Minggu, 23 September 2007

Cerpen Deni Pinontoan: "Baju Baru"

Pulang sekolah masih dengan seragam putih-merah Alo, bocah laki-laki 11 tahun langsung menuju ke dapur. Di sana ada mamanya yang sedang memasak nasi dan menggoreng ikan asin. Bukan karena bau ikan asin itu yang kebanyakan langsung membuat orang yang menciumnya merasa lapar, melainkan soal baju baru.

Baju baru memang menjadi topik percakapan Alo, Beni dan Inggrid juga murid-murid yang lain di sekolah waktu jam istirahat tadi. Beni memamerkan dalam ucapan-ucapannya soal kemeja dan celana baru yang dibeli oleh orang tuanya di Manado, ibu kota provinsi daerah mereka. Mulai dari soal harga, warna sampai bau baju baru itu dipamerkannya. Inggrid, juga tak mau ketinggalan. Inggrid si gadis cilik anak Pak Guru Matematika di sekolah itu, dengan segala kebanggannya menceritakan gaun merah mudanya yang baru dibeli di Mall di Manado. Sementara Alo, tak ada yang harus diceritakan. Ia belum membeli baju baru.

Mama Alo mengira anaknya itu ingin segera makan karena lapar. Tapi, bukan mengambil piring seperti biasanya kalau ia sudah lapar, melainkan langsung bermuka masam, sedikit minta dikasihani.

“Ma, Hari Natal tinggal 10 hari lagi,” ucap Alo.

Raut wajah serta gaya bicaranya minta diperhatikan. Tas sekolah Alo yang robek kecil di sisi samping belum juga dilepaskan dari punggung.

“Iya. Mama tahu. …Eh, sudah berapa kali mama bilang, kalau pulang sekolah langsung ganti pakaian! Baju sekolahmu cuma satu pasang. Kalau kena kotor, kamu tidak bisa ke sekolah!” kata Mama Alo sedikit membentak.

Habis berkata begitu Mama Alo meniup bara kayu bakar yang sedang membakar belanga goreng untuk menggoreng ikan asin. Sejak BBM naik, Mama Alo lebih memilih menggunakan kayu bakar untuk memasak.

“Ma…” kata Alo memelas.

“Ah! Alo, kamu dengar apa kata mama tadi? Pergi sana ganti baju!”

Alo tak beranjak dari tempat berdirinya. Ada sesuatu yang penting untuk disampaikan. Tapi rupanya mamanya tak langsung mengerti. Ia juga masih ragu untuk berterus terang.

Sementara di langit, awan hitam telah menutup wanua. Udara dingin mulai masuk sampai ke dapur yang berlantai tanah dan beratap rumbia itu. Kalau hujan, air biasanya menembus atap rumbia itu hingga ke tanah yang juga lantai hingga becek. Kalau sudah begini, Mama Alo menjadi sibuk untuk menutup lubang-lubang atap yang bocor.

“Ma, Beni dan Inggrid sudah punya baju baru untuk Natal,” ujar Alo sedikit ragu-ragu.

“Itu ‘kan mereka. Orang tua Beni dan Inggrid punya uang.” Cuma itu yang diucapkan oleh Mama Alo, kemudian meniup lagi bara kayu bakar.

Bara kayu bakar itu harus ditiup untuk menghasikan nyala api. Sejak Alo berada di dapur, mamanya sudah beberapa kali meniup bara kayu bakar itu. Kayu bakar Mama Alo agaknya tak terlalu kering. Maklum, setiap tahun sejak memasuki bulan September, biasanya hujan semakin sering turun membasahi alam.

“Ma, tahun lalu, Alo juga tak dibelikan baju baru. Tahun ini, bolehkah Alo dibelikan baju baru? Kalau ke gereja Hari Natal, cuma Alo yang tak pakai baju baru. Alo malu ma,” kata Alo memohon. Ia tetap di tempat ia berpijak. Tas sekolah tetap di punggungnya.

Ado kasing, Alo! Untung ngana masih bisa bersekolah. Itu sudah cukup. Jangan minta yang macam-macam. Apa yang diceritakan guru sekolah minggumu tentang cerita kelahiran Yesus? Baju baru tidak sama dengan Natal, Lo. Mangarti ngana?” jelas Mama Alo.

Setelah itu lagi-lagi ia sibuk dengan meniup bara kayu bakar yang nyala apinya hampir padam. Ikan asin yang digoreng belum juga matang. Sementara belanga yang berisi nasi, tinggal dipanggang menunggu matang.

“Iya ma, Alo tahu itu. Mar ma, malu ‘kan kalu cuma Alo yang tak pakai baju baru waktu Natal nanti.”

Air hujan akhirnya jadi juga turun dari langit. Padahal, Mama Alo belum selesai memasak. Dengan begitu, Mama Alo tak lagi meladeni anaknya berbicara soal baju baru. Ia harus menutup lubang-lubang atap rumbia yang menganga itu.

Hujan Desember turun begitu derasnya dengan tiba-tiba tak menghiraukan atap rumbia yang bocor. Untung, Mama Alo sudah sering melakukan tindakan menutup lubang atap rumbianya. Sehingga, air hujan tak sampai mengena bara kayu bakar yang sedang membakar belanga goreng yang berisi ikan asin dan belanga nasi yang sedang dipanggang. Meski memang, di bagian-bagian tertentu air hujan tetap menembusi atap rumbia dan mengenangi lantai tanah dapur. Alhasilnya, lantai tanah dapur menjadi becek sehingga sangat mengganggu aktivitas Mama Alo memasak.

Melihat mamanya sibuk menutup lubang-lubang atap rumbia, Alo pun beranjak dari dapur pergi ke kamar tidur. Alo tak mempunyai kamar tidur sendiri. Ia tidur dengan mamanya. Rumah mereka hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang juga berfungsi ruang makan yang hanya dipisahkan oleh sekat terbuat dari tripleks dengan dapur. Atap kamar tidur dan ruang tengah rumah, baru beberapa bulan diganti dengan seng. Sebelumnya, sama dengan atap dapur menggunakan rumbia. Atap seng itupun adalah bantuan pemerintah desa untuk keluarga miskin.

Di kamar tidur, Alo dengan malas melepaskan tas dan pakaian sekolahnya. Sepatu hitam dan kaos kaki putih pemberian orang tua baptisnya tahun lalu menyusul belakangan setelah Alo duduk sejenak di ranjang memikirkan soal baju baru itu. Memandang sepasang sepatu dan kaos kaki yang hampir usang, Alo teringat orang tua baptisnya yang baik hati itu. Tapi sayang, kini mereka telah pindah ke kota lain untuk sesuatu hal. Tubuh bagian atas Alo masih telanjang ketika mamanya memanggil dari ruang tengah rumah untuk makan siang.

Meja makan yang juga berfungsi sebagai meja tamu dan meja belajar Alo terletak di ruang tengah ruangan itu, Di meja itu terhidang nasi sebaskom dan beberapa potong ikan asin goreng yang ditaruh di piring. Alo duduk menghadap meja makan kurang bersemangat. Alo duduk berhadapan dengan mamanya. Sebelum makan, Mama Alo memimpin doa.

Tampak sekali pikiran Alo sedang tidak di meja makan. Ia hanya mengambil beberapa sendok nasi dan sepotong ikan asin. Makanan itupun tak lahap dimakan Alo. Sementara mamanya, dengan lahap mengunyah nasi dan ikan asin. Barangkali karena lapar. Mama Alo tak pakai sendok, ia makan dengan menggunakan tangan.

“Ma, bagaimana dengan baju baru itu?” Alo mengulangi pembicaraan soal baju baru. Hanya satu dua kali ia menelan makanan. Sendok pun tak dipegangnya terus.

“Baju baru apa? ‘Kan mama sudah bilang. Jangan kau samakan antara baju baru dengan Natal. Nantilah, kalau mama ada uang lebih, kamu beli baju baru. Beli baju baru tak harus karena Natal,” ucap Mama Alo sambil memandang anaknya itu dengan wajah serius.

Alo memang baru kali ini sedikit berusaha meminta dibelikan baju baru. Ia tahu keadaan mamanya. Apalagi hidupnya, hanya bergantung sepenuhnya pada mamanya itu. Sejak papanya tewas tertimpa balok kayu ketika bekerja sebagai buruh bangunan di kota tiga tahun lalu, mamanya dengan susah payah mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Mamanya bekerja mencuci pakaian dan kadang-kadang memasak pada keluarga Pak Herman yang masih tergolong saudara dekat papanya. Seminggu sekali, setiap hari Kamis, ia juga dipanggil Tante Mari berjualan nasi kuning dan tinutuan di pasar. Sekedar Bantu-bantu. Meski pendapatannya pas-pasan, tapi dengan cara itulah mereka bisa bertahan hidup.

Di luar hujan yang deras telah cukup membasahi tanah halaman dan jalan wanua yang berlubang karena tidak pernah diaspal. Serumpun pohon pisang sepatu di samping kiri rumah Alo juga ikut basah. Lantai tanah dapur membentuk kubangan akibat air hujan yang menembusi atap rumbia yang bocor. Belanga nasi telah dipindahkan dekat meja makan. Di ruang tengah ibu dan anak itu aman dari air hujan Desember

“Alo tahu mama tak punya uang untuk beli baju baru.” Alo berkata dengan nada manja.

“Kalau kamu mengerti keadaan mamamu, jangan kau ulangi lagi soal baju baru itu. Yang penting masih ada baju yang layak di pakai untuk ke gereja. Masih ada kemeja dan celana pemberian Venly, anak Pak Herman. Cuci bersih dan itu saja yang kau pakai ke gereja hari Natal nanti.”

“Tapi ma, baju itu sudah sering Alo pakai ke gereja. Ma, bagaimana kalau mama pinjam uang saja pada Istri Pak Herman. Ia pasti beri.” Alo memberi usul

“Apa, pinjam uang? Ado kasiang Alo, mau diganti pakai apa? Kamu ini, masih kecil sudah berpikir pinjam uang. Kamu mau setelah Natal kita dikejar-kejar hutang? Dasar!”

“Tapi ma, kita ‘kan juga membutuhkan uang untuk membuat kue Natal. Sekalian saja uang yang dipinjam itu beli bahan-bahan untuk kue dan baju baru Alo.”

“Tidak! Sekali lagi tidak! Hari Natal nanti, kita seperti hari-hari biasa. Mama tak punya uang. Yang penting ke gereja dan beribadah. Titik! Itu saja sudah cukup. Jangan kau hiraukan apa kata teman-temanmu. Kita ke gereja bukan kepada teman atau orang lain, melainkan kepada Tuhan!” Mama Alo terpaksa membentak. Ia tak lagi mengunyah makanan. Ia hanya menatap dalam-dalam sisa makanan di piringnya.

“Ah, mama. Kalau tidak bisa, ya sudah.” Alo tak sampai memaksa. “Maafkan Alo, ma.”

Mama Alo tak menjawab. Ia buru-buru membereskan meja makan. Alo juga sudah selesai makan. Ia hanya makan sedikit. Sementara belum ada tanda-tanda hujan Desember berhenti. Atap seng yang terkena butiran air hujan mengeluarkan bunyi alam. Alo masih duduk terpaku menghadap meja makan.

Mama Alo telah menghilang dari meja makan. Selesai membereskan peralatan makan, Mama Alo ke kamar tidur. Alo tak tahu itu. Di dalam kamar, masih tetap berdiri, Mama Alo menatap foto suaminya yang dipajang dekat lemari pakaian. Gambar suaminya itu adalah pas foto hitam putih yang diperbesar. Hanya foto itu yang ada. Ia merabah foto itu. Bukan untuk membersihkan, melainkan seolah-olah untuk berkomunikasi. Terlihat bibir Mama Alo berkomat-kamit. Tak jelas apa yang diucapkannya. Yang tampak adalah satu dua titik air mata membasahi pipinya.

Bunyi atap seng akibat terkena butiran air hujan berirama kesedihan. Bunyi itu mengiringi keluhan yang sangat Mama Alo. Kalau saja si suami tak meninggal, pasti baju baru Alo untuk Hari Natal tak menjadi soal yang berat seperti ini. Itu menjadi soal, bukan karena baju baru tuntutan Alo berlebihan atau salah, melainkan karena ia memang tak punya uang lebih untuk itu.

Usia perempuan itu masih 38 tahun. Dia usia yang masih relatif muda itu, Mama Alo telah cukup merasa tersiksa dengan keadaannya yang miskin. Apalagi keluarganya telah menjauh dari kehidupannya setelah ia terpaksa memutuskan kawin dengan suaminya yang telah meninggal itu. Dengan berbagai alasan, keluarganya sangat tidak menyetujui perkawinan itu. Tapi apa boleh buat, perkawinan tak mungkin dibatalkan, cinta telah terlanjur menghasilkan bukti.

Bukti cinta itu adalah Alo. Sehingga, apapun caranya, mestinya Alo harus bahagia. Tapi, karena cinta pula, sehingga Mama Alo memilih jalan yang wajar untuk membahagiakan Alo. Kalau saja ia mau berselingkuh dengan Robi, pegawai di kantor kecamatan, pasti baju baru Alo tak menjadi soal yang berat. Tapi, itu tidak baik. Mama Alo lebih memilih bentuk kehidupannya seperti sekarang, miskin, ketimbang hidup kaya materi tapi berlumuran dosa.

Bunyi atap seng yang terkena butiran air hujan mulai berkurang. Hujan Desember mulai redah. Air mata Mama Alo tak lagi menetes. Meski kesedihan masih menyelimuti batinnya. Dilepaskannya foto hitam putih suaminya itu. Ia pun melangkah ke luar, ke ruang tengah rumah itu.

Di sana Alo duduk di depan pintu masuk rumah. Ia menatap ke luar, ke halaman rumah yang digenangi air hujan. Butiran-butiran air hujan yang tak lagi banyak, menggantikan tangisnya. Menangis bukan karena tak dibelikan baju baru, melainkan karena rasa bersalah. Alo menyesal telah membuat mamanya bersedih.

Bukankah mama tak boleh sedih. Ia mamaku. Ia kehidupanku. Ia pengharapanku. Maafkan aku ma. Oh, Tuhan, maafkan aku.

Dari arah belakang Alo, kira-kira dari jarak tiga meter, mamanya menatap Alo dalam keharuan.

Anakku, maafkan mama. Mama tak bisa membelikanmu baju baru. Tapi masa depan dan kehidupanmu, mama berjanji akan kau raih, bersama kasih mamamu.

Di luar, hujan Desember akhirnya benar-benar berhenti. Jalan wanua kini ramai lagi dengan lalu lalang para warga. Para tukang ojek, ke sana ke mari dengan sepeda motornya yang belum lunas dikredit.

untuk cinta dan kegigihan hidup seorang ibu

Tomohon, 13 Desember 2005

Cerpen Deni Pinontoan: "Merenung Tentang Ober"


Dulu, bagi Ober, begitu pemuda bergelar serjana teologi itu biasa disapa, kekuasaan dan kekayaan adalah setan yang menakutkan. Bagi Ober, sang aktivis mahasiswa kesiangan pasca 98, kekuasaan hanya berdampak pada peminggiran dan diskriminasi bagi rakyat kecil. Ia tahu betul itu, karena ia juga dari golongan masyarakat yang barangkali korban kekuasaan. Soal kekayaan, bagi Ober, adalah usaha tertinggi manusia yang bernafsu dengan harta duniawi.

Sebagai seorang yang berpendidikan teologi, ia lebih setuju kalau kekuasaan itu diserahkan saja kepada Sang Penguasa Langit dan Bumi, Tuhan barangkali maksudnya. Kalau kekayaan, menurutnya lebih baik kalau itu dianggap hak sepenuhnya dari Sang Maha Kaya, Tuhan lagi barangkali maksudnya. Manusia lebih baik hidup dalam kemiskinan yang menyakitkan agar, kata Ober, ia dapat menghayati bagaimana penderitaan itu sebagai konsekuensi menaati tradisi dan dokrin agama.

Tapi itu setahun yang lalu. Sekarang, si Ober telah berubah 180 derajat. Kini, ia menjadi pembela rezim yang dulunya ia tentang mati-matian karena kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, katanya waktu itu. Dalam sebuah aksi, ia saya lihat berdiri pada posisi yang dulu ia tentang. Tapi yang memprihatinkan ketika isi orasinya, hampir sama dengan khotbahnya dulu ketika memimpin ibadah di suatu jemaat. Ada kata-kata: “keadilan,” “kebenaran” “kejujuran” dan sudah tentu ia meneriakan dengan suara yang menggelegar karena sound system yang digunakan cukup baik, kata “Tuhan”.

Cerita yang beredar, si Ober ternyata kini telah menduduki suatu jabatan bergengsi yang diberi oleh rezim penguasa itu. Setelah ia duduk di jabatan itu, tentu ia juga sudah bagian dari rezim itu. Orang yang tahu siapa Ober itu terheran-heran. Baru sekitar satu tahun menyandang gelar sarjana, belum punya pengalaman apa-apa terhadap kerja kini ia sudah punya jabatan.

“Saya baru sadar sekarang. Ternyata dengan idealisme saja tidak membuat saya bisa bertahan hidup. Soe Hok Gie, memang bisa tampil garang melawan ketidakadilan dengan idealismenya. Tapi, itu kan ketika ia masih mudah. Kira-kira 27 tahun usianya waktu itu. Juga karena dia memang hadir di zaman yang menuntut orang harus tampil dengan 100 persen idealis. Tapi coba dia hadir sekarang? Barangkali akan menjadi lain,” ujar Ober pada teman-teman lamanya sebagai aktivis yang bertanya tentang pendiriannya sekarang. Waktu itu di acara pelantikan pengurus baru sebuah partai berkuasa. Ober ternyata juga termasuk salah satu pengurus partai itu.

Aku menguping pembicaraan Ober dan teman-teman lamanya dari jarak kira-kira 1 meter. Mereka tak kenal siapa aku. Tapi aku mengenal Ober, setidak-tidaknya dari pernyataan-pernyataannya mengecam ketidakadilan waktu dulu, juga bicara-bicaranya di koran hampir setiap hari akhir-akhir ini. Aku memang orang tak terkenal. Pekerjaanku hanya sebagai Satpam di gedung tempat digelarnya acara partai besar itu.

Ober, yang aku lihat sekarang tidak seperti yang aku lihat di fotonya dulu, setahun yang lalu itu. Dulu, penampilannya memang khas aktivis mahasiswa. Foto yang aku lihat itu ditaruh di halaman depan sebuah koran lokal dengan tangan mengepal dan berteriak menuntut keadilan atas diskriminasi dan kejahatan yang dibuat rezim. Yang aku baca, Ober waktu itu bertindak sebagai Koordinator Lapangan dalam aksi yang melibatkan kurang lebih 500 mahasiswa.

Ober barangkali pertama sama dengan aku, sama-sama hanya sekedar mencari apa yang bisa diisi di perut. Tapi, antara satpam dengan sebagai pejabat apalagi ditambah juga pengurus partai, sudah tentu berbeda. Jenis pekerjaan dan jabatan sudah pasti menentukkan pendapatan. Tapi, yang aku lihat terakhir ini, yang Ober kejar bukan lagi pendapatan untuk makan sehari sampai seminggu. Ini, sudah berkembang pada usaha pencarian kedudukan demi kekuasaan. Siapapun tahu, kalau sudah sampai masuk ke wilayah politik praktis, yang dicari hanya dua, kekayaan dan kekuasaan. Kalau bekerja sebagai Satpam, bukannya membela diri, ya, paling hanya sekedar mempertahankan hidup di tengah kejamnya zaman.

Sebuah koran lokal, seminggu yang lalu menulis tentang profil Ober dengan segala prestasi dan prestisenya. Ober memang masih muda. Kalau saya taksir, kira-kira usianya antara 27 atau 28 tahun. Pantas saja, kalau kekritisannya semasa mahasiswa menjadi incaran rezim berkuasa. Tulisan di koran lokal itu menceritakan juga bagaimana menderitanya kehidupan Ober semasa kecil. Seorang anak yatim yang dibesarkan dengan penuh kekurangan. Ternyata itulah yang membuat Ober bangkit dan bergerak melawan kenyataan hidup yang menderita. “Hidup harus diperjuangkan,” begitu tulis koran lokal itu mengutip ungkapan Ober.

“Ini juga kan bicara strategi. Menundukkan orang yang berpotensi menjadi pemberontak dengan cara memberi kedudukan dengan iming-iming kekayaan adalah cara yang sering ditempuh oleh rezim berkuasa, siapapun rezim itu, “ begitu komentar komandan Satpamku ketika kami membahas tulisan mengenai Ober itu.

“Tapi ini juga soal nurani manusia. Banyak orang yang tak bisa bertahan menghadapi godaan kekayaan dan kekuasaan. Meski dulu lantang berteriak keadilan dan kebenaran, tapi pada saat-saat tertentu pendiriannya bisa berubah secara drastis,” ujarku.

Merenung tentang profil seorang Ober, aku mendapatkan sebuah pengetahuan. Bahwa, hidup ini belum berhenti dan ternyata memang warna-warni. Ternyata, aliran hidup ini macam-macam cabangnya. Ada yang mengalir menuju ke suatu arah yang mendamaikan meski dipenuhi dengan bebatuan. Ada yang sedang mengalir menuju kehancuran dengan kegemerlapan dan kemudahan hidup. Tapi ada juga yang alirannya dipenuhi bebatuan dan kadang-kadang bergantian dengan kegemerlapan hidup, tapi tujuan akhirnya penuh dengan kerahasiaan. Aku sedang berusaha mencari tahu, hidupku sebagai Satpam sedang mengarah ke mana.

Uh, hidup… hidup… Itulah hidup. Aku baru tahu sekarang, kira-kira dua minggu dari merenung itu, Ober kini telah masuk bui. Ia terbukti menggelapkan uang milik rakyat. Ober, ternyata koruptor. Ini yang komandanku duga sejak Ober menjadi bagian rezim itu.

Tomohon, 26 April 2007