Kamis, 20 Maret 2008

Catatan Greenhill Glanvon Weol Dari Launching Sanggar DODOKU: "RENAISANS SENI-BUDAYA TERUS LANDA MINAHASA!"

Agenda politik yang cukup menguras enersi masih menyisa letihnya. Kita pun pasti masih belum lupa akan sepak terjang para calon pemimpin tersebut dalam “seni persuasi massa” ini, terutama menyangkut hasil hitung-hitungan suara. Ada yang tenang-tenang saja, ada yang mencak-mencak, ada yang serius, ada yang malah senyam-senyum. Semua itu anggaplah sebuah sajian performance art yang gratis buat kita tonton bersama. Toh kita tak dimintai karcis, malah mungkin, masih ditambah bonus sembako! Tetapi, untunglah bahwa pentas politik yang kadang menohok rasa benar-salah kita ini mendapatkan penyeimbang dari sebuah kegiatan yang butul-butul murni nyeni, yaitu terbentuknya sebuah kumpulan pribadi-pribadi yang sadar akan perlunya penggalian nilai-nilai budaya melalui metode yang murni kultural: terbentuknya Sanggar Seni “DODOKU” di Wuwuk, kec. Tareran, MinSel.
Sanggar yang baru saja di deklarasikan pada Sabtu, 23 Juli kemarin ini adalah manifestasi dari sebuah semangat “kembali ke lokalitas” yang berhasil dibawa dalam tataran praktik. Adalah seorang putra Wuwuk sendiri, saudara Alfrits Joseph Oroh, yang telah menjadi motivator dari sekumpulan pemuda-pemudi (pada waktu deklarasi jumlah anggota yang terhimpun mencapai tigapuluhan orang) yang kemudian diarahkan dan dibina untuk lebih mengenal seni budaya dan kemudian dibentuk menjadi sebuah Sanggar Seni. Yang perlu dicatat adalah bahwa pembentukan Sanggar Seni Dodoku bukanlah merupakan hasil bentukan instan yang cuma untuk mengejar tren, namun adalah hasil pembinaan dan penggemblengan bertahun-tahun. Melalui hal ini saudara Oroh, yang juga adalah Tuama Keter-nya Teater Ungu UNIMA ini, telah memberikan sebuah contoh kongkrit bagaimana sebuah gerakan budaya mesti ditata dari tingkatan yang sedasar-dasarnya dengan membangun basis-basis bahkan di pedalaman sekalipun, dimana kegiatan seni budaya bisa selalu terjadi. Selanjutnya, pilihan untuk merangkul para muda di desanya itu bukan hanya bermaksud menjauhkan generasi muda dari kegiatan-kegian negatif, namun secara taktis juga bermaksud memenangkan sebuah “generasi baru” yang dapat muncul sebagai ikon-ikon praktisi seni-budaya Minahasa di kemudian hari. Dan untuk memperkuat unsur lokalitas, momen deklarasi ini juga dirangkaikan dengan diluncurkannya sebuah buku kumpulan puisi berbahasa manado berjudul “Di Ujung Jalang” karya Oroh sendiri.
Rangkaian acara deklarasi Sanggar Seni Dodoku yang diadakan di balai desa Wuwuk, yang malam itu disulap menjadi gedung pertunjukan , secara mengejutkan berhasil menyedot simpati massa. Ruangan balai desa yang lumayan lapang, dipadati oleh ratusan spektator yang ternyata haus even seni semacam ini. Sebahagian besar harus rela menyaksikan acara yang berdurasi dua setengah jam dengan berdiri sebab bangku-bangku yang tersedia tak pernah mau ditinggalkan penonton yang merasa beruntung tersebut. Acara yang disuguhkan pun beragam: ada empat naskah teater yang dipentaskan, kemudian ada pantomim, tarian, parade baca puisi, dan nyanyi. Sebagai performer terundang juga Studio X Sonder, yang tampil dengan nomor dance dan sebuah lakon. Ada juga saudara Pnt. Fredy Wowor, S.S. yang membawa bendera Teater Kronis, dan saudara Chandra Rooroh yang bernaung di Studio Genesis Treman, serta penulis sendiri dari Komunitas Pekerja Sastra SULUT. Kehadiran para pendukung acara dari luar ini menggambarkan bagaimana sebuah gerakan seni-budi harus juga ditopang oleh sebuah jaringan yang betul-betul “berpikir” dan “bertindak” bersama-sama.
Kemudian, dalam acara ini saudara Oroh berhasil menulis naskah dan mendireksikan tiga pentas yang semuanya bertitik pada satu kata: komikal. Menyaksikan pentas teater Dodoku seumpama kita duduk di Epidaurus yang megah di zaman Yunani Kuno dan terbahak oleh “Wasp, Birds, Frogs”-nya Aristophanes. Naskah yang dibawakan begitu lucu, konyol dan kadang vulgar. Orang bisa menjadi lepas tertawa dengan jalan cerita semacam ini. Tetapi, toh sekali-kali memecut menjadi satire yang pedas dan malah “kelam”, yang membuat penonton tersenyum kecut atau justru “takut” tertawa. Kali ini “End Game”-nya Samuel Beckett, digabung “black humor”nya Kurt Vonnegut dalam “Slaughterhouse-Five” yang melintas dalam benak. Yang menarik kemudian adalah tergabungnya taste “teater teror” ala Kronis-Kontra dengan gaya komedi khas Oroh. Hasilnya: sebuah pentas penuh kejutan yang merangsang setiap simpul saraf emosi penonton. Depe kunci rekeng, baik dari segi even keseluruhan maupun penampilan para pementas di malam itu bisa dikatakan melampaui sukses yang diharapkan.
Ya, perjuangan so mulai, tamang! Dan Wuwuk telah menjawab, karena kita memang tak bisa tinggal duduk diam lagi. Dalam globalitas, bangsa yang tidak memiliki kesadaran identitas pasti akan luntur dan hancur. Hanya dengan kembali menengok ke kekayaan seni budayalah kita dapat mempertahankan identitas. Banyak hal yang bisa kita buat untuk kembali menggelorakan semangat ber-kesenian dan ber-kebudayaan di tanah Minahasa tercinta ini. Kita dituntut bukan cuma manpu be-VISI yang sama dan kemudian tenggelam dalam mimpi-mimpi muluk soal membangun kebudayaan Minahasa dengan kegiatan-kegiatan kultural yang seremonial belaka yang ternyata ujung-ujungnya politis. Kita harus mampu ber-MISI bersama dengan cara membangun seni-budaya dengan menemukan atau membentuk manusia yang ber-seni dan ber-budaya itu sendiri. Jarak mungkin bisa memisah kita, anda mungkin tak mengenal saya, tetapi saya yakin ada banyak pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran yang sama. Anda mungkin salah satunya?
Di akhir tulisan ini toh saya masih ingin berkata: Wuwuk suda, mana dang tu Kawangkoan, Amurang-Tumpaan, Langowan, Tomohon, Aermadidi-Tonsea, Bitung, deng tu samua-samua... ada le? ***


(Telah dimuat dalam harian Manado Pos)