Minggu, 02 September 2007

Foke dan Pluralitas Indonesia

Oleh: Veldy Umbas
Sesaat setelah Fauzy Bowo dan pasangannya unggul oleh hasil survey beberapa lembaga surveyor, saya langsung di-sms-i, ekpresi kegembiraan pendukung Foke (panggilan akrab Fauzy), bahwa, kemenangan Fauzy-Prijanto adalah kemenangan Nasionalisme.Benarkah?
Entahlah. Tapi nasionalisme yang dikatakan seorang kawan tadi, pastilah yang ia maksud yakni tentang fakta kemajemukan rakyat Indonesia yang harus diberi tempat seluas-luasnya di republik ini. Foke tampaknya menyadari betul tentang hal ini sehingga slogan kampanyenya adalah, Jakarta Untuk Semua.
Tanpa harus menjabarkan nasionalisme dalam artian sebenarnya, saya lebih tertarik menarik perspektif nasionalisme dalam hubungannya dengan pluralitas Indonesia. Memang dalam bangunan nasionalisme Indonesia yang berakar dari kenyataan kepelbagaian etnis, golongan dan agama di Indonesia, ia tidak sekonyong-konyong hadir dan mengada. Ia mengalami dialektika seiring dengan berjalannya proses sosial dan politik di negara ini. Di usianya yang kini 62 tahun—jauh lebih muda dari usia sejarah peradaban dan kebudayaan etnis-etnis di daerah-daerah wilayah republik, kita kembali diingatkan tentang sejarah lahirnya Replublik Indonesia yang dimulai dari proses kohesi semangat kebangsaan para pemuda yang kemudian bersepakat untuk bersatu pada konggres pemuda pertama 1908 hingga ikrar Sumpah Pemuda 1928. Ini kemudian menjadi tonggak bangkitnya nasionalisme ala Indonesia yang berakar pada kepelbagaian atau pluralitas.
Sayangnya, hingga proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Sukarno-Hatta, nasionalisme Indonesia itu terus digerus . Puncaknya yakni ketika Pancasila sebagai wujud absah nasionalisme Indonesia itu digugat dan bahkan oleh sekelompok orang penantangnya bersih kukuh untuk mengganti dasar negara Pancasila di era Orde Lama.
Terus sampai ketika berbagai rejim berganti, melahirkan orde baru, reformasi, dan pasca reformasi, Pancasila masih berada pada posisi yang terus mengalami fase-fase pergumulan yang sangat meresahkan
Padahal, sementara kita ribut soal Pancasila atau tidak Pancasila, baik oleh pendukung maupun oleh penentangnya, ternyata sejumlah gagasan tidak tunduk dan patuh pada apapun idologi, aliran, serta doktrin yang kita miliki. Yakni, makin mengguritanya kapitalisme global yang merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan selanjutnya melahirkan generasi peradaban baru dengan ciri hedonis, konsumeris, dan materialis.
Ia jelas mereduksi sistem nilai yang dikandung Pancasila, dan menggeser dogma toleran menjadi radikal, perikemanusiaan menjadi kebiadaban, persatuan ke keterceraiberaian, gotong royong menjadi individualistis, dan keadilan yang parsialis. Ini hendak mengatakan bahwa soalnya bukanlah menang kalahnya pertentangan ideologi-idelogi, tapi justru pada fakta-fakta pragmatis yang membeber bacaan mengerikan tentang dampak dan daya destruksinya yang dihasilkan.
Adalah ketika seorang Diah, anak SD di Jakarta (saat ditayangkan oleh salah satu tv swasta beberapa waktu lalu) malah tak hafal lagu Indonesia Raya, karena lebih enak mendengarkan senandung lagu salah satu group band Jakarta. Tentu ini bukan salah Diah, atau bukan soal fanatik tidaknya Diah dengan nasionalisme Indonesia itu. Tapi justru karena di ring tone dan nsp hpnya, di Mal, di Radio, di mikrolet, di mana-mana, lagu-lagu group band itulah yang memang tengah populer yang selalu diperdengarkan.
Sebuah kondisi di mana hampir tidak ada ruang yang tidak terisi oleh pola penggandaan modal, seperti kesenian, kebudayaan, bahkan agama yang mendorong perilaku neo liberal dalam tatanan kehidupan berbangsa.
Secara umum paling tidak saya mengindentifikasi beberapa hal yang mendorong nasionalisme Indonesia mengalami kemunduran setelah revolusi kemerdekaan.
Pertama, kuatnya arus modal. Di sinilah identitas nasionalisme perlahan kita menjadi kabur. Ketika semua anak bangsa terjebak pada perebutan sumber-sumber modal yang kini menjamur di setiap domain pragmatisme, politik, ekonomi, sosial dan bahkan agama. Di tingkat inilah segala sesuatu ditakar secara materislistik. Tak heran berbagai pesta demokrasi yang harusnya digelar untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang bermoral dan menjadi role model (panutan), justru terjebak dalam money politik yang memang dimungkinkan oleh faktor-faktor materialisme tadi. Sebaliknya konstituen yang akan memilih pemimpin yang mengayomi, menjadi tidak peduli lagi karena himpitan ekonomi yang makin mencekik. Arus modal juga akan mendorong efisiensi hingga melahirkan teknologi tinggi untuk efektivitas penggandaan modal. Maka, IT pun mengambil peran yang sangat besar bagi proses trendsetting pola budaya dan prilaku modern.
Kedua, dorongan radikalisme kelompok. Hal ini terjadi sejak awal-awal berdirinya republik ini yang memang tidak menginginkan negara yang didasarkan pada semangat kepelbagaian. Ia mengacuhkan kenyataan keragaman Indonesia yang warna-warni. Dogma radikalisme kelompok ini yang ternyata makin kuat dan terus bermetamorfosa hingga kini menyakini dogma agama yang harus digunakan untuk menjalankan sistem hukum dan pemerintahan di republik Indonesia. Meski kelompok ini boleh dibilang kecil, tapi justru gerakannya yang paling mengganggu dengan cara-cara yang radikal dan meminggirkan nilai-nilai kemanusiaan. Gerakannya dilakukan dari berbagai lini, hingga aspek hukum pun dirasuki, seperti Perda-perda berbauh agama,dsb.
Ketiga, amburadulnya tata pemerintahan yang baik.Merdeka saja ternyata tidak cukup. Pada fase penyelenggaraan pemerintahan, rakyat seharusnya menjadi subjek pembangunan dalam rangka mengisi kemerdekaan. Kenyataannya, banyak pemerintah yang lalim dan meninggalkan tugasnya untuk mensejahterakan rakyat banyak. Korupsi yang berjamaah, buruknya pelayanan publik, dan merosotnya mental birokrat, menjadi varian-varian negatif yang makin menyebabkan partisipasi rakyat dalam proses berbangsa dan bernegara yang makin luntur. Dalam potret Pilkada dan even-even demokrasi, banyak melahirkan masyarakat yang golput atau abstain dikarenakan ketidakpercayaanya terhadap elit politik dalam menyelenggarakan kesejahteraan terhadap rakyat banyak.
Keempat, sentralisme Jakarta yang berlebihan. Sistem bernegara kita yang masih cukup sentralistik, tentu tidak separah jaman orde baru yang semuanya serba diatur oleh petunjuk ”Jakarta.” Otonomi Daerah berhasil melakukan resentralisasi walau belum mampu melakukan desentralisasi. Begitu kata, Riyaas Rasyid. Dalam kondisi ini, nasionalisme 1928 diberangus dengan melakukan penyeragaman tanpa menghargai kenyataan-kenyataan kultural setiap daerah.
Kelima, hilangnya sasaran nasionalisme. Pasca kemerdekaan, seolah-olah objek sasaran yang mendorong mengkristalnya semangat nasionalisme telah tidak ada lagi. Maksudnya, kita tidak berhadap-hadapan lagi secara fisik dengan Belanda dan Jepang. Dan karena akar historis nasionalisme Indonesia dibentuk dari rasa sepenanggungan itu, perlahan mengalami perenggangan menyusul musuh luar hampir tidak ada lagi. Konversi sasaran nasionalisme agak lambat dibanding negara-negara seperti Jepang, Korea, Cina ataupun India. Bagi mereka harga diri nasionalismenya adalah ketika negara mereka mampu bersaing dengan negara-negara Eropa Barat.
Kesemua varian tersebut dapat dikatakan menjadi major problem hilangnya nasionalisme yang berakar dari kepribadian masyarakat lokal yang pernah bersepakat pada era kembangkitan nasional.
Beberapa faktor di atas masih ditambah oleh kenyataan hidup berbangsa yang belum menempatkan keadilan dan kesejahteraan pada porsi yang semestinya. Kemiskinan, pengangguran, dan berbagai penyakit sosial turunan lainnya pula ikut menggeser nilai-nilai kejuangan dan nasionalisme 1928. Ketika itu, berbagai perwakilan bangsa-bangsa Indonesia seperti Jong Aceh, Jong Sumatra, Jong Kalimantan, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Jawa dan Bali, Jong Bugis, dsb., bersepakat dalam keadaan yang sama-sama tertindas untuk bangkit dalam satu wadah perjuangan yang bercirikan, satu bangsa besar, bangsa Indonesia.
Itulah nasionalisme Indonesia. Nasionalisme yang lahir dan bertumbuh dalam semangat kepelbagaian. Ia lahir dari keberbedaan tiap-tiap etnis, dengan latar belakang agama yang berbeda pula. Bahwa setiap etnis di Indonesia memiliki saham yang sama dalam mengantarkan dan merebut kemerdekaan Indonesia tanpa kecuali.
Ketika, Foke dengan seabrek masalah sosial ekonomi itu mampu meyakinkan publik Jakarta, bahwa Jakarta untuk semua, kita kembali diingatkan bahwa sesungguhnya di republik ini sedang terjadi friksi yang cukup tajam. Yakni problem pengingkaran terhadap komitmen kebangsaan, kemajemukan dan persamaan hak yang pernah kita ukir dulu dalam semangat kebangkitan nasional.
Seharusnya bangsa kita bukanlah bangsa amnesia, yang ingkar terhadap kontrak sosial yang dibuat oleh the founding fathers untuk bersepakat bersatu.
Maka, di usia Indonesia yang tidak muda lagi, 62 tahun, kita berharap memori kolektif kita kembali merujuk pada masa di mana perbedaan golongan, etnis, bahkan agama tidak menjadi kendala untuk merebut kemerdekaan dari genggaman kolonialisme. Dalam nuansa penuh heroik ini, kita diingatkan kembali untuk memberi tempat pada kebersamaan dalam kepelbagaian yang merupakan mosaik paling indah yang dimiliki Indonesia. Sehingga, bukan hanya Jakarta yang untuk semua, tapi Indonesia adalah milik semua anak bangsa dengan pembagian saham yang jelas sejak nasionalisme Indonesia dibentuk dengan memberi tempat pada kekayaan kultural masing-masing bangsa, etnis, agama yang menyatu dalam satu bangsa besar Indonesia. Mari bangkit dari keterpurukan, dan bangun Indonesia untuk semua. Dirgahayu RI, Merdeka...***