Selasa, 23 Desember 2008

Esei Denni Pinontoan: "Mesias Lahir Di Pinabetengan"

Sebuah Usaha Memaknai Natal Yesus Kristus dalam Konteks Minahasa Kontemporer

Oleh Denni Pinontoan


Selasa (9/12) malam lalu, di Watu Pinabetengan sekelompok anak muda Minahasa merayakan Natal Yesus Kristus dengan cara mereka sendiri. Tidak ada lagu Natal. Tidak tampak hiasan yang khas perayaan Natal, semisal pohon Natal, lampu kelap-kelip, dan tidak ada lilin-lilin yang diatur berbentuk salib untuk secara bergantin dinyalakan oleh orang-orang berkelas. Dan juga tidak ada khotbah dan doa yang dogmatis dari seorang pendeta atau evangelis. Khotbah diganti dengan diskusi intelektual, pujian-pujian diganti dengan pembacaan puisi secara bergantian, terang lilin diganti dengan nyala lampu petromaks.

Di bagian depan bangunan yang menutup Watu Pinabetengan yang monumental itu, sekelompok anak muda Minahasa ini duduk melingkar. Ada yang bersila sambil menyandarkan badan di dinding beton bangunan itu, dan yang lainnya bersila di atas lantai yang terbuat dari semen. Malam itu memang tidak tampak ada sekelompok orang yang sedang merayakan Natal Yesus Kristus, sebagaimana lazimnya umat Kristen merayakan Pohon Terang. Tapi bagaimanapun, bagi mereka itu adalah perayaan Natal. Tapi, apapun bentuknya acara malam itu, yang jelas, bagi mereka inilah cara praktis tapi bermakna dalam usaha memaknai Natal Yesus Kristus dalam konteks Minahasa.

Sekelompok anak muda Minahasa ini terdiri dari berbagai elemen, antaranya dari Komunitas Pinabetengan Muda (anggotanya kebanyakan dari pemuda Desa Pinabetengan), Mawale Movement dan perwakilan Teater Unggu UNIMA. Mereka memang berada dalam komunitasnya masing-masing, tapi semua berada dalam spirit yang sama, yaitu sedang dalam usaha melakukan pergerakkan Keminahasaan.

Tema perayaan Natal Yesus Kristus oleh anak muda Minahasa di malam itu adalah: ”Mesiah Lahir di Pinabetengan”. Sebuah tema yang provokatif tapi sebenarnya relevan dan penuh makna dalam usaha memaknai Injil Yesus Kritus dalam konteks penggerakan Minahasa. Barangkali bagi banyak orang ini kontroversi, sebab sejak sekolah Minggu umat Kristen telah diajarkan bahwa Yesus lahir di Betlehem bukan di tempat lain, apalagi di Pinabetengan. Tapi tema ini sebenarnya sedang usaha memaknai makna dalam dalam kekinian dan kedisinian Minahasa.

Watu Pinabetengan sengaja dijadikan sebagai tempat untuk melakukan ritual intelektual itu mengingat dalam pemaknaan sekarang bagi Tou Minahasa Watu ini memiliki nilai historis dan kultural yang tidak bisa dilepaskan dalam merefleksikan keminahasaan. Menurut Freddy Wowor dan Greenhill Weol (penggiat Mawale Movement) dan Fryski Tandaju (dari Pinabetengan Muda), ini adalah cara yang tepat dalam memaknai nilai Watu itu. Sebab menurut mereka, Watu Pinabetengan sejatinya adalah tempat berdiskusi dan bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh para dotu Minahasa tempo dulu.

Diskusi malam itu berlangsung alot dan penuh makna dalam usaha memikirkan keminahasaan kontemporer. Pembicaraan yang serius mengarah ke dua pertanyaan, yaitu, ”Siapakah Yesus dalam Konteks Minahasa?” dan ”Siapa Tou Minahasa itu?” Dua pertanyaan ini akhirnya menjadi pemicu dalam usaha menginterpretasi ulang makna kelahiran Yesus, dan usaha menjawab tentang jati diri Tou Minahasa yang terus berdialektika dalam sejarah.

Ketika mendiskusikan pertanyaan, ”Siapakah Yesus dalam Konteks Minahasa?” saya kemudian teringat pertanyaan Yesus kepada murid-murid-Nya yang ditulis oleh para penulis Injil. Lukas 9:20-21 (dapat juga dibaca dalam Mat. 16:15-6 dan Mrk. 8:29) menulis: ”Yesus bertanya kepada mereka: ’Menurut kamu, siapakah Aku ini?’ Jawab Petrus: ’Mesias dari Allah.’” Matius menulis jawaban Petrus itu dengan: ”Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Sementara Markus menulis: ”Engkau adalah Mesias!”

Inilah pertanyaan yang mestinya dijawab oleh gereja (sebagai sistem nilai maupun sebagai lembaga) sepanjang abad. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya ingin menegaskan pengakuan iman dan kepercayaan atas kemesiasan Yesus, Raja yang diurapi, pembebas dari segala bentuk kuasa yang mencengkeram dan menindas. Injil Yesus Kristus mestinya berkisar pada spirit atau semangat pembebasan, pemerdekaan, keadilan dan damai sejahtera bagi yang tertindas, kaum yang lemah karena diskriminasi dan marginalisasi oleh kuasa apapun termasuk kekuasaan negara yang represif.

Pertanyaan siapakah Yesus menurut kita, sekarang ini menjadi pokok pembicaraan dalam diskusi-diskusi gereja-gereja Asia. Dalam usaha menemukan siapa Yesus dalam konteks Asia itu akhirnya mengarahkan kita pada apa makna Injil Yesus dalam konteks yang plural (SARA), totaliterianisme kekuasaan negara, kemiskinan, kuasa neoliberalisme dan berbagai persoalan lainnya. Ini sebenarnya sama juga dengan bertanya: ”Siapa Yesus dalam konteks kebudayaan kita?” Akhirnya, mau tidak mau, jawaban atas pertanyaan ini akan menyentuh persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya kita. Dengan demikian, Injil Yesus Kristus dan makna pengosongan diri Allah melalui kelahiran Yesus tidak hanya akan menjadi kata-kata indah untuk disyairkan yang hanya membuat umat atau rakyat tertidur secara terpaksa dalam keadaan lapar akibat pemiskinan oleh kuasa neoliberalisme, menderita karena konflik/peperangan, dan tertindas di tanah sendiri akibat kamuflase politik negara.

Natal dan Injil Yesus Kristus akhirnya harus bermakna pembebasan, pemerdekaan, penerimaan, keadilan dan damai sejahtera. Dalam konteks kebudayaan kita Minahasa, Natal dan Injil Yesus tentu bukan lagi bermakna mendikte dan menvonis salah nilai dan bentuk budaya yang dipahami dan dipraktekkan Tou Minahasa, melainkan lebih sebagai spirit dan semangat dalam usaha penggerakkan keminahasaan yang berhadapan dengan ancaman neoliberalisme, kekuasaan negara yang mutlak, dan perilaku pragmatis dalam Pilkada, Pilcaleg, serta kerja politik elit kita di lembaga eksekutif dan legislatif. Dengan penuh keyakinan kita mestinya merumuskan pengakuan iman kita orang Minahasa dengan memaknai Natal dan Injil Yesus sebagai spirit perlawanan terhadap segala kuasa yang menyesatkan itu. Itulah jawaban kita Tou Minahasa atas pertanyaan Yesus: ”Menurut Kamu, Siapakah Aku ini?” Dengan demikian, sebuah pengakuan iman khas kebudayaan Minahasa telah kita rumuskan.

Terkait dengan itu, kita juga harus menjawab pertanyaan: ”Sei sia se tou Minahasa?”, ”Siapa Orang Minahasa?” Dalam diskusi di Watu Pinabetengan itu berhasil disimpulkan bahwa orang Minahasa bisa berdasarkan geneologis, berdarah Minahasa dan juga bisa siapapun dia, dari manapun asalnya, tapi tinggal di Tanah Minahasa dan mampu membuktikkan komitmennya atas perjuangan Minahasa untuk mencapai cita-citanya. Minahasa memang bermakna pluralisme. Minahasa berarti bersatu dalam perbedaan, atau keberagaman yang berkomitmen berjuang bersama-sama untuk mencapai cita-cita yang sama. Itulah bangsa Minahasa secara kultural. Sehingga Minahasa tidaklah harus diidentikkan dengan agama Kristen. Bahwa nilai kekristenan telah mempengaruhi atau memberi isi bagi kebudayaan Minahasa sampai hari ini, ya, tapi agama Kristen identik dengan Minahasa secara teritorial dan politik barangkali tidak, dan keliru kalau kita menyamakannya.

Pertanyaan Yesus, ”Menurut kamu, siapakah Aku ini?”, memberi ruang bagi manusia dalam ruang dan waktunya untuk mengekspresikan imannya kepada Yesus sebagai Mesias Anak Allah, yang membawa kabar damai sejahtera, kebebasan dan keadilan. Jawaban yang diberikan tentu akan bermacam-macam. Tapi bentuk jawaban itu akan selalu berdasar pada dua hal, yaitu siapa yang memberi jawab dan dalam kebudayaan (ruang dan waktu) apa si pemberi jawab itu hidup. Injil Yesus Kristus sebagai spirit melampaui ruang dan waktu manusia, tapi cara mengekspresikannya mestinya berbentuk hasil dialog antara makna Injil yang tetap itu dengan ruang dan waktu manusia yang selalu berubah.

Makna Natal dan Injil Yesus Kristus mestinya bukan hanya soal ”surga” yang akan datang dan konon itu, tapi terutama adalah soal sekarang, hari ini. Minahasa hari ini, adalah Minahasa yang sedang bergolak hebat dengan persoalan sentralisme kekuasaan negara, serbuan kuasa kapitalisme dan neoliberalisme yang memakai perangkat globalisasi, serta pragmatisme elitnya – yang kebanyakan adalah Tou Minahasa – dalam jabatan-jabatan politik serta ekonomi yang dengannya terbentuk kelas-kelas sosial yang saling menindas. Spirit Natal dan Injil Yesus Kristus mestinya bermakna perlawanan terhadap segala kuasa yang sesat itu. Sebab keselamatan mestinya juga bermakna hari ini, yaitu keselamatan atau pembebasan atas segala kuasa dunia yang menindas dan memiskinkan (Luk. 4:18-19).

Senin, 15 Desember 2008

Cerpen Denni Pinontoan: "Pohon Besar Itu".

Perkenalkan, aku Pinkan. Aku anak perempuan berusia 11 tahun. Aku tinggal di sebuah rumah kayu di sebuah wanua1 di bagian Selatan Minahasa. Tahun ini aku akan tamat sekolah dasar. Doakan, ya agar aku bisa lulus dalam ujian akhir yang dua bulan lagi itu. Aku memang butuh doa. Karena kata guruku, ujian kali ini sangat ketat. Soal-soalnya dikirim dari pusat dan nanti dibuka amplopnya ketika ujian akan dimulai. Aku harus memang butuh dukungan doa, agar aku dijauhkan dari cobaan untuk menyontek atau menerima bantuan dari guru. Sebab, guru juga kadang suka membocorkan soal-soal ujian. Sebenarnya bukan untuk pertama-tama melakukan perbuatan yang melanggar aturan, melainkan untuk membantu kami murid mereka yang tersayang.
Tapi, lupakan dulu ya, soal ujian itu. Toh, aku sudah belajar keras dan juga sudah meminta doa dari mama, papa, kakak dan kalian semua. Tuhan mana yang mau membiarkan anak-anak-Nya jatuh dalam ketidalulusan?
Ada persoalan penting yang ingin aku ceritakan pada kalian. Minggu lalu wanua kami heboh dengan kejadian tanah longsor di ujung wanua kami. Untung kejadian itu tidak sampai memakan korban jiwa manusia, kecuali beberapa pohon cengkih sansibar milik om Alo. Tapi ada juga yang perlu disayangkan. Sapi milik Om Yantje yang bernama Bongko itu, tewas tertimbun tanah. Sampai sekarang cuma ekornya yang tampak keluar dari timbunan tanah bercampur batu. Tubuh si Bongko yang malang perlahan tapi pasti sementara membusuk dalam tanah. Kasihan memang. Padahal, menurut cerita Om Yantje, si Bongko sedang mengandung anaknya. Om Yante dan istrinya, tante Neli aku lihat sangat sedih. Aku apa lagi, si anak perempuan kecil ini.
Warga di wanua kami memang belum melakukan apa-apa membereskan longsoran tanah itu. Sebab hujan baru berhenti kemarin. Hukum Tua2 bilang sudah menelepon ke pemerintah kabupaten untuk mendatangkan alat berat mengangkat timbunan tanah itu. Tapi, aku tak tahu mengapa hingga sekarang belum muncul juga alat berat itu. Warga pun hanya ramai membicarakan perihal tanah longsornya, yang merobohkan pohon cengkih dan membunuh si Bongko yang sedang bunting.
Sore ini kakek, ayah dari ibu datang ke rumah. Kedatangan kakek ke rumah selain sekedar untuk melihat keberadaan kami yang rutin dilakukannya, tapi juga untuk menanyakan kabarku. Bukan kabar soal apakah aman dari tanah longsor atau tidak, melainkan persiapanku untuk ujian akhir yang lagi dua minggu itu. Kakek memang selalu mengikuti perkembangan sekolahku, ini barangkali karena dia mantan guru di wanua kami. Kakek dulu kata ibu, adalah guru matematika di sekolah tempat aku bersekolah sekarang. Setelah memastikan bahwa aku sudah siap mengikuti ujian akhir, aku lihat kakek dan ayah bercerita di teras rumah.
Aku berada di dalam rumah sibuk mengisi latihan soal-soal ujian akhir. Antara aku dengan ayah dan kakek di teras rumah itu hanya dipisahkan oleh dinding rumah sehingga aku masih bisa menguping pembicaraan mereka.
"Makanya, apa kata para orang tua mestinya kita dengar. Jangan sekali-kali menebang pohon beringin itu. Kamu tahu, usia pohon itu sudah setua wanua kita. Masakan tidak dihormati lagi. Kami dulu, menebang cabangnya saja harus minta permisi." kata Kakek pada ayah yang duduk di kursi sebelahnya. "Pohon beringin itu ditanam oleh leluhur kita untuk menjaga wanua ini."
"Yah, ini barangkali karena musim hujannya sudah sangat sering sehingga tidak bisa tertahan lagi oleh tanah. Alam memang sudah berkehendak begitu untuk menegur kelakuan kita manusia di wanua ini yang telah sangat jauh dari Tuhan. Kalau soal bahwa pohon beringin itu adalah penjaga kampung ini, aku pikir itu tinggal cerita lama, yang sekarang telah menjadi takhyul. Masakan kita orang yang sudah Kristen masih percaya takhyul. Karena itulah sehingga Tuhan marah," ujar ayah.
Kakek tak langsung menanggapi pemikiran ayah. Segelas kopi hitam yang dihidangkan ibu, diraih kakek dari meja. Seteguk cairan berkafein itu masuk ke kerongkongannya. Sebatang rokok kretek menyusul kemudian di bibirnya. Segera setelah itu kakek pun melepaskan kepulan asapnya. Sedangkan segelas berisi teh panas untuk ayah masih diam mematung di meja, hanya uapnya yang menari-nari.
Setelah dua kali mengeluarkan kepulan asap rokok, kakek pun berkata, "Ini bukan takhyul, Rob. Untung bukan Yantje atau kita yang menjadi korban. Bongko itu mati tertimbun longsor karena memang penjaga pohon beringin itu meminta tumbal. Ini karena kita tidak menghargainya lagi," kakek berkata menjelaskan. Tangannya ikut bergerak. Sebatang rokok kretek itu masih terjepit pasrah di antara jari-jarinya yang berurat.
"Sudahlah, yah. Ini bukan soal tumbal atau penjaga pohon itu sedang marah. Ini karena wanua kita ini harus sadar diri. Lihat, perjudian, percabulan dan pencurian semakin hari semakin marak terjadi di wanua kita ini. Itu semua dosa, yah. Untung Tuhan menegur kita masih lewat tanah longsor yang korbannya hanya Bongko dan pohon cengkih sansibar. Coba kalau gempa yang membela tanah dan sakit menular, seperti flu burung atau Aids. Sudah saatnya orang-orang di wanua ini melakukan pertobatan massal," Ayah agaknya mulai terpancing mengkhotbai kakek. Ini memang besar kemungkinan terjadi, karena ayah selain sebagai PNS di kantor kecamatan, juga sebagai penatua3 di gereja kami, yang kerjanya adalah juga mengkhotbai orang.
Aku berhenti sejenak dari kesibukanku mengisi latihan soal-soal ujian akhir. Aku tiba-tiba terkejut bahkan bulu romahku sampai merinding mendengar percakapan yang sudah sangat serius itu. Aku pun keluar ingin ikut memberikan pendapat di tengah percakapan antara kakek dan ayah. Aku melangkah ke teras rumah dan berkata, "Begini pak, kek,..."
Belum selesai aku berbicara, ayah langsung memberi isyarat dengan jari telunjuknya agar aku tidak usah ikut berbicara seraya berkata, "Pinkan, ayah sudah berkali-kali bilang, kalau orang tua lagi berbicara, kamu tidak boleh mengganggu. Kamu masih kecil tidak boleh mengganggu percakapan orang dewasa."
Larangan seperti itu memang selalu aku dengar. Alasanya selalu sama, kata ayah, karena aku masih kecil. Ini tidak adil. Padahal, Yesuspun sangat menghargai anak kecil. Tidak demokratis dan egaliter kalau begitu. Padahal, aku pernah baca buku, katanya orang Minahasa dulu sangat demokratis dan egaliter. Semua punya hak bicara asalkan sudah tahu bicara dan tentu sopan. Tapi bagaimanapun aku harus bicara, percuma aku sekolah kalau tidak boleh mengemukakan pendapat. Aku harus bicara sekarang.
"Ayah..."
Sekali lagi ayah melarangku. Tapi kakek membela.
"Rob, biarkan Pinkan bicara," kata kakek membela. "Apa yang ingin kau katakan, Pinkan?"
Ayah rupanya tak bersikeras melarangku berbicara. Ayah pun tiba-tiba hanya diam tak memandangku. Kakek malah menatapku dan siap mendengar apa yang akan aku katakan.
"Begini, kek, tanah longsor itu, kata guru Pinkan di sekolah antara lain di sebabkan oleh erosi. Air hujan tak lagi meresap ke dalam tanah. Ini karena tak ada lagi akar pohon-pohon yang menahannya. Tanah di ujung kampung itu 'kan tak ada lagi pohon besar. Jadi kalau hujan datang, airnya langsung mengikis tanahnya," kataku mengutip kata guru IPA-ku di sekolah.
"Itu sebabnya, kata kakek kepada ayahmu ini, bahwa tanah itu longsor karena kita tak lagi menghormati kehidupan tumbuhan di sana. Kita seenaknya menebang pohon, tanpa minta permisi kepada penjaganya," ujar kakek membalas apa yang aku bilang.
"Tapi, bagaimana dengan kata alkitab bahwa manusia harus menguasai dan menaklukan alam ini?" kata ayah menyela.
"Tapi, yah, tidak harus rakus. Harus ada keseimbangan antara pemanfaatan alam dan pemeliharaannya," ujarku. Lagi-lagi aku mengutip kata guruku di sekolah.
"Benar, Pinkan. Dulu kakek masih melihat orang menebang pohon dengan memakai semacam gergaji besar yang digerakkan oleh tenaga dua orang. Waktu itu memang orang juga menebang pohon, tapi tidak terlalu merusak, karena yang diambil adalah kayu di hutan yang usianya sudah sangat tua dan cara penebangannya pun masih tradisional dengan mengikuti petunjuk para tua-tua. Selain itu karena memang orang masih percaya bahwa alam adalah sahabat karibnya. Antara manusia dan hutan misalnya masih dianggap memiliki kesatuan. Dan, meski memang agama menyebut penghormatan kepada pohon yang para leluhur kita lakukan sebagai berhala, tapi seingat kakek kampung ini tidak pernah terjadi longsor. Sekarang manusia sudah semakin rakus dan tidak menghormati alam. Di belakang rumah pun kita sudah bisa mendengar raungan gergaji mesin. Sementara hampir setiap hari lewat truk-truk besar yang mengangkut kayu yang di tebang di hutan kita," kakek memberi penjelasan panjang lebar.
Ayah aku lihat sedikit terkesima dengan penjelasan kakek sehingga tidak berbicara lagi. Aku pun ketika mendengar itu bergegas masuk ke dalam rumah mengambil kliping koran yang aku gunting dari sebuah koran harian lokal. Aku ambil kliping itu dan membacakannnya untuk kakek dan ayah. Begini isi berita itu,
"Kerusakan hutan di Sulawei Utara yang telah mencapai 60 persen, diduga kuat sebagai pemicu terjadinya banjir bandang dan tanah longsor yang mem-porak-porandakan sejumlah wilayah Sulut, selang tahun 2007. Kerusakan hutan di daerah ini telah mencapai 60 persen dari 788.691 hektar luas kawasan hutan yang ada. Kenyataan ini berimbas pada munculnya lahan kritis yang luasnya sudah mencapai sekitar 473.214 hektar. Sementara data lain menyebutkan bahwa laju keruskan hutan di seluruh Indonesia mencapai 2,8 juta hektar per tahun."
"Nah, itu dia. Ini karena manusia telah memusuhi alam. Ini antara lain ya, itu tadi karena manusia tidak lagi menghargai kearifan budaya yang telah ditinggalkan oleh para leluhur. Manusia sekarang menjadi liar karena berburu kaya. Hutan yang adalah kehidupan kita mereka rusak. Jadi jangan heran kalau alam juga marah. Ini sudah hukum alam," tandas kakek.
"Setuju, kek!" aku berkata semangat.
Ayah hanya diam tapi kentara sedang berpikir. Dia seolah-olah sedang menganalisa data dari kliping koran yang aku bacakan dan pemikiran kakek. Bahkan teh yang di meja itu aku lihat baru seteguk yang ayah minum. Tidak ada lagi tarian uap dari gelas itu. Sementara gelas kopi milik kakek tinggal dasarnya yang hitam. Mudah-mudahan diam ayah berarti perenungan untuk menjadi orang Kristen yang bertanggung jawab terhadap alam. Kalau kakek biarlah dia menjadi orang tua yang Kristen tapi tetap Minahasa. Sementara aku hanya berharap mudah-mudahan alam tidak cepat-cepat rusak. Aku masih harus menjalani kehidupan yang panjang.
Dan perlu kalian tahu, kalau nanti aku tak bisa lagi merasakan nikmatnya hidup di alam yang hijau dan lestari, yang aku tuntut adalah kamu semua, manusia-manusia dewasa, yang kata kakekku semakin rakus karena nafsu kaya dan berkuasa. Ingat itu!!

Pojok Suara Minahasa, 93,3 FM
Jumat, 25 April 2008 17:36 pm

Puisi Ran: "BUNGA TENGA JALAN".

Tataru diatas beton yang babla jalan jadi dua
Dalam pot ta ukir
Ada juga yang tataru di trotoar
Jadi panghias kota

Estetika yang so nda ada etika
Asik ba kase gaga kota deng warna bunga
Mar yang di atas sana
Itu dang yang jadi tampa ba simpang aer
Ta biar kong so jadi bota’

Pas datang bencana
Rame – rame bacirita hutan so gundul
Gundul ngana pe nene moyang
Cuma tenga kota yang ngoni kase gaga
Kong itu disana ngoni kase biar

Abis itu le bicara macam – macam
Supaya kata, salah nyanda dapa kantara
Danau so kurang stenga tiang
Hutan so jadi lahan proyek
Bencana datang
Yang ada cuma baku kase sala

Puisi Mya: "Kita Hebat".

Kita Hebat

Satu persatu derap langkah terdengar semakin mendekat
Sebagian besar dari mereka begitu asing bagiku
Hanya satu aroma keringat yang cukup bisa akur dengan udara disini
Di tempatku berakar

Sekelilingku riuh, mulai gusar
Benda-benda angkuh yang mengkilap terselip diantaranya
Diantara pemilik langkah-langkah itu
Si tipis-tajam pembunuh sadis, musuh besar bangsaku

Memang dia tak bersuara cempreng seperti saudara sesukunya
Yang panjang, bergigi dan sangat jelek
Namun kali ini sepertinya dia kan putuskan lagi mata-mata yang ingin nikmati musim berjalan
Ku tak bisa biarkan ini

Tak dinyana sahabat sejati datang sebagai pahlawan
Walau terbang kesana kemari dengan wujudnya yang hancur penuh darah
Namun dia tau apa yang harus dia lakukan
Dengan harus melawan mantra dan kemenyan

Entah itu sebuah wujud balas budi karena aku tlah berikan dia tempat berdiam
Dan kurasa hubungan seperti ini hanya ada di duniaku
Yang tak tercemar picik dan licik, sisi hitam fungsi sebuah akal
Dan tak tersentuh peraturan yang kata si punya akal, ada untuk dilanggar

Dan….. hore sahabat, mereka mundur
Mereka berbalik arah sambil menenteng si tipis-tajam pembunuh sadis
Kembalilah disejuknya hembus nafas rimbun daunku
Semua pantas kau terima karena kita selamat

Maka air dalam bumi masih akan membujuk untuk kuhisap
Hingga bugarlah aku
Maka udara yang bersih akan mempersembahkan tarian khasnya
Hingga damailah kita

11 Agustus 2007
Untuk : Suatu tempat di Tabongo Timur

Rabu, 10 Desember 2008

Puisi Angga: "TaPeTo"

Dong bilang maitua Tondano gaga-gaga
Bodi montok, feis fasung
Beking paitua pe mata tabuka lebar

So dari tadi paitua bagara
Maitua sok jual mahal
Pura-pura acuh
Ato pura-pura nda dengar?
Padahal depe hati
So bagetar sama deng tambor

Nda apa-apa katu
Paitua denga maitua malo-malo kucing
Asal satu kita bilang
Jang sampa paitua Cuma mo beking
Depe maitua jadi “TAPETO”
Apa so tu TAPETO?!?
(Tampa PEgang Toto, bogO!!!)

Cerpen Kevin Mikael Eman: "Kematian Tuhan".

Langit mendung kala itu.
Dari kejauhan aku menyaksikan upacara penguburan itu. Air mata-air mata palsu menghantarkan dia ke kegelapan bumi yang paling gelap. Ya ........ orang yang membenci dia pun akhirnya “menangis”, “bersedih” atas kepergiannya. Mereka mengeluarkan sebanyak-banyaknya air mata yang mereka punya hanya agar dilihat orang-“kalau tidak menangis di saat orang meninggal berarti tidak berduka!”-itu kata mereka.
Aku heran, bahkan orang tuanya pun tidak mempedulikan dia, orang-orang banyak pun tidak ada yang menyukainya dan mau berteman dengan dia. Kalau pun ada itu semata hanya “akting” belaka karena orang tuanya seorang pejabat. Ahh......... memang dunia telah menjadi serba kepura –puraan. Nampaknya hanya aku orang yang mau berteman dengan dia.
Orang–orang bertanya-tanya kepadaku ”kenapa saudara mau berteman dengan dia”-“jauhi dia, nanti saudara menjadi “buruk” dan “hina” seperti dia”-segala macam pertanyaan mereka lemparkan kepadaku. Aku sendiri pun tidak tahu kenapa aku mau berteman dengan dia. Aku pikir di jaman sekarang ini baik dan buruk sudah tidak dapat dibedakan, Iblis telah menjadi Tuhan, Tuhan telah menjadi Iblis. Jadi menurutku tidak perlu dipersoalkan dia buruk atau tidak, yang aku yakin ia hanya manusia sama seperti aku.
Dia pernah berkata ”saudara, apakah aku seburuk itu, sehina, dan selicik Iblis? Hingga orang-orang membenci dan menjauhi aku. Kalaupun mereka dekat, aku tahu itu hanya topeng yang mereka gunakan. Hanya kau temanku saudara!”
Dia diam sejenak lalu berkata lagi “saudara, apa pandanganmu tentang Tuhan? Apa Tuhan tidak boleh dilawan, harus patuh 100% terhadapNya? Aku sudah muak denganNya, Ia memberi yang aku tidak minta, Ia tidak memberi yang aku minta!” ia tertawa, tertawa untuk siapa dan karena apa, aku tidak tahu. Mungkin ia hanya membersihkan batinnya.
Aku hanya diam memikirkan apa yang ia katakan, memikirkan memang begitu adanya Tuhan, memikirkan memang begitu adanya manusia, memikirkan segala perintah dan laranganNya, karena jika aku yang memerintah dan melarang maka Akulah Tuhan.
“Saudara!” dia membangunkanku dari pikiranku. “Bagaimana jika aku menyalahkan Tuhan atas semua ini, menyuruh dia bertanggung jawab atasku, bagaimana jika aku meninggalkanNya?” Lalu aku menjawab
“Tuhan adalah ciptaan setiap manusia yang merasa kecil dan sendirian di dunia yang kejam ini. Di saat kau merasa sudah tidak membutuhkanNya, buanglah!!!” dia diam, lalu aku berkata lagi “Tapi, terlepas dari itu, persalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi dalam hidupmu! Jangan persalahkan orang lain, apalagi Tuhan! Kau sendiri yang bertanggung jawab atas-mu. Hanya kau saudaraku!”dia masih diam sejenak, lalu berkata,
“Saudara, terimakasih atas pemikiranmu. Tapi apa aku tidak boleh kecewa padaNya?”
Memang kecewa itu manusiawi. Itu percakapan kami yang terakhir. Suatu hari aku mendengar kabar bahwa ia sakit keras, belum sempat aku menjenguknya ia sudah mati. Mati meninggalkan dunia yang tidak adil baginya dan bagi banyak orang.
.....................
Setiap kematian orang seperti dia, kematian orang “berdosa”, menandakan kematian Tuhan, kematian Tuhan untuk kedua kalinya, kematian perlahan Tuhan. Karna Tuhan telah gagal sebagai pencipta. Karna seorang lagi anakNya tidak bersama sama dengan Dia.

Upacara penguburan itu telah selesai. Aku mendekat ke kuburnya.Saat aku melihat tulisan yang ada di batu nisan, aku cukup terkejut ”Tuhan inilah aku anakMu, terimalah aku di nerakaMu!” Huhhh.......itulah manusiawi.
Langit masih mendung kala itu.

Cerpen Grace O'Nelwan: "Peri Kenangan yang Tinggal di Akar Pohon di Taman Keabadian".

.
(Grace O’Nelwan)

Kisah ini berawal dari sebuah taman. Taman indah yang bernama “Taman Keabadian”, tempat para penyair berkumpul dan menghabiskan waktu mereka untuk bertemu dan berdiskusi dengan sesama penyair yang lain. Tapi “Taman Keabadian” hanyalah awal kisah saja, karena bukankah segala sesuatu harus mempunyai awal. Dan seperti hal - hal lain yang juga memiliki awal dan awal adalah hal yang penting dalam suatu peristiwa, maka awal kisah ini juga penting untuk dibaca. Jadi, dianjurkan untuk membaca kisah ini dari awal.


Sebuah Taman yang Dipenuhi Pohon Buku
Ada sebuah taman kecil yang dipenuhi pohon-pohon buku, (yah benar, yang aku maksudkan adalah pohon-pohon yang berbuah buku-buku). Pohon-pohon itu hanya tumbuh di taman milik seorang penyair yang baik hati, yang selama hidupnya tak pernah kaya dan selalu sendiri. Bukan karena tidak bisa menjadi kaya, tapi karena memang tidak berniat untuk menjadi kaya. Pernah dalam hidupnya dia mendapatkan 1 kesempatan besar untuk menjadi kaya raya, lebih kaya dari raja Midas. Menurut cerita yang dapat dibaca dari salah satu buku yang tumbuh di dahan pohon dalam tamannya, dulu sekali Dewi Juno, sang Ratu Angkasa pernah datang mengunjunginya. Dewi Juno sangat terkesan dengan sebuah syair yang ditulis penyair tadi. Sebuah syair sederhana yang menceritakan tentang bagaimana damainya hidup di Negeri Awan Biru, sebuah negeri yang megah indah di angkasa yang berdiri diatas gumpalan-gumpalan awan dan di pimpin oleh seorang Ratu cantik yang arif bijaksana. Tentu saja, Dewi Juno sangat tersanjung.
Di suatu sore setelah hujan turun Dewi Juno yang cantik berkenan mengunjungi sang Penyair. Berkendara kereta kencana yang ditarik Pegasus, dibalut pakaian indah yang bergelombang warna-warni dengan kepala dihiasi sebuah mahkota emas bertaburan mutiara dan sebuah tongkat emas berukir burung elang berada ditangannya. Dewi Juno memasuki rumah tua sang penyair, didampingi peri-peri pelangi yang bertugas membukakan jalan untuknya. Tentu saja sang penyair terkaget-kaget, mendapati dirinya dikunjungi Dewi Angkasa. 1 permintaan dihadiahkan sang Dewi untuk sang penyair.

“Katakanlah keinginanmu, apa saja, dan aku akan mengabulkannya.”

Sang penyair, yang seluruh hidupnya diabdikan untuk syair-syairnya, tak mempunyai keinginan apa-apa selain mengabadikan pemikiran dan pengalamannya. Karena itu dia hanya meminta dibuatkan sebuah taman yang ditumbuhi banyak pohon-pohon. Tapi bukan pohon buah-buahan (karena dia tidak takut kelaparan) ataupun pohon yang dapat berbuah emas (seperti yang kukatakan tadi, dia tidak berniat untuk menjadi kaya). Dia hanya menginginkan pohon-pohon yang dapat berbuah buku yang lahir dari pemikirannya, lahir dari pengalamannya. Pohon-pohon yang dapat membantu dia dan memudahkan dia untuk menyimpan kenangan dalam bentuk tulisan. Walaupun terkejut dan merasa aneh, Dewi Juno mengabulkan keinginan sang Penyair yang baik hati ini. Dalam sekejap mata, sebuah taman dengan pohon-pohon yang berbuah buku, terbentang indah didepan mata sang penyair. Pohon-pohon dengan akar kuat yang menancap ketanah, dengan dahan-dahan kuat yang menampung beragam buku-buku. Walaupun daun yang menutupi pohon-pohon di taman itu sudah bereinkarnasi ratusan kali, tetap saja, tak ada sebuah bukupun yang jatuh dan lepas dari tangkainya.
Seiring dengan bertambahnya waktu, buku-buku di pohon itu makin bertambah. Yah, karena setiap kali sang Penyair mengalami sesuatu hal, sebuah buku baru akan muncul dari pohon di tamannya, bila sebuah ide melintas di otaknya, sebuah buku yang lain akan keluar dari ujung-ujung cabang yang di lindungi daun-daun berwarna kuning dan coklat. Setelah sang Penyair meninggal dalam kesendirian 179 tahun yang lalu, pohon-pohon di tamannya berhenti mengeluarkan buku. Tapi buku-buku yang ada di taman itu tetap ada disana. Tidak membusuk seperti lazimnya buah-buah yang lain. Tetap abadi bersama pikiran dan kenangan penyair yang baik hati tadi. Bertahun-tahun lewat, banyak sekali penyair dari seluruh dunia yang datang ke taman berpohon buku tersebut, untuk menemukan kearifan dan rahasia kehidupan di dunia lampau lewat pemikiran penyair tadi. Untuk mengenang sang Penyair, mereka menamakan taman itu “Taman Keabadian”


Dua Penyair Muda dan Segelas Kopi
Ada dua orang penyair muda yang sedang duduk di bawah sebuah pohon buku, di Taman Keabadian.”
Diatas meja kecil, yang dengan sengaja diletakan di bawah pohon, ada gelas besar berisi kopi panas. Dinginnya udara di taman dan panasnya kopi, membuat uap putih yang melingkar-lingkar keluar dari mulut gelas tadi.
“Ah, dari kumpulan cairan hitam, keluar asap putih. Ajaib!” gumam salah seorang dari kedua penyair tadi. Tangannya langsung mencoret-coret kertas putih dipangkuannya. Dalam hitungan detik, sebuah puisi yang terinspirasi dari kopi hitam dan asap putih yang melingkar keluar dari kopi telah selesai dia tulis. Tanpa diminta dia membacakan puisinya:

Dalam kumparan kegelapan
Menembus kabut putih yang pekat
Kureguk nikmatnya kelam
Di tengah manisnya malam

Selesai membacakan puisinya, dia menatap penyair kedua dan bertanya,”Apa pendapatmu?”
Hanya sebuah hembusan nafas keras yang diterimanya sebagai jawaban. Penyair kedua, yang kelihatannya lebih pendiam, sedang berkutat dengan sebuah usaha yang sia-sia. Kedua tangannya sibuk menangkap uap-uap putih yang mengepul. Sunyi sesaat dan penyair kedua membuka mulutnya,” Uap putih ini ibarat kenangan. Membuat gambar dan bentuk dalam sekejap, detik berikutnya akan berbaur dengan udara dan waktu, untuk kemudian hilang, lenyap, dan yang tinggal hanyalah kehampaan!”

“Apa yang kau tahu tentang kenangan?.” Penyair pertama kini meniup-niup mulut gelas berisi kopi, membuat uap putih dengan bentuk-bentuk abstrak berliak liuk dengan genitnya. “Kita berada di “Taman Keabadian” yang termasyur, semua kenangan tertulis dengan rincinya pada setiap buku yang bergelantungan di pohon-pohon ini. Bagaimana bisa kau samakan kenangan dengan kehampaan?”

Penyair kedua yang tadi sibuk menangkapi uap-uap putih, kini meluruskan badannya. Kedua tangannya dia letakan menyilang di atas kepala, dan berkata seolah-olah pada dirinya sendiri,” Benarkah semua kenangan telah terkungkung abadi dalam buku-buku sang Penyair? Tak adakah kenangan yang terlewati dari keabadian tulisan dan menguap menjadi sebuah kehampaan? Atau tak adakah kenangan yang dengan sengaja dilupakan dan dibiarkan lalu bersama angin?”

Penyair pertama memandang temannya dengan pandangan jengkel,” Tak baik bila kita terus berdebat.” Katanya lagi. “Lebih baik kita membaca bersama kisah yang diperuntukan untuk kita hari ini.”

Dengan tangan kirinya, dia menyentuh satu dahan pohon, meraih sebuah buku. Saat tangan sang penyair menyentuhnya, dengan lembut dahan kokoh itu merendahkan tubuhnya dan membiarkan buku yang diraih penyair pertama tadi mencapai meja. Angin membantu kedua penyair membuka lembaran-lembaran buku tersebut. Dan matahari yang tadinya malu-malu mengintip lewat celah daun-daun membacakan sebuah kisah yang ditulis dalam lembaran-lembaran tersebut. Kisah tentang sebuah permintaan.


Sebuah Kisah Dari Sebuah Buku di “Taman Keabadian”
Ini adalah kisah yang dibacakan matahari kepada dua penyair dari sebuah buku di “Taman Keabadian”
Di Rumah Kaca
Prolog:
Kutuliskan pada selembar daun
“Disini terbaring hati yang telah mati”
Daun ditiup angin..
Terbang tinggi… menghilang….(entah ke mana..)
****
Bagian I
Kemarin, di rumah kaca,
Dia datang, membawa kopi hangat dan selusin donat
Duduk didepanku, dan berkata
“kau adalah cermin diriku..”

Kemarin, di rumah kaca,
Berteman kopi pahit dan donat manis
Aku duduk diam mendengarnya bercerita,
Tentang pahit, tanpa manisnya cinta..

Tak akan ku bertanya “Mengapa”
Tapi ku tahu engkau terluka
Akupun pernah merasakannya
Terluka dalam yang tak berdarah,
Perihnya merobek jiwa, sakitnya tak terhingga.
Tak akan ku bertanya “Siapa”
Tapi ku tahu ‘dia’ orang tercinta
Akupun pernah mengalaminya
Ketika memberikan seluruh hatiku,
Kemudian menemukannya, membeku teraniaya.

Kemarin, di rumah kaca
Setelah kopi dan donat habis
Kubiarkan dia melanjutkan kisah,
Tentang keberanian hati yang pernah terluka

Aku tak tahu apa yang kau rasakan
Tapi aku tahu rasanya “ingin mati”
Jangankan bertemu penderitaan
Kebahagiaanpun terasa menyakitkan
Aku tak tahu apa yang kau inginkan
Tapi aku ingin memberimu cinta
Cinta yang juga dulu pernah terluka
Saat mencintai dengan buta
Aku tak tahu apa yang kau harapkan
Tapi aku harap kau menerima hati ini
Hati yang penuh tambal sulam
Dari kisah yang selalu tak indah


Bagian II
Hari ini, di rumah kaca
Dia datang tanpa kopi hangat dan donat
Duduk di depanku dan berkata
“aku membawakanmu cinta”

Hari ini, di rumah kaca
Tanpa kopi pahit dan donat manis
Dia duduk diam didepanku
Mendengar kisah hati yang telah mati.

Hatiku telah menemui ajalnya
Ketika dia terluka dan terluka lagi
Luka tak berdarah yang ternyata parah
T’lah kukuburkan hatiku
Pada sebuah daun
Dan kuluruhkan bersama angin
Tak kusesalkan matinya hati
Karena hati selalu rapuh.
Semuanya lebih mudah, tanpa hati.

Hari ini, di rumah kaca
Dia merogoh kantongnya
Daun yang diterbangkan angin,
Kini dalam genggamnya.

Kau mengira hatimu benar-benar mati
Sehingga luka cinta tak terasa sakit lagi
Tapi percayalah
Hatimu hanya membeku, bukan mati
Dan cinta dapat mencairkan kebekuannya

Hari ini, di rumah kaca
Tanganku dalam genggamnya
Dalam hening kudengar dia berkata…
“aku bisa membuktikannya”
****
Epilog
Kutuliskan pada selembar daun
“Maukah kau menungguku?”
Daun ditiup angin,
Terbang tinggi… (kini ku tahu kemana.)
Dan tiba-tiba hening… Kedua Penyair menanti matahari untuk melanjutkan kisah.

“ Ayolah matahari, ceritakan pada kami, bagaimana akhir kisah ini?” pinta kedua penyair tadi.

Tapi matahari tak lagi melanjutkan kisah, karena kisah ini memang hanya berakhir di sini saja. Mataharipun meminta diri untuk membacakan kisah yang lain bagi penyair yang lain. Kedua penyair yang tak merasa puas dengan kisah yang menurut mereka belum tuntas, ingin melanjutkan kisah itu sendiri.

“Menurutmu, apakah dia akan menunggunya?” Tanya penyair pertama kepada temannya.

“Sanggupkah orang menunggu tanpa batas waktu?” Jawab penyair kedua.

“Jadi menurutmu, dia tidak akan menunggunya?” Desak penyair pertama

“Adakah kemungkinan, dia yang meminta untuk ditunggu, malahan tak pernah datang?”

Penyair pertama menjadi kesal kepada temannya yang selalu menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan yang lain. Dia memilih untuk tidak bertanya lagi. Kesunyian kemudian hadir diatara mereka, dan makin melingkupi mereka. Mata kedua penyair itu semakin berat, dan akhirnya mereka tertidur dibelai angin senja.



Kisah Kenangan Yang Tahu Segala Sesuatu
Namaku kenangan. Aku ada di mana-mana. Aku berada di antara akar pohon-pohon rindang, aku ikut mengalir bersama air sungai, terbang bersama angin, berpesta dengan badai, berdansa dengan gelombang, berjalan bersama kebahagian dan ikut menemani kesedihan. Dan aku tahu akhir kisah cerita Di Rumah Kaca yang dibaca oleh kedua orang penyair tadi. Kisah itu adalah potongan awal dari sebuah penantian panjang sang penyair pemilik taman ini.

Aku ingat, saat penyair pemilik ‘Taman Keabadian’ masih muda, pernah dia mencintai seorang gadis malang, yang selalu saja kehilangan. Penyair yang baik hati ini menemukan sang gadis ketika sang gadis sedang sekarat. Hati gadis malang itu telah membeku, penuh luka dan bekas luka yang masih terlihat dengan sangat jelas. Bukti nyata atas kepedihan dan kehilangan yang selalu dialaminya. Dengan sepenuh jiwa dibalutnya luka-luka hati sang gadis dengan hatinya sendiri, dan dibuatkan puisi-puisi pengobat duka. Melihat kebaikan hati sang penyair, gadis inipun mengumbar sebuah janji; ”Tunggulah aku, sampai luka cinta ini sembuh, dan aku akan mencintaimu.” Tapi setelah luka hati sang gadis sembuh, saat perihnya duka hilang, sang gadispun menghilang… Bertahun lewat sampai saat Dewi Juno datang memberikan hadiah 1 permintaan pada penyair, tapi gadis yang dia sembuhkan luka hatinya tak pernah kembali.


Saat Dewi Juno mengunjungi sang penyair, aku berada didekatnya, berbaur dengan udara yang dihirupnya, masuk kedalam hatinya dan memaksa penyair ini untuk meminta Dewi Juno menghadirkan gadis punyaanya. Tapi dia tidak mau mendengarkan kata hatinya. Aku tak menyerah. Akupun berenang bersama darah dan menembus otaknya, dan memaksa sang penyair untuk meminta kekayaan dunia, tapi sang penyairpun tak mendengar otaknya. Dia hanya mengikuti keinginannya. Karena itulah Sang penyair lebih memilih dibuatkan Taman Keabadian. Taman tempat dia mengabadikan sebagian kenangan dalam kehidupannya. Yah.., bukan semua kenangan yang dia abadikan, seperti yang dipikirkan orang-orang. Penyair kedua itu benar. Ada bagian peristiwa dalam hidup sang penyair pemilik taman ini yang tak dia abadikan dalam buku-bukunya.


Kalian tentu merasa heran, dari mana aku mengetahui semua hal ini. Tidak… aku tidak bermaksud sok tahu. Ingat, aku adalah kenangan itu sendiri, yang selalu hadir dalam setiap kejadian dalam perjalanan hidup manusia. Aku hadir dalam setiap helaan nafas dan selalu meninggalkan jejak dalam setiap peristiwa. Aku adalah ingatan tentang kebahagiaan sekaligus kesedihan. Ingatan akan kebersamaan dan juga kesendirian. Manusia sering mengira bahwa aku berwajah dua; Kenangan Indah dan Kenangan Buruk. Tapi sebenarnya tidak. Aku tak memiliki dua wajah dan aku tak pandai merubah wajah. Manusialah yang merubah wajahku dan kemudian menamaiku sesuai dengan keinginannya; yang ingin diingat dikatakan Kenangan Indah, dan yang ingin dilupakan dinamakan Kenangan buruk.
Sang penyairpun pernah menamakan aku Kenangan Buruk. Dan dengan sengaja dia coba menghilangkan ingatan akan sang gadis malang dengan luka hati yang berhasil dia sembuhkan. Gadis yang menghilang dengan meninggalkan sebuah janji “tunggulah aku, … aku akan mencintaimu.” Sang Penyair berusaha keras mengusirku dari ingatannya. Menekanku kepojok-pojok gelap ruang ingatan. Tapi seperti biasanya, aku tidak mudah menyerah. Aku berupaya sedemikan kerasnya untuk tetap berada dalam ingatanya. Kulingkarkan erat tanganku dalam ingatanya. Aku menjadi gurita kenangan. Makin keras dia mengusirku, makin ketat aku menggengam ingatannya.
Sang penyair akhirnya mengaku kalah, dan membiarkan aku tetap dalam ingatanya, hanya saja dia tidak bersedia mengabadikanku dalam tulisan-tulisannya. Tapi aku selalu abadi, dan terus tinggal bersama dengan sang penyair dalam tidur abadinya.


Sekali lagi aku adalah Kenangan. Aku ada di mana-mana. Aku berada di antara akar pohon-pohon rindang, aku ikut mengalir bersama air sungai, terbang bersama angin, berpesta dengan badai, berdansa dengan gelombang, berjalan bersama kebahagian dan ikut menemani kesedihan. Aku juga tahu kisah kedua penyair yang kini sedang tidur lelap di Taman Keabadian. Dan, oh yah, bukan itu saja, aku juga tahu tentang kisahmu….



(Tomohon, Desember 07 – Januari 08)
Menghapus kenanganan adalah sebuah kesia-siaan

Kamis, 06 November 2008

Puisi-Puisi Charlie Samola

AYANG KAMPUS



Kalu siang, pegang polpen tinta

Kalu malam, pegang meneer pe polpen!

------------------------------------

BAE-BAE NGONI

Ini malam Alo pigi ke corner
Bagaya sama deng model Taiwan
Mar di popoji ada isi pokos-pokos
Besi putih ta isi di pinggang


Ini malam Ungke pigi ke ha ha
Bapake gaya penyanyi rap negro
Mar ada piyanaung di popoji
Tumbaka ta isi di pinggang


Ini malam Olop pigi mento di kobong
Cuma pake mantel deng tas kaeng
Di popoji cuma ada tabaku sek
AK 47 komang yang di tas kaeng


---------------------------------------------------------------------------------------

BAGIMANA EEH !!?



Ketik A, spasi B, spasi C, spasi D…

Anjing…

Babi…

Cuki…

Dang !!!

----------------------------------------------------------------

BUDAYA SINEMA
AMOR…RRAL



Ada felem Indonesia baru lagi
Kita ada lia de pe extra di TV
Minggu depan somo putar di TO
Mar felem tentang…cintaaa lagi !


Pasti banya bege-bege lei yang bauni
Felem yang nda kalah deng sinetron
Memang bagitu kalu mo iko pasaran
Di pasar kan banya jual ikang


Oh Tolong ! babagini trus jo dang !
Kapan orang Indonesia mo lebe pande
Apalagi tu pranggang deng muda-muda
Tu hati deng ontak masih di bawa puru

---------------------------------------------------------

INDONESIA TOP 40



Beking rawoy, beking ta sono
Pa kita didalang oto mikro


Poot ange, bawa puru ange
Itu-itu jo, manganto no !!


----------------------------------------------------------------------------------

JATI DIRI



Dudu sandiri mangada langit
Sibuk rekeng tu bintang-bintang
Sampe timbul pertanyaan
“Kita ini orang Bumi ?”
“Atau orang Planet ?”


-----------------------------------------------------------------------------------

MANTRA CINTA



Dua Bola dapa Lapang
Ampa Bola dapa Spuluh
Satu Liter Satu Jam
Dompet Bangka Pande Bodok
Macam-macam Tai Minya
Jago jago dapa Senang
Cundang dapa Tamang

------------------------------------------------------------------------------------------

MINAHASA UNDERCOVER



Tole deng keke badugem di score
So pastiu deng disko tanah ngoni ?


Tole minung tekila, keke minung long aylen
Masih suka cap tikus deng saguer ngoni ?


Tole deng keke minung sampe muntah-muntah
Mo muntah ubi lei dorang ?


Tole deng keke baku ciong gaya perancis
Awas jang tatigo lidah ngoni dua !


----------------------------------------------------------------------------

NASIONALISME



“Konto sama-sama…

Graakkk !!!”

---------------------------------------------------------------------------------------

NONA-NONA JAMAN SKARANG




Kurang yang besae-besae
Yang mangarti bae itu Cinta

Yang gaga-gaga…..
Cuma tau beking mati itu Cinta

Ta lebe-lebe
Boleh beking saki Jiwa!

-------------------------------------------------------------------------------

ONANI 1



Tu tadi, tu tadi, tu tadi
Tu sana, tu sana, tu sana
Tu tadi, tu sana
Tu sana, tu tadi


Yaaa……..no !!!
Biar jo dang !!!!


--------------------------------------------------------------------

ONANI 2



Sadap nyanda sadap
Barguna nyanda barguna
Senang Susah
Untung Rugi
Puas Tagantong


So parcuma kasiang !
Banya yang kurang senang !


-----------------------------------------------------------------

SMS



“SyG,KmU Lag NgApz ?
Aq KnGen LhO aMa Kmu
Gw Mw KtmU aMa Kmu SyG”



“SyG….D Blz Donk!!!
Plizzz………….
Ini PuLzAku Yg t’Akir LhO!!!”



"Woy,balas kwa kalu ada pulsa !
Somo muntah ubi kita !
Beking malo akang,kita so mangkage !"


-------------------------------------------------------------------------

TAMANG-TAMANG DEKAT



Lala mulu ngoni!!!

Rawoy!!!!!


--------------------------------------------------------------------------


TAMBIO




Cowo, sini kwa !!!

Beli kwa pa kita !!!

Biar lebe gampang deng ada diskon

Ngana musti ada bola ampa

Atau paling rendah bola dua

Nda harga kalu Cuma ngana pe tolor !!!



----------------------------------------------------------------------------------


VALENTINE



Opa Santo, mana yang betul ?
Banya blum tau ngana pe sejarah
Atau memang pura-pura nintau
Atau so sadar mar gengsi


So banya yang kase tau bae-bae
Mar dorang malas malas mo mangarti
Cuma ambe de pe sadap-sadap
Bunga deng coklat dorang tambah alasan


Hari kasih sayang skarang
So nda beda deng hari Halloween
Banya jadi kaum hedon pe ideologi
Korban propaganda cinta tai minya !

Kamis, 23 Oktober 2008

Cerpen Grace O'Nelwan: "Ketika Cupido Belajar Memanah"

Menanti Esok.
Namaku Cupido. Panggil saja aku Abu-abu. Semua penduduk Negeri Awan Biru memanggilku Abu-abu. Karena warnaku memang Abu-abu.
Kini aku berusia 1999 hari. Besok aku genap berumur 2000 hari. Itu berarti aku akan masuk kelas persiapan menjadi Dewa Asmara. Pasti sangat menyenangkan. Bekerja bersama bunda Aphrodite membantu manusia menemukan pasangan jiwanya.
Aku tak sabar lagi.. Besok.. besok… ah… masih sekian ribu detik sebelum besok benar-benar datang.

Kelas Bunda Aphrodite.
Aku datang sepagi-paginya. Ternyata aku bukanlah yang pertama. Cupido-cupido lain yang sudah duduk manis di kelas persiapan. (Pasti manusia merasa heran, karena Cupido bukan hanya satu, tapi banyak.) Ada si Putih yang diam di pojokan, Si Merah dan Hijau yang sedang bercanda, Biru sedang membaca, Kuning sedang memainkan sayapnya. Ruangan ini penuh warna, karena kami para Cupido memang berwarna. (Tidak seperti yang di gambarkan manusia dalam buku-buku mitologinya.) Hmmm, semua Cupido sama tak sabarnya seperti aku. Semua segera ingin bisa ‘memanah’ dengan busur asmara dan anak panah cinta.
Bunda Aphordite datang. Kami semua berusaha tenang. Ah, Bunda cantik sekali pagi ini. Rambut birunya yang bergelombang indah dibiarkan tergerai menebarkan aroma buih laut yang menyengarkan.
“Semua pasti tahu kenapa kalian berada disini”
Kami semua mengangguk, anggukan serangam, terbius kelembutan suara Bunda.
“Yah, kita berada di sini untuk membantu manusia. Membantu mereka menemukan pasangan hatinya, pasangan jiwanya.”
“Mengapa kita harus membantu manusia Bunda, bukankah manusia terkenal pandai?” tanya si Unggu yang duduk di belakangku.
“Manusia memang sangat pandai, tapi untuk urusan hati, manusia tidak berdaya.”


Cerita Bunda Aphrodite tentang Manusia
Jaman dahulu kala, manusia tidak terbagi dan terkotak-kotak seperti sekarang. Tak ada ras, suku dan agama. Tak ada laki-laki dan perempuan. Hanya ada satu jenis manusia, yang disebut androgynus. Manusia jenis ini berkepala 2, bertangan 4, berkaki 4 tapi hanya memiliki 1 buah hati. Bisa dibayangkan betapa kuat dan pintarnya manusia androgynus ini dan dengan hatinya yang utuh, manusia selalu kukuh dalam pendiriannya, tidak plin-plan seperti manusia-manusia sekarang. Kekuatan, kepintaran dan kekukuhannya dalam bertindak membuat para dewa takut dan khawatir, jangan-jangan satu saat nanti manusia akan menguasai para dewa. Karena itu Raja Zeus membelah manusia menjadi 2. Sehingga manusia hanya memiliki 1 kepala, 2 tangan, 2 kaki dan ½ hati. Raja Zeus kemudian memisahkan manusia dan melemparkan mereka kedalam pengembaraan panjang di bumi. Ketika saling terpisah, manusia selalu rindu pada pasangan hatinya. Rindu pada ½ hatinya yang lain. Karena itu dalam setiap pengembaraan manusia, mereka selalu mencari cara untuk dapat bersatu lagi dengan pasangan hatinya. Tersiksa oleh rindu dan mendambakan pasangan hatinya, membuat manusia menjadi lemah (Ada air menggenang di mata Bunda Aphrodite). Dalam kelemahannya manusia kemudian terlalu sering menyerah dengan mengikatkan diri pada potongan hati pertama yang dia temukan, tapi setelah berapa saat, manusia sadar, itu bukanlah pasangan jiwanya. Karena itu seringkali terjadi perceraian diantara manusia. Pernikahan bukan titik akhir dari pencarian pasangan jiwa. Kelemahan ini yang membuat manusia menjadi sering terluka dan menderita. Raja kita, Zeus, merasa bersalah melihat penderitaan manusia. Untuk menebus rasa bersalahnya Zeus menugaskan kita membantu manusia menemukan pasangan hatinya yang paling tepat.

Tangan kanan Bunda Aphrodite kini menggegam sebuah busur indah yang terbuat dari emas dan dengan tali-tali perak yang dijalin dari rumput laut. Tengahnya dihiasi mutiara hijau dan abu-abu.
“Ini adalah Busur Asmara kita yang termasyur. Hanya Cupidolah yang berhak memakainya. Tak ada dewa lain yang dapat menggetarkan tali-tali busur asmara ini.”
Dan kemudian Bunda mengangkat tangan kirinya yang menggengam sepasang anak panah kembar. Bentuknya panjang dan pipih. Ujungnya lancip berwarna pelangi dan diselimuti kabut tipis, beraroma sandalwood.
“Ini adalah panah asmara kembar. Anak panah ini dibuat sepasang-sepasang, tak ada sepasang panah yang sama. Karena manusia hanya memiliki 1 pasangan jiwa.
Busur asmara ini akan dipinjamkan pada kalian selama 1 minggu. Setelah itu kalian akan dievaluasi, bila minggu pertama gagal, kalian akan diberi kesempatan pada minggu kedua, bila kalian gagal lagi, maka kalian akan masuk dalam kelompok “stupid cupid”

Oh, aku tak pernah akan memaafkan diriku kalau sampai aku gagal dalam masa magang menjadi dewa asmara dan menjadi stupid cupid! What a nightmare, kalau sampai itu terjadi. Stupid Cupid adalah gelar yang diberikan pada cupido-cupido pecundang yang gagal melewati magang ‘menentukan pasangan hati.’ Dan biasanya Stupid Cupid harus menunggu 2000 hari lagi sebelum mendapatkan kesempatan menjadi dewa asmara. Dan selama 2000 hari stupid cupid hanya akan menjadi mahluk bersayap tanpa busur dan anak panah. Tanpa kesempatan membuat manusia bahagia. Dan tanpa membahagiakan manusia, cupido tak akan bisa bahagia. Sangat memalukan! Sangat menyedihkan!

Kelas hampir usai. Satu-satu kami berdiri, menerima dengan penuh sukacita, sebuah busur asmara dan sekantong anak panah cinta, buku manual memanah, buku UUM dan AUPH (Undang-undang Memanah dan Aturan Umum Penyatuan Hati).
“Ingat, teliti dulu sebelum memanah. Check en recheck itu perlu. Salah memasangkan hati maka manusia akan menderita, dan penderitaan manusia kan menyayat hatimu juga. Jangan buat kesalahan itu! Yang terbaik berhak mendapatkan Dewa Zeus Award. Sampai jumpa pada evaluasi memanah, minggu depan. Selamat bekerja”.
Bunda Aphroditepun berlalu….
Rambut birunya bergoyang-goyang, busur asmara dan panah cinta di bahunya turut bergoyang…

Minggu Memanah
Aku sangat bahagia. Ingin kubantu manusia menemukan pasangan hatinya yang paling tepat. Ingin kubantu Raja Zeus tercinta, mengurangi rasa bersalahnya, dengan mengutus aku, si Abu-abu. Cupido yang tepat, Cupido yang tak akan berbuat kesalahan.
Aku harus berhati-hati dalam mencocokan pasangan. Aku harus menemukan potongan-potongan yang paling tepat… yah ..yang paling tepat.
Alangkah menyenangkan membuat manusia bahagia dan Bunda Aphrodite bangga.
Aku kini melayang-layang, bersembunyi di awan-awan. Mengintip manusia… aha.. ini dia, satu pasangan telah kutemukan. Kucocokan dengan catatan, kucocokan dengan potongan hati, mereka klop. Anakpanahpun kuluncurkan…
Hati-hati ku bidikan. Tepat pada sasaran… aku berhasil…!!! Manusia kini kembali menjadi 2 kepala, 4 tangan, 4 kaki, dan 1 hati. Sempurna…!!! PERFECTO!!!
Kini pasangan yang lain juga… anak panah berujung pelangi menancap di hati… la..la..la.. aku bernyanyi. Trilili aku menari… Dewa Zeus Award… pasti jadi miliku.


Kekacauan di Negeri Manusia.
Di sebuah Gym (Kisah Astrid)
Sambil berjalan di atas treadmill, Asrid memandang kelas body builder yang hanya dibatasi kaca tembus pandang. Ada Ajie di sana. Ajie memang tampan. Badannya atletis tak berlebihan. Tak ada otot-otot yang terlalu besar, tapi keseluruhan tubuhnya tegap dan kencang. Dia selalu tersenyum, dan matanya sangat indah. Ajie sangat ramah dan penuh perhatian. Tak tahu kapan rasa itu datang, tiba-tiba saja Asrid menemukan dirinya jatuh cinta pada Ajie. Dia yakin Ajiepun mencintainya, tapi mungkin Ajie malu untuk mengakuinya. Tapi Aku harus mendapat kepastian perasaan Ajie. Asridpun berlari penuh semangat diatas treadmillnya.
Melihat Ajie keluar dari ruangan. Asridpun berhenti berlari, dan dengan handuk kecil di bahunya Asrid mengejar Ajie. Pasti Ajie menuju café di lantai bawah. Baru 7 anak tangga yang dia lewati, dilihatnya Ajie, tapi dia tidak sendiri. Ajie sedang berciuman mesra dengan Rodi, istruktur senamnya. Bibir mereka bertaut dan tubuh mereka melekat erat. Asrid membeku di tempatnya… ah Ajieku ternyata homo!!!!



Di sebuah Gereja: (Kisah Pendeta Dian)
Tiba-tiba Ketua Jemaat, memanggil seluruh majelis jemaat untuk rapat mendadak. Sore itu semua telah hadir di ruangan konsistori Gereja. Rapat ini diadakan untuk membicarakan persoalan pendeta Diana. Kabar baru yang terdengar, Pendeta Diana menjalin hubungan khusus dengan Bernard, seorang narapidana yang divonis 15 tahun penjara, karena tuduhan membunuh kakaknya. Pendeta Diana memang bertugas untuk memimpin ibadah-ibadah di penjara. Dan ternyata, di penjara pula pendeta Diana, jatuh hati pada Bernard.
Suara 1: Jadi, tindakan apa yang harus kita ambil?
Suara 2: Pecat saja
Suara 1: itu bukan wewenang kita, tapi itu wewenang Sinode
Suara 3:Kalau begitu bawa saja persoalannya ke Sinode
Suara 4: Kucilkan saja dari Gereja, itu perbuatan yang memalukan
Suara 2: Diskors dulu, tidak bisa memimpin ibadah, bahkan tidak boleh masuk gereja!
Suara 1: bagaimana kalau kita melakukan pemilihan suara. Masing-masing menuliskan gajaran apa yang paling pantas untuk pendeta Diana…
Koor : Setuju!!!!
Kini para majelis dan para pendeta pelayan sibuk mencoret-coret secarik kertas….
Entah apa putusan mereka.


Di sebuah Café: (Kisah Arimbi dan Anita)
Dipojok O La la Café, dua wanita cantik duduk. Keduanya berambut panjang sebahu, yang satu di cat burgundy, yang lainnya di cat dark blue. Sepotong black forest dan sepiring french fries masih utuh di depan mereka. Begitu juga dengan frappucino milik Arimbi dan hot chocolate yang sekarang telah menjadi cold chocolate, milik Anita, belum tersentuh sama sekali. Itu karena tangan-tangan Arimbi dan Anita sangat sibuk. Sibuk bergegaman dan membelai di bawah meja. Tak ada suara, karena semua komunikasi dilakukan lewat mata. Dan kedua pasang mata biru dan coklat, karena efek kontak lens itu, saling mengerti, bahwa cinta adalah milik mereka.

Di sebuah RSJ (Kisah Dokter Bayu)
+ Apa???? Gak masuk di akal? Dia kan dokter muda tercakep serumah sakit ini.
tapi ini benar-benar terjadi
+ dari mana kamu dapat gosip murahan ini
kemarin aku sempat mendegar waktu dokter Bayu, berbicara dengan dokter Tio.
+ oh My my… dunia benar-benar sudah gila. Apa kurang banyak dokter atau suster yang cantik di rumah sakit ini, sampai-sampai dokter kita jatuh cinta ke orang gila…
orang gila yang juga cantik…
+ tetap saja gila…
tetap saja cantik, dan dokter Bayu tetap saja mencintainya.

Di sebuah Rumah Mewah (Kisah Meta)
Mama: Meta, sudah berkali-kali mama ingatkan, Allan bukanlah laki-laki yang pantas untukmu!
Meta: Kenapa gak pantas, ma? Karena ibunya hanya seorang tukang pijat?
Mama: Bukan itu saja, tapi kamu dari kecil sudah ditunangkan dengan Bobby.
Meta: Loh,ma, akukan gak pernah minta untuk ditunangkan dengan bobby.
Mama: Meta!!!!
Meta: Mama, aku mencintai Allan. Dan sampai kapanpun akan tetap mencintai Allan
Mama: Kamu boleh 1000 kali mencintai Allan, mencintainya sampai akhir hidup, tapi kamu tak akan pernah menikah dengannya. Kau boleh pilih, menikahi Bobby, atau tinggalkan rumah ini.

Di rumah Baba Liem (Kisah Han)
: kamu itu anak laki-laki satunya dalam keluarga, kamu harus menikah dengan Mei-lan
- Tapi pa, aku mencintai Keke, bukan Mei-Lan
: Tidak bisa Han, kamu harus tetap menikah dengan Mei-Lan. Jangan membantah papa. Apa kata paman A San kalau kamu membatalkan pertunangan ini.
- Tapi Pa….
: Tidak ada tapi-tapian… Paman A San sudah banyak membantu kita.

Di sebuah Pesantren (Kisah Ustad Yus)
Apakah aku bersalah kalau aku mencintai Ayu, ya Allah. Bukankan cinta adalah anugrahmu? Dan kenapa Anugrah sangat menyakitkan seperti ini.
Aku mencintaiMu yah Allah. Tapi aku juga mencintai ciptaanMu. Dan Ayu.., Ida Ayu Oka Laksmini adalah ciptaanMu yang kucintai. Aku mencintai kelembutannya, kebaikannya dan keindahannya. Tapi dia Hindu….
Apakah aku bersalah padaMu kalau ku-impikan membangun rumah tangga bahagia bersamanya? Allahku kalau cinta adalah anugerah, kenapa anugerah harus se-membingungkan ini? Apa yang harus kukatakan pada santri-santri di sini jika mereka mengetahui rahasia hatiku? Apakah aku harus jujur dengan perasaanku, ataukah harus kututupi demi sebuah kedamaian?
.

Di sebuah sekolah (Kisah Bu Lian)
8 tahun, choy..!!! Mereka beda 8 tahun…
Oh yah???
Iyah… Armen itu, mantan murid Bu Lian.
Oh… Armen yang anak 99 itu?
Iya.. Armen yang itu..
Mungkin Armen hanya mengejar duit Bu Lian…
Tidak mungkin!!!
Mungkin saja… Bu Lian sudah tua, lagian Armen bukan laki-laki jelek.
Kalau soal uang.. tidak mungkin… Armen kan tidak miskin…
Atau mungkin… Armen kena guna-guna Bu Lian..??
Guna-guna?? Hari gini???

Evaluasi para Cupido
Hari ini Evaluasi memanah.
Bunda Aphrodite akan memberikan hasil evaluasi memanah kami minggu ini. Jadwalku bertemu Bunda jam 10 pagi, sesudah Cupido kuning. Tapi aku sudah berada di depan ruangan Bunda Aphrodite jam 9.17 pagi. Aku tak sabar dan sangat tak sabar untuk mendengar hasil evaluasi Bunda. Aku sangat yakin bahwa aku akan lulus dengan pujian. Aku sudah bekerja keras sepanjang minggu. Pasti Bunda Aphrodite akan sangat bangga dengan hasil kerjaku. Pasangan hati yang aku persatukan tak akan mungkin meleset.

Kulihat Kuning keluar dari ruangan Bunda. Wajahnya menunjukan expresi sedih.
“Mengapa” tanyaku prihatin

Dia memperlihatkan hasil evaluasinya. Dia lulus dengan nilai lumayan; SCB (Sudah Cukup Baik).
“Dari 10 pasangan yang kupasangkan, ada 2 yang bukan pasangan hatinya.”

“Paling tidak, kamu lolos jadi Dewa Asmara..” ku coba menghiburnya dengan tanpa bisa menyembunyikan kegembiraanku. Kuning yang terpandai diantara kami hanya mendapat nilai SCB. Kuning berhasil lolos… tapi bukan yang terbaik…
Aku tersenyum… kasihan Kuning. Membuat 2 kesalahan fatal.. dan aku.. ho..ho.. aku si Abu-abu yang sangat teliti. Kesalahan seperti itu tak akan terjadi.

Aku masuk ke ruangan Bunda dengan kepercayaan diri penuh. Ruangan Bunda yang sangat melegenda. Karena dari ruangan inilah kami diputuskan untuk menjadi ‘the real Dewa Asmara’ atau hanya sebatas ‘Stupid Cupid’ yang pasti terlihat sangat stupid!!!
Bunda duduk di atas kursi yang terbuat dari kerang mutiara. Mejanya yang berwarna – warni terbuat dari potongan pelangi. Cahaya merah, kuning, birunya berpendar-pendar indah. Di depan meja Bunda ada sebuah kursi indah yang dudukannya dianyam dari rumput laut dan awan-awan putih ditumpuk-tumpuk menjadi batalan empuk.
Aku duduk di kursi itu.

Bunda Aphordite masih menundukan wajahnya, mempelajari hasil evaluasiku. Aku masih tersenyum sampai Bunda mengangkat wajahnya…

“Apa-apaan ini? Kekacauan apa yang kamu perbuat?”
Wajah Bunda yang cantik terlihat sangat masam, membuat senyumku langsung surut.
Kekacauan?? Aku tidak mengerti..
“Abu-abu, bukan hanya tidak ada satu pasanganpun yang sesuai, kamu bahkan telah membuat gempar negeri manusia..”

“Bunda, aku benar-benar tidak mengerti. Dengan sangat teliti aku memasangkan potongan-potongan hati manusia. Aku telah berusaha menggabungkan potongan hati yang paling tepat… tapi mengapa aku dikatakan pembuat onar yang menggemparkan negeri manusia?”

“Abu-abu, kita lihat kasus Arimbi dan Anita, keduanya adalah perempuan. Ajie dan Rodi, keduanya lelaki, kau tidak bisa memasangkan mereka. Pasangan itu harus laki-laki dan perempuan. Kasus Han juga, kenapa tak kau pasangkan Han dengan Mei- Lan. Mereka cocok dan dari etnik yang sama. Bu Lian, dia terlalu tua untuk Armen. Menurut peraturan yang tidak tertulis laki-laki harus lebih tua dari perempuan. Kau juga membuat ibu Meta pusing karena memasangkan Meta dengan Allan. Meta terlalu kaya untuk Allan. Dan kasus Ustadz Yus, apa kau mau membuat dia dibenci para santrinya? atau kamu mau perang? Kau membuat semuanya kacau, tak sesuai pakem… tak sesuai aturan umum yang berlaku.” Mata Bunda Aphrodite menatapku tajam..

“Tapi Bunda, aku sudah sangat berhati-hati mempelajari UUM dan AUPH. Tak kutemukan pasal yang mengatakan bahwa pasangan hati itu harus hetrogen, tak ada pasal yang menyebutkan soal suku dan strata sosial, tak ada pasal yang menyebutkan gradasi kecantikan, tak ada pasal yang menyebutkan usia, tak ada pasal yang menyebutkan soal agama, tak ada pasal yang menyebutkan soal kaya - miskin. Dan Aku sudah sangat hati-hati dan berkali-kali menguji kecocokan pasangan sebelum akhirnya memanahkan panah cinta, dan mereka benar-benar pasangan jiwanya.”

“Abu-abu, kamu benar soal isi UUM dan AUPH. Tapi seharusnya kamu lebih bayak melihat dan mendengar dari senior-seniormu. Benar, tak ada hukum atau pasal yang mengharuskan pasangan itu hetrogen, sama suku, ras atau agamanya. Tak ada juga pasal yang menulis soal penetapan usia tiap pasangan. Tapi itu terangkum dalam hukum-hukum kuno yang tidak tertulis. Hukum yang lebih kuat daripada hukum yang tertulis. Dan karena itu… kita bisa kompromi, bila pasangan hatinya sudah sedikit ‘pas’ walaupun tidak benar-benar pas…kita dapat mempersatukan mereka. Kita bisa memodifikasi sedikit. Bisa kita tutupi di sana-sini.”

“Tapi Bunda, bila pasangan hati saja bisa dimanipulasi, bagaimana kita mengajarkan kemurnian cinta pada manusia? Apakah menjadi Dewa Asmara harus pintar memanipulasi? Apakah kini, kita para Dewa, jadi seperti manusia. Ikut menyokong perbedaan strata, ras dan kelas, ikut membedakan warna-warna….?” Aku coba beradu argumentasi dengan Bunda.

“Kau akan mengerti… satu hari nanti kau akan mengerti, Abu-abu.” Kali ini tatapan Bunda melembut.

Aku keluar dari ruangan Bunda dengan HML di tanganku. Nilai yang paling menyedihkan (Harus Mencoba Lagi). Jangankan Dewa Zeus Award, luluspun aku tidak. Bukan itu saja. Dalam dua hari ini aku juga harus mengerjakan hal yang paling tidak disenangi dan yang paling dibenci oleh semua Cupido; mencabut panah asmara! Kasihan manusia…

Mencabut panah-panah dan hati-hati yang terluka
Abu-abu terpaksa mencabut semua anak panah cinta yang terlajur melesat dari busur asmaranya. Dibuka lagi buku UUM dan AUHP, mencari pembenaran lewat hukum-hukum yang tertulis rapi. Semua pasal membenarkan tindakannya. Tapi toh dia tetap saja salah. Percuma saja ada UUM dan AUHP, karena yang paling penting adalah peraturan umum yang berlaku… walaupun tak tertulis, tapi peraturan-peraturan ini yang dipakai.
Kini, Abu-abu pergi kesetiap pasangan yang telah dipersatukannya. Kali ini, dia harus mencabut setiap anak panah yang telah ditancapkannya… Tapi oh… dia tidak boleh mencabut kedua anak panah kembar sekaligus. Dia hanya boleh mencabut satu anak panah dari setiap pasangan, (Dia juga baru diberi tahu, saat dia mencabut 1 anak panah dari satu pasangan, ada luka tak berdarah yang tertinggal di dada, tapi yang merasakan sakit adalah orang yang panahnya tidak dicabut)
Dan dari setiap anak panah yang dicabutnya, abu-abu juga merasakan kepedihan. Kepedihan karena perasaan bersalah. Itu konsekwensinya.
Tapi dia hanya ingin lulus ‘ujian’ memanah dan menyatukan hati’
Kalau dia tidak lulus, apa yang harus dia kerjakan? Karena sebagai Cupido, tugas satu-satunya adalah memasangkan dan menyatukan hati.. Tak ada yang lain.

Maaf manusia….
Aku terpaksa harus memasangkan dan menyatukan hati kalian menurut peraturan ‘tak tertulis yang berlaku sejak dahulu kala’.. Kalau ada hati yang tersakiti, jangan salahkan cinta. Cinta tak pernah salah. Cupido yang salah…Tapi.. sekali lagi.. aku hanya ingin lulus ujian..
*****

(Tomohon, November 2007: malam setelah diskusi)

Senin, 20 Oktober 2008

Esei Chandra Dengah Rooroh: "Bukit kasih, Bukit Miste"Religius"

Bagian kecil catatan dari ekspedisi Pinawetengan, Tonsewer, Kinali dan kanonang
28-29 September 2008

Masyarakat yang mengalami “masifikasi” adalah masyarakat yang sudah memasuki proses sejarah, tetapi kemudian dimanipulasi oleh golongan elit untuk dijadikan kelompok yang tidak berpikir dan mudah dikendalikan. Proses ini disebut “masifikasi”, lawannya adalah “konsientisasi”, yakni proses untuk mencapai kesadaran kritis. (look on Karl Popper, The Open Society and its Enemies)

Sekali lagi saya terhenyak ketika menginjakkan kaki di tempat ini Perasaan heran bercampur sakithati berbaur tak karuan dalam pikiranku. Apakah aku berada ditempat yang benar seperti kata teman- temanku ataukah aku sudah berada di tampat lain yang mirip dengan tempat ini?? Ternyata memang benar saya memang berada di tempat yang bernama bukit kasih. Sebuah lokasi wisata alam yang terletak desa Kanonang- kawangkoan, kurang lebih 60 km jarak dari kota manado dan ditempuh dengan waktu 1 jam 30 menit ini sudah berada dihadapanku kembali, yang di jaga kokoh oleh sebuah menara raksasa yang bernama menara kasih.. bersama- sama dengan teman- teman dari ekspedisi mawale movement (sastra_minahasa.blogspot.com) online, diantaranya Greenhill Weol, freddy Wowor, Bodewyn Talumewo, juga teman- teman dari Pinawetengan Muda Frisky Tandaju, Roy Najoan, Frits Singal dan Jolen Kawulur, sampailah kami di tempat ini setelah menempuh perjalanan dari desa Pinawetengan, Kinali dan Tonsewer.
Pijakan kaki kananku jatuh setelah turun dari motor Thunder kesayangan Green dan langsung membuat pikiran menerawang ini ke masa yang lalu, 16 juni 2003 adalah tanggal pertama kali saya datang ketempat ini dengan rombongan yang berbeda dan kapasitas yang berbeda pula. Decakan kagum terus keluar dari mulutku pada waktu itu. Bagaimana tidak berdiri dihadapan saya sebuah bukit yang sangat indah, dilengkapi dengan sekitar 12000an anak tangga yang memadai untuk mengadakan perjalanan religius (via do lorosa), patung- patung leluhur minahasa berdiri begitu gagah yang meninggalkan kesan betapa kentalnya adat dan budaya dan persatuan kita sebagai orang Minahasa, bangunan- bangunan ibadah dari berbagai golongan berdiri berjejeran di lereng bukit yang seakan- akan memperlihatkan hubungan kerjasama antar umat beragama di daerah ini sangat kuat plus sambutan yang ramah dari masyarakat sekitar menandakan bahwa orang daerah sini sudah siap menemui pengunjung dari mana saja, yang artinya akan menyukseskan program WOC (world ocean confrencce) 2009. belum lagi bangunan- bangunan rekreasi berdiri megah disepanjang pandangan bukit itu… begitu saya menginjakkan kaki di anak tangga yang ke 100an lebih terciumlah bau yang menyengat. Ya, itu tidak lain adalah bau belerang yang memang keluar dari tempat ini karena memang tempat ini salah satu lokasi gas alam yang tersebar di beberapa daerah di minahasa.
Yang lebih mengejutkan saya lagi ketika samar- samar saya mendengar suara nyanyian rohani, dengan tergesa- gesa saya langsung naik terus menuju asal suara itu dan benar juga, saya sudah terhenti di jarak 7 meter dari lokasi itu karena didepan saya jelas sekali ada sebuah bangunan besar pertama saya temui yang bernama Gereja Masehi Injili di Minahasa. Yang lebih menyentuh hati saya yaitu sebuah tulisan berbahasa daerah yang tertera dibawah tulisan tadi, (Wale ni Amang Kasuruan Wangko). Dalam hati perasaan senang dan takjub kembali mengelilingi tubuhku, betapa tidak sebagai orang yang dibaptis dari ajaran ini sangat bangga melihat tempat ibadahnya dibangun ditempat seperti ini. Sangatlah sulit untuk mengutarakan ini namun menurut pemikiran saya bahwa agama Kristen sangat lekat sekali dengan budaya serta tradisi orang minahasa. Apa pasal nya, mungkin karena cara penyembahan leluhur kita sama dengan pandangan beribadahnya orang Kristen yang selalu mmenyebut Tuhan Allah yang maha besar (Opo Wailan Kasuruan Wangko), itu saya belum tau pasti. lagi Perasaan yang sulit digambarkan juga adalah ketika saya sampai di patung yang berbentuk leluhur minahasa (Toar Lumimuut) dari gesturnya terlihat sepasang orang minahasa pertama itu seakan- akan sedang menunjuk seluruh tempat didaerah ini. Memang benar kalo kita coba menghadap kearah seperti yang di tunjukkan oleh patung itu maka kita akan melihat hampir seluruh daerah minahasa. Pantas saja kalo tempat itu bernama bukit Kekeretan (tempat meneriakkan sesuatu jika ingin menyampaikan berita kepada seluruh sub-etnis diminahasa dalam hal ini Tontemboan, tolour, tombulu, tonsea, tonsawang, pasan, ponosakan, bantik dan babontehu). secara harafiah juga dipercaya tempat ini seseorang tidak boleh sembarangan membuat keributan karena akan menimbulkan gejala alam seperti hujan dan lain- lain. Banyak masyarakat minahasa juga menyebut tempat ini dengan nama bukit Toar Lumimuut. Sebelum melanjutkan perjalanan melingkari bukit itu Tak sengaja saya menengok kearah kanan bawah dan melihat sebuah setapak kecil kearah hutan bukit seberang dan menghilang, kemudian saya bertanya kepada penduduk disekitar situ, katanya itu adalah jalan ke Watu Pinawetengan. Tapi kenapa tidak diperbaiki dalam hati saya berkata?? Apakah pembangun tempat ini tidak mau memperlihatkan tempat berkumpulnya orang- orang tua minahasa dulu yang merupakn tempat musyawarah, tempat yang notabene melahirkan pikiran- pikiran terbesar sepanjang masa? Apakah ada ketakutan tersendiri dari pembangun tempat ini supay tetap terjaga kesan religius dari objek wisata ini? Lalu kenapa ada patung- patun leluhur berdiri megah disini? kenapa tempat ini dipercaya sebagai tempat pengiriman pesan lisan jaman dahulu? Ataukah ada masalah- maslah daerah kepolisian sehingga menghambat pembangunan daerah wisata ini menjadi lebih besar?
Lamunan saya hancur ketika salah seorang teman saya menepuk pundak saya untuk melanjutkan perjalanan ke atas, ternyata sebagian teman- teman ekspedisi kami sudah meninggalkan kami jauh di atas. Dan kali ini setelah kurun waktu 5 tahun saya kembali kesini. persaan terkejut, decakan kagum, heran bercampur sakithati itu tetap sama diraut muka saya! Bukit kasih yang dulu tak seperti bukit kasih yang sekarang, sampah bertebaran dimana- mana, objek- objek situs- situs yang ada disitu sudah penuh dengan coret- coretan akibat perbuatan tangan jahil, bangunan- bangunan tempat ibadah yang sudah rusak ada dimana- mana, juga pendopo- pendopo tempat peristirahatan yang sudah tidak mempunyai pengaman lagi dan berbahaya bagi para pengunjung karena lokasi wisata ini terletak di lereng gunung ini. Seperti sudah tidak ada yang tidak memperdulikannya lagi. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah tampat ini milik seseorang ataukah milik orang Minahasa! Furious mind saya mulai berkecamuk dikepala ini, secara sosiolog apabila seseorang itu mempunyai sesuatu untuk dipelihara maka dia akan menjaganya sampai akhir hayatnya, tapi setelah dia meninggal, siapa yang akan menjaganya apabila anak cucunya tidak ingin menjaganya. Sebaliknya apabila suatu generasi itu mempunyai sesuatu untuk dijaga maka mereka akan menjaganya dan walaupun satu generasi itu hilang masih ada beberapa orang di antara generasi yang baru itu akan tetap menjaganya karena mungkin dari generasi yang lama sudah ada pengkaderisasi untuk sesuatu tersebut. Mungkin benar kata orang- orang bijaksana bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih mudah membuat daripada memelihara.
Kesan religius saya sontak berputar 180derajat ketika saya melihat kembali kedua patung leluhur itu masih berdiri tegak di atas sana dan masih dengan gaya yang sama namun ada perbedaan lain dari kedua wajah itu, dulu dengan bangganya menunjuk dan memperlihatkan seluruh daerah dan generasinya kepada setiap pengunjung yang datang ketempat itu, kini terlihat lusuh, lelah, rusak, kotor, kebanggan mereka berdua seakan- akan perlahan sirna, mulai tidak ada lagi semangat diwajah itu seperti yang dulu, tidak ada lagi jiwa persatuan yang melekat seperti orang minahasa di kedua tubuh itu,serasa ingin mengucapkan bahwa semangat orang minahasa mulai pudar, seperti mewakili tempat itu dan ingin meneriakkan sesuatu (kekeret) kepada kita semua bahwa mungkin ada hal- hal yang perlu di perbaiki, ada hal- hal yang harus kita jaga, ada hal- hal yang harus kita hindari, ada hal- hal yang harus kita korbankan, ada waktu kita bergerak, ada waktu kita melakukan sesuatu sebelum terlambat dan mungkin memang sudah waktunya. karena siapa lagi yang akan membangun sekaligus memelihara daerah minahasa kita kalau bukan kita orang minahasa sendiri. Mngkin saya akan menutup catatan saya ini dengan falsafah yang pernah dikatakan oleh seorang presiden amerika “jangan bertanya apa yang telah Negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan kepada negara".

I Jajat U Santi!!!

Minggu, 05 Oktober 2008

Esei Benni E. Matindas* : "Negara Gagal"

Menyusul peristiwa rusuh massa yang menimpa para mahasiswa sebuah sekolah tinggi theologi di Jakarta Timur belum lama ini, sebuah stasiun televisi memasukkan warta itu dalam rubrik tetapnya berupa interaksi dengan pemirsa yang memilih sendiri berita yang ingin ditayangkan ulang. Telepon berdering. Dan suara seorang perempuan terdengar memberi salam. Ia seorang ibu, tinggal di Bogor.

Menanggapi peristiwa di STT Setia Arastamar itu, dan peristiwa-peristiwa sejenis yang nyaris rutin, misalnya seorang Camat yang ikut dengan massa yang menuntut penutupan sebuah gereja, si ibu menyimpulkan: “Negara ini sudah gagal!”

Tak ada yang lebih telak, tepat, utama, dan penting, daripada simpulan demikian dalam menanggapi fakta menjadi rutinnya perlakuan tak adil atas kaum minoritas.

Kita sama tahu raison d’etre atau that’s why adanya Negara yang dijelaskan Hobbes dan kemudian disempurnakan oleh banyak pemikir lain termasuk Sumual: Setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi; termasuk hak mempertahankan hidupnya dan miliknya dari serangan orang lain. Tapi usaha pertahanan diri itu tak boleh sepenuhnya diserahkan kepada warga, karena demi menjamin keberhasilan pertahanan tersebut setiap orang akan saling curiga, menyerang lebih dulu, membangun kekuasaan sendiri-sendiri tanpa batas, atau mengusahakan bala bantuan sebanyaknya dari luar. Dan itu niscaya menjurus pada bellum omnium contra omnes — perang semua melawan semua. Maka, semua warga itu mengadakan kontrak untuk membentuk satu badan pemegang kekuasaan bersama — yakni Negara — dan memilih pemerintah serta organ lain buat menyelenggarakan negara itu. Fungsi negara yang utama dan minimal adalah menjaga keamanan warga beserta hak-hak mereka, dan harus adil agar kekuasaan itu tak dimanfaatkan kelompok warga lainnya untuk hanya menguntungkan keamanan pihak mereka. Karenanya, negara harus dinilai gagal bila fungsi minimal — keamanan dan keadilan — itu kenyataannya tak tertangani.

Sampai di situ, di tataran konsep, siapapun (termasuk ibu penelepon tadi) setujuan. Tetapi praktiknya yang selalu jadi lain itu semestinya menyadarkan siapapun bahwasanya ada tataran konseptual yang lain lagi, yang selama ini mengarahkan praktikal aktual.

Lain? Ya, misalnya, di tataran “iman”. Di sini ada “perintah agama” yang, walau bertentangan dengan keharusan menjaga keamanan dan keadilan, dinilai “harus ditunaikan”. Amanat agama melampaui harkat hukum negara maupun negara itu sendiri. Dan penghayatan iman serta pengamalannya yang seperti ini bukan saja dalam satu agama tertentu di wilayah negara tertentu. Juga tak hanya di masa tertentu, seperti penyalahgunaan kekuasaan gereja untuk menebar teror dan ketidakadilan di sepanjang Zaman Pertengahan, atau Afghanistan di masa rezim Taliban. Para penganut Budhisme di Thailand dan Srilanka menyesak kaum minoritas Islam dan Hindu. Para penganut Yudaisme di Israel, pada hari Sabath, memukuli orang-orang di jalan yang tidak pergi ke sinagoge. Sejumlah orang Hindu di India berlomba membunuh warga Muslim dan membakar masjid.

Masalah ini hanya dapat selesai secara tuntas bila masyarakat telah mencapai taraf kecerdasan memadai. Lebih cerdas dalam beragama. Lebih tahu mana wujud takwa yang utama di mata Allah, yakni meneladani sifat-sifatNya yang rahmani dan rahimi. Bukan mengutamakan lain-lain berdasar bermacam tafsir manusia. Rahmani dan rahimi, pengasih dan penyayang. Jauh dari laku kekerasan dan ketidakadilan.

Untuk mencapai taraf kecerdasan memadai itu pun adalah fungsi negara. Bukan fungsi minimal, melainkan fungsi ideal — yang seharusnya sudah beres, mengingat kebudayaan homo sapiens ini sudah menggauli negara dan agama selama beribu tahun. Fungsi ideal ini — yang dirumuskan lewat bermacam kata-kata oleh Plato, Al-Farabi, Martin Luther dan Rousseau — masih gagal diperankan negara. Tepatnya: bangsa. Bangsa-bangsa.

Warga bangsa belum pernah berhasil mengajukan konsep negara yang sebenarnya — yang antaranya mengenai fungsi minimal sampai fungsi ideal Negara — sehingga tak pernah bisa mencapai kondisi ideal itu. Yang kendati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa — melalui International Covenan on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) — sebetulnya sudah pula diabsahkan sebagai kewajiban minimal suatu negara.

Negara harus menjadi lokomotif dari apa yang oleh UUD 45 dirumus “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Termasuk di dalamnya: kehidupan beragama yang cerdas. Lebih mampu mensistematisir ajaran agama — jelas mana inti dan mana implementasi berdasar kondisi situasional, kultural, historis — sehingga lebih ajeg, konsisten, menumbuhkan takwa. Dengan demikian, sebagai inti dan dasar, agama tetap bisa diposisikan pada harkat lebih tinggi di atas hukum dan negara, dan secara ajeg serta konsisten. Dengan kecerdasan pun maka setiap insan dapat mencapai kemajuan puncak tanpa harus meluncur ke sekularisme dan hambar imannya.

Beragama secara lebih cerdas, dan seterusnya membina agama yang mencerdaskan generasi-generasi selanjutnya.



*) Benni E.Matindas,
Filsuf Minahasa, penulis buku “Negara Sebenarnya”.

Cerpen Cyanthi Manoppo: "Cincin Kaweng..."

Alkisah hiduplah Lintje dan Antje di desa Tomohon[1]. Antje lahir di tahun 50-an. Tiga tahun sesudahnya Lintje dilahirkan. Pada waktu itu, para tetua desa dan para orang tua lagi kegandrungan menamai anaknya dengan akhiran..-tje (Baca : -Ce). Selain Antje ada adiknya Martje dan Vence. Lintje memiliki 3 orang kakak yakni Katotje, Dortje dan Suntje. Tambahan pula teman sepermainan mereka si Sartje, Yantje dan Mintje. Maka, setiap hari Ibu Guru memanggil daftar hadir siswanya : Katoce, Dorce, Marce, Ance, Sarce, Yance, Lince, Mince, Vince, Sunce… Ya, berhubung usia mereka berdekatan dan keterbatasan prasarana, semua generasi –ce –ce di desa itu belajar bersama-sama. Rukun dan damai.
Lintje dan Antje selalu bersama-sama.
Rumah mereka berdekatan, orang tua mereka berkawan dan mereka selalu bersekolah di sekolah yang sama sejak SD yang jaraknya hanya 15 menit jalan kaki dari rumah hingga masuk SMP yang jaraknya 1 jam lebih 15 menit jalan kaki dari rumah. Maka bisa di duga mereka akhirnya menikah juga. Hidup rukun dan damai.
Tapi, Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak.

Tsunami I
Saat itu olahraga adu semangat yang paling ramai adalah mengadu Ayam milik siapa yang paling jago di seantero kampung. Mereka yang ketagihan seperti saling menghormati norma baru yakni yang memiliki ayam paling jago kira-kira bisa disamakan dengan yang paling jago di kampung. Walah…padahal andil empunya para ayam jago paling banyak meneriaki para ayam dan memberi mereka makanan lebih dari takaran biasa. Tak tanggung-tanggung taruhannya dari Jagung sekarung sampai uang ratusan ribu rupiah.

Sebenarnya niat awal Antje menyabung ayam malam minggu itu bukanlah niat jahat. Antje bermaksud memberikan hadiah istimewa pas hari Valentin 14 Februari yang tinggal seminggu lagi, pada juwita puspita hatinya Lintje : membelikan coklat berbentuk buah hati bertuliskan I Love You yang hanya dijual di pertokoan kota Manado. Berhubung masih termasuk barang langka di kampung, biaya transportasi ditambah harga beli coklat setara dengan tiga kali hasil jualan di pasar.
Apa pasal ? Yach… seperti sikap dasar manusia, kalau ada cara mudah menggapai sesuatu mengapa tidak ? Tapi Antje salah perhitungan ketika dalam menyambung ayam niat awalnya berubah di tengah jalan. Hari itu jualan para pedagang sayuran laris manis, harga taruhan pun naik setinggi langit. Antje tak mau kalah dan kecoplosan menawar cincin kawin emasnya.
“Astaganaga…Antje, nyanda salah ngana se gadai itu cincin kaweng ?” teriak Ventje adik kandung Antje.
“Hush..kita pe ayam paling jago. Tenang jo kwa, nanti kita kase bagian MAR jangan bilang pa maitua neh !” seru Antje tak kalah semangat.

Roda kehidupan tidak ada yang tahu,
kata pujangga.
Kegagalan adalah awal kesuksesan,
kata filsuf.
Bahtera rumah tangga pasti ada riak kecil,
tutur Ventje selaku saksi, ikut nyambung
Demi Langit dan Bumi, nyanda sengaja cintaku
ratap Antje
Kita binci pa ngana, kalo minta cere bukang bagini depe cara,
tangis Lintje

Menjual cincin kawin untuk menebus kekalahan menyambung ayam bukanlah hanya riak kecil bagi seorang istri seperti Lintje. Hilang sudah cokelat valentine idaman malahan Tsunami menggemuruh mengalir deras di setiap sel darah Lintje.
Masalah Cincin Kaweng di keluarga Antje dan Lintje diredakan oleh si kecil Celia. Hhmm…sejauh ingatku, akulah yang mendamaikan Mama Lintje dan Papa Antje. Tepat seminggu perang dingin, tepat hari kasih sayang sedunia, aku yang masih cadel dan baru belajar menulis memberikan surat bagi mama dan papa.
Isi suratkku :
===============================================================
14 Februari,
Mama LinCE + Papa AnCE = ade CELiA
Celia sayang pa mama deng papa. Baku bae jo neh ??
===============================================================
Sampai sekarang, suratku dibingkai dan dipajang di ruang tamu. Padahal tulisannya cakar ayam alias tidak karuan. Haha..Dewasa ini aku baru tahu ternyata Om Ventje yang cerdik sangat berjasa mendamaikan mama papa. Isi suratnya diajarai Om Ventje selama seminggu penuh maka, selama 7 hari berturut-turut setiap selesai latihan menulis surat, Celia kecil mendapatkan permen Hopjes [2]
Masalah penggadaian cincin kawin demi valentines day akhirnya reda di hari valentines. Kembali pada kewajaran, Antje dan Lintje hidup rukun dan damai.
Sekali lagi,Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak.
Lintje dan Antje hampir tidak pernah memiliki riak kecil dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka. Sebagai gantinya mereka langsung menghadapi Tsunami dan kali ini Tsunami menggemuruh mengalir deras di setiap sel darah Antje.

Tsunami II
Aku berumur 17 tahun kala itu. Celia, si keke yang berkulit putih menjadi bintang kelas di sekolahan bertekad melanjutkan belajar di kuliahan di ibukota. Sebagai anak semata wayang, mama Lintje dan papa Antje sangat besemangat untuk menyaksikan Celia bisa meraih gelar insinyur. Hanya saja tekad dan semangat harus bertempur dengan uang. Pertempuran yang sengit, dimana anak usia sekolah dengan keadaan ekonomi keluarga pas-pasan kalau tidak mau disebut orang miskin, pastilah tidak menyanggupi biaya spp, buku cetak, transport pergi-pulang kampung-kota-kampung. Belum lagi biaya tak terduga lain-lain.
Berdasarkan musyawarah tertutup - Bapak, Ibu dan Anak. Mama memutuskan : menjual cincin kawin untuk biaya kuliahku. Papa yang tahu memainkan perannya membuat mama harus sukarela menjual barang kesayangannya. Toh, cincin itu sudah tidak ada pasangannya, bujuk papa. Toh, tanpa cincin itu kita saling mencintai sampai tua, rayu papa.
Akhirnya waktunya tiba. Om Ventje datang hendak membeli cincin kawin mama.
Sudah satu jam. Tapi, cincin itu tidak bisa terlepas dari jarimanis mama.
“Aduh..Vence, kita nyanda batowo kasiang. Pe setengah mati skali, nyanda tacabu ini cincin kaweng “ seraya berusaha memutar, menarik, me…, me…, menarik cincin kawinnya
“Lince dapa lia kwa..riki so merah do ngana pe jare manis. Santai jo”
Waktu terus berdetak dan tak pernah mau berhenti
Detik ke-60 menjadi menit
Menit ke-60 menjadi jam
Dan jam ke-3, dentang itu mengundang Tsunami
“Mama, so basangaja sto kang ? Papa nda abis pikir, masa cuma mo sekaluar itu barang spanggal so tiga jam ? “
“Aduh.. Papa jang asal-asal malontok. Tanya kwa pa Vence, so goso sabong, minyak goreng, minyak kalapa, minyak tawon, nyanda talapas ini cincin”
“Papa jang baku sedu..Mo apa itu peda ? Aaaahhhh…mama nimau !! “
Hari Jumat, kantor perguruan tinggi hanya buka setengah hari. Karena itu papa jadi tidak sabaran dengan usaha mama melepas cincin kawin dari jari manisnya. Papa sudah mengatur agenda bahwa hari itu juga, pembayaran awal kuliahku harus terjadi dan papa termasuk orang yang tidak mau mengubah apa yang sudah direncanakan.

17 tahun dibesarkan mama dan papa, aku tentu saja mengenal mereka lebih dalam. Peda [3] itu hendak digunakan papa untuk memotong cincin emas yang sangat lengket di jari manis mama. Tentu saja wanita separuh baya seperti mama sangat ketakutan membayangkan bahwa jari manisnya bisa ikut putus dalam sekali tebas. Mama menangis keras dan mengulang kalimat yang sama dengan 13 tahun lalu saat Tsunami pertama melanda, “Kita binci pa ngana, kalo minta cere bukang bagini depe cara”
Itulah pertama kalinya aku terpikir, mungkin tanpa Cincin Kawin sebuah keluarga justru tidak akan pernah terpikir tentang perceraian.
Masalah cincin kawin kali itu diselesaikan si ABG Celia dan Om Ventje. Om Ventje membawaku mengikuti tes masuk gratis untuk siswa berprestasi. Aku masuk sebagai 5 besar dan memberi mama waktu 6 bulan atau sama dengan 1 semester untuk menurunkan berat badan hingga jari manisnya menjadi lebih ramping dan tanpa ditebas dengan parang, cincin kawin itu bisa dikeluarkan dan dijual oleh Om Ventje.
Siklus hidup manusia memainkan jemarinya.
Selesai kuliah, ditanya kapan kerja
Sementara kerja, ditanya kapan menikah
Sebagai Psikolog, Aku tentu menyadari kehendak mama dan papa untuk segera menimang cucu. Sebagai tameng agar tidak dipaksa untuk segera menikah, aku mengatakan pada mama dan papa bahwa aku benarlah serius hanya akan menikah dengan pria yang mencintai dan menerimaku apa adanya. Termasuk menerima kehendak anehku, menikah tanpa pernik Cincin Kawin.
Semuanya baik-baik saja. Aku hidup rukun dan damai dengan keluarga, teman, kolega, pasien… dan kekasih di belahan benua yang lain.
Lagi-lagi,Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak

Tsunami III
Tepat Valentines Day, 14 Februari. Tiba saatnya Aku harus menanggulangi Tsunami ku sendiri.
Anaknya tante Martjee dan om Vintje tiba-tiba datang di tempat praktek, bukan kenalan biasa.
Marvin, pacarku semenjak SMU muncul sambil membawa gelar Master ekonomi dan pilihan kado di kedua tangannya. Dia memang selalu lebih pintar dari aku, to the point, tanpa basa basi dan sama-sama aneh kata sebagian orang.
“Celia…pilih yang mana ? coklat valentine untuk pernikahan ATAU cincin untuk persahabatan”
Haha…Celia yang anti dengan aksesoris bernama cincin tidak mungkin memilih barang itu kan ? Kurasakan tsunami ini bukan gemuruh yang meluap marah, tapi debar jantung kegugupan dan luapan kebahagiaan, karena terjawab sudah salah satu permohonan doa: Semoga, akulah empunya tulang rusuknya yang konon hilang satu.
Begitu tanganku menyentuh coklat valentine, Marvin mendekapku erat sambil berbisik :
Honey…
In the long run we are all dead[4],
In the short run we will marry!!

Menyambut hari ke-empat belas, di bulan kedua, tahun 2005



________________________________________
[1] Kota Tomohon dicapai melalui transpotasi darat 45 menit dari kota Manado, ibukota Sulawesi Utara
[2] Permen yang paling terkenal di Tomohon pada tahun 1960-an
[3] Parang, semacam pisau besar
[4] kalimat salah satu ekonom dunia

Rabu, 17 September 2008

A JOURNEY OF JOY, Oleh: Hans Liberty Makalew

Sebuah Liturgi



(Doa Pembukaan)

(Puji-pujian oleh jemaat)

(masuk iblis)
Iblis : Beking apa di sini?
Mo ba apa ngoni di sini?
Eh! Ngana! Kiapa ngana di sini? (sambil menunjuk ke salah seorang jemaat)
Io! Ngana!
For apa ngana kamari!?
Suara : Ibadah. . .
Iblis : Ibadah?! Ibadah pa sapa leh?!
Hari gini, Masih pake yang ba-bagini? Basi tau!
Ibadah ini kan, cuma tradisi.
Yang artinya, nyanda penting!
Yang penting kan, itu . . . apa kote?. . . Eee. . . iman.
Io, iman!
Lagian kan, tu ibadah yang babagini kwa cuma ja beking fugado jo.
Io to?
(masuk malaikat)
Iblis : (menoleh kearah malaikat)
Huuuh! . . . napa leh pengacau, so ada . . .
Beking apa leh ngana kamari? (kepada malaikat)
Ngana do’ kurang da iko-iko pa kita eh!
Kiapa, naksir?
Malaikat : Eh! So jaga tembus di tampa bagini ngana e?!
Iblis : Oh io. . . Skarang, tampa mana kong kita nimbole tumbus. . .
Mo rumah basar, mo rumah kacili, mo di utang, mo di kampung, mo di kota, mo di pasar, mo di mol, mo di internet, mo di hendphon, mo di tampa-tampa ibadah, mo di mana ke’, samua kita pigi akang!
Malaikat : Surga dang?!
Iblis : Lala mulu ngana!
De pe inti kan, cuma manusia . . .
Kita pe tujuan kan ngana so tau!
Malaikat : Mar, kan kalu di tampa bagini ngana salalu nyanda pernah untung.
Iblis : Apa?
Eh! Lamu! Coba ngana lia tu di blakang sana. Tu anak dua dari tadi kurang da bermain-bermain HP.
Napa le tu tiga nona sana dari tadi cuma da ba karlota trus.
Tu nyong sana kumang somo ta cabu de pe mata da haga-haga tu parampuang-parampuang pasung.
Sini! eh... ngana lia tu mache sana! De pe dalam hati dari tadi cuma, ‘so dapa lia gaga kita nyanda e?. . . Aduh talalu sadiki kote kita pe smengken. . .’
Tu paitua sana kumang, dia ada ganu-ganu pa itu pache sana.
Samua dorang pe pikiran nyanda di ibadah!
Yang dorang pikir cuma. . . kita. . .kita. . .kita. . .trus.
Narsis!
Tu cinta kasih yang ngana da bangga-banggakan, dorang cuma jaga pake for dorang pe diri sandiri.
Jadi, biar ngana mo bantu le, so nya’ ngaruh.
Malaikat : Eh, mar ngana musti inga itu kasih karunia dari Yesus Kristus nyanda akan pernah mo setinggal pa dorang.
Iblis : Adoh, bage di mana e. (berpikir)
Io no, kita le tau samua tu ngana pe bos pe karya.
Mar, ngana lia ini dunia ini skarang.
Sapa yang merajalela?
Bu’!!!
Malaikat : Bu’? (kebingungan)
Iblis : Kita, noh!
Dunia skarang geger dengan teror, perang, deng kerusuhan.
Blum lagi itu praktek-praktek mesum, bahugel, narkoba, miras, traficking, korupsi, pancuri, kolusi, baruci, dola-dola orang, deng laeng sebagainya yang terangkum dalam dosa.
Malaikat : Mar, samua itu so nda akan bertahan lama.
Iblis : Heh! di Buser, di Patroli, di Derap Hukum, Delik, Dunia Dalam Berita, Sekilas Info, Breking Nyuws, Fenomena, berita-berita di Indovision apa le e...
Mo di koran-koran, majalah, tabloit, mo di buku-buku sejarah!
Samua kita pe karya yang di bicarakan, kong tiap hari ada.
Malaikat : Mar, ngana nyanda akan pernah menyamai Yesus Kristus.
Iblis : Aaargh...salah!
Dia itu yang nyanda akan pernah mo sama deng kita!
Manusia so berbondong-bodong kase tinggal pa dia kong datang pa kita.
Malaikat : Hoi, sadar jo! So lebe dari dua ribu taon, itu nama Yesus Kristus masih terus diagungkan, dimuliakan, deng disembah di muka bumi ini.
Deng, orang-orang yang mengimani tu nama itu terus berjuang mo kase kalah pa ngana.
Buktinya, napa skarang, ini orang-orang pe smangat skali mo ba ibadah menyambut kelahiran Yesus Kristus sang Juruslamat.
Iblis : Memang lala mulu ja bacirita deng ngana no.
( berjalan seperti akan keluar, namun kembali lagi)
Eh!!! Ngana masih inga tu kejadian sepuluh milenium yang lalu di taman Eden?
Malaikat : Kiapa?
Iblis : Masih inga pa Hawa?
Malaikat : Kiapa dia?
Iblis : Masih inga itu pohong?
Malaikat : Hmmmm...kong kiapa?
Iblis : Itu buah dang?
Malaikat : Io, kong?
Iblis : Itu ular dang?
(Di depan panggung iblis beraksi dengan gaya mempersembahkan suatu pertunjukan, sesudah itu keluar)
Malaikat : Hmmm...
(setelah sempat terpaku ke arah panggung malaikat keluar)

Babak I
Adegan I
Setting: Taman Eden

(Tirai panggung dibuka. Masuk Adam sambil mengurus tanaman-tanaman di taman itu. Kemudian tertidur. Ular mengamat-amati Adam dari belakang pohon pengetahuan. Hawa bangkit perlahan kemudian menghampiri Adam. Adam terbangun dan kaget. Setelah menyadari siapa Hawa sebenarnya Adam mulai bersuara.)

Adam : Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.

(Adam kemudian mengajak Hawa berjalan-jalan mengelilingi taman Eden. Keduanya kemudian sibuk merawat tanaman, hingga akhirnya terpisah. Ular datang menghampiri Hawa.)

Ular : Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?

Hawa : Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.

Ular : Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.

(Ular kembali bersembunyi di balik pohon. Hawa yang termakan dengan rayuan Ular akhirnya memetik buah tersebut dan membawanya kepada Adam. Kemudian Hawa mengajak Adam untuk memakan buah itu. Adam menanyakan pada Hawa asal dari buah tersebut. Hawa mengajak Adam ke tempat dimana ia memetik buah itu. Setelah itu Adam menjadi panik. Hawa terus membujuk Adam kemudian ia memakan buah itu. Semula Adam menolaknya, namun kemudian ia pun memakan buah tersebut. Seketika setelah Adam memakan buah itu keduanya mendapati dirinya telanjang, kemudian mereka lari bersembunyi. Terdengar suara langkah kaki.)

Suara : Di manakah engkau?

Adam : Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.

Suara : Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon yang Kularang engkau makan itu?

Adam : Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.

Suara : Apakah yang telah kauperbuat ini?

Hawa : Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan.

Suara : (kepada Hawa)
Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.
(kepada Adam)
Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.

(Mereka akhirnya di usir dari taman Eden. Tirai panggung ditutup)

(Jemaat menyanyi lagu ”Indah Sebagai di Eden”)

(Masuk malaikat dan iblis)
Iblis : Hua ha ha hahahaha.....
Pangge-pangge ujang ini.
Bae leh itu lagu bukang for kita.
Kacau...total!
Hua ha ha hahahaha....
Malaikat : De pe inti kwa dari hati. Dorang so berusaha mo kase yang terbaik pa Yesus Kristus lewat pujian.
Yah, kalu ada fals-fals dikit, ato nda ta iko ketukan, ato ada yang manyanyi sambil menghayal, ato yah, memang suara blek kan patut di maklumi. Manusia jo no.
Lantaran kan nda samua ada bakat di manyanyi.
Iblis : Butul, memang so dari sononya rata-rata manusia pe bakat bukang di manyanyi mar di bidang kekacauan, kekerasan, kesombongan, kenyanda-sabaran, kemunafikan yang samua-samua itu maso pa kita pe bidang.
Hua ha ha hahahaha....
Naraka!!!
Malaikat : Iiiiih...tttakuuut...(mengolok iblis)
Iblis : Dunia skarang deng dunia dulu masih sama!!!
Samua lantaran kita! Kita!! Kita!!!
Dari Eden sampe skarang, manusia nyanda akan pernah lolos dari kita pe kuasa!
Hua ha ha hahahaha....
(keluar Iblis dan Malaikat)

Adegan II
Setting: Padang

(Tirai panggung dibuka. Adam dan Hawa yang telah beranak-cucu berjalan perlahan memasuki panggung. Menggambarkan sebuah perjalanan kehidupan yang meletihkan dari suatu keluarga yang besar. Makin lama jumlah mereka semakin bertambah. Terjadi kekacauan, keributan, kegilaan, dan perkelahian di tengah-tengah kerumunan orang-orang itu. Beberapa berusaha melerai juga menenangkan, namun kekacauan terus terjadi. Dalam perjalanan itu mereka menemukan sumber air. Mereka bersukaria. Perlahan air mulai naik, dan mereka terus bersuka-ria. Setelah beberapa saat air terus naik, mereka menjadi panik dan berusaha menyelamatkan diri. Air terus naik hingga akhirnya menenggelamkan mereka. Terlihat bahtera di atas permukaan air. Setelah air surut masuk beberapa orang yang terlihat kelaparan dan sakit-sakitan. Masuk seorang nabi berpakaian raja dan bawahan-bawahannya yang kemudian langsung merawat dan memberi makanan pada orang-orang itu. Mereka bersuka-ria. Setelah orang-orang itu bersuka-ria nabi itu keluar. Mereka terus berpesta pora. Masuk orang-orang yang mengusung patung lembu yang terbuat dari emas yang kemudian disembah oleh orang-orang tadi. Masuk seorang nabi dengan membawa dua loh batu, yang kemudian segera murka setelah melihat suasana itu. Setelah memecahkan dua loh batu yang bertuliskan ke-sepuluh perintah Tuhan, nabi itu keluar. Mereka lalu mamecah-mecahkan dan kemudian memakan patung lembu itu. Kemudian mereka berjalan keluar dan terlihat sangat menderita. Masuk dari kiri dan kanan panggung orang-orang yang siap berperang. Mereka membentuk barisan di pinggiran panggung kemudian saling meneriakan cacian. Masuk seorang nabi yang berusaha melerai perang itu, namun sia-sia. Kedua kubu akhirnya maju berperang. Sang nabi keluar. Panggung menjadi arena pembantaian. Akhirnya semua tewas terkapar. Masuk perempuan-perempuan yang meratapi sosok-sosok mayat itu. Tirai panggung ditutup)

(Jemaat menyanyikan Kidung Jemaat No. 260 Ayat 1 dan 3 “Dalam Dunia Penuh Kerusuhan”)

(Masuk Iblis dan Malaikat)
Iblis : hua ha ha ha...
Sengsara!!!
Sampe skarang itu kata itu masih terus terngiang di talinga!
Malaikat : Kasih!
Itu kata itu ley masih terus terngiang di telinga.
Iblis : Io, mar manusia semakin terpuruk dalam kita pe belenggu. Sampe-sampe yang ngana lia cuma kemunafikan. Yang ngana kira nda ada di antara orang-orang ini, mar sebenarnya ada, kong banya le!!! Ada saat-saat dorang bakampanye tentang cinta, kasih, deng Tuhan, deng ada saat-saat dorang bakampanye tentang.....ngana so tau to itu. Karna apa?
Malaikat : Hoaaaayem (sambil mengolok)
Iblis : Karna, ngana pe bos nyanda pernah butul-butul kase ampun pa dorang, manusia.
Malaikat : Masih inga itu kejadian sesudah tu ngana pe cerita tadi?
Iblis : Hmm.. bagimana?
(keluar Malaikat dan Iblis)

Adegan III
Setting: Dunia masa Perjanjian Lama

(Tirai panggung di buka, perempuan-perempuan yang menagis tadi terlihat sedang memindahkan jasad-jasad korban peperangan ke luar panggung. Masuk nabi Yesaya dan langsung bergabung dengan perempuan-perempuan tadi untuk memindahkan jasad-jasad.)

Nabi Yesaya : (Sambil memindahkan jasad)
Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar.
Engkau telah menimbulkan banyak sorak-sorak, dan sukacita yang besar; mereka telah bersukacita di hadapan-Mu, seperti sukacita di waktu panen, seperti orang bersorak-sorak di waktu membagi-bagi jarahan.
Sebab kuk yang menekannya dan gandar yang di atas bahunya serta tongkat si penindas telah Kaupatahkan seperti pada hari kekalahan Midian.
Sebab setiap sepatu tentara yang berderap-derap dan setiap jubah yang berlumuran darah akan menjadi umpan api.
Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.

(Keluar nabi Yesaya)
(Masuk nabi Mikha langsung bergabung memindahkan jasad)

Nabi Mikha : (Sambil memindahkan jasad)
Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala. Sebab itu ia akan membiarkan mereka sampai waktu perempuan yang akan melahirkan telah melahirkan; lalu selebihnya dari saudara-saudaranya akan kembali kepada orang Israel. Maka ia akan bertindak dan akan menggembalakan mereka dalam kekuatan TUHAN, dalam kemegahan nama TUHAN Allahnya; mereka akan tinggal tetap, sebab sekarang ia menjadi besar sampai ke ujung bumi, dan dia menjadi damai sejahtera.

(Keluar nabi Mikha)
(Masuk nabi Zakharia yang kemudian langsung memindahkan jasad)

Nabi Zakharia : Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.
Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan, dan ia akan memberitakan damai kepada bangsa-bangsa. Wilayah kekuasaannya akan terbentang dari laut sampai ke laut dan dari sungai Efrat sampai ke ujung-ujung bumi.

(Setelah semua jasad telah di pindahkan, nabi Zakharia berjalan keluar. Perempuan-perempuan itu segera merespon nubuatan yang baru saja mereka dengarkan dari ketiga nabi itu dengan tarian pengharapan. Masuk beberapa orang masuk bergabung dengan mereka sehingga jumlah orang yang menantikan kedatangan Mesias semakin bertambah. Masuk Iblis yang langsung menghasut satu-persatu dari mereka. Lama-kelamaan satu-persatu mulai memisahkan diri dan keluar. Hingga akhirnya tersisa dua orang. Tirai panggung ditutup)

(Jemaat menyanyikan Kidung Jemaat No. 81 Ayat 1,2,5 “O Datanglah Imanuel”)

(masuk Iblis dan Malaikat)
Iblis : Hua ha ha hahahaha...
Apa yang ngana mo banggakan dari tu cerita itu?!
Itu tiga pace itu?
Ha ha haha...
Malaikat : Nubuatan!!!
Iblis : Oh....(mengangguk)
Mar ngana so lia kita pe andil?!
Akhirnya kan nda ada orang yang percaya tu ramalan itu.
Kalu cuma sekedar tau, ada!
Mar kalu soal percaya, no wey!!!
Malaikat : Mo ada orang percaya ke’, mo nyanda ke’, kalu namanya kehendak Tuhan, pasti mo jadi. Buktinya ngana.
Iblis : Kiapa kita?
Malaikat : Dapa user dari surga no.
Iblis : Bukang dapa user, kita yang suka pigi dari situ.
Malaikat : Oh, bagitu eh...
Kalu soal andil, ngana pasti tau tu kejadian di satu rumah di kota Nazaret.
(keluar Iblis dan Malaikat)

Babak II
Adegan I
Setting: Sebuah rumah di kota Nazaret
(Tirai panggung dibuka. Yusuf dan Maria yang sedang dilanda asmara sudah berdiri di tengah panggung. Yusuf berpamitan pada Maria lalu kemudian keluar. Maria mengantarnya sampai di depan pintu. Maria sejenak melamun sambil tersenyum-senyum, kemudian dengan suka-cita mulai membersihkan ruangan dan perabotan, lalu tertidur. Masuk Malaikat Gabriel yang menari-nari mengelilingi ruangan, kemudian membangunkan Maria.)
Gabriel : Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.
Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.
Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.
Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya,
dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.

Maria : Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?

Gabriel : Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.
Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu.
Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.

Maria : Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.

(Setelah itu Gabriel keluar sambil menari-nari dari ruangan itu. Tidak lama kemudian Maria ikut keluar.)

(Beberapa bulan kemudian)

(Masuk Marta dan Maria. Maria sedang mengandung)
Maria : Terlalu sulit!
Sulit untuk dilupakan...
Senyumannya...masih terus terlukis di pikiran.
Gaya bertuturnya...
Aku...mencintaimu...Maria...(menirukan suara Yusuf)
masih terus terngiang di telinga.
Bahasa tubuhnya...ahh
Aku tidak bisa begitu saja melupakan orang yang telah mencuri hatiku...
Mungkin Tuhan telah menghukumku dengan mengambil kewarasanku, Marta saudariku.

Marta : Itu adalah hal yang wajar, saudariku Maria yang sementara dipenuhi semerbak bunga kasmaran dari Eden.

Maria : Tapi...tapi...Marta saudariku yang keteduhan hatinya mengalahkan laut mati.
Ada sesuatu yang ku takutkan.

Marta : Serbuk pahit apa yang berhasil di masukan iblis kedalam kepala putri Sion yang termanis ini sehingga dia melupakan sang penuntunnya yang setia?

Maria : Dengarkan dulu Marta saudariku yang kesetiaanya melebihi pengawal di serambi raja Salomo.
Sang pencuri hati sungguhlah seorang yang gagah, dan pastilah semua yang ditatapnya bertekuk-lutut. Sedangkan aku...lihatlah aku sekarang. Sang pencuri pasti segera membuang barang curiannya ke tanah dan segera akan diinjak orang jika barang curiannya itu ternyata hanya seonggok tanah liat.

Marta : Oh, saudariku yang malang. Terkutuklah semua pahlawan di Sion yang gagah perkasa jika hati putri Sion ini harus terinjak oleh salah satu dari mereka.

Suara : Marta...Marta....

Marta : Maria saudariku, hati itu sedang di hinggapi kupu-kupu yang membawa serbuk cinta sejati. Janganlah pernah membiarkan kupu-kupu itu lari dari padamu. Karena seluruh Israel menantikan hari pembuahannya.

Suara : Marta...Marta....Marta....

Marta : Sebentar. (ke arah suara itu)
Tegarkanlah hatimu yang suci itu!

(Marta berlari keluar)

Maria diam termangu dan sesekali termenung. Masuk Marta.

Marta : Oh, saudariku Maria yang dipenuhi rahmat Tuhan, menangislah. Tapi bukan dengan tangisan kematian itu. (memeluk Maria)

Maria : Kesedihan berusaha untuk terus merasuki hati yang tinggal sepenggal ini.

(Masuk Yusuf)
Yusuf : Jika demikian jangan biarkan dia menggantikan penggalan hati yang hilang itu. Biarlah hati yang tinggal sepenggal ini juga yang menggantikannya.
(jeda)
Aku ingin mengambil sebagai istri seorang putri yang sebagian hatinya pernah aku curi.

(Masuk seorang imam yang datang bersama Yusuf untuk menikahkan Maria dan Yusuf, juga masuk beberapa orang yang menyaksikan pernikahan tersebut. Setelah upacara pernikahan itu usai masuklah seorang utusan kaisar Agustus untuk membacakan suatu pengumuman)

Utusan kaisar : Pengumuman, pengumuman!
Kepada seluruh penduduk di bawah pemerintahan kekaisaran Romawi, agar supaya mendaftarkan diri di tiap-tiap daerah asalnya sendiri atau daerah asal suaminya.

(Tirai panggung ditutup)

(Jemaat menyanyikan lagu dari Kidung Jemaat No. 85 Ayat 1 dan 8 “Ku Songsong Bagaimana”)

(masuk Iblis dan Malaikat)
Iblis : Boleh jadi Maria deng Yusuf so melakukan adegan itu... lebe dulu, kong so babuah, jadi dorang mo tutu itu aib dengan yah... cerita itu, supaya nyanda malo.
Malaikat : Jadi menurut ngana, itu kejadian itu nyanda butul dang....
Iblis : Bukang menurut kita. Itu pemikiran dari tu cewe sana.
Talalu leh kong kita nintau tu kejadian itu. Sampe deng itu dorang pe perjalanan ka Betlehem le kita tau.
Yang kita nintau, ngana pe maksud mo cerita tu kejadian yang nyanda penting itu.
Malaikat : Kita pe maksud deng tujuan kan ngana so tau.
Mo jaga pa manusia.
Iblis : Hua ha ha hahahaha.....
Ngana kira kita mo kalah?!
Sedangkan ngana pe bos okat pa ana’, kong ngana le.
Coba jo!!!
Hua ha ha hahahaha....
Malaikat : Simak jo ini cerita!
(keluar Iblis dan Malaikat)

Adegan II
Setting: Jalanan kota Betlehem

(Tirai panggung dibuka. Masuk Maria dan Yusuf yang berjalan mencari tempat penginapan. Saat tiba di penginapan pertama mereka bertemu dengan pemiliknya yang adalah seorang pengusaha muda yang terlihat begitu sibuk melayani pelanggan-pelanggannya yang lain)

Yusuf : Apakah di sini ada tempat bagi kami untuk menginap?

Pengusaha : (memperhatikan Maria dan Yusuf dengan seksama)
Oh..ya..
Tunggu sebentar ya....(sibuk melayani pelanggannya yang lain)

Pengusaha : Sebaiknya tuan dan istrinya duduk dulu di situ.

(Yusuf dan Maria duduk di kursi. Saat pelanggan yang dilayani pengusaha tersebut tinggal sedikit, Yusuf menghampirinya)

Yusuf : Bagaimana, apakah masih ada tempat bagi saya dan istri saya?

Pengusaha : Aduh, maaf sekali tuan. Orang yang seharusnya sudah keluar hari ini malah masih menambah waktu sewanya, jadi sampai saat ini belum ada kamar yang kosong.

Yusuf : Ya, sudahlah kalau begitu.

(Maria dan Yusuf kembali berjalan untuk mencari penginapan. Di tengah perjalanan yang berangin itu, mereka berpapasan dengan tiga orang prajurit Romawi. Setelah melewati Maria dan Yusuf, salah seorang prajurit tadi berbalik dan menghampiri Maria dan Yusuf yang dikuti oleh kedua rekannya untuk memberikan kain jubahnya pada Yusuf agar dikenakan Maria. Setelah menerima kain tersebut Yusuf segera memakaikan kain tersebut pada Maria. Ketiga prajurit keluar. Maria dan Yusuf meneruskan perjalanannya. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah penginapan yang pemiliknya adalah seorang wanita pesolek)

Yusuf : Apakah di sini ada tempat bagi saya dan istri saya untuk menginap?

Wanita : Ada...ada.
Tapi kamar yang tersisa hanya tinggal satu, dan ukurannya pun kecil.
Harganya tiga dinar untuk sehari.

Yusuf : Uang kami tinggal sedikit.
Untuk membayar biaya kamar itu selama dua hari saja sudah tidak cukup.
Sekiranya ibu dapat menolong kami.
Istri saya akan segera malahirkan.

Wanita : Oh...begitu.
Hmmmm.....(perpikir sejenak)
Berapa jumlah uang kalian?

Yusuf : lima dinar.

Wanita : Hmmmm.....(berpikir)
Baiklah.
Mari ikut aku.

(ketiganya bergegas berjalan ke luar panggung, tapi langkah mereka segera terhenti setelah terdengar suara seseorang. Masuk seorang pria yang terlihat begitu tergesa-gesa)

Pria : Siapakah pemilik penginapan ini?

Wanita : Ya...saya sendiri.
Ada apa?

Pria : Oh, kebetulan sekali.
Saya sudah berkeliling di kota ini untuk mencari penginapan, tapi semua penginapan yang sudah saya datangi semuanya sudah penuh.
Mmmm...apakah di tempat ini masih ada kamar yang kosong?
Kalau ada, saya akan menginap selama seminggu.

Wanita : Oh....begitu....
Hmmmmm....(berpikir)
Sebenarnya penginapan ini juga sudah penuh, tapi ada sebuah kamar kecil yang bisa digunakan.
Harganya per hari empat dinar.
Bagaimana?

Pria : Hmmmmmm....(berpikir)
Baiklah, saya ingin melihat kamarnya.

Wanita : Oh ya...
Mari ikut saya.
(kepada Maria dan Yusuf) Maaf ya...

(Wanita dan Pria bergegas berjalan keluar)

Yusuf : Tapi bagaimana dengan kami?
Kumohon tolonglah kami...
Istri saya akan segera melahirkan.

Wanita : Sebaiknya kalian cari penginapan yang lain saja, yang cukup dengan uang kalian.

(Wanita dan Pria keluar)
(Yusuf dan Maria kembali berjalan mencari penginapan. Di tengah perjalan mereka berpapasan dengan beberapa orang anak kecil yang menari-nari di jalanan. Setelah berputar-putar mengitari Yusuf dan Maria, dua orang dari anak-anak itu memasangkan mahkota bunga kepada Yusuf dan Maria. Sesudah itu anak-anak keluar. Maria dan Yusuf terus berjalan untuk mencari penginapan, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah penginapan milik seorang lalaki tua yang bungkuk dan pincang. Setelah cukup lama Yusuf mengetuk pintu penginapan, baru pemiliknya keluar)

Yusuf : Apakah di sini ada tempat bagi saya dan istri saya untuk menginap?

Lelaki Tua : (menghela nafas panjang)
Tempat ini sudah seperti kandang.
Bangunan ini sudah hampir roboh karena harus menahan kesesakan orang-orang yang ada di dalam.

Yusuf : Kiranya bapak sudi menolong kami.
Istri saya ini sudah mau melahirkan.

Lelaki Tua : (menarik nafas panjang)
Sebenarnya saya ingin sekali menolong kalian, tapi mau bagaimana lagi, selain pelanggan, saudara-saudara saya yang dari luar kota juga menginap di sini untuk mendaftarkan diri. Jadi saya sarankan sebaiknya kalian mencari tempat lain saja.
(Menengadah ke langit) Hari sudah mau hujan.
Jika ingin berteduh-berteduhlah di situ. (menunjuk arah kandang)

(Lelaki Tua keluar, Yusuf dan Maria berjalan ke arah kandang. Tirai panggung ditutup)

(Jemaat menyanyikan Kidung Jemaat No. 94 Ayat 1 dan 4 “Hai Kota Mungil Betlehem”)

(masuk Iblis dan Malaikat)
Iblis : Hoaaaayaaaam...(mengantuk)
Membosankan...
Riki pastiu kita da tunggu depe bagian akhir.
Malaikat : Cerita itu nda akan pernah mo klar. Sampe kapan pun.
Cerita itu mo ada trus, secara turun menurun.
Iblis : Kita leh ada cerita yang nyanda akan pernah mo klar.
Cerita perang......deng......keangkuhan!!!
(Keluar Iblis dan Malaikat)

Adegan III
Setting: Balai Istana Herodes

(Tirai panggung dibuka, Herodes dan prajurit-prajurit Israel sudah berada di panggung. Herodes duduk di kursi Raja)

Semua : Demi kejayaan bangsa kita !
Untuk kejayaan tanah air!
Hidup raja agung terbesar kita!
Hidup Caesar yang sudah memberikan kepercayaannya pada raja kita Harodes!!!
(Masuk istri Herodes beserta pelayan-pelayan istana. Istri Herodes duduk di kursi Permaisuri)
Permaisuri : Cukup!
Roma dan Caesar tidak akan pernah seperti sekarang ini, kalau saja tidak ada suamiku Herodes!
Peperangan ini....
Kemenangan ini adalah milik Herodes Yang Agung!
Semua karena jasa-jasanya, sehingga Yang Mulia Herodes pantas di sebut Raja Agung Terbesar.
Semua : Hidup yang mulia raja Herodes!
Hidup yang mulia raja Herodes!
Herodes : Daerah-daerah di pinggiran Palestina yang merupakan garis terdepan Romawi sudah ku taklukkan.
Sebentar lagi Arab yang berlimpah minyak akan segera menyusul.
Dan dunia ini sepenuhnya akan jadi milikku.
Ha ha ha hahahaha.....
Semua : Hidup yang mulia raja Herodes!
Herodes : Kalian semua adalah pejuang-pejuang terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Berbahagialah ibu yang melahirkan kalian, karena sudah terbukti bahwa pasukan ini adalah pasukan yang tak terkalahkan.
Semua : Hidup yang mulia raja Herodes!
Hidup yang mulia raja Herodes!
(Herodes tertawa, masuk seorang kurir)
Kurir : Yang mulia raja Herodes, di depan istana ada tiga orang yang mengaku raja dari timur yang datang untuk menemui raja terbesar di tanah Palestina.
Herodes : Hua ha ha ha hahahaaha....
Ternyata keagungan dan kemuliaan namaku sudah tersebar sampai ke kerajaan-kerajaan di timur.
Hua ha ha hahahahahaha....
Semua : Hidup yang mulia raja Herodes!
Herodes : Suruh mereka masuk!
Kurir : Daulat tuanku! (keluar)
Perwira I : Mungkin, mereka mulai ketakutan, karena dipikirnya pasukan kita akan bergerak ke timur, ke wilayah mereka.
Semua : (tertawa)
Perwira II : Mungkin mereka kemari dengan membawa bendera putih.
Semua : (tertawa)
Perwira III : Atau, mereka ingin menjadikan kita sekutu. Dan memberikan upeti kepada raja teragung, termulia, dan terbesar.....Herodes.
Semua : Hidup yang mulia raja Herodes!
Hidup yang mulia raja Herodes!
Hidup yang mulia raja Herodes!
(Masuk kurir dan ketiga orang Majus)
Herodes : Ada perlu apa, sehingga datang dari jauh-jauh kemari?
Majus I : Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.
Herodes : Apa...? Baru dilahirkan? Lelucon apa ini?

(semua orang di istana Herodes menjadi terkejut dan tercengang-cengang. Terdengar suara kasak-kusuk)

Herodes : Cepat kumpulkan semua imam kepala dan ahli taurat.
(gelisah)

(masuk ahli-ahli Taurat dan imam-imam kepala)

Herodes : Siapa raja orang Yahudi yang kau maksudkan itu, sehingga alam pun turut menyembahnya?

(para imam dan ahli taurat sejenak berbisik-bisik, beberapa dari mereka membuka kitab)

Ahli Taurat : Dia adalah Mesias. Raja yang akan memimpin Israel.

Herodes : Ini pemberontakan! Di mana dia akan lahir?

(para imam dan ahli taurat sejenak berbisik-bisik, beberapa membuka kitab)

Imam Kepala : Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi.

Herodes : Ini mustahil!!! (terbata-bata, gelisah, gugup, sempoyongan)
Tidak mungkin di tanah ini ada raja yang lebih besar dari aku!

(Para Ahli Taurat dan para Imam kepala terlihat sedang memperdebatkan sesuatu. Herodes mendekati orang-orang Majus dan kemudian berbisik)

Herodes : Pergi dan selidikilah dengan seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya akupun datang menyembah Dia.

(Keluar orang-orang Majus. Herodes memanggil kurir dan mengisyaratkan agar mengikuti orang-orang majus itu. Keluar kurir. Tirai panggung ditutup)

(Jemaat manyanyikan Kidung Jemaat No. 95 Ayat 1-3 “Gita Sorga Bergema”)

(masuk Iblis dan Malaikat)
Malaikat : Raja paling besar!
Bukang cuma di Israel, mar di dunia.
Yang Dia pe kerajaan nyanda akan pernah berakhir!
Bayangkan!!!
Iblis : Tunggu kita mo bayangkan (mengolok Malaikat)
Malaikat : Tuhan deng Manusia ada depe pendamai.
Yesus Kristus!
Yang Ilahi yang ada jadi manusia!
Iblis : Intsrupsi!!!
Di dunia ini dia pe kerajaan bukang satu-satunya yang paling pai deng abadi!
Ada dua kerajaan yang sama-sama pai.
Tau to sapa punya tu satu?!
Malaikat : Mar, de pe laste kan ngana pe kerajaan mo kalah!
Lantaran so ada tatulis.
Iblis : Kita nyanda akan pernah kalah!!!
Yang tatulis di situ salah!!!
Kita pe tujuan yang sebenarnya, mo buktikan kalu samua itu salah.
Samua yang tatulis di kitab-kitab itu salah!!!!
Malaikat : Ngana masih inga itu kejadian pa gembala-gembala di padang rumput?
Apa yang tatulis pasti mo jadi.
(keluar Malaikat dan Iblis)

Adegan IV
Setting: Padang Rumput

(Tirai panggung dibuka. Gembala-gembala sedang menjaga kawanan dombanya)
Gembala I : Apakah semuanya sudah bersiap-siap?
Gembala II : Kami semua sudah siap sejak dari rumah. Tapi saya pikir mereka tidak berani macam-macam, karena jumlah kita cukup banyak.
Gembala III : Ya, pencuri-pencuri itu sebenarnya adalah orang-orang pengecut. Mereka hanya berani merampas jika jumlah gembala penjaganya di bawah tiga orang.
Gembala I : Ia, tapi kan kita harus tetap berjaga-jaga.
Gembala IV : (dengan nada bercanda) Padahal dulu, walaupun tidak di jaga, domba-domba ini pasti tidak akan hilang.
Gembala V : Zaman ini sudah semakin sulit sejak kedatangan orang-orang Romawi itu.
Gembala VI : Benar sekali. Mereka memungut pajak yang terlampau tinggi, sehingga kita harus membanting tulang dua kali lipat.
Gembala VII : Ssssst, jangan keras-keras....
Gembala V : Kenapa harus takut.
Ini adalah tanah kita!
Ini adalah bangsa kita!
Gembala I : Simeon! Diamlah!
Gembala VIII : Apa yang dikatakannya itu benar. Kita benar-benar sudah dibodohi.
Pencuri-pencuri itu adalah dari bangsa kita juga. Mereka menjadi seperti itu karena biaya hidup yang semakin tinggi.
Gembala IX : Bodoh! Mereka tidak lebih dari orang-orang bodoh! Karena mencuri adalah suatu tindakan yang paling hina. Dan Tuhan mengutuk tindakan itu.
Gembala X : He he he...(sinis)
Bukankah Tuhan sudah mati?
Lihatlah! Kita akan tetap berada dalam kesengsaraan. Kita tidak benar-benar keluar dari lingkaran setan itu. Sejak pembuangan di Babel Tuhan sudah tidak ada lagi. Lihatlah kini yang di hadapan kita adalah orang-orang Romawi gila dan kawanan pencuri domba bodoh.
Hukuman itu tidak akan pernah berakhir!
Gembala I : Eliezer! Ada apa denganmu?! Setan apa yang sedang merasukimu?!
Gembala X : Setan-setan apa!
Jangankan setan, Tuhan pun sudah tidak ada artinya lagi sekarang. Yang tertinggal hanyalah cerita hasil rekaan kakek-kakek gila hormat yang bekerja di bait suci itu...
Gembala IX : Eliezer! Apa kau sudah gila?!
Sudah lupakah kau pada nubuatan para nabi tentang akan datangnya Mesias?
Gembala X : Ahhh...lagi-lagi soal mesias. Aku sudah bosan hidup dalam penantian yang tidak jelas. Aku tidak mengharapkannya lagi.
Aku tidak perduli lagi pada hal ke-tuhan-an.
Semua Gembala: Eliezer!!!

(masuk Malaikat. Saat melihat Malaikat para gembala sangat takut)

Malaikat : Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.

(masuk malaikat-malaikat yang lain yang berdiri di belakang malaikat pertama.)

SemuaMalaikat: Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.

(Malaikat-malaikat keluar. Gembala-gembala menjadi takjub)

Gembala I : Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.

(semua gembala setuju dan berjalan keluar, kecuali gembala X. Dia duduk termenung sendirian dan terlihat gelisah, namun akhirnya keluar mengikuti gembala yang lain. Tirai panggung ditutup)

(jemaat menyanyikan Nyanyian Kidung Baru No.62 Ayat 1-3 ”Gembala Yang Ada di Padang”)

(Masuk Iblis dan Malaikat)
Malaikat : Pantasan ngana so jaga tumbus di tampa-tampa ibadah.
Kiapa so mulai abis stok di neraka?
Iblis : Hua ha ha hahahaha...
Ngana tau kote.
Dorang samua pasti mo iko pa kita ka neraka!!!
Malaikat : Malawang mimpi ngana!
Iblis : Mimpi?!
Kebanyakan kita dapa pengikut dari tampa-tampa bagini.
Deng, so dorang-dorang itu yang jadi paling setia pa kita, kalu ngana mo tau!
Malaikat : Kalu di sini susah ngana mo dapa. Lantaran Yesus Kristus sayang skali pa dorang.
Iblis : Sama!!! Kita le sayang skali pa dorang!
So itu kita mo pangge pa dorang!
Hua ha ha ha hahahaha....
Malaikat : Ngana pe usaha nda akan berhasil!!!
Nanti ngana lia!
(keluar Iblis dan Malaikat)

Adegan V
Setting: Kandang domba

(Tirai panggung dibuka. Maria dan Yusuf duduk di dalam kandang. Di tengah mereka ada palungan. Malaikat-malaikat memegang lilin sambil berdiri di samping kiri dan kanan kandang. Di depan Maria dan Yusuf ada empat malaikat yang sedang menari-nari.. Malaikat-malaikat yang ada di samping kandang berjalan ke arah jemaat dan membagikan api dari lilin yang dipegangnya masing-masing kepada jemaat. Sesudah itu kembali naik ke atas panggung)
(Masuk gembala-gembala yang berjalan kearah kandang. Mereka memperhatikan bayi Yesus dengan seksama)
(Masuk ketiga orang Majus yang dibuntuti oleh kurir Herodes. Berjalan kearah kandang dan mempersembahkan emas, kemenyan, dan mur. Bersamaan dengan itu beberapa malaikat berjalan ke arah jemaat dan menjalankan pundi persembahan. Sesudah itu malaikat-malaikat kembali ke panggung. Keluar kurir Herodes. Tirai panggung ditutup)

(jemaat menyanyikan Kidung Jemaat No. 123 Ayat 1-4 “S’lamat S’lamat Datang”)

(masuk Iblis—murung dan gelisah—dan Malaikat)
Malaikat : Kiapa? Rupa dapa lia suak-suak ini.
Iblis : Suak-suak di rumah saki!
Jangan dulu sanang, blum kalah ini.
Malaikat : Oh, mo tamba leh?
Iblis : Ha ha...(sinis)
Suka-cita yang nda akan bertahan lama!
Nda mungkin mo se kalah pa kita!
Malaikat : Dapa lia ngana yang so nda mo bertahan lama di sini.
Iblis : (semakin gelisah) Pasti ada celah!
Pasti ada! (berpikir keras)
Hmmmm....(tersenyum)
Logika...(berbisik)
Samua rekayasa!!!
Samua tai minya!!!
Samua yang tatulis di situ (menunjuk ke Alkitab) nda ada yang butul!!!
Hua ha ha hahaha....
Samua dusta!!!
Itu ada beking supaya...supaya....
Malaikat : Kalu itu Alkitab de pe isi dusta samua, berarti ngana le nda ada!
(Malaikat mengampiri Iblis, kemudian berusaha menyeretnya keluar dari ruangan)
Iblis : Tunggu! Tunggu!!!
Kita blum kalah!!!
Coba pikir!!!
(Malaikat terus menyeret Iblis keluar)
Planet-planet!!! Kiapa nyanda tatulis di Alkitab?!
Dinosaurus!!! Kiapa nda ada di Alkitab?!
Samua salah!!! Samua salah!!!
Manusia!!! Depe asal dari yaki!!!
Sebenarnya ngoni...ngoni yaki kong jadi!!!

(Malaikat menyeret Iblis sampai ke luar ruangan)

Adegan VI
Setting: Kandang domba

(Tirai panggung dibuka. Maria dan Yusuf duduk di dalam kandang. Para Malaikat, para gembala, dan orang-orang majus berbaur dalam tarian kesuka-citaan. Tirai panggung ditutup)

(Jemaat menyanyikan lagu Hai Dunia Gembiralah)

(Doa Penutup)

Selesai