(Redaksi tidak bertanggungjawab atas kerusakan psikologis yang dapat anda alami dengan membaca cerita ini...)
SATU
Sekolah itu begitu kumuh. Seluruh bangunan muram, tak jelas warnanya. Dinding-dinding kelas telah lapuk dan berlubang. Begitu pula dengan pintu. Sebagian besar sudah hancur. Jendela-jendela banyak yang tak berkaca.
Guru sedang mengajar di ruang kelas yang bersiswakan tujuh orang. Hening di seluruh penjuru ruangan. Siswa-siswa sibuk mengerjakan tugas. Tak ada suara. Tak ada yang bicara.
Guru menerbangkan pandang. Tatapnya terhenti pada seorang siswa laki-laki yang kurus dan dekil. Sekonyong-konyong ia berdiri dari kursi dengan gerakan hampir melompat. Jarinya menuding tepat ke wajah dekil itu. Tatapan kebencian bersinar di matanya.
“HADI !!! Ngana yang salalu bera di rawa kang ? So ngana no tu ja beking bobow tu kampung !!!”
Anak yang bernama Hadi itu terkejut. Ia terhempas dari kursinya, terhantam getaran suara Guru. Gemetaran, ia berdiri. Darah menetes dari mulutnya, memerahi seragam yang tak lagi putih. Ia menyeka bibirnya ke lengan baju. Dengan jarinya yang pendek ia balas menuding wajah pak guru.
“Bapa le satu ja bera di situ !!! Tu hari kita da dapa lia pa bapa sementara bera.”
Guru ternganga. Jawaban itu sama sekali tak ia duga. Pitamnya naik. Api amarah menyala-nyala di seluruh tubuhnya, membakar kumis dan rambutnya. Hanya pakaiannya yang tidak. Ia menggeram. Harga dirinya sebagai seorang Guru terasa diskon.
Ia melebarkan kakinya. Menarik napas dalam-dalam. Energi terpusat di perut. Disertai satu teriakan ia melepaskan kekuatan dahsyat itu ke arah sasaran : Hadi !
“Diam !!! Bapak jarang !!!”
Ruang kelas bergetar hebat. Kaca jendela pecah. Meja-meja berhamburan. Siswa-siswa berlari tak beraturan, keluar dari kelas. Awan gelap menutupi langit.
Hadi tak mampu menahan serangan itu, roboh !
Demikianlah kemarahan Guru yang selanjutnya diikuti dengan didirikannya Hadi di depan tiang bendera di lapangan sekolah di bawah tak teriknya sinar matahari siang bolong yang terhalang awan tebal.
Angin yang ditugaskan mengibarkan bendera di tiang itu berhenti. Ia sudah tak sanggup lagi bekerja seperti ini setiap hari, meniup bendera lusuh yang sobek di sana sini. Ia akan menyatakan pengunduran dirinya kepada Kepala Sekolah.
Ketika ia mendongak ke bawah, tampak olehnya sebuah sosok yang dikenalnya, berdiri di depan tiang bendera. Tak seperti biasanya saat mereka bertemu. Kali ini ia tak melihat layangan di tangan sahabatnya itu. Angin berusaha berpikir mengapa Hadi dan tiang bendera saling berhadap-hadapan tanpa berbicara. Sayang sekali karena ternyata dirinya tak disertai dengan otak, Angin tak bisa memahami apa yang terjadi pada Hadi, selain wajah yang menanggung penderitaan yang teramat berat.
Tak ada hubungannya sama sekali dengan kejadian di sekolah, sore itu juga seluruh penduduk desa baik pria, wanita, anak-anak, sampai yang lanjut usia berkumpul di pinggir lapangan desa, menonton pertandingan sepakbola antar RT. Pertandingan sore hari ini mempertempurkan dua tim Papan Atas Likupang, Papan Nama dan Papan Iklan. Papan Atas ini adalah hasil olahan alam asli Likupang yang tidak ada di negeri lain, terbuat dari kayu pohon Sehwo murni yang hanya tumbuh di Likupang, dan pengetahuan untuk membuatnya hanya dimiliki oleh beberapa keluarga tukang kayu ternama di Likupang.
Lapangan sepakbola ini sebenarnya belum memenuhi standar FIVA dan hanya diperuntukkan bagi pertandingan antar kampung. Panjangnya tidak terlalu panjang dan lebarnya cukup lebar, diselimuti rumput hijau berkepala donat yang lebat yang diimpor dari negeri lain di luar dunia cerita ini dengan menggunakan teknologi teleport yang canggih yaitu, Mesin Telaahport ciptaan Prof. Witho.
Pertandingan berjalan dengan keras, saling colek, saling cubit, saling hujat, saling tuduh dan saling fitnah. Kedudukan masih belum juga berdiri, kosong-kosong. Sorak-sorai penonton riuh memberikan dukungan pada tim masing-masing.
Penonton bersorak ketika pemain Papan Nama melepaskan tendangan jarak jauh sekali yang luar biasa. Sayang berhasil digagalkan oleh kiper. Papan Iklan tidak tinggal diam. Dengan kerja sama di lapangan tengah, berhasil membuka pertahanan Papan Nama dan menusuk ke dalam kotak penalti hingga bocor. Sebuah tembakan dilepaskan dari dalam kotak penalti. Untunglah kiper cukup gesit sehingga sempat mengelak. Jika tidak, pasti nyawanya melayang. Tembakan tersebut mengenai seorang burung yang langsung jatuh dan tewas seketika itu juga. Babak pertama berakhir dengan korban satu orang burung. Dua orang komentator segera menjalankan segala tugas dan kewajiban mereka.
“Bung Roni, bagaimana komentar anda tentang babak pertama tadi bung?”
“Begini bung Kus. Harusnya tim tuan rumah memanfaatkan keuntungannya bermain di kandang sendiri bung”.
“Tapi bung, kedua tim ini sama-sama tuan rumah bung. Dan mereka tinggal di kandang yang sama bung. Lagipula bung, ini lapangan sepakbola bung, bukan kandang bung.”
“Benar bung, maksud saya mereka sekandang di peternakan Kuntua bung”. Roni tampak menyadari kesalahannya.
“Tapi bung, tadi anda mengatakan bahwa lapangan ini adalah kandang bung”. Sergah Kus dengan nada tersinggung dan mulai emosi dengan pernyataan Roni tadi.
“Maaf bung, kenapa anda tersinggung bung? Ini kan masalah lapangan sepak bola bung”.
Kus yang telah emosi berdiri sambil melempar gelas di mejanya dan berteriak. “Bapak saya adalah salah satu dari tukang yang membuat lapangan ini bung”.
Bogem mentah setengah matang diikutsertakan ke wajah Roni. Roni terjungkal dari tempat duduknya. Kus tak memberi kesempatan, langsung menerjang Roni dan menghajarnya. Keduanya berguling di lantai. Roni berusaha melepaskan diri. Ratusan pukulan sudah hinggap di wajahnya. Ditendangnya perut Kus dengan sekuat tenaga. Kus roboh. Secepat kilat Roni berdiri dan mengeluarkan sebuah pistol air dari saku jasnya. Ia menembak Kus tepat di matanya. Kus roboh meregang nyawa. Melihat Kus belum juga tewas, Roni mendekat dan kembali menembak mata Kus, dua kali. Kus tak bergerak lagi.
“Ini adalah formula rahasia yang kubuat. Campuran anyir ikan dan air jahe dikombinasikan dengan air bekas cuci piring. Sangat mematikan.” Ia memasukkan pistol airnya ke balik jas dan berbalik meninggalkan tubuh Kus yang tergeletak di lantai. Tanpa ia sadar, Kus ternyata belum tewas. Dengan sisa tenaga yang ada Kus mencabut sepatunya dan melemparnya ke kepala Roni. Roni roboh dan Kus pun kembali roboh. Tim medis segera datang. Tak lama kemudian mereka menyatakan bahwa keduanya telah tewas dan pertandingan babak kedua sudah bisa dimulai. Penonton bernapas dengan lega, tak ada lagi kata ‘bung’ yang diteriakkan dari mulut corong yang tampak lelah berteriak di atas tenda panitia.
Di babak kedua, Papan Nama mencoba menyerang dari sisi kanan. Pemain sayap kanannya mencoba menerobos dari pinggir lapangan. Ia mengepakkan sayapnya, terbang, dan tak pernah kembali lagi. Bola diambil oleh gelandangan Papan Iklan. Ia tak punya rumah dan pekerjaan. Sudah dua hari ini ia belum makan. Dengan rakus ia memasuki daerah pertahanan Papan Nama dan mencoba melahap bola itu. Sayang bola kulit itu terlalu alot untuk digigit. Pemain bertahan Papan Nama membujuknya dengan sejumlah uang receh. Gelandangan itu menatap seolah tak percaya. Matanya membelalak. Air liurnya menetes. Ia melepaskan bola itu dan menyambar uang receh dari tangan pemain Papan Nama kemudian berlari keluar lapangan menuju warung makan terdekat.
Serangan semakin gencar dilakukan Papan Nama. Sebuah umpan silang disambut dengan sundulan keras ke arah sudut bawah gawang. Sekali lagi kiper berhasil menyelamatkan dirinya dengan menggeser gawang sehingga bola mengenai tiang. Pemain kedua tim mulai kelelahan dan putus asa. Pelanggaran semakin banyak terjadi sehingga wasit terpaksa memberikan kartu kepada tiga orang pemain dan mengirim mereka ke tempat judi terdekat.
Saat pertandingan hampir berakhir, pemain Papan Iklan mendapat ruang kosong melompong. Dengan kegesitan yang luar biasa hebatnya ia meliuk-liuk bagai ular sambil mendesis diiringi irama suling melewati tiga orang pemain bertahan Papan Nama. Sekarang ia berhadapan langsung dengan penjaga gawang. Ia mengambil ancang-ancang untuk menembak. Dengan kekuatan penuh ia menghujamkan sepatunya ke tubuh bola itu. Belum sempat kakinya menyentuh bola, tiba-tiba ia terpeleset sesuatu. Jatuh dan terguling-guling, lehernya patah.
Ia tewas.
Wasit menunjuk titik putih.
Tendangan pinalti!
Pendukung tim tuan rumah bersorak. Pemainnya berpelukan. Kemenangan sudah di depan mata. Pemain dan pendukung Papan Nama yang juga, adalah tuan rumah, protes. Wasit tetap pada pendiriannya.
Panitia mengangkat papan bertuliskan “1”. Satu menit lagi pertandingan akan berakhir.
Dari kerumunan penonton yang riuh, seseorang yang bersenjatakan peda badung masuk ke lapangan dan mengejar wasit sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Semua pemain lari keluar lapangan, kecuali, tentu saja yang lehernya patah.
Maka berlarilah sang wasit di tengah lapangan dikejar orang itu. Sebuah sabetan nyaris merenggut kepalanya. Untunglah ia cukup gesit. Orang itu terus berusaha sekuat tenaga membacok wasit dengan peda badungnya namun wasit yang ternyata sangat lincah selalu berhasil mengelak. Setelah satu menit, wasit melirik jam di tangannya dan meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir.
Pengejaran selesai.
Penuh rasa kecewa, orang berpeda badung itu berjalan keluar lapangan dengan kepala menunduk.
Orang-orang memasuki lapangan dan mengerumuni mayat pemain tadi dengan rasa penasaran dan heran. Ini adalah yang pertama kalinya seseorang tewas di lapangan sepakbola dengan leher patah. Dalam sejarah sepakbola Likupang, orang yang mati di lapangan sepak bola selalu tewas dengan leher putus setelah terjadi kekacauan di tengah pertandingan.
Rasa penasaran dan heran itu seketika menjadi rasa takut yang menggetarkan ketika mereka melihat apa yang sebenarnya menyebabkan pemain itu mati. Di sepatunya terlihat semiran berwarna kuning kecoklatan.
“Itu adalah pece!” seru seorang penonton.
“Bukan, itu adalah emas!” seru seorang yang lain.
Suasana tiba-tiba hening sesaat dan terpecah ketika semua orang berteriak dengan panik.
“TAI !”
Di dekat mayat itu terlihat secercah Tai yang telah terinjak. Benar! Pemain itu tewas terpeleset Tai. Kerumunan itu bergidik. Hidung-hidung melolong dengan suara menyayat hati. Bau Tai begitu hebatnya menusuk jantung mereka. Wajah-wajah yang tadinya antusias kini menampakkan gambaran putus asa. Pria-pria berdiri mematung terpaku tak berdaya. Wanita dan anak-anak menangis berpelukan. Awan gelap bergerak menutupi langit disertai bunyi guruh dan halilintar. Suara tawa menakutkan berkelebaran di langit memecah gendang telinga.
(Semua efek bunyi dilakukan secara manual oleh saya sendiri, hanya dengan menggunakan gitar elektrik).
Benarkah itu Tai ? Jika itu memang Tai, entah nasib buruk apa yang akan menimpa umat manusia.....
Malam itu, Kuntua menggelar sidang darurat di Balai Desa untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di lapangan sepak bola tadi sore. Semua penduduk desa hadir. Sejumlah tokoh masyarakat menjadi juri. Ayah Hadi berperan sebagai Pria berpeda badung yang menjadi tersangka dan sang wasit yang menjadi korban diperankan oleh Guru. Kuntua membuka sidang dan mengajukan pertanyaan kepada sang tersangka.
“Yang terhormat bapak tersangka, sudikah kiranya anda menjelaskan kepada sidang ini mengenai sebab-musabab, yang mana daripada anda telah mengejar sang wasit dengan peda badung, yang mana daripada hanya memiliki ijin kelas B2 yakni untuk memotong kelapa, dan bukannya sebagai perlengkapan untuk suporter sepakbola.”
Sang tersangka berdiri dari kursinya. ia memandang sang wasit dengan ekor matanya penuh kebencian, kemudian berkata ;
“Dia da tuduh kita pe anak yang jaga bera di rawa kata. Padahal kita pe anak bilang justru dia yang jaga bera di situ. Kita tersinggung. Itu sama jo deng dia da bilang kalu kita pe anak keturunan Tai.”
Pengakuan sang tersangka sontak membuat semua yang hadir di sidang terkejut bukan main. Bisik-bisik segera beredar ke seluruh penjuru ruangan sidang.
Berak di rawa adalah tindakan yang sangat serius dan brutal, tidak bermoral, tidak beradab, dan tidak berbudaya. Sebagai seorang wasit, Guru tidak seharusnya melemparkan tuduhan seberat itu kepada anak yang masih sekolah.
Ruang sidang menjadi riuh. Kuntua mengetuk meja menenangkan semua yang hadir di ruangan itu.
Sidang diistirahatkan selama 15 menit. Meja dihajar 3 kali, ia tak sempat mengelak, telak!.
Meja jatuh pingsan. Tim paramedis segera berlari untuk menyelamatkan nyawanya.
Peserta sidang bubar. Bisik-bisik di terdengar di sana-sini.
Dua jam kemudian, sidang dilanjutkan kembali. Para juri memutuskan bahwa hasil akhir dari sidang ini adalah seri dan karena itu perlu diadakan perpanjangan waktu untuk menyelidiki masalah Tai di rawa tersebut. Mereka akan mendatangkan seorang ahli untuk meneliti darimana Tai-Tai di rawa itu berasal. Jika tetap tidak berhasil, maka dengan terpaksa harus diadakan adu pinalti. Sidang pun ditutup. Tidak ada yang dihukum. Guru dan ayah Hadi berpelukan bahagia. Semua orang pulang ke rumah dengan rasa tidak sabar.
Besoknya, masih pagi-pagi benar sudah terdengar deru mobil berdatangan. Prof. Witho B.A dan timnya telah tiba. Beliau adalah seorang ahli Ilmu Kotoran yang mengkhususkan diri di bidang Tai. Masyarakat sangat berharap figur ini dapat menemukan jawaban yang selama ini menghantui hidung mereka.
Kuntua menyambut kedatangan Prof. Witho dengan jabatan tangan dan pelukan hangat.
“Selamat datang di Likupang. Terima kasih atas kesediaan anda untuk memenuhi panggilan kami. Bantuan anda sangat kami butuhkan.”
Prof. Witho tidak menggubris ucapan Kuntua. Ia membetulkan topinya dan memandang berkeliling.
“Di mana gadis-gadis yang muda dan cantik itu ?” tanya Prof. Witho tanpa berpaling. Kuntua terkejut, ia segera sadar dengan karakter dari orang di depannya.
“Aduh, maaf. Saya lupa. Lagipula, ini masih pagi.” Kuntua memberi kode kepada seorang bawahannya yang segera mengangguk dan pergi.
“Jangan khawatir. Anda pasti akan mendapatkan gadis tercantik di sini.” Lanjut Kuntua.
Prof. Witho berpaling perlahan memandang Kuntua dengan kening berkerut. Jarinya diacungkan ke wajah Kuntua, bergoyang ke kanan dan ke kiri.
“Bukan gadis, tapi gadis-gadis”. Ia berkata dengan dingin sambil berlalu meninggalkan Kuntua yang geleng-geleng kepala. Dari kejauhan kembali terdengar Prof. Witho berteriak. “Jangan khawatir. begitu kau bawakan gadis-gadis cantik itu, semua masalah di sini akan beres. Aku adalah Witho. Dan aku adalah yang terbaik dalam urusan Tai menai”.
Beberapa jam kemudian, kesibukan memenuhi lapangan sepakbola dan rawa-rawa di sekitarnya. belasan orang berpakaian serba putih hilir mudik dengan berbagai peralatan aneh di tangannya. Prof. Witho duduk sambil mengawasi anak buahnya yang sedang memasang sebuah alat berbentuk payung besi dengan jala-jala kecil di atasnya. Alat tersebut ditancapkan ke tanah di tengah lapangan sepak bola. Lampu-lampu di tubuh alat itu berkedip-kedip. Prof. Witho mengeluarkan sebuah alat seperti komputer mini dengan layar kecil dari saku jaketnya. Ia memencet tombol-tombol di samping layar dan dengan wajah serius memperhatikan tampilan yang muncul. Mimik wajahnya tegang, kemudian tak sampai semenit berikutnya ia tersenyum sambil meneteskan air liur.
Dari kejauhan salah seorang anak buahnya datang dengan berlari seperti kesetanan.
“Prof! Prof! Aku menemukan sesuatu di dalam rawa.”
Dengan terkejut Prof. Witho berbalik ke arah anak buahnya itu. Ia mendengus dengan marah.
“Apa kau tak lihat aku sedang sibuk?” teriak Prof. Witho sambil mengacungkan alat di tangannya ke arah anak buahnya itu. Anak buahnya melihat tampilan yang ada di layar kemudian tersenyum.
“Ah, prof. sedang menonton video porno ya? Itu kan videonya Gil, mahasiswi prof. di fakultas.”
Wajah Prof. Witho merah padam. Cepat-cepat ia memasukkan alat itu ke jaketnya.
“Sudah, diam. Tunjukkan apa yang kau lihat.”
Anak buahnya menuntun Prof. Witho menuju ke arah rawa. Tiga orang anak buahnya ikut serta. Setelah tak berapa lama menyusuri rawa yang becek, Prof. Witho dan anak buahnya tiba di sebuah tanah berlumpur yang luas, yang bahkan lebih luas dari lapangan sepak bola. Jantung Prof. Witho berdegup kencang. Sebersit rasa takut merasuk dadanya. Matanya membelalak seolah tak percaya dengan pemandangan yang membentang di hadapannya.
DUA
Tiga hari lamanya Prof. Witho dan timnya melakukan penelitian terhadap Tai-Tai yang ditemukan di sekitar rawa, termasuk dari kolam Tai raksasa yang mereka temukan di tengah hutan. Setelah merasa yakin dengan hasil penelitian yang dilakukan, akhirnya Prof. Witho menyuruh Kuntua untuk mengumpulkan seluruh masyarakat dan mengumumkan hasil dari penelitannya.
Wajah-wajah yang muncul begitu muram dan penuh ketidakpastian. Semua mata kuyu memandang Prof. Witho dengan telinga yang tidak sanggup lagi mendengar kabar buruk.
Prof. Witho memandang setiap wajah yang hadir di hadapannya, kemudian menunduk seakan tidak sanggup melihat air muka mereka yang bergejolak dan berombak saat ia mengumumkan hasil penelitiannya.
“Tai-Tai itu berasal dari Panta!”.
Kuntua dan masyarakat terkejut, hal ini benar-benar di luar perkiraan mereka.
Panta?!!!
Bagaimana mungkin Tai itu bisa berasal dari Panta?!!!
Itu sungguh sebuah hal yang mustahil dan tidak dapat dipercaya!!!
Bukankah bangsa Panta sudah lama diusir dari peradaban manusia?
Jangan-jangan kini mereka datang untuk balas dendam ?!
Maka sepucuk surat permohonan diterbangkan ke Istana Presiden. Meminta agar Presiden memperhatikan masalah serius ini.
Dalam hitungan menit, seluruh anggota Dewan dikumpulkan guna membahas tindakan yang akan dilakukan guna mengatasi masalah renik ini. Berbagai pro kontra terjadi dalam sidang. Anggota Dewan saling teriak, saling tuding, dan bahkan terlibat adu jotos. Tawuran antar anggota Dewan pun tak terhindarkan. Meja dan kursi beterbangan dengan sayap mereka yang kecil dan lucu. Anggota Dewan yang tidak memiliki ilmu bela diri turut aktif memberikan dukungan moral dan yel-yel sementara yang lain tertidur pulas karena sering kerja malam.
Setidaknya, keributan dalam sidang tersebut membuahkan sebuah resolusi untuk masalah Tai ini. Dengan pertimbangan bahwa Tai itu tidak hanya lembek dan licin, tetapi ada juga Tai yang keras, Presiden memutuskan untuk menggunakan cara kekerasan, kalau perlu brutal.
Seluruh kekuatan militer dikerahkan untuk misi ini dibawah pimpinan seorang Jendral bernama General W.C atau biasa dipanggil Jendral Cupez.
Segera, pasukan Jendral Cupez mengobrak-abrik seluruh sudut negeri. Mulai dari WC umum, kolong jembatan sampai kakus di rumah-rumah semuanya disapu bersih. Segala penjuru yang berpeluang untuk dijadikan tempat bera tak ada satu pun yang luput dari cengkeraman sang Jendral. Pertempuran hebat tak terhindarkan. Puluhan juta tentara tewas dalam perang terbesar abad ini. Kota-kota yang dulunya megah hancur menjadi puing-puing. Deru pesawat, letusan bom dan bunyi rentetan tembakan serta desingan peluru terdengar di mana-mana. Debu dan asap menyatu menggambarkan pertempuran yang tak terhingga. Ribuan Panta berhasil ditawan. Dari para tawanan tersebut diketahui bahwa ternyata selama ini mereka telah menyusup ke dalam peradaban manusia tanpa ada satu orang pun yang menyadarinya.
Semua Panta yang berhasil diringkus ditawan di kamp-kamp konsentrasi untuk dibina menjadi Panta yang berbudi pekerti. Di kamp ini Semua Panta diwajibkan mengikuti program “Cebo Kilat”.
Asisten Jendral Cupez yang bernama Kolonel Adolfianto Hitleruddin menulis kisah mengenai pembinaan Panta di kamp ini dalam bukunya yang berjudul “Kemah Saya”, telah diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Me In Camp Eve”. Dijual khusus di dunia kita.
Pertahanan terakhir pasukan Tai ada di kota Manado. Kota ini dilengkapi dengan sistem pertahanan terkuat yang pernah ada di dunia. Dalam radius dua Kilogram dari kota, genangan Tai Hidup siap menelan apapun yang masuk ke dalamnya, membuat serangan dari darat terasa tidak mungkin.
Pertahanan udaranya berupa bau Tai beracun dan Gas Konto yang akan menghancurkan apapun yang datang dari atas kota. Ribuan Panta Anti Serangan Udara disiagakan untuk menembak jatuh setiap pesawat yang lewat.
Di sinilah pertempuran terakhir yang menentukan nasib umat manusia terjadi. Bangsa Panta telah tersudut dan terkepung, tapi sama sekali tidak ada jaminan bahwa Pasukan Jendral Cupez mampu menaklukkan kota ini.
Empat tambah setengah tahun lamanya Jendral Cupez mengepung kota itu. Belum pernah ada satu kalipun serangannya yang berhasil menembus ke dalam.
Tidak ada harapan.
Jendral Cupez telah menyadarinya. Tinggal menunggu waktu sampai semua pasukan manusia habis dan Panta akan balas menyerang sampai menguasai dunia. Seluruh umat manusia bergandengan tangan bersama, duduk dan makan, kemudian tidur setelah sebelumnya bersenggama terlebih dahulu demi menciptakan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan mereka.
Saat semua telah pasrah, harapan muncul.
Prof. Witho berhasil menciptakan senjata yang bisa membungkam bangsa Panta. Setelah disetujui oleh Presiden, saatnya untuk beraksi. Ribuan senjata ciptaan Prof. Witho siap untuk diluncurkan dari segala penjuru mengepung kota Manado. Prof. Witho dan Jendral Cupez berdiri di depan layar kontrol utama, siap meluncurkan senjata-senjata itu.
“Ini adalah harapan terakhir kita. Jika ini tidak berhasil, berarti sejarah kita akan terhapus selamanya”. Suara Jendral Cupez tidak lagi selantang dan sewibawa dulu. Kegagalan selama bertahun-tahun telah mengikis semangatnya.
Prof. Witho hanya tersenyum kecil, sambil menyeruput kopi di gelasnya.
“Jangan khawatir. Aku sudah mempelajari sifat alami dari Panta. Lubang tempat mereka mengeluarkan Tai itu ternyata punya kegunaan lain dan itu justru menjadi kelemahan mereka.”
Kening Jendral Cupez berkeruput membentuk tanda tanya.
“Apa maksudmu Wit?”.
“Aku telah menemukan bahwa ternyata kelemahan bangsa Panta ada di Lubang Tai itu. Kita bisa menghancukan mereka dengan memasukkan Tolor ke dalam lubang itu”.
“Benarkah?”.
“Benar. Karena itulah aku menciptakan senjata yang bentuknya seperti Tolor. Begitu senjata ini masuk ke Lubang Panta, habislah mereka.”
Jendral Cupez tampak mangangguk-angguk mendengar penjelasan Prof. Witho.
“Tapi bagaimana jika kita gagal memasukkan senjata itu ke Lubang Panta?”.
Lagi-lagi Prof. Witho hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Jendral Cupez.
“Jangan khawatir. Bangsa Panta memiliki hasrat alami untuk memasukkan Tolor ke Lubangnya. Jadi kita tidak perlu merisaukan hal itu.”
“Baiklah. Aku percaya pada penilaianmu.”
“Ada lagi”. Lanjut Prof. Witho. “Kau tahu mengapa senjata-senjata itu aku beri nama Vibrator?”
“Tidak”
“Karena mereka punya kemampuan untuk bergetar. Bangsa Panta tidak akan tahan melihat Tolor yang bisa bergetar dan akan berebutan untuk segera memasukkannya ke Lubang Tai mereka.”
Senyuman menghiasi wajah kedua tokoh tersebut. Segalanya akan segera berakhir ketika jari telunjuk Prof. Witho menekan tombol berwarna biru di depannya.....
TIGA
Waktu telah berlalu. Perang telah berakhir. Tidak ada lagi yang pernah melihat Prof. Witho sejak saat itu. Ada yang bilang ia tewas dalam pertempuran terakhir. Ada juga yang bilang bahwa ia telah tinggal dengan damai di tempat khusus yang disediakan pemerintah. Ada juga yang bilang bahwa ia menyepi untuk melakukan penelitiannya. Tidak ada yang tahu di mana dia sebenarnya. Tapi yang pasti, bagi rakyat dan negeri Likupang, ia adalah pahlawan.
Kalau menurut saya, dimanapun beliau berada, yang pasti beliau berada di tempat yang ada gadis-gadis cantiknya karena beliau tidak tahan jika dalam satu hari tidak melihat gadis cantik. Setidaknya begitulah Prof. Witho yang kukenal. Bila ia menyepi, berarti ia memboyong satu atau beberapa orang gadis cantik dan menyepi bersama mereka. Mungkin juga pemerintah menyediakan gadis-gadis cantik untuk menemaninya di tempat yang mereka disediakan. Tapi setahu saya, Prof. Witho bukanlah orang yang suka berdekatan dengan pemerintah.
Aku menggunakan mesin Telaahport untuk masuk ke negeri Likupang menemui Kuntua. Saat ini aku sedang menulis cerita mengenai pertempuran manusia melawan Tai di negeri itu. Kuntua telah berjanji untuk mempertemukanku dengan orang-orang yang menjadi saksi mata saat pertama kali menemukan Tai di Lapangan sepak bola Likupang.
Kehidupan di Likupang tampak ramai. Penduduk desa sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan masing-masing. Kehadiranku menarik perhatian beberapa orang. Wajar saja pikirku, makhluk non-manusia terakhir yang mereka lihat adalah para Panta. Mungkin saja mereka masih trauma dengan kehadiran makhluk yang tidak sejenis dengan mereka.
Ada yang menarik perhatianku.
Ya, Panta telah mengisi kehidupan manusia negeri ini, sebagai budak yang melayani dengan setia. Anak-anak manusia tampak bahagia mempermainkan anak-anak Panta. Beberapa orang terlihat sedang berjalan-jalan dengan Panta di belakangnya. Ada yang sedang berdiskusi satu arah dengan Panta sebagai pendengar setia di warung kopi.
Semua orang bahagia dengan Panta. Demikian pula dengan Guru. Ia senang karena Panta telah menjadi pintar sehingga bisa menggantikannya mengajar bila ia tak bisa masuk sekolah karena lelah setelah menarik ojek di malam hari dan juga menggantikannya sebagai wasit pada pertandingan sepakbola antar RT sehingga ia tak perlu lagi mengalami pengejaran bersenjata. Siswa-siswa tak lagi takut ujian. Mereka bisa bertanya pada Panta, sehingga tiada lagi kata mencontek dalam otak mereka.
Ketika aku tiba di rumahnya, Kuntua sedang duduk dengan santai di teras rumah sambil menikmati kopi bersama Panta. Tidak ada lagi masalah rumit yang harus ia pikirkan. Kematian pemain dalam pertandingan sepakbola antar RT kembali normal yakni dengan leher putus dibacok dan sama sekali tidak ada lagi pemain yang mati karena terpeleset Tai. Bahkan telah dibentuk tim sepakbola Panta yang difungsikan sebagai tim yang harus selalu kalah. Umat manusia telah menemukan kedamaian dan ketentraman bersama Panta.
Akhirnya, anak-anak manusia mulai tergoda dengan keelokan dan kecantikan anak-anak Panta sehingga terjadilah persetubuhan antara manusia dengan Panta.
Panta tak lagi bera.
*
Ketika semua manusia bersetubuh dengan Panta, ada hal yang mereka lupakan. Para Vagina mulai resah dan mempertanyakan fungsi keberadaan mereka. Sebuah gejolak baru mungkin akan muncul . . . . .
FAKTA-FAKTA SEJARAH
- Perang Tai berlangsung selama enam tahun dari tahun 626 sampai tahun 632.
- Empat tahun setelah perang berakhir, Kuntua memerintahkan untuk membangun patung Prof. Witho di depan Balai Desa sebagai penghargaan untuk jasa-jasanya.
- Jendral Cupez pensiun pada umur 62 tahun dan meninggal di kolam ikannya pada usia 67 tahun. Beliau tidak pernah menikah ataupun berhubungan kelamin (dengan perempuan).
- Guru diangkat menjadi Kepala Sekolah. Tujuh tahun kemudian ia menjadi Menteri Pendidikan dan Olahraga. Ia dibunuh tahun 646 saat memimpin pertandingan antara Papan Luncur melawan Papan Curi di Lapangan sepakbola Likupang.
- Tahun 648, di Manado dibangun Museum Perang Tai. Di sini disimpan benda-benda yang berhubungan dengan Perang Tai, termasuk gelas kopi dan alat yang digunakan Prof. Witho untuk menonton film porno.
- Hadi menjadi dukun terkenal di Likupang. Ia tewas dibakar pada peristiwa pembantaian dukun santet oleh massa tahun 668.
- Bangsa Panta diperbudak selama hampir tiga ratus tahun. Lewat perlawanan yang terus-menerus, akhirnya pada tahun 918 mereka mendapatkan pengakuan. Tahun 934, Arment Lohang merupakan Panta pertama yang menjadi Kuntua Likupang lewat pemilihan langsung.
- Tahun 941, atas perintah Arment Lohang, Lapangan sepakbola Likupang dibongkar dan dibangun kembali dengan kapasitas 54000 orang dan 42000 Panta. Pembangunan ini selesai pada tahun 943. Lapangan baru ini pertama kali digunakan untuk Final Piala Cempyen yang mempertemukan Poloi United dengan Papan Kayu. Kerusuhan terjadi dan menelan korban 27 orang dan 19 Panta meninggal dunia serta ratusan luka-luka.
- Tahun 952, lewat Konvensi Perdagangan Internasional, Vibrator diproduksi secara masal dan dijual secara bebas. Hak patennya dipegang oleh pemerintah.
- Tahun 992, Murhan Tombong menjadi Panta kedua yang menjadi Kuntua Likupang. Kepemimpinannya yang otoriter menyebabkan banyak perlawanan dan kerusuhan yang terjadi.
- Masih pada tahun yang sama saat ia terpilih, Murhan mengeluarkan UU Perlindungan Panta.
- Tahun 997, Murhan memerintahkan untuk membongkar patung Prof. Witho di depan Balai Desa. Tindakannya mendapat perlawanan dari kelompok manusia. Terjadi kerusuhan di Balai Desa yang menewaskan 63 orang.
- Tahun 999, Murhan mengeluarkan UU Tre-fiking yang mengundang kontroversi serta demo besar-besaran.
- Tahun 1005, Murhan melakukan Kudeta. Membunuh Presiden beserta keluarganya, dan mengangkat dirinya menjadi Kuntua Dunia. Ia mengubah sistem pemerintahan dari Republik menjadi Kekuntuaan.
- Akhir tahun 1006, terjadi usaha pembunuhan terhadap Murhan oleh kelompok Vagina Lestari. Pembunuhan ini berhasil digagalkan oleh pasukan pengawal Kuntua. Setelah percobaan pembunuhan ini, Murhan memerintahkan untuk membunuh semua Vagina di negeri itu. Ini menyebabkan munculnya kelompok-kelompok perlawanan, gerilyawan, dan kaum separatis baik dari kelompok manusia maupun dari kelompok Vagina yang menentang kepemimpinan Murhan dan membenci bangsa Panta sampai sekarang.
- Saat ini, alat yang digunakan oleh prof. Witho untuk menonton video porno telah dimiliki oleh hampir semua orang. Berbagai kemampuan telah ditambahkan, bisa untuk menelepon, kirim pesan, MMS, GPRS dan juga untuk mendengarkan musik, bahkan berinternet.