Aku, Ema, seorang anak perempuan berusia 11 tahun. Sekarang duduk di bangku sekolah dasar kelas lima. Sebenarnya di akte kelahiran nama lengkapku adalah Rema. Teman-teman di sekolah yang suka memanggilku Ema. Aku tak tahu dengan jelas apa arti namaku itu. Kata ibu, sebenarnya tidak ada arti khusus untuk nama itu.
“Ayahmu yang memberi nama itu. Tak tahu, ia cuma menyebut, nama Rema enak di dengar,” begitu kata Ibu suatu hari ketika aku bertanya tentang arti namaku itu.
Sebenarnya bukan soal nama Ema atau Rema yang ternyata tidak punya arti khusus itu yang sekarang ini menggelisahkan hatiku. Kegelisahaanku lebih kepada kenyataan-kenyataan hidup ini. Aku gelisah melihat seorang anak laki-laki yang seumurku di persimpangan jalan itu yang kurus kering, berbaju kumal dan dikelilingi lalat biru. Aku juga gelisah melihat para Pol PP di kota kami yang menertibkan warung milik orang tua temanku, Uti. Aku sangat gelisah melihat di televisi pejabat yang dituduh melakukan korupsi tapi masih santai memberikan penyataan membela diri kepada para kuli tinta. Aku juga gelisah, dengan kesulitan yang ibuku alami ketika akan membeli sembako dan minyak tanah karena harganya tiba-tiba naik dan langkah.
Aku lebih gelisah, ketika tahu ada kelompok di sebuah agama yang mengklaim bahwa Tuhannya yang paling benar. Tuhan di agama lain, kata mereka, salah. Ada penutupan rumah ibadah yang tidak dilakukan oleh pemerintah karena tidak memiliki ijin, tapi justru dilakukan oleh kelompok radikal dalam sebuah agama. Bahkan, aku menjadi sangat gelisah ketika bom bisa saja tiba-tiba meledak di sekolah kami karena keganasan para teroris yang mengaku sedang membela Tuhannya itu.
Anehnya, ayah, ibu, para guru di sekolah dan para tetanggaku, ternyata tidak gelisah pada peristiwa dan hal-hal yang aku gelisahkan itu. Mereka justru sedang gelisah dengan aku. Mereka heran dan menjadi gelisah, ketika anak seumurku sudah berpikir dengan penuh kegelisahan fenomen-fenomena sosial dan politik itu. Mereka heran dan sulit percaya kalau aku, Ema, anak perempuan yang baru duduk di kelas lima SD ini sudah bisa memberi komentar seperti orang dewasa, dengan bahasa-bahasa teknis peristiwa atau fenomena-fenomena itu. Mereka yang gelisah, menjadi gusar, bahwa aku yang masih bocah ini sudah berpikir hal-hal yang menurut mereka, bukan duniaku itu. Kata mereka aku lebih baik belajar lagi menghitung dan membaca sehingga menjadi pinter, daripada menggelisahkan fenomena-fenomena itu. Itu bukan urusanku, kata mereka.
Sebenarnya aku pernah berkata kepada mereka, bahwa kegelisahanku terhadap semua fenomena itu datang sendiri. Aku tidak tahu roh apa dan darimana yang menggerakan hati dan pikiranku untuk menjadi gelisah dengan semua itu. Ia seperti kekuatan magis yang datang dari alam gaib.
“Kegelisahanku ini tidak sama dengan calon kepala daerah yang tiba-tiba menyatakan keprihatinan terhadap kemiskinan dan kebodohan. Aku tidak sama dengan mereka yang datang memberi bantuan sembako dengan harapan mendapat dukungan suara waktu pemungutan suara. Sungguh mati, aku tidak merekayasa semua itu. Masakan anak sekecilku ini sudah bisa membuat rekayasa politik? Kan sebenarnya itu yang lebih aneh, daparida kegelisahanku ini?” begitu argumenku kepada Pak Guru Odi yang menanyakan keanehan pada diriku yang lihat itu.
Banyak orang memang merasa bahwa ada yang aneh dalam diriku. Aku sebenarnya menganggap ini biasa-biasa saja. Bukankah nilai agama dan budaya mengajarkan begitu, bahwa manusia harus memiliki kepekaan terhadap penderitaan manusia lain, bahkan alam ini. Om Beni, yang sehari-sehari bekerja sebagai dosen di salah perguruan tinggi di kota kami, lebih positif melihat keberadaanku ini. Katanya pada ayahku, bahwa aku ini tergolong anak yang jenius. Aku, katanya harus dibimbing dengan baik dan terus dsekolahkan sampai ke perguruan tinggi karena aku memiliki potensi intelektual untuk menjadi pemikir di masa depan. Betulkah? Aku tidak tahu. Mudah-mudahan saja Om Beni benar.
Karena ini ternyata menjadi masalah serius bagi ayah dan ibu, para tetangga serta guru-guruku di sekolah, ayah kemudian berusaha melakukan berbagai cara untuk mengatasi persoalan ini. Tadi malam ayah mengungkapkan rencananya mendatangkan pendeta ke rumah kami besok pagi untuk mendoakan aku.
Aku bingung, kenapa ini menjadi masalah serius? Bukankah siapapun dia, punya kewajiban untuk mengungkapkan kegelisahannya terhadap fenomena-fenomena hidup itu? Dan siapapun juga mestinya kan punya hak untuk mengungkapkan dalam bentuk tindakan kegelisahannya terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Aku juga bingung kenapa harus pendeta yang datang, kalau memang ini membutuhkan doa? Bukankah ayah, atau ibu bisa berdoa? Bahkan merekalah yang mengajarkanku berdoa sebelum tidur, hendak makan, bangun pagi dan di hal-hal tertentu lainnya.
“Kenapa ini menjadi masalah serius?” tanyaku kepada ayah tentang rencana itu.
“Ema, kamu harus tahu, bahwa kau ini bukan anak biasa. Kamu lebih suka menonton siaran berita atau dialog daripada menonton Naruto. Kamu akhirnya menjadi malas ke sekolah minggu, karena menurutmu itu tidak cocok denganmu. Ketika berbicarapun isinya bukan soal siapa nama presiden RI pertama dan seterusnya. Kamu juga tidak hafal nama menteri-menteri kabinet sekarang ini. Bahkan lebih parah lagi kamu tidak tahu nama bukit tempat Yesus disalib. Ini masalah serius, Ema!”
“Tapi kenapa harus pendeta yang mendoakanku, yang menurut ayah ini dilakukan karena aku anak aneh?”
“Ema, pendeta itukan adalah hamba Tuhan yang diurapi untuk memberi pengajaran dan tuntutan rohani kepada kita sebagai umat. Jadi, pendetalah yang tepat untuk mendoakanmu,” jawab ayah.
“Oke. Oke kalau begitu. Silakan saja pendeta itu datang ke rumah. Siapa tahu, berdoa ke langit minta coklat jatuhnya batu,” kataku agak kesal.
“Hei, anak kecil kamu jangan keterlaluan, ya!” Ayah juga agaknya ikutan kesal.
“Maaf, ayah. Ema hanya bercanda. Masakan tidak boleh bercanda?” kataku sambil lalu.
“Kalau bubur yang menjadi nasi, seperti masakan ibu kemarin, boleh kau tertawakan. Tapi ini masalah serius, Ema,” ayah berkata dengan sedikit marah.
“Bukan bubur menjadi nasi, ayah. Tapi, nasi menjadi bubur. Begitu,” kataku mengkoreksi kalimat ayah yang salah itu.
“Iya. Iya, maksud ayah begitu. Kamu, sok tahu saja,” ayah tak lagi marah karena sedikit malu salah bicara.
“Baiklah ayah kalau begitu rencananya. Ya, besok aku siap didoakan oleh pendeta. Sudah dulu, ya, ayah, Ema mau menonton berita dulu. Ema mau tahu perkembangan kebijakan pemerintah terkait dengan usaha pengentasan kemiskinan. Kabarnya pemerintah telah menyiapkan anggaran jaminan pengaman sosial sebesar Rp.1,432 triliun untuk membantu 19,1 juta keluarga miskin. Bantuan tersebut akan diberikan sebesar Rp.75 ribu per kepala keluarga mulai Maret 2008. Ya, lagi-lagi pemerintah menerapkan kebijakan yang rawan penyimpangan. Kasihan rakyat miskin yang hanya dihargai dengan angka-angka rupiah seperti itu,” kataku menutup pembicaraan itu.
Keesokan paginya.
Pendeta yang dimaksud ayah datang memang tepat waktu. Waktu itu sebenarnya masih pagi, kira-kira pukul 05.30. Sebenarnya jam-jam seperti ini aku harus bersiap-siap ke sekolah, tapi kata ayah, untuk hari ini aku tak usah sekolah dulu. Ayah telah mengirim surat ijin ke sekolah.
“Selamat Pagi, Ema,” sapa seorang laki-laki dewasa yang ternyata adalah pendeta itu. Ia telah menunggu di ruang tamu. Waktu itu aku baru keluar dari kamar.
“Selamat pagi juga Pak Pendeta. Apa kabar?” balasku.
“Puji Tuhan, sehat walafiat,” jawab Pak Pendeta. “Kalau kamu, Ema?”
“Ya, seperti yang Pak Pendeta lihat, baik-baik dan sehat jasmani maupun rohani.” kataku dengan nada biasa.
“Puji Tuhan kalau begitu. Kamu anak manis Rema,” pendeta itu berkata.
“Pendeta juga manis,” kataku menggoda.
Ayah dan ibu yang duduk mengapitku memandangku dengan tatapan yang penuh isyarat agar aku lebih sopan lagi berbicara dengan Pak Pandeta. Si pendeta yang duduk langsung berhadapan denganku tampaknya mengerti itu.
“Rema, kamu ini anak manis,” Pak Pendeta berbicara. “Kamu anak perempuan yang manis. Duniamu adalah dunia anak kecil, yang mestinya lebih banyak meluangkan waktu untuk rekreasi dan sudah tentu belajar dan mengerjakan PR yang diberikan oleh ibu dan bapak gurumu di sekolah. Tidak usahlah dulu kau memikirkan hal-hal yang belum menjadi urusanmu.”
Itulah yang aku duga sebelumnya, bahwa menyelesaikan masalah ini hanya akan menyudutkan aku. Bukankah menyudutkan namannya ketika ayah, pak pendeta, guru-guru di sekolah dan tetangga kemudian seolah-olah menganggap apa yang aku lakukan selama ini adalah salah?
“Oh, jadi begitu ya, Pak Pendeta. Rema cuma ingin bertanya. Apakah yang yang Rema lakukan ini, yaitu merasa gelisah dengan berbagai bentuk kejahatan hidup ini adalah salah? Kenapa justru menurut orang dewasa ini sebagai sesuatu yang tidak wajar? Kenapa, Pak Pendeta?” Aku bertanya dengan serius.
Ayah memandangku dengan wajah yang tidak senang. Barangkali ia ingin berkata bahwa aku jangan banyak berkomentar atas apa yang Pak Pendeta katakan. Aku mengerti itu. Tapi, keinginanku untuk menjelaskan semua hal terkait dengan pandangan mereka terhadap diriku mengalahkan isyarat ayah itu. Akupun segera bersiap-siap memberi jawab atas penjelasan selanjutnya Pak Pendeta.
“Ya, Pak Pendeta maklum dengan sikapmu. Tapi yang kami khawatirkan bahwa nantinya kamu akan menjadi anak yang tidak normal. Kamu tidak seperti anak-anak lain yang menikmati dunia anak,” Pak Pendeta beretorika.
“Ha…aku akan menjadi anak tidak normal?!” aku terkejut setengah mati dengan jawaban dari pemimpin umat itu.
“Maksud Pak Pendeta, kamu ini bisa menjadi lain dari anak-anak sebayamu,” Pak Pendeta membalas.
“Rema pikir, inilah akan persoalannya sehingga semua ribut ketika Rema menyatakan kegelisahaan terhadap persoalan-persoalan hidup itu. Menurutku, ini menjadi soal karena kebanyakan kita, dan terutama manusia-manusia dewasa yang banyak itu sudah tidak biasa lagi memikirkan atau bahkan melakukan hal-hal yang baik, yaitu soal perdamaian, penegakan keadilan dan kesejahteraan. Manusia dewasa sudah menjadi individualis. Hidup orang dewasa yang kita lihat justru hanya mereduksi makna hidup. Orang dewasa berlomba-lomba memenuhi keinginan berkuasa dan kaya saja. Kalau begitu Rema ragu, kalau orang-orang dewasa sekarang ini benar-benar percaya Tuhan, termasuk Pak Pendeta,” aku berkata sedikit menyerang.
“Cukup Rema! Kamu memang sudah keterlaluan. Siapa yang mengajarkanmu bersikap tidak sopan terhadap Pak Pendeta?! Rema…” ayah berkata dengan emosi sehingga tidak melanjutkan kalimatnya itu. Ia sangat marah dengan sikapku itu.
“Robi,” Pak Pendeta berkata kepada ayahku dengan tenang. “Biarkan anakmu bicara.”
Mendengar kalimat Pak Pendeta itu, ayah hanya bisa memandangku kecewa.
“Rema. Maksud kami sebenarnya baik. Ini sebenarnya soal dirimu, masa depanmu dan kebahagianmu. Kalau kamu sudah terbeban dengan segala persoalan itu, kamu tidak bisa lagi merasakan senangnya masa kanak-kanak. Semua ada waktunya, Rema,” Pak Pendeta berkata dengan tenang. Ia tidak seemosi ayah.
Aku hanya diam. Bukan karena sudah tidak ada jawaban, tapi hanya agar tidak ada ketegangan lagi.
“Ibu dan ayah, serta Pak Pendeta, tidak tega melihat kebahagianmu hilang hanya karena memikirkan hal-hal itu.” Ibu yang dari tadi hanya berdiam akhirnya bicara juga.
Aku sebenarnya berusaha menahan agar tidak bicara lagi. Tapi, aku ternyata tidak tahan untuk menjelaskan semua ini. Aku akhirnya harus bicara lagi.
“Ayah, Ibu dan Pak Pendeta. Rema tidak bermaksud mau berbantah-bantahan dengan kalian semua. Tapi, tolong mengertilah dengan keadaan Rema ini. Maaf kalau Rema sudah lancang berbicara. Dan maaf juga kalau Rema harus bicara lagi.
Begini: Rema percaya Tuhan, dan agama. Tapi, terus terang Tuhan dan agama yang Rema percayai sekarang ini hanya diajarkan dan diturunkan oleh ayah dan ibu. Kepercayaan ayah dan ibu terhadap Tuhan juga diturunkan oleh kakek dan nenek, dan seterusnya begitu. Kepercayaan kita ternyata tradisi saja. Tidak kurang tidak lebih. Pak Pendeta apalagi. Selain awalnya kapercayaan itu adalah juga diturunkan oleh orang tua, tapi juga ini kemudian diperkuat oleh jabatan Pak Pendeta sebagai pemimpin umat yang mengabdi kepada gereja sebagai lembaga. Persoalan Rema yang berikut, karena kepercayaan kita kepada Tuhan hanya karena tradisi dan tuntutan lembaga agama, maka yang terjadi, kita kemudian menjadi pasif menyikapi fenomena kemiskinan yang kian meluas, ketidakadilan yang terjadi di mana-mana. Kita kemudian menjadi orang munafik,” aku berkata menjelaskan.
Inilah ternyata waktunya bagiku untuk menjelaskan kegelisahaanku pada kepercayaan kepada Tuhan dan agama, yang berwujud pada sikapku yang tidak senang dengan berbagai fenomena jahat itu.
Karena mereka tidak bereaksi dan tampak masih menunggu apa yang akan aku katakan lagi, aku pun melanjutkan penjelasanku.
“Terus terang selain kegelisahan yang tampak itu, dalam diriku juga sedang terjadi pergolakkan. Kepercayaan kepada Tuhan dan agamaku ternyata diinterupsi oleh semua kenyataan itu. Di mana Tuhan ketika semua itu terjadi? Apakah Dia sengaja membiarkan semua ini terjadi? Aku kemudian masih harus lagi mencari Tuhan. Aku tidak menghentikan langkah kaki mencari Tuhan hanya di agama ayah dan ibu serta Pak Pendeta. Aku sedang berusaha mencari jawab atas semua itu. Dan, aku, Rema, anak perempuan kecil, yang menurut kalian aneh ini, di tempat ini menemukan sebuah kesimpulan atas pencarian semua itu, bahwa Tuhan tidak seperti yang kita bayangkan, sebagai sesuatu yang tak bernama tak berwujud dan berada di seberang sana. Tuhan yang sesungguhnya adalah kita yang telah mencapai tahap akhir proses hidup. Dan proses itu sebenarnya adalah jalan menuju kesempurnaan hidup. ‘Aku’ yang telah berada untuk orang lain, telah memberi makna bagi kehidupan ini dan telah ikut berjuang memanusiakan manusia, adalah capaian akhir proses perjuangan hidup kita. Di situlah kita menjadi Tuhan. Itu penjelasanku. Semoga dimengerti,” aku mengakhiri penjelasanku.
“Kalau begitu, Tuhan tidak seperti pemahaman kita, sebagai yang sakral dan suci karena ketidaberwujudannya. Apakah ini bisa menjawab sikap orang beragama yang mengatasnamakan Tuhannya kemudian meledakan bom untuk membunuh? Apakah ini bisa menjelaskan sikap kita yang kemudian menjadikan Tuhan seperti barang dagang yang dijual di tanah lapang? Bagaimana dengan persoalan klaim kita kepada kebenaran yang abstrak terhadap Sorga dan Neraka yang selalu kita sebut berada di seberang sana dan merupakan konsekuensi dari dari keberadaan kita di sini, di dunia ini? Apakah ini juga kritik terhadap aku, yang selalu mengkhotbahkan nama Tuhan di mimbar namun tidak mengerti dengan kegelisahanmu terhadap kemiskinan dan ketidakadilan yang selama ini agama sebagai lembaga abaikan? Rema, aku mengerti sekarang.” Pak Pendeta berbicara dengan penuh kelegaan. Ia seolah-olah baru mendapat pencerahan atas kebutaannya selama ini terhadap arti menjadi manusia.
Ayah dan ibu, tak mengeluarkan banyak kata. Mereka diam mematung memandang aku. Pak Pendeta mengangguk-angguk. Rupanya dia setuju dengan pemikiranku.
Aku, yang sedang mencari Tuhan ini, dalam posisi duduk manis. Aku merasa lega dan bahagia. Aku pikir inilah kebahagianku di masa anak-anak ini. Aku senang telah mengawali proses hidup yang masih panjang dengan sebuah kesadaran tentang proses menjadi menuju ke kesempurnaan. Aku baru di awal proses panjang menjadi Tuhan.
Tomohon, 12 Februari 2008