Senin, 15 Desember 2008

Cerpen Denni Pinontoan: "Pohon Besar Itu".

Perkenalkan, aku Pinkan. Aku anak perempuan berusia 11 tahun. Aku tinggal di sebuah rumah kayu di sebuah wanua1 di bagian Selatan Minahasa. Tahun ini aku akan tamat sekolah dasar. Doakan, ya agar aku bisa lulus dalam ujian akhir yang dua bulan lagi itu. Aku memang butuh doa. Karena kata guruku, ujian kali ini sangat ketat. Soal-soalnya dikirim dari pusat dan nanti dibuka amplopnya ketika ujian akan dimulai. Aku harus memang butuh dukungan doa, agar aku dijauhkan dari cobaan untuk menyontek atau menerima bantuan dari guru. Sebab, guru juga kadang suka membocorkan soal-soal ujian. Sebenarnya bukan untuk pertama-tama melakukan perbuatan yang melanggar aturan, melainkan untuk membantu kami murid mereka yang tersayang.
Tapi, lupakan dulu ya, soal ujian itu. Toh, aku sudah belajar keras dan juga sudah meminta doa dari mama, papa, kakak dan kalian semua. Tuhan mana yang mau membiarkan anak-anak-Nya jatuh dalam ketidalulusan?
Ada persoalan penting yang ingin aku ceritakan pada kalian. Minggu lalu wanua kami heboh dengan kejadian tanah longsor di ujung wanua kami. Untung kejadian itu tidak sampai memakan korban jiwa manusia, kecuali beberapa pohon cengkih sansibar milik om Alo. Tapi ada juga yang perlu disayangkan. Sapi milik Om Yantje yang bernama Bongko itu, tewas tertimbun tanah. Sampai sekarang cuma ekornya yang tampak keluar dari timbunan tanah bercampur batu. Tubuh si Bongko yang malang perlahan tapi pasti sementara membusuk dalam tanah. Kasihan memang. Padahal, menurut cerita Om Yantje, si Bongko sedang mengandung anaknya. Om Yante dan istrinya, tante Neli aku lihat sangat sedih. Aku apa lagi, si anak perempuan kecil ini.
Warga di wanua kami memang belum melakukan apa-apa membereskan longsoran tanah itu. Sebab hujan baru berhenti kemarin. Hukum Tua2 bilang sudah menelepon ke pemerintah kabupaten untuk mendatangkan alat berat mengangkat timbunan tanah itu. Tapi, aku tak tahu mengapa hingga sekarang belum muncul juga alat berat itu. Warga pun hanya ramai membicarakan perihal tanah longsornya, yang merobohkan pohon cengkih dan membunuh si Bongko yang sedang bunting.
Sore ini kakek, ayah dari ibu datang ke rumah. Kedatangan kakek ke rumah selain sekedar untuk melihat keberadaan kami yang rutin dilakukannya, tapi juga untuk menanyakan kabarku. Bukan kabar soal apakah aman dari tanah longsor atau tidak, melainkan persiapanku untuk ujian akhir yang lagi dua minggu itu. Kakek memang selalu mengikuti perkembangan sekolahku, ini barangkali karena dia mantan guru di wanua kami. Kakek dulu kata ibu, adalah guru matematika di sekolah tempat aku bersekolah sekarang. Setelah memastikan bahwa aku sudah siap mengikuti ujian akhir, aku lihat kakek dan ayah bercerita di teras rumah.
Aku berada di dalam rumah sibuk mengisi latihan soal-soal ujian akhir. Antara aku dengan ayah dan kakek di teras rumah itu hanya dipisahkan oleh dinding rumah sehingga aku masih bisa menguping pembicaraan mereka.
"Makanya, apa kata para orang tua mestinya kita dengar. Jangan sekali-kali menebang pohon beringin itu. Kamu tahu, usia pohon itu sudah setua wanua kita. Masakan tidak dihormati lagi. Kami dulu, menebang cabangnya saja harus minta permisi." kata Kakek pada ayah yang duduk di kursi sebelahnya. "Pohon beringin itu ditanam oleh leluhur kita untuk menjaga wanua ini."
"Yah, ini barangkali karena musim hujannya sudah sangat sering sehingga tidak bisa tertahan lagi oleh tanah. Alam memang sudah berkehendak begitu untuk menegur kelakuan kita manusia di wanua ini yang telah sangat jauh dari Tuhan. Kalau soal bahwa pohon beringin itu adalah penjaga kampung ini, aku pikir itu tinggal cerita lama, yang sekarang telah menjadi takhyul. Masakan kita orang yang sudah Kristen masih percaya takhyul. Karena itulah sehingga Tuhan marah," ujar ayah.
Kakek tak langsung menanggapi pemikiran ayah. Segelas kopi hitam yang dihidangkan ibu, diraih kakek dari meja. Seteguk cairan berkafein itu masuk ke kerongkongannya. Sebatang rokok kretek menyusul kemudian di bibirnya. Segera setelah itu kakek pun melepaskan kepulan asapnya. Sedangkan segelas berisi teh panas untuk ayah masih diam mematung di meja, hanya uapnya yang menari-nari.
Setelah dua kali mengeluarkan kepulan asap rokok, kakek pun berkata, "Ini bukan takhyul, Rob. Untung bukan Yantje atau kita yang menjadi korban. Bongko itu mati tertimbun longsor karena memang penjaga pohon beringin itu meminta tumbal. Ini karena kita tidak menghargainya lagi," kakek berkata menjelaskan. Tangannya ikut bergerak. Sebatang rokok kretek itu masih terjepit pasrah di antara jari-jarinya yang berurat.
"Sudahlah, yah. Ini bukan soal tumbal atau penjaga pohon itu sedang marah. Ini karena wanua kita ini harus sadar diri. Lihat, perjudian, percabulan dan pencurian semakin hari semakin marak terjadi di wanua kita ini. Itu semua dosa, yah. Untung Tuhan menegur kita masih lewat tanah longsor yang korbannya hanya Bongko dan pohon cengkih sansibar. Coba kalau gempa yang membela tanah dan sakit menular, seperti flu burung atau Aids. Sudah saatnya orang-orang di wanua ini melakukan pertobatan massal," Ayah agaknya mulai terpancing mengkhotbai kakek. Ini memang besar kemungkinan terjadi, karena ayah selain sebagai PNS di kantor kecamatan, juga sebagai penatua3 di gereja kami, yang kerjanya adalah juga mengkhotbai orang.
Aku berhenti sejenak dari kesibukanku mengisi latihan soal-soal ujian akhir. Aku tiba-tiba terkejut bahkan bulu romahku sampai merinding mendengar percakapan yang sudah sangat serius itu. Aku pun keluar ingin ikut memberikan pendapat di tengah percakapan antara kakek dan ayah. Aku melangkah ke teras rumah dan berkata, "Begini pak, kek,..."
Belum selesai aku berbicara, ayah langsung memberi isyarat dengan jari telunjuknya agar aku tidak usah ikut berbicara seraya berkata, "Pinkan, ayah sudah berkali-kali bilang, kalau orang tua lagi berbicara, kamu tidak boleh mengganggu. Kamu masih kecil tidak boleh mengganggu percakapan orang dewasa."
Larangan seperti itu memang selalu aku dengar. Alasanya selalu sama, kata ayah, karena aku masih kecil. Ini tidak adil. Padahal, Yesuspun sangat menghargai anak kecil. Tidak demokratis dan egaliter kalau begitu. Padahal, aku pernah baca buku, katanya orang Minahasa dulu sangat demokratis dan egaliter. Semua punya hak bicara asalkan sudah tahu bicara dan tentu sopan. Tapi bagaimanapun aku harus bicara, percuma aku sekolah kalau tidak boleh mengemukakan pendapat. Aku harus bicara sekarang.
"Ayah..."
Sekali lagi ayah melarangku. Tapi kakek membela.
"Rob, biarkan Pinkan bicara," kata kakek membela. "Apa yang ingin kau katakan, Pinkan?"
Ayah rupanya tak bersikeras melarangku berbicara. Ayah pun tiba-tiba hanya diam tak memandangku. Kakek malah menatapku dan siap mendengar apa yang akan aku katakan.
"Begini, kek, tanah longsor itu, kata guru Pinkan di sekolah antara lain di sebabkan oleh erosi. Air hujan tak lagi meresap ke dalam tanah. Ini karena tak ada lagi akar pohon-pohon yang menahannya. Tanah di ujung kampung itu 'kan tak ada lagi pohon besar. Jadi kalau hujan datang, airnya langsung mengikis tanahnya," kataku mengutip kata guru IPA-ku di sekolah.
"Itu sebabnya, kata kakek kepada ayahmu ini, bahwa tanah itu longsor karena kita tak lagi menghormati kehidupan tumbuhan di sana. Kita seenaknya menebang pohon, tanpa minta permisi kepada penjaganya," ujar kakek membalas apa yang aku bilang.
"Tapi, bagaimana dengan kata alkitab bahwa manusia harus menguasai dan menaklukan alam ini?" kata ayah menyela.
"Tapi, yah, tidak harus rakus. Harus ada keseimbangan antara pemanfaatan alam dan pemeliharaannya," ujarku. Lagi-lagi aku mengutip kata guruku di sekolah.
"Benar, Pinkan. Dulu kakek masih melihat orang menebang pohon dengan memakai semacam gergaji besar yang digerakkan oleh tenaga dua orang. Waktu itu memang orang juga menebang pohon, tapi tidak terlalu merusak, karena yang diambil adalah kayu di hutan yang usianya sudah sangat tua dan cara penebangannya pun masih tradisional dengan mengikuti petunjuk para tua-tua. Selain itu karena memang orang masih percaya bahwa alam adalah sahabat karibnya. Antara manusia dan hutan misalnya masih dianggap memiliki kesatuan. Dan, meski memang agama menyebut penghormatan kepada pohon yang para leluhur kita lakukan sebagai berhala, tapi seingat kakek kampung ini tidak pernah terjadi longsor. Sekarang manusia sudah semakin rakus dan tidak menghormati alam. Di belakang rumah pun kita sudah bisa mendengar raungan gergaji mesin. Sementara hampir setiap hari lewat truk-truk besar yang mengangkut kayu yang di tebang di hutan kita," kakek memberi penjelasan panjang lebar.
Ayah aku lihat sedikit terkesima dengan penjelasan kakek sehingga tidak berbicara lagi. Aku pun ketika mendengar itu bergegas masuk ke dalam rumah mengambil kliping koran yang aku gunting dari sebuah koran harian lokal. Aku ambil kliping itu dan membacakannnya untuk kakek dan ayah. Begini isi berita itu,
"Kerusakan hutan di Sulawei Utara yang telah mencapai 60 persen, diduga kuat sebagai pemicu terjadinya banjir bandang dan tanah longsor yang mem-porak-porandakan sejumlah wilayah Sulut, selang tahun 2007. Kerusakan hutan di daerah ini telah mencapai 60 persen dari 788.691 hektar luas kawasan hutan yang ada. Kenyataan ini berimbas pada munculnya lahan kritis yang luasnya sudah mencapai sekitar 473.214 hektar. Sementara data lain menyebutkan bahwa laju keruskan hutan di seluruh Indonesia mencapai 2,8 juta hektar per tahun."
"Nah, itu dia. Ini karena manusia telah memusuhi alam. Ini antara lain ya, itu tadi karena manusia tidak lagi menghargai kearifan budaya yang telah ditinggalkan oleh para leluhur. Manusia sekarang menjadi liar karena berburu kaya. Hutan yang adalah kehidupan kita mereka rusak. Jadi jangan heran kalau alam juga marah. Ini sudah hukum alam," tandas kakek.
"Setuju, kek!" aku berkata semangat.
Ayah hanya diam tapi kentara sedang berpikir. Dia seolah-olah sedang menganalisa data dari kliping koran yang aku bacakan dan pemikiran kakek. Bahkan teh yang di meja itu aku lihat baru seteguk yang ayah minum. Tidak ada lagi tarian uap dari gelas itu. Sementara gelas kopi milik kakek tinggal dasarnya yang hitam. Mudah-mudahan diam ayah berarti perenungan untuk menjadi orang Kristen yang bertanggung jawab terhadap alam. Kalau kakek biarlah dia menjadi orang tua yang Kristen tapi tetap Minahasa. Sementara aku hanya berharap mudah-mudahan alam tidak cepat-cepat rusak. Aku masih harus menjalani kehidupan yang panjang.
Dan perlu kalian tahu, kalau nanti aku tak bisa lagi merasakan nikmatnya hidup di alam yang hijau dan lestari, yang aku tuntut adalah kamu semua, manusia-manusia dewasa, yang kata kakekku semakin rakus karena nafsu kaya dan berkuasa. Ingat itu!!

Pojok Suara Minahasa, 93,3 FM
Jumat, 25 April 2008 17:36 pm