Kamis, 20 Maret 2008

Catatan Greenhill Glanvon Weol dari “999”, Sonder, sampai “Bentenan Reborn: ”RENAISANS BUDAYA LANDA MINAHASA!

Mata dunia semestinya sedang memandang lekat kita, Minahasa. Sebab, tiba-tiba saja, dan dalam ringkas waktu yang telah berjalan beberapa bulan, sebuah semangat telah merangkul putra-putri tanah ini untuk kembali menemukan identitasnya lewat seni, sastra dan budaya. Entah karena dirasuki oleh roh para dotu atau karena darah yang mengaliri nadi tiba-tiba berteriak menyadarkan kita untuk “Kembali Ke Wale”, sehingga secara sadar segelintir anak-anak Toar-Lumimu’ut kembali duduk bersama dan bekerja bersama untuk membentuk nasib peradaban Minahasa masa depan. Sebuah bangsa yang telah disebut-sebut sebagai “yang paling cepat terkikis budayanya” tiba-tiba menggeliat dan bangkit.

Mendefinisikan identitas dalam globalitas adalah hal mutlak. Kehilangan identitas dalam arus global berarti kepunahan. Sebuah bangsa harus mampu menempatkan identitasnya sejajar dalam globalitas untuk survive. Kesadaran akan hal inilah yang menggelitik beberapa sastrawan muda yang berbasis di Manado dan Minahasa untuk memperjuangkan lokalitas masing-masing. Sastra memang sudah sepatutnya menjadi sarana pendidikan bagi masyarakat tiap lokal untuk lebih melek budaya, dan terutama lebih “sadar identitas”. Penerbitan buku-buku sastra seperti Trilogi Antologi Puisi Bahasa Manado “999”, “777”, “99” yang fenomenal itu dan berbagai buku lainnya semacam novelet dan antologi cerpen yang telah diterbitkan semenjak awal tahun ini oleh lingkaran pesastra muda minahasa, adalah sebuah usaha sadar untuk kembali menemukan identitas dan sebuah pena untuk menuliskan sebuah sejarah baru Minahasa. Usaha penerbitan karya-karya sastra ini ternyata berhasil menggesek banyak pribadi sehingga telah mendapatkan respon dengan munculnya beberapa pesastra muda yang ternyata aktif berkarya namun selama ini tak tampak. Mereka dimotivasi untuk terus berkarya dan didorong untuk menerbitkan karya sendiri. Ternyata tanah ini menyimpan banyak “Sastrawan Liar”, anda mungkin salah-satunya!

Kemudian, dalam usaha mengakrabkan seni budaya ke tataran yang lebih populis, sebuah wanua di tanah Minahasa menjawab lebih dahulu: Sonder. Negeri yang menyimpan beragam potensi seni budaya dan keindahan alam ini memang memiliki sejarah panjang keterlibatan dalam gerak kesenian Minahasa, yang sayangnya, kemudian terhenti. Tetapi fundamen untuk “ber-seni” tak hancur. Ini terbukti dengan intensitas kegiatan seni di Sonder yang telah kembali meninggi. Dimulai dengan sebuah Pagelaran Seni di Jemaat GMIM EFRATA Sentrum Sonder pada bilangan Februari lalu, kemudian ada Festival Seni Sonder di Wale Papetaupan, selanjutnya launching sekaligus pementasan perdana dari Studio Ekspresi Seni “STUDIO X” Sonder, lalu ada Peluncuran dan Bedah Buku sebuah novelet berjudul “VALE”, dan baru-baru ini Festival Kesenian dan Olahraga di Jemaat GMIM IMANUEL, Sendangan. Agenda kedepan pun telah ada: SONDER ART EXPO 2005, dijadwalkan September ini, yang rencananya akan menampilkan pementasan teater, tari, pembacaan karya sastra, pameran buku, dan berbagai kegiatan seni lainnya. Acara ini merupakan sebuah hasil rembuk Forum Generasi Muda Sonder. Yang diinginkan kemudian adalah respon dari wanua-wanua lain di Minahasa. Sonder so mulai, mana dang tu Tareran, Kawangkoan, Langowan, Amurang, Tomohon, Aermadidi, deng samua-samua?

Dari dunia seni fashion pun kita punya usaha menggali kekayaan budaya dengan mulai diperkenalkannya kembali Kain Bentenan. Produk budaya Minahasa yang telah punah ini kembali digali dan ternyata tidak kalah indah dengan kain-kain terkenal lainnya. Dalam diskusi yang diadakan pada acara Seminar Kain Tenun Bentenan yang di prakarsai Himpunan Seni & Budaya Minahasa di FISIP UNSRAT baru-baru ini, terungkap bahwa yang mengakibatkan Kain Bentenan ini akhirnya hilang pamornya sehingga akhirnya lenyap adalah tidak lain dari prilaku berbudaya Orang Minahasa sendiri yang senang mengikuti perkembangan jaman. Padahal, mengikuti mode dan modernitas tidak berarti melupakan identitas. Demikian juga ber-identitas dan ber-lokalitas bukan berarti kita kembali ke pola hidup “bercidako”, bukan? Jadi wajarlah jika di acara yang sama berlangsung juga sebuah peragaan busana yang berbahankan “Kain Bentenan Reborn” yang telah dijadikan berbagai busana indah.

Sebuah perjuangan tentu butuh enersi. Disini, enersi adalah partisipasi dari semua pihak yang sudah seharusnya peduli dengan kebudayaan: organisasi pemuda, pemuda gereja, organisasi budaya, dan setiap pribadi yang memiliki kesadaran untuk mengangkat budaya Bangsa Minahasa. Enersi juga berarti konsistensi dari pihak-pihak yang telah mulai “berpikir” dan “bertindak” untuk menyelamatkan kebudayaan untuk tetap berkarya. Saya yakin kita punya semua itu.

Perjuangan so mulai, tamang!


(Tulisan ini telah dimuat dalam harian Manado Pos)

Catatan Alfrits “Ken“ Oroh : Dari Diskusi, Pelatihan Dasar sampai Deklarasi: “ TEATER CERMIN DALAM KONSTRUKSI “

Kurang lebih setahun sudah tak terdengar lagi sebuah laporan kegiatan berkesenian berupa kegiatan pementasan, diskusi ataupun informasi pembentukan dan pelestarian kembali kelompok seni (komunitas, sanggar, grup teater) yang ada di Sulut pasca dicanangkannya “Tahun Kebangkitan Sastra dan Budaya” yang dimulai dari tahun 2005 sebagai “Tahun perintisan” lahir dan berkembangnya generasi baru insan peteateran di Sulut.

Kemudian, tahun 2006 sekarang kembali lagi bergema semangat membangun dan melestarikan apa yang disebutkan diatas tentang Tahun Kebangkitan Sastra dan Budaya di Sulut. Yang dalam pada itu melahirkan kelompok seni baru di tanah Minahasa dengan nama TEATER CERMIN. Teater ini kemudin lahir atas menjawab bukti nyata atas sebuah pernyataan dari sebagian kawan yang tergabung dalam barisan Forum Independen Peduli Sastra Sulut (FIPS) seperti Grennhill G. Weol dan Fredy Sr. Wowor dalam beberapa pertemuan seni (lisan maupun tulisan) diberbagai kalangan yang menyebutkan bahwa “Sonder sudah lahir ! Wuwuk sudah lahir ! Koha sudah lahir ! dan Treman sudah lahir ! Mana dang tu Tondano ? Kawangkoan ? Langoan ? Amurang ? deng tu laeng-laeng ! Masih ada lei ... Ini merupakan sebuah ungkapan spirit (memotivasi) sekaligus menantang bukan dengan fisik (perkelahian) tetapi secara intelektual muda berkarya seni bagi sebuah kemajuan Sastra dan budaya di Sulut lebih khusus di Minahasa sebagai suatu usaha sadar “kembali ke rumah” (Mawale Movement) dan Teater Cermin yang berlokasi di SMA Negeri 2 Tondano tepatnya di kelurahan Tataaran-Patar Tondano Barat telah menjawab akan hal itu.

Berawal dari suatu pertemuan dan diskusi kecil yang terjadi antara penulis sendiri dengan seorang siswa SMA Negeri 2 Tondano bernama Iswadi Sual, dengan pokok pembicaraan adalah “Penulisan karya sastra dan pentas teater sedang melanda generasi muda di Sulut” membawa kita pada satu rumusan bersama mendiskusikan akan hal ini kearah yang lebih serius dan luas, dengan melibatkan banyak kalangan generasi muda Tondano terlebih khusus yang ada di SMA N 2 Tondano. Inilah yang kemudian menjadi sebuah awal dari kronologi pembangunan studi teater, dilanjutkan dengan menyajikan sebuah paket diskusi bertajuk “Peran Generasi Muda Terhadap Perkembangan Sastra dan Budaya di Sulut” yang dilaksanakan di gedung Serba Guna SMA Negeri 2 Tondano, pada hari jumat tanggal 10 Maret 2006. Dimulai dari pukul 10.30 wita sampai akhir jam sekolah cukup besar nilai responsibilitas anak-anak siswa SMA Negeri 2 Tondano dengan mengorbankan waktu dan kesempatan mengikuti diskusi tersebut tak kurang dari tiga jam duduk, mendengarkan dan terlibat langsung dalam seisen tanya-jawab dan performens art dari masing-masing kelas yang sudah terwakili dari kurang lebih 300 siswa-siswi yang ada di SMA N 2 Tondano. Acara ini pula tak lepas dari dukungan dari pimpinan sekolah dalam hal ini lewat bapak B. Mantiri. BA. sebagai kepala sekolah beserta beberapa guru dan pembina OSIS seperti Bpk. Drs. E. Masialu yang secara langsung ikut ambil bagian terlibat dalam menjadi moderator di diskusi tersebut. Diskusi ini di pimpin langsung oleh penulis sendiri dan di temani oleh dua rekan kerja seni yakni: saudara Ivan Susilo sebagai mahasiwa Bahasa Jepang FBS-UNIMA dan sebagai ketua Teater Ungu FBS UNIMA sekarang. Boy A. Liey sebagai mahasiswa Bahasa Inggris dan sebagai ketua KOSTON (Komunitas Sketerbord Tondano) sekaligus sebagai aktor di Teater Ungu.

Selanjutnya dari hasil diskusi seni sehari itu dikembangkan lagi ide dari sebagian siswa-siswi yang dengan sadar tidak berhenti terbatas hanya datang, duduk, diam dan pulang dengan tidak menyadari betul makna dari pada peranan generasi muda dalam memajukan sastra dan budaya serta peduli mengembangkan bakat serta kemampuannya di bidang seni sastra dan teater untuk di seriusi kedalam suatu ide pembentukan kelompok studi seni teater. Yang dari sebagian siswa tersebut kemudian di rumuskan bersama sebuah kelompok seni teater dengan menggunakan nama “Teater Cermin” SMA Negeri 2 Tondano di Tataaran.

Dari pembentukan kelompok teater cermin ini. Tak lama sesudah minggu kemudian dibuatlah suatu kegiatan dengan nama “Pelatihan Dasar I Teater Cermin” yang diberikan langsung materi umum dari penulis sendiri dan dibantu oleh seorang rekan kerja seni teater saudari Luedfine “Angga” Setiono dari Teater Perempuan Tondano yang dalam masa pembentukan sekaligus perwakilan dari anggota teater Ungu. Tujuan dari pada kegiatan ini adalah sebagai salah satu upaya untuk mempersiapkan pengetahuan dasar lewat materi tentang “Sejarah perkembangan teater di barat dan di Indonesia, teori Akting, Bloking, Olah Vokal (wirasa), Olah Tubuh (wiraga), Olah Sukma (wirama) dan Meditasi (penenangan dan penguasaan diri) dalam pentas teater. Acara ini dilaksanakan selama tiga hari tertanggal 16, 17 dan 19 Maret 2006, yang dibagi dalam dua bagian. Pertama: Pelaksanaan teori tanggal 16 – 17 Maret 2006, yang berlokasikan di SMA N 2 Tondano selang tiga jam sehari dimulai dari pukul 15.00 – 18.00 dan kedua: Pelaksanaan Praktek atau Uji mental/karakter dijalanan (Routh Shouw) pada tanggal 19 Maret 2006 yang berlokasikan di pusat kota Tondano ibu kot Minahasa Induk.

Selanjutnya, tidaklah cukup hanya dengan membentuk dan melaksanakan pelatihan dasar teater, tetapi juga dilakukan sebuah usaha untuk mengesahkan, meresmikan atau mendeklarasikan kelompok Teater baru ini dalam sebuah tatanan kemandirian dan kemajemukan kelompok teaternya yang telah dilaksanakannya deklrasi tersebut pada hari sabtu tanggal 25 Maret 2006 di gedung Serba Guna SMA N 2 Tondano. Dimulai pada pukul 15.00 wita dengan tiga acara pokok yang di suguhkan untuk memeriahkan kegiatan tersebut antara lain: Pertama diskusi terbuka bertemakan “Masa Depan Perteateran di Sulut” yang dibawakan oleh dua pemateri dari Fredy Wowor SS. sebagai budayawan, praktisi sastra, tokoh Teater Kronis dan penmbina Studio X Sonder, Green Weol SS. Sebagai budayawan, praktisi sastra, kordinator KONTRA (Komunitas Pekerja Sastra), Teater Bukit Hijau dan Teater Awan, Dengan memakan waktu kurang lebih satu jam kemudian disambung dengan sebuah pementasan teater dengan judul “Satu Sisi Dalam Aksi” karya naskah dan sutradara oleh penulis sendiri. Selanjutnya diakhiri dengan pembacaan struktur pengurus teater Cermin SMA N 2 Tondano dengan susunan porsenalia sebagai pengurus inti diketuai oleh Iswadi Sual, sekretaris Delima Panegoro dan Bedahara Laura Koyansouw dan sebagai kordinator – kordinator bidang seperti: Naskah dan kepelatihan oleh Vano Lalogiroth, Perlengkapan dan atministrasi oleh Brian Tinggogoy, Informasi dan komunikasi oleh Greis Hardin dan Produksi oleh Jeiny Maweikere serta seluruh anggota lain Teater Cermin adalah: Heven Karisoh, Mario Tambariki, Angelina Turang, Debora Piri, Chindy Tololiu, Mrlina Lumowa, Susan Rumondor, Santha Manengkey dan Ingnasia Tumilantouw yang semuanya berjumlah 16 orang.

Dalam acara ini turut hadir pula dari perwakilan sekolah seperti bapak L. M. Rame S.Pd sebagai guru pendidikan seni dan Drs. E. Masialu sebagai guru bahasa Inggris di SMA N 2 Tondano serta turut hadir pula dalam peresmian / deklarasi tersebut adalah para undangan, simpatisan dan tokoh – tokoh seni seperti budayawan, sastrawan dan ketua dan anggota perwakilan dari kurang lebih 10 kelompok seni teater di Sulut, antara lain: KONTRA (Komunitas Pekerja Sastra), Teater Bukit Hijau, Teater kronis, KOSTON (Komunitas Sketerbord Tondano) dan anggota teater Ungu, Luedfine Angga Setiono sebagai pendiri Teater Perempuan Tondano dan anggota teater Ungu, Gina Angkow dari Sanggar Minahasa, Jelly Karundeng dari perwakilan dari Teater Ungu, Stelvy dan Tepi dari Teater Mezbah Malalayang dan penulis sendiri dari Sanggar Dodoku Wuwuk – MinSel.

Dari ketiga iven pembentukan dan pembangunan studi Teater Cermin SMA N 2 Tondano dapat dituliskan beberapa hal penting adalah: Pertama, sebuah pembentukan Teater Cermin Tondano bukanlah sebuah hasil yang instan, tetapi harus disadari bahwa itu memerlukan waktu dan usaha keras bagi kelancaran dan keberhasilan berkeseniannya. Kedua, Setiap organisasi yang terbentuk seperti kelompok studi Teater Cermin SMA N 2 Tondano yang adalah salah satu bagian sekolah yang memiliki infrasruktur bagi usaha untuk memberikan sumbangsih yang berguna bagi pembangunan generasi muda yang ber-Imtaq dan ber-Iptek dan bagi peningkatan harkat dan derajat hidup manusia. Ketiga, Peran serta dari pada seluruh aktifitas pekerja budaya harus mampu membangun peradaban berkesenian diderah untuk terus maju berjuang dan berkarya untuk tanah ini.

Sebagai penutup, diharapkan kehadiran kantong-kantong seni-budaya serupa Teater cermin ini hendaknya jangan hanya berakhir sebagai sebuah selebrasi belaka, namun harus eksis sebagai kelompok yang produktif dalam membentuk pribadi-pribadi muda yang memiliki wawasan luas dan giat berkarya dan mampu bersaing di kancah perteateran di Sulawesi Utara.

I Yayat U Santi!

Catatan Greenhill Glanvon Weol Dari Peluncuran Antologi Puisi Bahasa Manado: "MENGGAGAS KESADARAN LOKALITAS SASTRA MANADO"

Sebuah antologi puisi bahasa Manado dengan judul “999” baru saja menyapa publik penikmat sastra di Manado. Peluncuran buku ini memang jauh dari darimewah dan “wah”, sebab cuma dilaksanakan di kantin kecil yang kebetulan bertempat di fakultas Sastra UNSRAT. Acaranya sederhana dan jauh dari kesan formal : ucapan selamat datang dari yang empunya kantin, kemudian langsung karya tersebut diperkenalkan lewat serangkaian tanya jawab yang lazimnya disebut “bedah buku” sambil ngopi. Yang hadirpun tidak berjubel, sebagaimana launching karya Ayu Utami misalnya. Cuma sukup untuk mengisi kursi-kursi kantin yang tersedia. Pun, tak ada sastrawan sekaliber Rendra atau Taufik Ismail yang hadir. Acara ini cuma dihadiri oleh para pegiat seni dan sastra dari lingkaran yang terbatas saja. Semuanya nampak terlalu sederhana, untuk menghindari penggunaaan kata “kurang”, untuk sebuah peluncuran buku. Tetapi mungkin, semuanya akan menjadi hal yang luar biasa jika kita melongok lebih jauh.

999” adalah buku keempat yang diterbitkan oleh apa yang bisa dinamakan “Para Pegiat Sastra Muda di Manado” yang berasal dari lingkaran berbagai elemen organisasi seperti KONTRA (Komunitas Pekerja Sastra), Teater Kronis, FIP Sasra (Forum Independen Peduli Sastra) Sulut, ForSASTRA (Forum Sastra) Manado, Forum Pecinta Buku, Teater Bukit Hijau, Onetique Teater, Teater Remagaf, Teater Al, Teater Jarum, Teater Asbak, Teater Unik dan Teater Awan, disamping beberapa person yang terlibat secara non-organisasi. Semua upaya penerbitan ini merupakan perwuudan dari “2005 : Tahun Kebangkitan Sastra manado” yang dicanangkan oleh lingkaran kami. Boleh dibilang, semua upaya penerbitan dalam konteks “underground” dan swadaya karena kamipun merasa masih memiliki keterbatasan dalam banyak hal untuk bisa mempublikasikan karya-karya kami. Walaupun nantinya karya-karya ini terbit dalam skala kecil dan sederhana ini, sudah merupakan jawaban kami atas beberapa anggapan yang mengatakan bahwa daerah kita yang tercinta ini “miskin kreasi”. Tahun ini kami berencana untuk melakukan penerbitan karya-karya sastra lokal secara estafet dalam berbagai bentuk. Kami merencanakan menerbitkan beberapa kumpulan puisi, kumpulan cerpen, beberapa kumpulan naskah darama/teater dan esai-esai. Sulit memang, karena semua digarap sebisa dan semampunya. Namun langkah sudah diambil, tak mungkin mundur lagi.

Beberapa waktu terakhir ini, mamang Sastra Nasional Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kita menyaksikan kelahiran banyak penulis-penulis dengan karya yang beragam pula. Iklim bersastra pun sudah cukup tercipta di masyarakat khususnya kaum muda, terdongkrak oleh tren beberapa ikon mereka yang mempertunjukkan ketertarikan terhadap dunia sastra, atau menggunakan dunia sastra sebagai daya tariknya, sebagaimana termanifestasi dalam karya film “Ada Apa Dengan Cinta” yang fenomenal itu. Pendek kata, terlepas dari kemungkinan hanya tren sesaat, sastra sedang dalam posisi yang “cukup dihormati dan diminati” ketimbang waktu-waktu sebelumnya.

Namun semua diatas terjadi dalam konteks nasional saja. Berbicara tentang sastra lokal (dalam hal ini Manado, tentunya) kita masih harus mengejar ketertinggalan kita. Manado bisa dikata vakum dari upaya-upaya penerbitan sastra selama satu dekade atau mungkin lebih. Padahal suatu sisi eksistensi seorang penulis/sastrawan/penyair, mau tidak mau akan dilihat dari publikasi karyanya.

Kita sayangnya memiliki banyak sastrawana yang sebenarnya tergolong senior tetapi entah “tidur” atau melupakan lokalitasnya. Kalaupun ada “sastrawan senior manado” yang memperkenalkan karyanya, hanya ibarat “harap-harp adapa ikang ayang, dapa kamari nasi deng garang”, begitu kata beberapa pengamat. Ini diperparah dengan ketidak perdulian, atau ketidak mampuan, dari lembaga-lembaga pemerintah, yang sebenarnya sudah seharunya dan pada porsinya bisa berbuat banyak untuk memajukan Sastra dan Seni daerah pa umumnya. Padahal kelihatan baik di tataran Global maupun kancah Sastra nasional ada kecenderungan untuk back to local, kembali ke indentitas.

Didunia seni global telah lama membara semangat postmodernisme yang dengan gencar menggagas pengembangan kemampuan untuk artistik lokal dan menyerukan untuk kembali ke tradisi lokalitas. Di Jakarta sendiri, nenurut poengamatan penulis, kecenderungan “sadar asal” ini telah termiliki oleh banyak sastrawan dan seniman, dan hebatnya ini sering dijadikan “kartu truf” untuk menghadapai “Nasionalisme Seni” atau mungkin kata lainnya : melawan Sentralisasi Kesenian. Gerakan ini kelihatan dominan diusung oleh mereka yang diluar arus mainstream dan bukan “seniman mapan”, yang juga sering menggelar kegiatan secara underground namun intens.

Pada tataran lokal, penerbitan kami adalah bukti yang menunjukkan telah adanya usaha-usaha untuk “tidak mau lagi tinggal diam” dalam konteks kami tidak mau terkungkung dengan keterbatasan material, terlebih keterbatasan visi. Bahkan lebih dari itu : kami sebagai pegiat dunia sastra, telah sampai kepada sebuah kesadaran berbahasa lokal, seperti tercontoh dalam Kumpulan Puisi Bahasa Manado “999” tersebut. Disini kami berusaha membangkitkan kesadaran dari para sastrawan lokal lain, dan syukur-syukur masyarakat setempat, untuk menghargai bahasa yang digunakannya sehari-hari tersebut sebagai “torang pe bahasa” yang akan dapat punah seiring terkikisnya penggunaan bahasa tersebut dalam kegiatan berbahasa sehari-hari. Kami yakin, salah satu upaya terpenting untuk mempertahankan budaya lokal, yang adalah identitas lokal, adalah dengan mempertahankan penggunaan bahasa lokal. Dan salah satu cara untuk melestarikan bahasa lokal antara lain menuliskannya dalam bentuk apapun termasuk puisi. Kami sadar, tanpa kejelasan identitas, kita akan tenggelam dalam “pusaran zaman” dan bahasa adalah penentu signifikan dalam punah-tidaknya sebuah kebudayaan. Mungkin terlalu ekstrim untuk menganggap nihil apa yang dikenal dengan ‘budaya nasional”. Tetapi menurut kami, tanpa kita mengetahui dengan jelas identitas kita sebagai bagian dari budaya lokal kita tidak akan pernah dapat duduk seimbang dalam konteks budaya nasional.

Tegasnya : Matinya sebuah bahasa adalah pertanda matinya sebuah peradaban !

Dalam kongklusi bedah buku peluncuran “999” muncul sebuah aura penyadaran. Ternyata bahasa Manado bukan hanya enak dipakai berbincang, tetapi juga nikmat dipuisikan. Sama deng ubi colo deng dabu-dabu! Kalu begitu, pasti bisa juga untuk yang menulis bentuk lain. Kami memang baru selangkah, baru setengah jalan. Tetapi dengan modal kedaran lokal yang berhasil tersulut dalam tiap-tiap diskusi, entah dalam peluncuran buku seperti kemarin, atau bicang-bincang ringan di kantin, kami yakin bahwa lokalitas dapat menjadi wacana yang benar-benar membawa perubahan, bahkan bukan cuma dalam Sastra Manado.

Penulis Praktisi Sastra Manado, Koordinator Komunitas Pekerja Sastra Sulut

Termuat bersambung di Global News, 22-23 Maret 2005

Esei Sweetly “Witho B. A.” Lahope: "Likupang, Minahasa Yang Tidak Berminahasa!"

Sebuah ocehan kultural mengenai apa dan bagaimana yang sebenarnya merupakan budaya Minahasa

Waktu pertama kali datang ke Likupang, saya sama sekali tidak berdaya. Pandangan saya kabur, saya tidak bisa berkata-kata dan saya sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan orang-orang. Kalau tidak salah, saat itu saya hanya menangis. Itulah keadaan saya pada saat dilahirkan di Likupang.

Likupang mungkin bukan sebuah tempat yang istimewa bagi kebanyakan orang, dan juga tidak begitu dikenal. Orang bahkan lebih kenal Paradise Resort, Pantai Surabaya, (aslinya “Surawaya” yang artinya rawa dan bambu) atau pulau Gangga, daripada desa Likupang, yang merupakan Ibukota Kecamatan Likupang (sekarang Likupang Timur, setelah dimekarkan dengan pupuk kandang), dimana terdapat ketiga tempat tadi. Secara pemerintahan, Likupang termasuk dalam wilayah Kabupaten Minahasa Utara. Tapi bila ditinjau dari segi budaya, sungguh merupakan suatu hal yang menarik karena budaya yang ada di sana sangat berbeda jauh dengan yang umumnya dikenal sebagai “Budaya Minahasa”. Jangan harap anda bisa mendengar bahasa – bahasa daerah Minahasa di sana karena yang akan anda temukan adalah bahasa Sanger, Gorontalo, dan Batak. Sejak dulu, bahkan sebelum Minahasa dimekarkan, aneh rasanya bila mendengar ada yang menanyakan soal kesenian atau tradisi-tradisi budaya Minahasa lainnya yang ada di Likupang sebab selama saya di sana, saya tidak mendapati adanya kelompok masyarakat di sana yang menganut kesenian atau tradisi-tradisi tersebut, selain para siswa Sekolah Menengah Pertama yang ‘dipaksa’ belajar Maengket untuk ikut lomba antar sekolah. Tapi jangan kira mereka mengerti isi tarian dan nyanyian tersebut. Sejak kecil sampai sekarang, saya hampir tidak menyadari bahwa secara cultural (dan mungkin sebagian besar orang Likupang) tempat dimana aku lahir dan tinggal ini merupakan bagian dari Minahasa, walaupun pada kenyataannya untuk menulis alamat di amplop surat harus juga dituliskan “Minahasa – SULUT”. Perasaan janggal mulai terasa ketika aku melanjutkan pendidikan ke Manado. Saat ada teman yang bertanya tentang daerah asalku, aku bilang kalau aku berasal dari Likupang. Mereka tanya lagi Likupang itu termasuk wilayah apa, aku bilang Minahasa (waktu itu belum pemekaran wilayah) dan mereka akan menatapku dengan mata membelalak, mulut menganga,leher memanjang, air liur meleleh dan keringat dingin mengucur penuh keraguan dan ketidakpercayaan dan keheranan dan yaaah... pokoknya yang begitulah. Mereka tidak percaya kalau aku lahir dan besar di lingkungan masyarakat “Minahasa”. Menurut mereka tidak ada satu pun ciri-ciri atau kebiasaan orang Minahasa yang melekat pada diriku. Aku cuek saja dengan pendapat mereka.

Setelah kuliah di Fakultas Sastra Unsrat, pernah pada suatu saat dosen mata kuliah Etnolinguistik memberikan tugas untuk menerjemahkan sejumlah kata-kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah darimana kita berasal. Beberapa teman mahasiswa yang berasal dari Minahasa Induk dan Minahasa Selatan oke-oke saja tapi aku justru bingung; di daerah asalku, Likupang tidak ada yang menggunakan bahasa daerah Minahasa. Saat aku bilang kalau di Likupang tidak ada bahasa daerah seperti yang ada di Minahasa Selatan dan Minahasa Induk, mereka (lagi-lagi) tidak percaya, bahkan ada yang ingin bunuh diri karena mengira kalau Likupang termasuk dalam Kabupaten Sangihe. Saki kita pe hati.

Perbandingan Kecil

Akhirnya tiba waktunya aku KKN (artinya Kuliah Kerja Nyata, bukan yang lain). Kebetulan lokasinya di desa Pahaleten Kecamatan Kakas Kabupaten Minahasa Induk. Nah...di sanalah aku banyak melihat dan mempelajari apa yang selama ini dianggap orang sebagai “Budaya Minahasa”. Di sini bisa ditemukan stereotip budaya yang dianggap orang sebagai budaya yang “benar-benar sangat asli Minahasa sekali”.

Perbedaan yang terasa memang sangat besar antara budaya masyarakat di Kakas dengan budaya masyarakat Likupang. Di sini aku melihat langsung berbagai kesenian masyarakat. Rata-rata semua lapisan masyarakat tahu mengenai kesenian daerah walaupun tidak semuanya merupakan praktisi. Masyarakat mengerti betul makna tentang Maengket, Kabasaran, ritual-ritual dan kebiasaan-kebiasaan (walaupun sebenarnya telah dipengaruhi oleh dogma agama Kristen) bahkan sampai dengan sejarahnya. Disini orang tua sampai anak-anak mengerti dan lancar berkomunikasi menggunakan bahasa daerah Minahasa.

Di sini aku merasa benar-benar asing secara budaya. Orang-orang di sini sangat membanggakan ke-Minahasa-an mereka dari segi budaya. Artinya, seorang manusia Minahasa alias Tou dianggap sebagai Tou bila ia hidup dengan budaya kebiasaan Minahasa, minimal bisa berbahasa daerah dan tentu saja; keperkasaan seorang lelaki Minahasa yang berani menyandang senjata tajam dalam medan tempur antar kampung (yang satu ini adalah pilihan bebas, demi gengsi dan harga diri).

Kong, bagimana dang tu budaya Minahasa yang sebenarnya?

Mungkin kita perlu membedakan antara “Minahasa sebagai suku bangsa” dengan “Minahasa sebagai daerah pemerintahan”. Budaya yang selama ini kita sebut dengan budaya Minahasa, berlaku dominan bagi masyarakat yang termasuk suku bangsa Minahasa. Likupang, yang termasuk dalam Minahasa karena daerah pemerintahan, tentu saja memiliki kebudayaan yang berbeda. Lokasinya yang terletak di ujung Utara daratan Sulawesi, menyebabkan banyak suku bangsa berkumpul dan bersatu di sana. Asimilasi dari berbagai budaya menyebabkan “kecelakaan” kultural yang tak mungkin dihindari. Akibatnya, Likupang hamil dan setelah mengandung selama ratusan tahun, lahirlah “Budaya Likupang” (Selamat menjadi ibu).

Bagaimanapun, sampai sekarang saya tetap merasa sebagai orang Minahasa, dan Minahasa adalah tempat lahir dan tempat saya dibesarkan, namun saya tidak ingin mati di Minahasa, karena kalau bisa, saya tidak ingin mati, tako maso neraka . . . . . .

Esei Johny Weol: “SIAPA FILANTROPI MANADO MINAHASA?”

Teresa Simbol Kedermawanan, Sri Paus”

A rich man is nothing but a poor man with money”. Wc. Fields

I am a millionaire. That is my religion. George Bernard Shaw”


“Kaisar” Microsoft baru-baru ini mengejutkan dunia. Apa pasal ? multimiliuner itu , Bil Gates menyumbang US $ 24 miliar atau sekitar Rp. 200 triliun rupiah. Gebrakan super billioner dunia ini diberikannya untuk membiayai Yayasan Bill dan Melinda Gates yang bergerak dalam kegiatan sosial. Kiprahnya ini membuat Gates tercatat sebagai dermawan terbesar sepanjang sejarah Amerika, bahkan jelas di dunia. Suster Teresa seorang calon “Santo” di India punya kontribusi luar biasa, membantu kaum miskin, duafa, rakyat kecil, selama 60 tahun itu merupakan kedermawanan “extraordinary” bak malaekat bagi rakyat India dan oleh Sri Paus, pemegang hadiah nobel perdamaian ini disebut “Simbol Kedermawanan”, “The only one ever had!” sebenarnya uang yang triliun sumbangan Gates telah melampaui sumbangan para raksasa “Filantropi” seperti John. D. Rockefeller, Andrew Carnegie, Henry Ford, Ted Turner dan George Soros, walau unggul dalam hal jumlah, Gates dipandang sebagai “penerus” dengan dana raksasa. Tetapi Trio Ford, Rockefeller, Carnegie, Plus Soros diyakini tetap sebagai Bapak Filantropi Amerika. Tetapi juga langkah keputusan Gates yang hanya memberi warisan Rp. 45 miliar “saja” kepada masing-masing tiga anaknya. Hal itu berarti hanya kurang dari 1 % kekayaan Gates. Bayangkan kekayaan melimpah, umur baru 48 tahun, kekayaan US$ 65 miliar atau setara Rp. 520 triliun (Kurs 1dolar Rp. 8.000). uniknya uang sebanyak bisa disebut 99,99 % halal, bukan uang korupsi. Hatinya masih bisa melihat penderitaan manusia, peka terhadap ketidak beruntungan orang lain. Bantuan difokuskan untuk riset kesehatan anak-anak, dunia pendidikan, riset teknologi. Kata Bill “ketidakadilan terbesar di dunia dewasa ini adalah kenyataan bahwa 5 miliar orang (di dunia ketiga) tidak memiliki akses terhadap perawatan kesehatan sebagaimana dinikmati1 (Satu) miliar orang di negara kaya.”

Secara kebahasaan, Philantrophy (Filantropi) berarti kedermawanan, kemurahhatian, atau sumbangan sosial, sesuatu yang menunjukkan cinta kepada sesama manusia (John. M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia Jakarta Gramedia, 1995, hal. 427).

Filantropi adalah cinta kepada sesama manusia secara umum, berbuat baik kepadanya dengan tulus, dan upaya atau kecenderungan untuk meningkatkan kehidupan kemanusiaan yang baik dan kebahagiaannya seperti lewat kemurahhatian, derma atau sumbangan (The Oxford English Dictionary Vol. VII, Ox[ord, The Clerendum Press, h. 774).

Dalam hal ini, John. D. Rockefeller bisa dianggap peletak dasar dan standar filantropi moderen. Waktu kecil beliau berprinsip “Jadikan uang, pelayan kita dan bukan kita yang mengejar uang.” Rockefeller mendirikan Standar Oil Company yang dalam geraknya mengakui sisi hampir semua perusahaan minyak yang ada. Pada tahun 1912 jumlah kekayaan Rockefeller mencapai puncaknya US$ 900 juta merupakan orang terkaya di dunia pada zamannya. Sebagian besar hartanya ia habiskan untuk berderma mendirikan Institute For Medical Research (kini Rockefeller University) dengan dana USD 50 juta. Juga Rockfeller Foundation. USD 235 juta disumbangkan ke situ. Walaupun kita semua juga calon filantropi dan adalah benar semata bahwa calon filantropi moderen semestinya datang dari bilioner-bilioner dunia. Dalam catatan THE WORLD BANK AND FORBE COM. 2003 tercatat 15 bilioner bermukin di Canada, ini ranking nomor 5 dunia, sedangkan nomor satu tentu bisa ditebak di AS. 222 bilioner paling terkaya di dunia. Menyusul 43 bilioner di Jerman, Jepang 19 bilioner, Rusia punya 17 bilioner (sesuai metode GINI INDEX) (Rihat FORBES GLOBAL, MARCH, 17,2003). Tercatat juga Raja-raja, Ratu-ratu terkaya di dunia dewasa ini, a.l. : King Fahd Bin Abdul Aziz Alsaud (Raja Saudi Arabia), umur 80, estimasi kekayaan : USD 20 billion (sekitar Rp. 160 Triliun, = Rp. 160.000.000.000.000) (Kurs 1 USD = Rp. 8000).

Sultan Haji Hassanal Bolkiah, Sultan Brunei, umur 56, kekayaan : USD 11 Billion = 88 Triliun Rupiah).

Termasuk milik kerajaan Inggris, maka tercatat Ratu Elizabeth II, Umur 76, asset : 525 million USD, hampir 5 Triliun Rupiah, dll seperti Hans Adam, Fidel Castro, Yaser Arafat. Mereka semua memang sementara menjalankan “Filantropi-Bisnis” selama ini. Jika anda termasuk “orang kaya” lokalpropinsi atau negara sudah seharusnya membaca visi dari pioner filantropi. “Andrew Carnegie (1835-1919) yang semboyannya “mati dalam gemerlap kekayaan adalah sebuah kesia-siaan” Dia termasuk diantara sedikit multi miliuner yang tidak percaya bahwa kekayaan harus diwariskan. Dia meninggalkan apa ? Pendidikan terbaik kepada anak-anaknya. Bahkan untuk umum, masyarakat dunia, beliau mewariskan 2509 perustakaan umum yang dibangunnya di Amerika, Eropah dan negara-negara yang berbahasa Inggris, Carnegie percaya, anak miskin bisa sukses dengan memberi kesempatan dari bawah, belajar di perpustakaan seperti dirinya, tentu disertai dengan kerja keras, Pioner filantropi berikut : pemilik pabrik mobil FORD MOTOR COMPANY. Saking kayanya Ford, pajaknya sebesar USD 321 juta, nah lalu Ford punya kiat agar tetap punya kendali, beliau mengalihkan 95 persen sahamnya ke Yayasan Ford. Baru tahun 1977 keluarga Ford hengkang dari Yayasan kemanusiaan tersebut.

Dewasa ini memang terdapat badan-badan yang memberi perhatian kepada orang-orang miskin. Di Jerman : Misereor yang memiliki sesanti, Gegen Hunger Und Krankheit : “melawan kelaparan dan penyakit. Di Inggris ada CAFOD. Paus memiliki dewan untuk itu dengan nama COR UNUM artinya : Satu Hati.

Sebenarnya “spirit of Philandtrophy” sudah terlihat di AS tahun 1636 dimana derma untuk membantu dana Harvard College 1790 Benjamin Franklin membentuk dana membantu orang muda yang berbakat 1829 James Smithson menyendirikan dana membangun Smithsonian Institute.

Filantropi dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata Yunani, Philos yang berarti mencintai, menyayangi dan antropos yang berarti manusia. Filantropi menunjuk pada istilah yang berarti cinta akan manusia.

Basic teologi dari kasih tentu sudah kita ketahui yaitu Matius 22:37-38 yaitu Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia. Bahkan musuh sekalipun perlu kita kasihi (Matius 5:44).

Kegiatan khusus filantropi berdasar pada Pengadilan Terakhir (Matius 25:31-46) lalu orang Samaria (Lukas 10:25-37) bisa menjadi renungan kita. Dari kedua contoh Alkitab tersebut intinya yaitu : bila kita cinta Yesus, cinta itu harus diwujudkan dalam cinta kepada sesama manusia, ingat wajah Yesus sesungguhnya adalah sesama manusia. Pada orang Samaria, cakrawala kemanusian diungkap dengan jelas, bukan cakrawala ibadah, tapi melintas batas tersebut. Levi dan imam petugas ibadat, tapi perhatian kepada manusia sangat lemah, bahkan mengabaikan, stigmasisasi orang Samaria yang dicap agamanya tidak murni malah menjadi contoh unggul spirit of filantropi.

Yesus Kristus, memberi makan 10.000 orang yang sementara kelaparan dan mengobati, menyembuhkan semuanya gratis. Yesus Kristus muncul paling banyak di kalangan “the have not” miskin, dan papa. Dan alangkah mulianya orang yang mengikuti teladannya soalnya apa yang diperbuat umatNya kepada orang yang lapar, haus, dan dahaga, itu sebenarny diperbuat kepada Yesus Kristus sendiri.

Di kalangan umat Kristiani mula-mulapun dikenal istilah “Hospes Venit-Christus Venit : Tamu datang – Kristus datang, siapa tamu-tamu itu penjiarah yang lapar, haus, sakit. Dari bahasa Latin hospes atau tamu itu muncul istilah hospitality (keramah-tamahan), untuk rumah sakit jadi hospital. Jelas ini “caring for the chronically and terminally sick”.

Umat Kristiani memang harus memiliki badan-badan amal yang berusaha menyatakan cinta tetapi juga memiliki akuntabilitas dan transparansi. Perlu penyumbang mengetahui “cash flow” dan harus “reportable”. Perlu juga rumusan misi, visi yang jelas, relevan dengan iklan yang tepat. Juga Badan tersebut (seperti Dorkas) dengan diakonianya bisa bekerja sama dalam satu komite. Contoh : Action Aid, British Red Cross, CAFOD, ADRA, Care International, Christian Aid, Concern, Help The Aged, Merlin, Oxfam, Save Children, Fearfamd, World Vision, in cooperation dengan Disasters Emergency Comitte. Nah siapakah filantropi Manado, Minahasa, Bitung, Tahuna dan Kotamobagu ? Siapakah dia yang menyumbang untuk wilayah “Nyiur Melambai” tercinta ? Salib putih besar yang menjulang nyata diperbukitan Pineleng seakan mengundang para dermawan lokal. Siapakah toko bisnis “Kawanua” yang sudah menyumbang di tanah sendiri, sementara bergelimangan harta di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Penulis mengenal beberapa penyumbang “non-Minahasa” yang sudah membangun lebih 30 bangunan gereja di Sulut, Sulawesi. Siapa yang menyumbang pembangunan gedung kantor Sinode GMIM saat ini ? Mana konglomerat yang berhati “cinta Jesus” kepada sesama manusia ? Mana Ford-Ford-Rockefeller-Carnegienya Manado ? Siapa yang membangun tanah “Toar Lumimuut” tercinta ? Adalah tugas para teolog juga turut menyadarkan “the sleeping-conglomerate”, “the giant money-makers”. Mari bangun, dan bantu rumah-rumah sakit, yatim piatu, rumah jompo, universitas, beasiswa, yang sakit kelaparan, tak ada uang operasi, tak ada rumah tinggal, korban narkobais, korban kecelakaan, korban kebakaran, pembunuhan dan masih banyak lagi Tuhan Yesus tolonglah kami menjumpai para filantropi Manado tersebut.

SYALOM. ORA ET LABORA



(Telah dimuat di harian Manado Pos)



Esei Chris Sondey: SASTRA: KE MANA ?

Mau ke mana setelah lulus dari Fakultas sastra ?

Sebuah pertanyaan yang biasa dan mudah, karena sering ditanyakan lewat sebuah relasional di dalam keluarga secara khusus dan lingkungan masyarakat sebagai bagian besar proses interaksi hidup. Dan menjadi mudah ketika dijawab dengan pernyataan ideal berdasarkan sebuah kebutuhan semu penguasaan bahasa asing sebagai salah satu modal penetrasi kapitalisme di dalam jaman yang mengglobal saat ini. Dari sini bisa diduga kebanyakan akan memilih kerja di luar profesi pekerja sastra karena secara tegas institusi sastra telah gagal dalam praktek pengajarannya. Lihatlah institusi sastra di daerah ini seperti Fakultas Sastra Universitas Sam ratulangi Manado yang notabenenya lembaga yang berkompeten dalam pengajaran dan praktik sastra, secara kuantitas lulusannya hampir tak ada yang mengambil kerja sastra sebagai pilihan yang ia geluti dan berproses di dalamnya. Sungguh ironis ketika bergelar Sarjana sastra bekerja sebagai pegawai kantor pemerentah atau pegawai di sebuah perusahaan swasta. Realitas inilah yang harus dirubah yang di dalamnya pemikiran yang berdiri kokoh hampir di setiap kepala seluruh civitas sastra mesti dibenturkan dan dirobohkan, karena aliran yang sebenarnya telah jauh bergerak pada arah yang bukan menuju ke satu muara tujuan, dan hanya kita yang bisa mengembalikan ke jalur pergerakan yang sebenarnya, atau secara tepatnya esensi sastra telah jauh meninggalkan ruangnya sebagai sebuah proses penciptaan karya lewat teks yang melalui proses keterjalinan antara kondisi kemanusiaan di dalam masyarakat dengan pengalaman sang pengarang di dalam interaksi sosial kemasyarakatan, di samping sebuah intertekstualitas dengan karya sastra yang lain yang ke semuanya bertransformasi dalam sebuah karya yang di dalamnya bukan hanya sebuah pencapaian estetis tetapi menjadi suara bagi khalayak umum akan kebenaran dari sebuah realitas yang tidak manusiawi, juga praktik hidup baik personal atau kolektif yang menghancurkan ketidakmanusiaan daloam direi dan tubuh sosial dari realitas yang terpampang.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kelesusan sastra sebagai media penutur kebenaran baik itu sebagai faktor internal ataupun faktor eksternal. Sebagai faktor internal dan yang perlu dikritisi lebih dalam karena sering menjadi sebuah apologi dari kebanyakan civitas sastra di fakultas ini sehingga berpasrah dalam keadaan tersebut dan payah untuk bangun kembali:

Pertama, kurikulum sastra yang berpeluh debu, karena materi sastra yang diajarkan terbatas pada karya-karya sastra yang terbit beberapa periode saja beserta pengarangnya dan tidak dipelajari karya-karya sastra dan pengarang yang diterbitkan saat ini. Situasi ini berakibat tidak memadainya penguasaan materi sastra dari tenaga pendidik dan mahasiswa.

Kedua, Metode pengajaran (dengan proses belajar yang terfokus satu arah) yang berorientasi pada pengkajian danb bukan pada penciptaan karya sastra itu sendiri, terlebih tenaga pendidik yang tidak berpraktik dalam proses penciptaan karya sastra.

Ketiga, Kesadaran mahasiswa yang kurang dalam menghargai ruang pembelajaran di Fakultas sastra ini baik intensitas dan inisiatif mengeksplor bahan dan mencipta karya sastra, karena praktek-praktek hedonisme (Perilaku dari sebuah paham yang dianut oleh orang-orang yang mencari kesenangan semata-mata) dari kebanyakan mahasiswa saat ini.

Keempat, Tidak adanya pengajaran materi sastra lokal sebagai bahan pembanding karya sastra di luar daerah dan wilayah baik itu karya sastra asing atau karya sastra dalam skala nasional, sehingga selalu berpatron pada karya-karya sastra yang menjadi mainstream.

Kelima, Fasilitas yang bisa memfasilitasi ruang eksperimen pelacuran yang mengadaikan esensi sastra hingga bergeser pada nilai hakikinya dengan terikut dalam arus sistem yang biadap dan menjadi hampa pada tuan asing lewat penyediaan tenaga kerja untuk keuntungan yang tersentralisir pada pemilik modal.

Tapi kita harus bijak untuk berkaca pada realitas sebagai cerminan kan letak dan wujud yang saat ini kita tampaki. Dan selayaknya sebuah kelesuan dibuat oleh segelintir orang yang sesat maka tak salah untuk kita sebagai manusia yang hadir dan mempunyai nilai karena dilahirkan ( yang sama dengan seluruh tenaga pendidik yang lahir dengan bentuk manusia yang sama seperti mahasiswa dan mahasiswi yang mencicipi pendidikan di fakultas sastra ini, cuma bedanya sang pendidik lebih banyak bicara dan mahasiswa kenyakan diam) meruntuhkan kondisi Fakultas sastra ini dengan mengambil peran dalam mengobatati luka sastra yang dialami fakultas kita baik mengambil proses dialog yang terbuka dan kritis dengan para pendidik mengenai kondisi dan bergaining sastra saat ini dan inisiatif untuk membangun iklim penciptaan sastra lewat diskusi maupun praktek sastra.

Pada akhirnya mungkinkah masih tercipta kata-kata kebenaran yang keluar dari setiap lulusan Fakultas sastra ini sebagai obat mujarap dari racun di dalam realitas saat ini, sebab sebuah kata dalam puisi, prosa, drama ataupun teater merupakan kebenaran pada zaman yang teks tersebut hidupi, dan akan terus berdialektika, dan itu membuktikan nilkai keabadian seseorang yang pernah hadir dan berpijak di dalam dunia ini. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah roman tetraloginya, ”Engkau boleh pandai setinggi langit, tapi selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah” (Rumah Kaca, 2001:352).

Diiringi bisik angin pantai kalasey, wake up, my poeple!


(Telah dimuat dalam Jurnal Sastra & Budaya "Tounaas")

Catatan Alfrits J. Oroh dari pentas “ The Experimental Teater Ungu ”: FBS UNIMA TONDANO TAK MATI KARYA!

Dalam kondisi ramainya para mahasiswa menyambut perkuliahan yang baru di tahun akademik 2005-2006 ditandai dengan aktifitas mahasiswa yang sibuk dengan mengurus segalah atministrasinya baik itu membayar SPP, mengontrak mata kuliah maupun hal-hal lain yang menjadi syarat mutlak tercatat sebagai mahasiswa di semester ganjil di tahun 2005 ini baik yang masih baru ( selesai mengikuti PROBINAS dan LKMM ) maupun mahasiswa lama di kampus FBS UNIMA. Disela-sela keramaian inilah dilakukan sebuah aksi berupa pementasan yang menjadi ciri khas tersendiri menarik simpati, dilakukan oleh Teater Ungu dalam rangkah mengaplikasikan dan mengimplementasikan wujud berkesenian yang layak disebut bermanfaat dan berguna lewat sebuah pementasan jalanan bertajuk, “THE EXPERIMENTAL TEATER UNGU“. Adapun maksud kegiatan ini selain dari pada publikasi ataupun sosialisasi tetapi juga sudah menjadi program awal dari pada pengurus baru Teater Ungu yang baru mengadakan pemilihan pengurus di bulan Juni lalu untuk menyambut sekaligus rekruting anggota baru mengikuti PELDAS X (Pelatihan Dasar X) Teater Ungu pada bulan November nanti. Demikian dikatakan Ivan Susilo sebagai ketua.

Kegiatan ini dilaksanakan pada hari selasa tanggal 6 September 2005 jam 11.00 pagi di kampus FBS sambil berjalan kaki dan menyanyikan yel-yel Teater Ungu dengan mengambil rute start dari jurusan Pend. Seni Rupa menuju Jurusan Pend. Bahasa Inggris yang menjadi Cek poin 1 ( Post 1) dengan mengadakan Performance berjudul PANCASILA yang disimbolkan dengan pemecahan balon oleh Alvin Damapolii, selanjutnya meneruskan perjalanan sambil terus menyanyikan yel-yel Teater Ungu dari post 1 ke 2 di jurusan Pend. Bahasa Asing dengan membaca puisi membling dalam bahasa Manado oleh penulis, selanjutnya dari post 2 ke 3 di kantor Kepegawaian Sub Kemahasiswaan dengan membawakan sebuah Happening Art dan baca puisi oleh Ivan Susilo dan Izkandar Surkarnain, selanjutnya dari post 3 ke 4 di kompleks halaman depan parkir kendaraan dilakukan Performen Art bermain goro lompat adalah salah satu bentuk kritikan terhadap sebuah kekuasaan dan kebebasan kapitalisme di sambung dengan pembacaan puisi oleh Novita Osak. Dan pada akhirnya jam 13.00 di tutup dengan sebuah pementasan naskah teater Experimental dan baca puisi bebas baik dari para anggota maupun simpatisan ataupun audiens Teater Ungu yang antara lain mengambil bagian adalah Ludfine “Angga” Setiono, Cheri Karundeng, Ria Arianti, Jelly Karundeng, Risna, Yeske, Iswan Sual, Alpen Martinus, Deddy dan Ojan yang kesemuanya berjumlah 15 orang.

Kegiatan ini direspon baik oleh berbagai kalangan intelektual mahasiswa seperti BEM dalam hal ini disampaikan oleh Billy Kawuwung sebagai ketua BEM FBS yang mengatakan, “Teater Ungu adalah salah satu bagian elemen kampus yang selalu solid dan eksis dalam menggali dan mengembangkan minat dan bakat di bidang seni teater ataupun sastra yang telah melahirkan kreator-kreator seni yang handal dan berdaya guna di kampus FBS tercinta ini”. Kegiatan ini pula turut hadir praktisi-praktisi sastra utusan dari Teater Kronis Sastra UNSRAT, Komunitas Perkerja Sastra (KONTRA) Manado, dan dari Sanggar Eben Haezer Treman sebagai lembaga-lembaga sastra dan budaya di Sulut yang sekaligus menjadi jaringan atau mitra kerja teater ungu.

Beberapa poin yang perlu penulis catat lewat kegiatan ini adalah, Pertama: Terciptanya sebuah proses peningkatan kesadaran publik / masyarakat kampus terhadap aktifitas berkesenian di UNIMA sebagai modal utama bagi generasi muda kampus untuk mengekpresikan segalah bentuk kreatifitasnya dengan bebas, berguna dan bertanggung jawab terhadap bidangnya. Kedua: Melalui pertunjukan ini kampus, dalam hal ini FBS UNIMA, adalah satu-satunya kampus yang berada di Minahasa Induk, sehingga diharapkan untuk senantiasa menjadi pusat kebudayaan di Minahasa dan Tondano sebagai kota budaya. Ketiga: Mendorong kesadaran tou-Minahasa untuk dengan sadar membangun dan mengisi kembali ruang berkesenian menuju proses peradapan.

Akhirnya, kegiatan seperti ini akan mendorong para mahasiswa sadar bahwa dunia berkesenian dalam hal ini teater adalah salah satu bagian terpenting untuk belajar berkehidupan, berani tampil beda, dan siap mengkritisi segalah bentuk ketimpangan dan pelanggaran menuju pada satu perubahan kesejahterahan bersama. Selain itu pula secara khusus bagi para pemimpin kampus harus sadar memberi perhatian lebih intens terhadap sebuah proses berkesenian yang telah memberi ruang dan warna tersendiri lewat sebuah pementasan sebagai bagian alternatif menyampaikan pesan untuk sebuah perubahan yang siknifikan. Semoga FBS UNIMA akan selalu jaya, “Viva Sastra, Dulce et Utile“



(Tulisan ini telah dimuat dalam harian Manado Pos)

Esei Sweetly “Witho B. A.” Lahope: "MUSIC SAMPLING TECHNOLOGY - Sebuah Terobosan Menembus Keterbatasan"

Saat ini Teknologi Sampling sudah digunakan dalam industri rekaman dan bahkan juga dalam Live Music Performance. Namun penggunaan sampling masih terbatas pada kelompok tertentu karena kurangnya musisi atau music producer yang menguasai teknologi ini. Jangankan menguasai, yang mengenal sampling pun masih tergolong sedikit. Padahal dengan menggunakan cara ini, dapat mempermudah dan meningkatkan produktifitas dalam menciptakan musik, dan yang terutama mengehemat biaya.

Yang dimaksud dengan Sampling Technology adalah pengambilan sample/contoh suara sebuah alat musik dan kemudian pengkonversian getaran suara dari instrumen asli itu ke dalam kode-kode digital lalu disimpan ke dalam memori, untuk kemudian dimainkan kembali dengan cara membalikkan kode-kode digital tersebut menjadi getaran suara. Sederhananya, sampling adalah rekaman suara instumen asli yang dimainkan kembali. Jadi, kita tidak perlu memainkan instrumen tersebut untuk menghasilkan suaranya, cukup dengan memutar rekamannya. Tentu saja untuk itu kita membutuhkan perangkat pengolah data digital yaitu komputer, selain alat yang memang diciptakan untuk keperluan sampling, yaitu sampler yang biasanya berupa program komputer. Pada penggunaannya, kita tinggal merekam suara sebuah instrumen misalnya suara snare drum ke dalam komputer, kemudian dengan bantuan program soft synth kita tinggal mengatur trigger untuk membunyikan suara snare tersebut. Trigger yang akan kita gunakan adalah Midi Controller. Dengan menentukan nada tertentu untuk membunyikan suara snare tersebut, misalnya kita gunakan nada E3 (Nada E pada oktaf ke-3 pada Midi Controller), maka ketika Midi Controller mengirim perintah E3 ke Soft Synth, suara snare akan dibunyikan. Dengan sampel rekaman yang banyak tersimpan dalam memory, kita bisa mengoptimalkan PC kita menjadi sebuah studio rekaman yang sangat besar dengan berbagai instrumen musik. Ini tentu saja menghemat biaya karena kita tidak perlu memiliki instrumen aslinya. Untuk mendapatkan sampel-sampel instrumen, kita bisa merekamnya sendiri atau, untuk lebih mudah dan hemat, mencarinya di Internet. Ukuran filenya juga tergolong sangat kecil.

Memang, banyak pemusik yang menentang penggunaan sampling karena dianggap menghilangkan originalitas dari musik itu sendiri. Dengan sampling, tentu saja instrumen yang digunakan tidak lagi dimainkan oleh manusia, tetapi oleh sebuah computer, sebuah mesin. Jadi, kata mereka suara yang dihasilkan oleh teknologi sampling tidak berjiwa lagi. Ditakutkan, dengan berkembangnya teknologi sampling dapat menyebabkan tergusurnya peran pemusik “asli manusia”. Sebenarnya jika dicermati, sebenarnya pengoperasian sebuah komputer yang menjadi produsen sample harus bergantung kepada manusia juga. Baik buruknya hasil komposisi sebuah sampling tergantung pada kemampuan seorang programmer. Pada akhirnya, touch dan feeling seorang manusia tetap diperlukan. Ironisnya, jika kita berpikir bahwa teknologi sampling itu inhuman, nasib kita akan tergantung pada studio rekaman yang membutuhkan biaya mahal hanya untuk membuat sebuah demo rekaman yang kualitasnya pun sebenarnya masih kalah kalau dibandingkan dengan cara sampling. Padahal, dengan cara sampling, bukan hanya demo yang bisa kita buat, tetapi sebuah komposisi album yang lengkap pun bisa kita hasilkan. Jika begitu, kita bisa membangun sebuah label indie yang tidak lagi tergantung pada industri rekaman yang kadang-kadang begitu menyebalkan, serakah, dan membatasi kebebasan bermusik kita karena hanya berorientasi pada keuntungan belaka. Atau, paling tidak kita dapat memiliki kebebasan yang lebih leluasa dalam menembus batas-batas industri musik tradisional. Jadi, jika anda punya komputer plus punya skill dan feeling yang pas, jadilah sebuah komposisi musik yang sudah dapat dinikmati, dan yang paling hebat: siap dijual.

Jadi, semuanya tergantung pada pilihan kita.



(Telah dimuat dalam Jurnal Sastra & Budaya "Tounaas")

Catatan Greenhill Glanvon Weol Dari Launching Sanggar DODOKU: "RENAISANS SENI-BUDAYA TERUS LANDA MINAHASA!"

Agenda politik yang cukup menguras enersi masih menyisa letihnya. Kita pun pasti masih belum lupa akan sepak terjang para calon pemimpin tersebut dalam “seni persuasi massa” ini, terutama menyangkut hasil hitung-hitungan suara. Ada yang tenang-tenang saja, ada yang mencak-mencak, ada yang serius, ada yang malah senyam-senyum. Semua itu anggaplah sebuah sajian performance art yang gratis buat kita tonton bersama. Toh kita tak dimintai karcis, malah mungkin, masih ditambah bonus sembako! Tetapi, untunglah bahwa pentas politik yang kadang menohok rasa benar-salah kita ini mendapatkan penyeimbang dari sebuah kegiatan yang butul-butul murni nyeni, yaitu terbentuknya sebuah kumpulan pribadi-pribadi yang sadar akan perlunya penggalian nilai-nilai budaya melalui metode yang murni kultural: terbentuknya Sanggar Seni “DODOKU” di Wuwuk, kec. Tareran, MinSel.
Sanggar yang baru saja di deklarasikan pada Sabtu, 23 Juli kemarin ini adalah manifestasi dari sebuah semangat “kembali ke lokalitas” yang berhasil dibawa dalam tataran praktik. Adalah seorang putra Wuwuk sendiri, saudara Alfrits Joseph Oroh, yang telah menjadi motivator dari sekumpulan pemuda-pemudi (pada waktu deklarasi jumlah anggota yang terhimpun mencapai tigapuluhan orang) yang kemudian diarahkan dan dibina untuk lebih mengenal seni budaya dan kemudian dibentuk menjadi sebuah Sanggar Seni. Yang perlu dicatat adalah bahwa pembentukan Sanggar Seni Dodoku bukanlah merupakan hasil bentukan instan yang cuma untuk mengejar tren, namun adalah hasil pembinaan dan penggemblengan bertahun-tahun. Melalui hal ini saudara Oroh, yang juga adalah Tuama Keter-nya Teater Ungu UNIMA ini, telah memberikan sebuah contoh kongkrit bagaimana sebuah gerakan budaya mesti ditata dari tingkatan yang sedasar-dasarnya dengan membangun basis-basis bahkan di pedalaman sekalipun, dimana kegiatan seni budaya bisa selalu terjadi. Selanjutnya, pilihan untuk merangkul para muda di desanya itu bukan hanya bermaksud menjauhkan generasi muda dari kegiatan-kegian negatif, namun secara taktis juga bermaksud memenangkan sebuah “generasi baru” yang dapat muncul sebagai ikon-ikon praktisi seni-budaya Minahasa di kemudian hari. Dan untuk memperkuat unsur lokalitas, momen deklarasi ini juga dirangkaikan dengan diluncurkannya sebuah buku kumpulan puisi berbahasa manado berjudul “Di Ujung Jalang” karya Oroh sendiri.
Rangkaian acara deklarasi Sanggar Seni Dodoku yang diadakan di balai desa Wuwuk, yang malam itu disulap menjadi gedung pertunjukan , secara mengejutkan berhasil menyedot simpati massa. Ruangan balai desa yang lumayan lapang, dipadati oleh ratusan spektator yang ternyata haus even seni semacam ini. Sebahagian besar harus rela menyaksikan acara yang berdurasi dua setengah jam dengan berdiri sebab bangku-bangku yang tersedia tak pernah mau ditinggalkan penonton yang merasa beruntung tersebut. Acara yang disuguhkan pun beragam: ada empat naskah teater yang dipentaskan, kemudian ada pantomim, tarian, parade baca puisi, dan nyanyi. Sebagai performer terundang juga Studio X Sonder, yang tampil dengan nomor dance dan sebuah lakon. Ada juga saudara Pnt. Fredy Wowor, S.S. yang membawa bendera Teater Kronis, dan saudara Chandra Rooroh yang bernaung di Studio Genesis Treman, serta penulis sendiri dari Komunitas Pekerja Sastra SULUT. Kehadiran para pendukung acara dari luar ini menggambarkan bagaimana sebuah gerakan seni-budi harus juga ditopang oleh sebuah jaringan yang betul-betul “berpikir” dan “bertindak” bersama-sama.
Kemudian, dalam acara ini saudara Oroh berhasil menulis naskah dan mendireksikan tiga pentas yang semuanya bertitik pada satu kata: komikal. Menyaksikan pentas teater Dodoku seumpama kita duduk di Epidaurus yang megah di zaman Yunani Kuno dan terbahak oleh “Wasp, Birds, Frogs”-nya Aristophanes. Naskah yang dibawakan begitu lucu, konyol dan kadang vulgar. Orang bisa menjadi lepas tertawa dengan jalan cerita semacam ini. Tetapi, toh sekali-kali memecut menjadi satire yang pedas dan malah “kelam”, yang membuat penonton tersenyum kecut atau justru “takut” tertawa. Kali ini “End Game”-nya Samuel Beckett, digabung “black humor”nya Kurt Vonnegut dalam “Slaughterhouse-Five” yang melintas dalam benak. Yang menarik kemudian adalah tergabungnya taste “teater teror” ala Kronis-Kontra dengan gaya komedi khas Oroh. Hasilnya: sebuah pentas penuh kejutan yang merangsang setiap simpul saraf emosi penonton. Depe kunci rekeng, baik dari segi even keseluruhan maupun penampilan para pementas di malam itu bisa dikatakan melampaui sukses yang diharapkan.
Ya, perjuangan so mulai, tamang! Dan Wuwuk telah menjawab, karena kita memang tak bisa tinggal duduk diam lagi. Dalam globalitas, bangsa yang tidak memiliki kesadaran identitas pasti akan luntur dan hancur. Hanya dengan kembali menengok ke kekayaan seni budayalah kita dapat mempertahankan identitas. Banyak hal yang bisa kita buat untuk kembali menggelorakan semangat ber-kesenian dan ber-kebudayaan di tanah Minahasa tercinta ini. Kita dituntut bukan cuma manpu be-VISI yang sama dan kemudian tenggelam dalam mimpi-mimpi muluk soal membangun kebudayaan Minahasa dengan kegiatan-kegiatan kultural yang seremonial belaka yang ternyata ujung-ujungnya politis. Kita harus mampu ber-MISI bersama dengan cara membangun seni-budaya dengan menemukan atau membentuk manusia yang ber-seni dan ber-budaya itu sendiri. Jarak mungkin bisa memisah kita, anda mungkin tak mengenal saya, tetapi saya yakin ada banyak pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran yang sama. Anda mungkin salah satunya?
Di akhir tulisan ini toh saya masih ingin berkata: Wuwuk suda, mana dang tu Kawangkoan, Amurang-Tumpaan, Langowan, Tomohon, Aermadidi-Tonsea, Bitung, deng tu samua-samua... ada le? ***


(Telah dimuat dalam harian Manado Pos)

Laporan Alfrits Joseph Oroh tentang Kegiatan Pentas Teater Jalanan Sanggar Dodoku: “ SENI UNTUK KEMERDEKAAN “

Sebuah iven seni banyak kali kita dengar, buat dan saksikan di dalam ruangan tertutup, tetapi bagaimana jadinya bila kegiatan tersebut dibuat di luar ruangan terbuka atau jalanan? Kemudian berlokasi di desa? Apa bisa? Jawabnya bisa! Dan wuwuk telah melaksanakannya lewat Sanggar Dodoku.

Tepatnya pada tanggal 21 agustus minggu kemarin pukul 3 sore, persis ketika matahari mulai bersinar malu-malu setelah sebelumnya terselimut hujan, dengan mengambil lokasi sepanjang jalan raya desa wuwuk, sanggar Dodoku melakukan pentas teater jalanan dan baca puisi sambil membagikan selebaran sebagai bagian penjelasan maksud kegiatan serta kritik sosial tentang keberadaan masyarakat, pemerintah bangsa dan Negara Indonesia sekarang ini. Kegiatan ini bertemakan “ Seni untuk kemerdekaan “.

Kegiatan yang melibatkan Sanggar Dodoku bekerjasama dengan pemerintah desa wuwuk sekaligus ikut terlibat dalam kegiatan ini oleh para seniman, budayawan, praktisi sastra dan sebagian komunitas-komunitas seni yang ada di Sulut seperti Fredy Sreudeman Wowor SS selaku budayawan sekaligus ketua dari FIP SASTRA, Greenhill Glanvon Weol SS selaku budayawan, kordinator Kontra (komunitas pekerja sastra) dan Pembina teater bukit hijau, Jendy Koraag dari teater kronis Unsrat dan penasehat komunitas SoeSUBE Koha, Lisa Pinaria dan Anya dari RSK (Rumah Seni Klabat), Stevie Rampengan beserta 15 orang anggota dari Komunitas SoeSUBE desa Koha, serta Greis Eman Legi beserta 5 orang anggota dari Studio X Sonder.

Adapun maksud kegiatan ini selain dari pada turut serta menyukseskan HUT RI ke-60, adalah juga bertujuan untuk lebih memperkenalkan kembali nilai-nilai berkesenian yang bukan hanya dititik beratkan pada kegiatan yang berfokus dalam satu ruangan saja ( tertutup ) tetapi juga bisa terjadi diluar ruangan atau dalam hal ini jalan raya sebagai media atau tempat untuk melakukan kreatifitas yang lebih bebas dan menarik masa lebih banyak dari pada didalam ruangan tertutup, yang merupakan salah satu program kerja Sangar Dodoku, demikian kata ketua sanggar Fandy Rompas yang didampingi sekertaris Kalvein Wuisan dengan bendahara Jois Kures.

Yang terpenting penulis catat dalam kegiatan pentas teater jalanan ini adalah pertama: Bagaimana posisi seni dapat menjadi modal utama bagi generasi muda untuk mengapresiasikan segalah bentuk kreatifitasnya untuk membangun seni dengan bebas sebagai alternative dalam upaya meningkatkan harkat derajat manusia. Kedua: Bagaimana membangun kesenian Wuwuk adalah bagian juga menghidupkan kebudayaan Minahasa yang dengan sasarannya juga menciptakan kreator-kreator seni orang minahasa yang serta sadar akan potensi-potensi daerah untuk lebih dikembangkan dan diperkenalkan kepada publik sebagai upaya membangun daerah untuk bisa bersaing dengan daerah lain. Ketiga: Lewat kegiatan seperti ini seluru masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat awam akan tahu dan sadar bahwa kesenian itu pula bisa bebas, dalam pengertian berekpresi terlepas dari pakem-pakem seni pertunjukan yang telah lama mengkerengkeng pengertian yang lebih luas terhadap seni itu sendiri, yang akhirnya dapat dirasakan, dinikmati serta menghibur masyarakat secara lebih total.

Harapan kedepan dengan hadirnya Sanggar Dodoku Wuwuk yang tidak dapat disangkal telah menjadi salah satu tonggak bangkitnya sebuah intensitas berkesenian baru di Minahasa adalah munculnya kelompok-kelompok kesenian lain yang aktif, kreatif dan inovatif dalam berkesenian secara bebas dan bisa menyebar di tanah Minahasa terlebih khusus di tanah Minsel kita tercinta. “ Ars longa vita brevis! “


(Telah dimuat di Jurnal Sastra & Budaya "Tounaas")

Esei JOHNY WEOL: BUNG KARNO PRESIDEN PROKLAMATOR - Pemimpin “ASIA AFRIKA”

BUNG KARNO PRESIDEN PROKLAMATOR




Presiden Soeharto menganugerahkan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Karno dan Hatta, 8 November 1986.

See : Sejarah

Kalau Barong Liong Sai dari Tiongkok, kerjasama dengan Lembu Nandi dari India, dengan Sphinz dari Mesir, dengan Burng Merak dari Birma, dengan Gajah Putih dari Siam, dengan Ular Hidra dari Vietnam, dengan Harimau dari Vietnam, dengan Harimau dari Filipina, dan dengan Banteng dari Indonesia, maka pasti hancur lebur itu imperalisme dan kolonialisme internasional.

Bung Karno dalam Indonesianisme dan Panasiatisme – 1928.

Revolusi-revolusi Asia Afrika lebih penting daripada Bom atom !

Bung Karno, Pidato pada Universitas Heidelberg, Jerman 22 Juni 1956.

“Tidak ada seorangpun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro-kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa”.

(Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat)

“Beri aku seribu orang, dan aku akan menggerakkan gunung Semeru ! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!”

(Orasi BK Tahun 1920-an)

Gross Sein Heissat Massen Bewegen Konnen” (German)

Bung Karnonya NKRI, tidak saja seorang Presiden Proklamator tiada dunianya di Indonesia tetapi BK memang telah mengguncang bola dunia. Dari lembah Sungai Nil hingga semenanjung Balkan, dari Aljazair hingga India, namanya dikenang sebagai salah satu Juru-Bicara, “Presiden Asia-Afrika” yang paling lantang dalam melawan “Imperalisme dan Kolonialisme Barat”.

Bung Karnopun sampai tahun 2006 tetap “Presiden-Proklamator” dan siapapun Presiden NKRI mulai dari Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY pun mesti menyatu dengan spirit BK waktu masuk pada detik-detik Upacara Peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus di halaman Istana Merdeka, semua kabinet, semua tokoh partai, masyarakat, para Jenderal, para teladan, para Veteran, para Duta Besar, para Gubernur, Walikota, Bupati dan …….230 juta rakyat Indonesia mendengar teks Proklamasi ……… hikmat, terharu, bangga, tangguh, berani, heroik………. termasuk mendengar nama Sukarno
Hatta ….., Proklamator. Jelas sekali, tanpa Presiden Proklamator BK, tidak akan ada Presiden-presiden berikutnya. BK bear-benar “Presidennya semua Presiden NKRI” seterusnya.

Presiden Proklamator kita ini, seorang orator dunia, mampu menghipnotis massa di Indonesia bahkan membuat PBB terkagum-kagum dengan pidatonya yang dramatis, elegan, eksklusif “TO BUILD THE WORLD A NEW”, beliau dengan segala hormat adalah IKON DUNIA ASIA-AFRIKA pada zamannya.

Di tengah-tengah abad kebangkitan negeri-negeri Asia dan Afrika, pada 1940-an dan 1950-an, nama Bung Karno harus senantiasa disebut Ketenarannya boleh dikata sejajar dengan kepopuleran Mahatma Gandhi dan Kehru dari India, Mad Ze Dong dari Cina, serta Ho Chi Minh dari Vietnam. Pekik “Merdeka, tetap Merdeka” nya Bung Karno, plus semangat swaraj pendukung Gandhi, serta semboyan tu do Pasukan Ho Chi Minh seolah sihir yang mengawali gelombang besar nasionalisme dan pergerakan kemerdekaan Asia-Afrika yang mengubah total wajah dunia.

Idenya “The New Emerging Forces” (NEFOS) terbukti sampai saat ini, dimana dunia pasca “Perang Dingin” kembali membuat kekuatan tandingan bagi dunia global di bawah negara adidaya-superpower AS. Titik-titik, ide, seruan, macam gaya BK yang berani berkata “Go to hell with your aid pada AS, sekarang bahkan bergema kembali gaungnya, pasca serangan Israel ke Lebanon-Palestina.

Dunia harus belajar kepada BK. BK secara eklektis-sinkretis menyerap semua sumber dunia melalui buku-buku kelas dunia dan tokoh-tokoh semarnya. Sukarno pulalah yang melahirkan istilah Pancasila, yang menjadi dasar negara Indonesia. Mendengar, membaca, melihat kata Pancasila, tentu mengingat Bung Karno, Penggali Lima Sila Pancasila.

Memang benar seperti kata Bung Karno …….. maka Kaisar Haile Selasie dari Abessinia bahu-membahu dengan Madibo Keita dan Ben Bella, dengan Sekou Toure, dengan Nkrumah, dengan Jomo Kenyata, dengan Gamal Abdell Nasser. Maka Arvenz Guzman bergandengan tangan dengan Cheddy Jagan, dengan Fidel Castro dan …… Sukarno menjadi “Comrade in Arms”nya. Ayub Khan dan Serimauo Bandaranaike, Newin, Macapagal, Ho Chi Minh, Mao Tse Tung, Porodom Sihanbuk dan Kim Il Sung”………. Dunia global saat ini wajib bersatu, seperti kata beliau BK, pemimpin AA, terbukti dengan terselenggaranya Konferensi AA di Bandung.

Sukarno adalah salah seorang penghasil hasil karya “Klasik”, bernilai abadi yang tidak saja ada nilai intrinsiknya tapi punya hubungan kreatif dari teks dengan konteks kreatif dari teks dengan konteks sosial-politik yang mengelilinginya. BK baru berumur 25 tahun menerbitkan “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” Tahun 1930 judul pembelaan “Indonesia Menggugat” menggegerkan Belanda. Kedua karya klasik inilah yang jadi peletak dasar pemikiran “Grand Politic”nya BK seterusnya. Tercatat era 1920 s.d 1930 sebagai “a decade of ideology” (not only for Indonesia but also to the world) tetapi memang betul obsesi. BK pada “persatuan” dengan menisbikan perbedaan hakiki dan ideologi, adalah salah satu perbedaannya dengan ko-proklamator Bung Hatta yang lebih suka melihat berbagai ideologi sebagai sumber dan sekaligus pasangan dalam wacana. Dan jangan lupa, BK bukan hanya seorang Presiden-Proklamator, dimana mudanya beliau seorang penulis yang haus buku. BK juga berperan mencerdaskan rakyatnya via buku-bukunya antara lain “To Build the World a New” Teks Pidato di PBB. 30 September 1960.

Sarinah kepada Bangsaku, di bawah Bendera Revolusi Indonesia menggugat Pancasila sebagai Dasar Negara, Bung Karno dan Wacana Islam, Cindy Adams : BK, Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno Bapakku Kawanku, Guruku, Fatmawati Catatan Kecil Bersama Sukarno Ramadhan KH, Kuantar ke Gerbang, Jalan ke Pengasingan, Rahmawati Sukarno-Sukarno sebuah Biografi Politik, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Sukarno, Manai Sophiaan, Herber Faith, Agus Sudibyo, H. Mangil Martawidjojo (Buku termasuk tentang diri BK oleh Pengarang lain) terakhir sekali secara proaktif bangsa yang masih membutuhkan Nation and Character Building ini melalui Yayasan BK, meluncurkan buku : Bung Karno Difitnah (6 Juni 06).

BK jugalah penggagas Gerakan Non Blok yang saat ini menuju gagasn kekuatan power penyeimbang AS, sang superpower dunia, kekuatan adidaya. BK jelas sejak pidato di PBB mengelompokkan bangsa-bangsa baru sebagai NEFOS, New Emerging Forces dan Oldefos, Old Emerging Forces. BK membuat GANEFO-Games of The New Emerging Forces (Pesta Olahraga Revolusioner) dan cukup sukses ! Gagasan brilian “Grand innovation” (yang sangat relevan pasca pemboman Israel di Palestina + Lebanon). BK mendirikan CONEFO – The Conference of the New Emerging Forces – semacam PBB tandingan (dalam konteks “PBB sudah dikuasai sekutu – AS).

BK menguasai bahasa-bahasa penting dunia – Inggris, Prancis, Belanda sampai Pali bahasa suci India Kuno para biksu Buddha. BK juga dikagumi para tokoh dunia termasuk Kruschov, Brezneu dan Barsilov. Tidak heran, Soebadio Sastro Satomo menulis “Sukarno adalah Indonesia, Indenesia adalah Sukarno” (100 Tahun Bung Karno, hal. 87). Ben Anderson menimpali : Kebutuhan Indonesia, Nasionalisme dan Menumpas Keserakahan (Idem, hal. 211). Pengakuan intelektual dan kepintaran serta profesionalisme BK pada jamannya juga terlihat dari Gelar Doctor Honoris Causa BK. 26 gelar DR, HC, 19 dari University Luar Negeri (mulai dari AS, Canada, Jerman, Yugoslavia, Turki, Warsawa, Rio De Janeiro, Bulgaria, Budapest, Kairo, Bolivia, Khmere, Pilipina, Korea, dll) dan 7 dari dalam negeri (UGM, ITB, UI, Unhas, IAIN Jakarta, Unpad, Universitas Muhammadiyah Jakarta).

Walaupun demikian sejarah mencatat Bung Karno mewanti-wanti kalau meninggal jangan dibuatkan batu nisan, kijing, juga jangan dituliskan segala macam gelar hanya tulisannya “DI SINI BERISTIRAHAT BUNG KARNO, PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT INDONESIA”.

Walaupun sudah tiada, BK menurut Peter Dale Scott : “Sukarno dan Pancasila masih tetap memimpin Indonesia masa kini” dan jadi kenyataan. Bahkan Partono Karnen menulis “Republik Indonesia wajib rehabilitasi BK dan ajaran-ajarannya” (100 Tahun BK, hlm. 105). Banyak pelajaran dan sejarah catatan mengenai BK, rasanya bisa 1000 halaman dan penulis rasanya tidak sampai hati menulis kelemahan, kesalahan, BK masih manusia juga rasa kagum dan hormat kepada BK melebihi “negatif life of him”. Dengan tersenyum BK “memandang” anak kandungnya dilantik menjadi Presiden NKRI. Dengan tersenyum beliau memandang “the end of history” mantan jenderalnya yang kemudian menjadi Presiden NKRI pula.

Dengan tersenyum BK menulis sebuah surat kepada istrinya Yurike sebagai berikut : “Dear darling Yury, today I cannot come. I’m so busy, that I cannot find time to see you. But I do see you in my heart. Take good care of yourself” (Seperti berkata take good care of Indonesia). Dengan tersenyum President Proklamator BK, menerima karangan bunga Fatmawati saat BK meninggal 21 Juni 1970 yang bertuliskan “Tjintamu yang selalu menjiwai rakyat. Tjinta Fat”. Dengan tersenyum BK, menyaksikan semua Presiden RI, pada detik-detik Proklamasi setiap 17 Agustus di Istana Presiden Mengheningkan Cipta, serta membaca naskah Proklamasi, Pancasila dan Lagu Indonesia Raya. Tepat pukul 3.50 Minggu 21 Juni 1970, Bung Karno dalam keadaan koma, pukul 07.00 ajal menjemputnya.

BK, Presiden Proklamator, Proklamasi, Pancasila tetap hidup seterusnya. Almarhum Pramoedya Ananta Toer pernah menulis : “BK adalah politikus dan negarawan satu-satunya dalam sejarah politik modern dunia, yang menyatukan negeri dan nasionnya….”. Kibarkan Bendera Nasional kita, Merah-Putih pada HUT Kemerdekaan ke-61 ini setinggi-tingginya, dan mari hormati BK, Presiden-Proklamator-Pahlawan NKRI sedalam-dalamnya ! (diiringi terima kasih sedalam-dalamnya kepada Bapak Presiden SBY yang telah berkenan memberi Bendera Sutera Merah Putih pada waktu penulis menghadiri undangan Presiden 17 Agustus 2005 di Istana Negara, termasuk juga undangan yang sama dari Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Megawati, di Istana Negara Jakarta.

Sekali Merdeka, Tetap Merdeka ! Bung Karno,

Presiden Proklamator Pahlawan Indonesia !



10 Agustus 2006,

Tulisan Khusus untuk

Torang pe Koran MP,

Menyambut 17 Agustus 2006

HUT Kemerdekaan RI ke-61


*Penulis adalah Professor Theology,

Kolumnis tetap harian Manado Pos



(Telah dimuat di harian Manado Pos)





Catatan Chandra D. Rooroh Tentang Malam Kreativitas Seni Studio Eben Haizer Treman: “MAAF, TONSEA TIDAK TIDUR! “

Terpaan angin dingin gunung klabat tak membeku gejolak pemuda-pemudi Treman, desa yang berpenduduk sekitar 3000 jiwa ini, untuk mengadakan iven seni. Di langsungkan dengan nama “ Malam Kreatifitas Seni Pemuda Treman 2005“. Tak lepas dari gebyar hari kemerdekaan, acara seni ini sangat diresponi oleh masyarakat Treman dan sekitarnya. Tak kurang dari 500 pasang mata turun memadati acara yang menggunakan panggung terbuka pingiran jalan Minawerot kecamatan Kauditan. Turut hadir dalam acarah tersebut adalah Sekertaris desa Treman bpk, J. Katuuk dari unsur pemerintah, Pnt, I. Makalew Pongoh, bpk Lengkey Tasiam mewakili unsur pemuka agama, dan dihadiri wakil ketua 1 pemuda sinode GMIM Pnt, Peggy A. Mekel SE.MA. yang juga adalah penanggung jawab acara ini.

Acara yang dilaksanakan pada 17 agustus lalu ini dimulai pukul tepat pukul 18.00 wita ini berlangsung kurang lebih tiga jam. Acara ini didahulukan dengan ibadah pendek dan diteruskan oleh pergelaran kolsborasi seni dari Studio Eben Haizer dengan jumlah personil 15 orang diantaranya ada juga peteater yang memotori jalannya pentas seperti Erick Waturondong, Arke Pinontoan, Vino Mekel, Ryon Pontoh, Robert Mandagi dan Norman Londok, serta pedenser sekaligus peteater Mayshel Kusen, Ngangi, Prilly Mekel, Pretty Lewu, Sayongbati, Frandy Mawuntu, yang tampil denan naskah berjudul “Rumahku Tuhan, Rumahku Hantu “ yang ditulis serta disutradarai oleh penulis sendiri. Pemuisi-pemuisi yang tampil sebagai pendukung pada teater tersebut misalnya, Jemmy Katuuk STh, Amelia Rotty dan Raymon Tangkudung. Pentas kolaborasi tari-puisi-teater ini berlangsung hikmat, mistis dan kental aroma adat Minahasa digabungkan dengan diangkatnya isu-isu kontemporer Minahasa. Ini mengandung arti biarpun satu era berganti, oleh modernisasi sekalipun, namun seni budaya sudah seharusnya tetap ada dan terpelihara dengan pewujudan yang kontemporer pula tentunya. Kemudian, lewat acara ini para kreator-kreator seni muda dapat mengapresiasikan talenta-talenta mereka dalam suatu wadah (sanggar) yang telah ada di desa ini sehingga dapat lebih terarah dan profesional.

Pagelaran acara ini adalah sebuah jawaban terbuka terhadap “provokasi” menantang daerah-daerah pedalaman untuk bangkit ber-seni yang telah digelindingkan oleh pegiat-pegiat sastra dan budaya sulut dari Komunitas Pekerja Sastra (KONTRA) Sulut, Teater Kronis Manado, Sanggar Dodoku Wuwuk, Studio X Sonder, Komunitas Soesube Koha, Teater Ungu Tondano, dan kamerad-kamerad budaya lainnya yang sedang giat-giatnya menghembuskan angin “Renaisans Sastra-Budaya Minahasa”, kebangkitan kesadaran identitas bangsa Minahasa, yang mengajak kita untuk “ mawale “ atau kembali ke “rumah”, kembali membangun lokalitas. Lewat kegiatan ini nyata bahwa seni di Tonsea tidak tidur apalagi mati dan akan selalu terjaga, selama intensitas kegiatan-kegiatan seni-budaya dan pembangunan kantong-kantong seniman seperti sanggar, teater, kelompok seni, dan sebagainya masih tetep dipertahankan.

Akhir kata, giliran saya ingin berucap: “Kalu Manado sudah, Sonder sudah, Tareran sudah dan Koha sudah, sekarang Treman juga sudah, no skarang sapa le?”.


(Tulisan ini telah dimuat di harian Manado Pos)

Esei Jino J. Holung: "EKSISTENSI LAGU MANADO DI MATA KAWULA MUDA"

Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan, sadar maupun tidak sadar manusia tidak dapat lepas dari musik karena musik adalah suatu bentuk ekspresi jiwa. Suatu bentuk ekspresi jiwa yang dituangkan lewat lirik dalam bait-bait yang menjadi suatu alunan yang indah, yang dapat menyegarkan jiwa dan pikiran seseorang juga dapat melupakan setiap permasalahan. Nietsche seorang filsuf yang sangat berpengaruh dari Jerman pernah berkata,”Tanpa musik hidup akan menjadi sebuah kesalahan !”.
Bicara tentang musik ataupun lagu dalam hal ini lagu-lagu Manado yang tak lepas dari penjiwaan dan interpretasi tentang lagu itu sendiri. Lagu Manado menjadi fenomena di daerah sendiri karena kurang diminati khususnya bagi kaum muda di Manado.
Hal ini salah satunya disebabkan karena kurangnya ide yang disampaikan untuk kaum muda yang pada umumnya lebih menyukai lirik-lirik yang bebas, liar, dan full of imagination.
Kaum muda di Manado pada umumnya mengikuti trend serta gaya hidup yang modern sehingga perkembangan musik termasuk juga jenis lagu yang dipilih kaum muda lebih cendrung pada yang lagi “Ngetop” seperti Peter Pan ataupun penyanyi-penyanyi luar negeri yang membawakan lagu-lagu bertemakan cinta, kebebasan, dan gambaran masa muda yang liar.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya,”Mengapa kaum muda lebih cendrung mendengar dan mengkonsumsi lagu-lagu yang full of imagination, liar, tanpa aturan, dan bertemakan kekerasan dibandingkan mendengar lagu-lagu Manado yang merupakan hasil kreasi dari daerah sendiri ?”.
Menurut penulis kenyataan ini disebabkan karena banyak kaum muda baik dalam kalangan siswa sekolah ataupun kalangan mahasiswa yang malu dikatakan “tidak gaul” lantaran mengkonsumsi lagu-lagu Manado.
Hal ini langsung tidak langsung membuktikan bahwa kita sedang berada di bawah kendali sebuah sistem yang tidak manusiawi. Sistem ini menuntut kita untuk mengikuti kemauan mereka untuk membeli hasil produksinya setelah terlebih dahulu mereka suntikkan serum kebenaran semu bahwa karya kreasi kita sama sekali tidak bernilai. Kita tak layak jadi produsen. Kita lebih pantas jadi konsumen.
Kenyataan di atas harus segera kita cermati secara bersama-sama. Kita sebagai pelaku seni di Manado-Sulawesi Utara sudah saatnya kita memiliki kesadaran untuk menciptakan karya sendiri, menjadikan karya tersebut sebagai milik dari masyarakat kita dan kenapa tidak bila karya itu pun nanti bisa dimiliki oleh seluruh dunia.
Tapi sekali lagi aku tegaskan kepada kalian,”Semua ini cuma akan jadi impian semata bila kita tidak belajar dari sekarang untuk mulai mencintai karya kreasi kita sendiri !”.


*Penulis adalah Pelaku Seni dan sekarang kuliah di Fakultas Sastra Unsrat

Esei Fredy Sr. Wowor: "DIMANA LETAK SORGA ITU"

Spanduk bertulis,” Pra Kongres II Kongres Nasional Pembangunan Manusia

Indonesia 2006 Manado, 16-17 Mei 2006 “ terbentang di atas gedung hotel

Ritzy. Warnanya putih seperti buih ombak yang mendampar dari seberang

boulevard.

Aku bergegas melewati deretan orang yang sedang duduk di samping pintu

ke lobi. Para petugas keamanan tampak memasang muka yang bisa membuat

anak kecil mengkeret ketakutan. Maklum banyak pejabat yang mesti

dilindungi.

“Dilindungi ? Ah, sinisnya itu kata !”, ujar Greenhill Weol padaku.

Lobi hotel ini kelihatan lebih ramai dari biasanya. Ada pegawai

pemerenta, tokoh agama dan masyarakat, aktivis LSM, akademisi serta para

jurnalis dari berbagai media massa.

Para pemain kolintang pun dapa lia lebe smangat membawakan lagu-lagu

pop Manado.

Dalam lift yang sedang bertolak ke Grandball Room di lantai VI, aku

dicekam selintas pertanyaan,”Pembangunan manusia indonesia ? Manusia

macam apa manusia Indonesia itu ? “

Mochtar Lubis dalam “Manusia Indonesia : Sebuah Pertanggungjawaban”

menulis,” Manusia ideal Indonesia, yang sering dikemukakan kini adalah

manusia pancasila, yaitu manusia Indonesia (menurut ahli-ahli pemikirnya)

yang menghayati dan membuat dasar dan pedoman hidupnya dasar tingkah

laku dan budi pekertinya berdasar pada lima sila pancasila : Ketuhanan,

Kemanusiaan, Keadilan Sosial, Kerakyatan, Persatuan Nasional.”

“Saya berdoa sekuat tenaga”, lanjutnya,”Semoga kita akan berhasil

membina manusia pancasila menjelang tahun 2000. Jika ini tercapai maka

Indonesia pasti akan jadi sorga, dan kita semua akan hidup penuh nikmat dan

bahagia.”

Tapi sorga seperti diidamkan Mochtar Lubis ini ternyata tak pernah

terwujud.

Pada tahun 1958, tentara-tentara bayaran dari Jakarta membom Manado

untuk menumpas PERMESTA di Minahasa. Tahun 1975, tentara-tentara bayaran

dari Jakarta menyerbu Timor Timur untuk membendung subversi komunis.

1989, tentara-tentara bayaran dari Jakarta menteror Aceh untuk

mengganyang GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

Ini semua atas nama “Bangsa Indonesia”.

“Bangsa Indonesia ?”

Pramoedya Ananta Toer mengatakan dalam wawancara tentang Sejarah,

Politik,

Kebudayaan, dan Delapan Ekor Ayam, “ bahwa “bangsa Indonesia” itu tidak

ada. Yang ada itu nasion Indonesia. Ini untuk menyelamatkan ide

Indonesia sebagai suatu kesatuan. Sekarang ini misalnya bangsa Aceh dianggap

tidak ada. Yang dianggap ada adalah “sukubangsa” Aceh. Ini merupakan

awal dari kekeliruan itu. Jawa itu bangsa. Bugis itu bangsa.

Masing-masing punya sistem nilai sendiri. Tapi perkembangan berikut menjadikan

pengertian atas soal ini kacau balau. Bangsa Indonesia itu tidak ada. Yang

ada nasion Indonesia. Jadi mari kita kembalikan hal itu, dengan

mengakui kembali adanya bangsa-bangsa Nusantara. Mereka mempunyai sistem

nilainya sendiri-sendiri, bahasa sendiri-sendiri, bahkan tulisan-tulisan

sendiri.”

“Apa artinya nasion itu ?”

“Persekutuan bangsa-bangsa. Bukan bangsa. Menjadikan bangsa sebagai

sukubangsa itu merupakan suatu penindasan.”

Bel tanda lift berhenti menghentakku dari cekaman. Aku keluar.

Hembusan angin dari laut perlahan mendinginkan kepalaku.

Banyak orang disini. Ada yang diam merokok. Ada yang bercakap-cakap

satu sama lain. Ada pula yang kesana-kemari persis strika.

Konter-konter yang menjual sovenir seperti jam, cincin dan bolpoin

bertulis “Pra kongres II kongres nasional manusia Indonesia” serta

konter-konter yang menjual baju safari dan buku-buku peraturan pemerintah

juga tidak ketinggalan.

Seorang lelaki separuh baya berbaju dinas pemerintah menanyakan harga

sebuah safari berwarna kuning.

“Ini harganya seratus ribu!”, jawab lelaki penjaga konter itu.

“Sama deng pasar jo !”, kataku pada Alfrits Oroh yang lagi sibuk

mengambil gambar dengan handycam.

Aku meraih sebuah buku berjudul ”Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom

dan Pemberdayaan Masyarakat” dari meja di depanku. Aku jadi ingat kalau

tanggal 22 februari 1958 Manado dibom lantaran orang Minahasa mau

membangun daerah serta memberdayakan masyarakatnya.

Menteri pendidikan Bambang Sudibyo sedang memberikan ceramah, ketika

aku masuk ke grandball room. Ia mengatakan,” Pendidikan di Sulawesi

Utara lebih baik daripada di Jawa Barat.”

Pernyataannya didasarkan pada data statistik yang ditampilkan melalui

OHP.

“Ini adalah buah dari desentralisasi”, lanjutnya.

Para peserta serempak bertepuk tangan.

Aku mengamati data statistik itu melalui handycam. Urutan pertama D.I.

Yogyakarta, kedua, Jawa Timur, Ketiga, Sumatra Utara, Empat, Bali,

Lima, DKI Jakarta, Enam, Jawa Tengah, Tujuh, Sulawesi Utara, Delapan,

Sumatra Barat, Sembilan, Jambi, Sepuluh, Jawa Barat.

Ismail, seorang peserta dari salah satu LSM mengatakan padaku usai

kegiatan ini di sudut kantin Manus Fakultas Sastra Universitas Sam

Ratulangi, “Kalau sekedar mengukur kemajuan pendidikan di Sulawesi Utara

berdasarkan statistik, jelas terlalu kuantitatif sifatnya. Misalnya menilai

tingkat melek huruf di Sulawesi Utara sebagai hasil dari proses

desentralisasi. Ini tidak berdasar. Sudah sejak zaman Belanda Sulawesi Utara

maju tingkat pendidikannya. Jadi bisa dikatakan bahwa kesadaran akan

pendidikan telah ada dalam masyarakat sejak dulu jauh sebelum program

desentralisasi menjadi agenda para “reformis”.”

Aku mengangguk mengingat Barbara Sillars Harvey dalam bukunya

“PERMESTA : Pemberontakan Setengah Hati” menulis, “Pada tahun 1930 keresidenan

Manado mempunyai perbandingan tertinggi antara pelajar dan penduduk dan

angka melek huruf yang paling tinggi di Hindi Belanda.”

Bila dibuat perbandingan antara 1930 dan 2006, Sulawesi Utara justru

mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Dari peringkat pertama

turun ke peringkat ke tujuh. Ini terjadi sepanjang 75 tahun terakhir.

Ironisnya kemunduran ini terjadi di era “Kemerdekaan” di bawah cengkraman

kuku garuda pancasila Negara Kesatuan Repoblik Indonesia.

Hari itu di pojok bus yang melaju ke Tomohon, aku dengar senandung

sendu Agnes Monica menyentuh keluku.

“Dimana letak sorga itu”

Aku menelan pilu dalam hati.



Sonder – Minahasa, 20 Mei 2OO6