab

Tapi kini

Aku datang dalam badai diriku

Ku kutuki sumpah leluhur

Ku kangkangi keagungan cinta luhur bersama

Ku hancurkan lagi kereda-damaian surat-suratan sahabatan dan

Ku ludahi ahli agama kata serta petitih para penggantang asab

Aku datang dalam badai diriku

Melintasi langit bergelimang bintang-bintang ganjil

Menyelami laut berbuih topan-topan gendeng gelombang celaka

Mengedari padang kerontang kering berkabut asab mesiu

Dihantui bau limbah pabrik – radio aktif dari pipa-pipa bawah tanah

Masih ada lagi AIDS tambah EBOLA

Di atas samua ini – aku maki diriku !

Mau saja membikin perhitungan dengan dunia

Nusia serta sekeliling yang minta perhatian jauh

Dari diriku pula – aku berdiri di sini !

Di ruang lega-lapang tak bertepi

Kesepian dari dunia nusia

Hura-hara kebisingan

Penghabisan luruh berantakan ini jiwa –

Di bawah pohon-pohon terasing

Tersembunyi tingkap-tingkap teratak keji

Tergantung mengambang bayangan mesum

Dari diriku

Terbit menyinar kebersihan ganjil

Caya purnama ajaib lain dari kelainan jiwaan lata

CHRIST SUDAH MATI – BANGSAT !

BLUES MARIARA*

Aku kan kirimkan

Boneka daging tanpa kelamin

Petanda perih luka hatiku

Aku kan cekikkan jari-jari sepi

Dari geliat leher-leher resah ini

Aku kan gigitkan gigi-gigi ngilu pilu

Aku kan cabikkan kuku-kuku risau rindu

Pabila pedih dagingku tak bisa menanah darah

Mengorek ikal usus perut renyai

Ngerayangi nadi passi denyut syahwat urat orok

Menghirup leleran leler perawan ruh

Kau cinta ku ! Kau ! Kaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaau !

Mariara : (bahasa Tontemboan) tukang teluh