Dong bilang maitua Tondano gaga-gaga
Bodi montok, feis fasung
Beking paitua pe mata tabuka lebar
So dari tadi paitua bagara
Maitua sok jual mahal
Pura-pura acuh
Ato pura-pura nda dengar?
Padahal depe hati
So bagetar sama deng tambor
Nda apa-apa katu
Paitua denga maitua malo-malo kucing
Asal satu kita bilang
Jang sampa paitua Cuma mo beking
Depe maitua jadi “TAPETO”
Apa so tu TAPETO?!?
(Tampa PEgang Toto, bogO!!!)
Rabu, 10 Desember 2008
Cerpen Kevin Mikael Eman: "Kematian Tuhan".
Langit mendung kala itu.
Dari kejauhan aku menyaksikan upacara penguburan itu. Air mata-air mata palsu menghantarkan dia ke kegelapan bumi yang paling gelap. Ya ........ orang yang membenci dia pun akhirnya “menangis”, “bersedih” atas kepergiannya. Mereka mengeluarkan sebanyak-banyaknya air mata yang mereka punya hanya agar dilihat orang-“kalau tidak menangis di saat orang meninggal berarti tidak berduka!”-itu kata mereka.
Aku heran, bahkan orang tuanya pun tidak mempedulikan dia, orang-orang banyak pun tidak ada yang menyukainya dan mau berteman dengan dia. Kalau pun ada itu semata hanya “akting” belaka karena orang tuanya seorang pejabat. Ahh......... memang dunia telah menjadi serba kepura –puraan. Nampaknya hanya aku orang yang mau berteman dengan dia.
Orang–orang bertanya-tanya kepadaku ”kenapa saudara mau berteman dengan dia”-“jauhi dia, nanti saudara menjadi “buruk” dan “hina” seperti dia”-segala macam pertanyaan mereka lemparkan kepadaku. Aku sendiri pun tidak tahu kenapa aku mau berteman dengan dia. Aku pikir di jaman sekarang ini baik dan buruk sudah tidak dapat dibedakan, Iblis telah menjadi Tuhan, Tuhan telah menjadi Iblis. Jadi menurutku tidak perlu dipersoalkan dia buruk atau tidak, yang aku yakin ia hanya manusia sama seperti aku.
Dia pernah berkata ”saudara, apakah aku seburuk itu, sehina, dan selicik Iblis? Hingga orang-orang membenci dan menjauhi aku. Kalaupun mereka dekat, aku tahu itu hanya topeng yang mereka gunakan. Hanya kau temanku saudara!”
Dia diam sejenak lalu berkata lagi “saudara, apa pandanganmu tentang Tuhan? Apa Tuhan tidak boleh dilawan, harus patuh 100% terhadapNya? Aku sudah muak denganNya, Ia memberi yang aku tidak minta, Ia tidak memberi yang aku minta!” ia tertawa, tertawa untuk siapa dan karena apa, aku tidak tahu. Mungkin ia hanya membersihkan batinnya.
Aku hanya diam memikirkan apa yang ia katakan, memikirkan memang begitu adanya Tuhan, memikirkan memang begitu adanya manusia, memikirkan segala perintah dan laranganNya, karena jika aku yang memerintah dan melarang maka Akulah Tuhan.
“Saudara!” dia membangunkanku dari pikiranku. “Bagaimana jika aku menyalahkan Tuhan atas semua ini, menyuruh dia bertanggung jawab atasku, bagaimana jika aku meninggalkanNya?” Lalu aku menjawab
“Tuhan adalah ciptaan setiap manusia yang merasa kecil dan sendirian di dunia yang kejam ini. Di saat kau merasa sudah tidak membutuhkanNya, buanglah!!!” dia diam, lalu aku berkata lagi “Tapi, terlepas dari itu, persalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi dalam hidupmu! Jangan persalahkan orang lain, apalagi Tuhan! Kau sendiri yang bertanggung jawab atas-mu. Hanya kau saudaraku!”dia masih diam sejenak, lalu berkata,
“Saudara, terimakasih atas pemikiranmu. Tapi apa aku tidak boleh kecewa padaNya?”
Memang kecewa itu manusiawi. Itu percakapan kami yang terakhir. Suatu hari aku mendengar kabar bahwa ia sakit keras, belum sempat aku menjenguknya ia sudah mati. Mati meninggalkan dunia yang tidak adil baginya dan bagi banyak orang.
.....................
Setiap kematian orang seperti dia, kematian orang “berdosa”, menandakan kematian Tuhan, kematian Tuhan untuk kedua kalinya, kematian perlahan Tuhan. Karna Tuhan telah gagal sebagai pencipta. Karna seorang lagi anakNya tidak bersama sama dengan Dia.
Upacara penguburan itu telah selesai. Aku mendekat ke kuburnya.Saat aku melihat tulisan yang ada di batu nisan, aku cukup terkejut ”Tuhan inilah aku anakMu, terimalah aku di nerakaMu!” Huhhh.......itulah manusiawi.
Langit masih mendung kala itu.
Dari kejauhan aku menyaksikan upacara penguburan itu. Air mata-air mata palsu menghantarkan dia ke kegelapan bumi yang paling gelap. Ya ........ orang yang membenci dia pun akhirnya “menangis”, “bersedih” atas kepergiannya. Mereka mengeluarkan sebanyak-banyaknya air mata yang mereka punya hanya agar dilihat orang-“kalau tidak menangis di saat orang meninggal berarti tidak berduka!”-itu kata mereka.
Aku heran, bahkan orang tuanya pun tidak mempedulikan dia, orang-orang banyak pun tidak ada yang menyukainya dan mau berteman dengan dia. Kalau pun ada itu semata hanya “akting” belaka karena orang tuanya seorang pejabat. Ahh......... memang dunia telah menjadi serba kepura –puraan. Nampaknya hanya aku orang yang mau berteman dengan dia.
Orang–orang bertanya-tanya kepadaku ”kenapa saudara mau berteman dengan dia”-“jauhi dia, nanti saudara menjadi “buruk” dan “hina” seperti dia”-segala macam pertanyaan mereka lemparkan kepadaku. Aku sendiri pun tidak tahu kenapa aku mau berteman dengan dia. Aku pikir di jaman sekarang ini baik dan buruk sudah tidak dapat dibedakan, Iblis telah menjadi Tuhan, Tuhan telah menjadi Iblis. Jadi menurutku tidak perlu dipersoalkan dia buruk atau tidak, yang aku yakin ia hanya manusia sama seperti aku.
Dia pernah berkata ”saudara, apakah aku seburuk itu, sehina, dan selicik Iblis? Hingga orang-orang membenci dan menjauhi aku. Kalaupun mereka dekat, aku tahu itu hanya topeng yang mereka gunakan. Hanya kau temanku saudara!”
Dia diam sejenak lalu berkata lagi “saudara, apa pandanganmu tentang Tuhan? Apa Tuhan tidak boleh dilawan, harus patuh 100% terhadapNya? Aku sudah muak denganNya, Ia memberi yang aku tidak minta, Ia tidak memberi yang aku minta!” ia tertawa, tertawa untuk siapa dan karena apa, aku tidak tahu. Mungkin ia hanya membersihkan batinnya.
Aku hanya diam memikirkan apa yang ia katakan, memikirkan memang begitu adanya Tuhan, memikirkan memang begitu adanya manusia, memikirkan segala perintah dan laranganNya, karena jika aku yang memerintah dan melarang maka Akulah Tuhan.
“Saudara!” dia membangunkanku dari pikiranku. “Bagaimana jika aku menyalahkan Tuhan atas semua ini, menyuruh dia bertanggung jawab atasku, bagaimana jika aku meninggalkanNya?” Lalu aku menjawab
“Tuhan adalah ciptaan setiap manusia yang merasa kecil dan sendirian di dunia yang kejam ini. Di saat kau merasa sudah tidak membutuhkanNya, buanglah!!!” dia diam, lalu aku berkata lagi “Tapi, terlepas dari itu, persalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi dalam hidupmu! Jangan persalahkan orang lain, apalagi Tuhan! Kau sendiri yang bertanggung jawab atas-mu. Hanya kau saudaraku!”dia masih diam sejenak, lalu berkata,
“Saudara, terimakasih atas pemikiranmu. Tapi apa aku tidak boleh kecewa padaNya?”
Memang kecewa itu manusiawi. Itu percakapan kami yang terakhir. Suatu hari aku mendengar kabar bahwa ia sakit keras, belum sempat aku menjenguknya ia sudah mati. Mati meninggalkan dunia yang tidak adil baginya dan bagi banyak orang.
.....................
Setiap kematian orang seperti dia, kematian orang “berdosa”, menandakan kematian Tuhan, kematian Tuhan untuk kedua kalinya, kematian perlahan Tuhan. Karna Tuhan telah gagal sebagai pencipta. Karna seorang lagi anakNya tidak bersama sama dengan Dia.
Upacara penguburan itu telah selesai. Aku mendekat ke kuburnya.Saat aku melihat tulisan yang ada di batu nisan, aku cukup terkejut ”Tuhan inilah aku anakMu, terimalah aku di nerakaMu!” Huhhh.......itulah manusiawi.
Langit masih mendung kala itu.
Cerpen Grace O'Nelwan: "Peri Kenangan yang Tinggal di Akar Pohon di Taman Keabadian".
.
(Grace O’Nelwan)
Kisah ini berawal dari sebuah taman. Taman indah yang bernama “Taman Keabadian”, tempat para penyair berkumpul dan menghabiskan waktu mereka untuk bertemu dan berdiskusi dengan sesama penyair yang lain. Tapi “Taman Keabadian” hanyalah awal kisah saja, karena bukankah segala sesuatu harus mempunyai awal. Dan seperti hal - hal lain yang juga memiliki awal dan awal adalah hal yang penting dalam suatu peristiwa, maka awal kisah ini juga penting untuk dibaca. Jadi, dianjurkan untuk membaca kisah ini dari awal.
Sebuah Taman yang Dipenuhi Pohon Buku
Ada sebuah taman kecil yang dipenuhi pohon-pohon buku, (yah benar, yang aku maksudkan adalah pohon-pohon yang berbuah buku-buku). Pohon-pohon itu hanya tumbuh di taman milik seorang penyair yang baik hati, yang selama hidupnya tak pernah kaya dan selalu sendiri. Bukan karena tidak bisa menjadi kaya, tapi karena memang tidak berniat untuk menjadi kaya. Pernah dalam hidupnya dia mendapatkan 1 kesempatan besar untuk menjadi kaya raya, lebih kaya dari raja Midas. Menurut cerita yang dapat dibaca dari salah satu buku yang tumbuh di dahan pohon dalam tamannya, dulu sekali Dewi Juno, sang Ratu Angkasa pernah datang mengunjunginya. Dewi Juno sangat terkesan dengan sebuah syair yang ditulis penyair tadi. Sebuah syair sederhana yang menceritakan tentang bagaimana damainya hidup di Negeri Awan Biru, sebuah negeri yang megah indah di angkasa yang berdiri diatas gumpalan-gumpalan awan dan di pimpin oleh seorang Ratu cantik yang arif bijaksana. Tentu saja, Dewi Juno sangat tersanjung.
Di suatu sore setelah hujan turun Dewi Juno yang cantik berkenan mengunjungi sang Penyair. Berkendara kereta kencana yang ditarik Pegasus, dibalut pakaian indah yang bergelombang warna-warni dengan kepala dihiasi sebuah mahkota emas bertaburan mutiara dan sebuah tongkat emas berukir burung elang berada ditangannya. Dewi Juno memasuki rumah tua sang penyair, didampingi peri-peri pelangi yang bertugas membukakan jalan untuknya. Tentu saja sang penyair terkaget-kaget, mendapati dirinya dikunjungi Dewi Angkasa. 1 permintaan dihadiahkan sang Dewi untuk sang penyair.
“Katakanlah keinginanmu, apa saja, dan aku akan mengabulkannya.”
Sang penyair, yang seluruh hidupnya diabdikan untuk syair-syairnya, tak mempunyai keinginan apa-apa selain mengabadikan pemikiran dan pengalamannya. Karena itu dia hanya meminta dibuatkan sebuah taman yang ditumbuhi banyak pohon-pohon. Tapi bukan pohon buah-buahan (karena dia tidak takut kelaparan) ataupun pohon yang dapat berbuah emas (seperti yang kukatakan tadi, dia tidak berniat untuk menjadi kaya). Dia hanya menginginkan pohon-pohon yang dapat berbuah buku yang lahir dari pemikirannya, lahir dari pengalamannya. Pohon-pohon yang dapat membantu dia dan memudahkan dia untuk menyimpan kenangan dalam bentuk tulisan. Walaupun terkejut dan merasa aneh, Dewi Juno mengabulkan keinginan sang Penyair yang baik hati ini. Dalam sekejap mata, sebuah taman dengan pohon-pohon yang berbuah buku, terbentang indah didepan mata sang penyair. Pohon-pohon dengan akar kuat yang menancap ketanah, dengan dahan-dahan kuat yang menampung beragam buku-buku. Walaupun daun yang menutupi pohon-pohon di taman itu sudah bereinkarnasi ratusan kali, tetap saja, tak ada sebuah bukupun yang jatuh dan lepas dari tangkainya.
Seiring dengan bertambahnya waktu, buku-buku di pohon itu makin bertambah. Yah, karena setiap kali sang Penyair mengalami sesuatu hal, sebuah buku baru akan muncul dari pohon di tamannya, bila sebuah ide melintas di otaknya, sebuah buku yang lain akan keluar dari ujung-ujung cabang yang di lindungi daun-daun berwarna kuning dan coklat. Setelah sang Penyair meninggal dalam kesendirian 179 tahun yang lalu, pohon-pohon di tamannya berhenti mengeluarkan buku. Tapi buku-buku yang ada di taman itu tetap ada disana. Tidak membusuk seperti lazimnya buah-buah yang lain. Tetap abadi bersama pikiran dan kenangan penyair yang baik hati tadi. Bertahun-tahun lewat, banyak sekali penyair dari seluruh dunia yang datang ke taman berpohon buku tersebut, untuk menemukan kearifan dan rahasia kehidupan di dunia lampau lewat pemikiran penyair tadi. Untuk mengenang sang Penyair, mereka menamakan taman itu “Taman Keabadian”
Dua Penyair Muda dan Segelas Kopi
Ada dua orang penyair muda yang sedang duduk di bawah sebuah pohon buku, di Taman Keabadian.”
Diatas meja kecil, yang dengan sengaja diletakan di bawah pohon, ada gelas besar berisi kopi panas. Dinginnya udara di taman dan panasnya kopi, membuat uap putih yang melingkar-lingkar keluar dari mulut gelas tadi.
“Ah, dari kumpulan cairan hitam, keluar asap putih. Ajaib!” gumam salah seorang dari kedua penyair tadi. Tangannya langsung mencoret-coret kertas putih dipangkuannya. Dalam hitungan detik, sebuah puisi yang terinspirasi dari kopi hitam dan asap putih yang melingkar keluar dari kopi telah selesai dia tulis. Tanpa diminta dia membacakan puisinya:
Dalam kumparan kegelapan
Menembus kabut putih yang pekat
Kureguk nikmatnya kelam
Di tengah manisnya malam
Selesai membacakan puisinya, dia menatap penyair kedua dan bertanya,”Apa pendapatmu?”
Hanya sebuah hembusan nafas keras yang diterimanya sebagai jawaban. Penyair kedua, yang kelihatannya lebih pendiam, sedang berkutat dengan sebuah usaha yang sia-sia. Kedua tangannya sibuk menangkap uap-uap putih yang mengepul. Sunyi sesaat dan penyair kedua membuka mulutnya,” Uap putih ini ibarat kenangan. Membuat gambar dan bentuk dalam sekejap, detik berikutnya akan berbaur dengan udara dan waktu, untuk kemudian hilang, lenyap, dan yang tinggal hanyalah kehampaan!”
“Apa yang kau tahu tentang kenangan?.” Penyair pertama kini meniup-niup mulut gelas berisi kopi, membuat uap putih dengan bentuk-bentuk abstrak berliak liuk dengan genitnya. “Kita berada di “Taman Keabadian” yang termasyur, semua kenangan tertulis dengan rincinya pada setiap buku yang bergelantungan di pohon-pohon ini. Bagaimana bisa kau samakan kenangan dengan kehampaan?”
Penyair kedua yang tadi sibuk menangkapi uap-uap putih, kini meluruskan badannya. Kedua tangannya dia letakan menyilang di atas kepala, dan berkata seolah-olah pada dirinya sendiri,” Benarkah semua kenangan telah terkungkung abadi dalam buku-buku sang Penyair? Tak adakah kenangan yang terlewati dari keabadian tulisan dan menguap menjadi sebuah kehampaan? Atau tak adakah kenangan yang dengan sengaja dilupakan dan dibiarkan lalu bersama angin?”
Penyair pertama memandang temannya dengan pandangan jengkel,” Tak baik bila kita terus berdebat.” Katanya lagi. “Lebih baik kita membaca bersama kisah yang diperuntukan untuk kita hari ini.”
Dengan tangan kirinya, dia menyentuh satu dahan pohon, meraih sebuah buku. Saat tangan sang penyair menyentuhnya, dengan lembut dahan kokoh itu merendahkan tubuhnya dan membiarkan buku yang diraih penyair pertama tadi mencapai meja. Angin membantu kedua penyair membuka lembaran-lembaran buku tersebut. Dan matahari yang tadinya malu-malu mengintip lewat celah daun-daun membacakan sebuah kisah yang ditulis dalam lembaran-lembaran tersebut. Kisah tentang sebuah permintaan.
Sebuah Kisah Dari Sebuah Buku di “Taman Keabadian”
Ini adalah kisah yang dibacakan matahari kepada dua penyair dari sebuah buku di “Taman Keabadian”
Di Rumah Kaca
Prolog:
Kutuliskan pada selembar daun
“Disini terbaring hati yang telah mati”
Daun ditiup angin..
Terbang tinggi… menghilang….(entah ke mana..)
****
Bagian I
Kemarin, di rumah kaca,
Dia datang, membawa kopi hangat dan selusin donat
Duduk didepanku, dan berkata
“kau adalah cermin diriku..”
Kemarin, di rumah kaca,
Berteman kopi pahit dan donat manis
Aku duduk diam mendengarnya bercerita,
Tentang pahit, tanpa manisnya cinta..
Tak akan ku bertanya “Mengapa”
Tapi ku tahu engkau terluka
Akupun pernah merasakannya
Terluka dalam yang tak berdarah,
Perihnya merobek jiwa, sakitnya tak terhingga.
Tak akan ku bertanya “Siapa”
Tapi ku tahu ‘dia’ orang tercinta
Akupun pernah mengalaminya
Ketika memberikan seluruh hatiku,
Kemudian menemukannya, membeku teraniaya.
Kemarin, di rumah kaca
Setelah kopi dan donat habis
Kubiarkan dia melanjutkan kisah,
Tentang keberanian hati yang pernah terluka
Aku tak tahu apa yang kau rasakan
Tapi aku tahu rasanya “ingin mati”
Jangankan bertemu penderitaan
Kebahagiaanpun terasa menyakitkan
Aku tak tahu apa yang kau inginkan
Tapi aku ingin memberimu cinta
Cinta yang juga dulu pernah terluka
Saat mencintai dengan buta
Aku tak tahu apa yang kau harapkan
Tapi aku harap kau menerima hati ini
Hati yang penuh tambal sulam
Dari kisah yang selalu tak indah
Bagian II
Hari ini, di rumah kaca
Dia datang tanpa kopi hangat dan donat
Duduk di depanku dan berkata
“aku membawakanmu cinta”
Hari ini, di rumah kaca
Tanpa kopi pahit dan donat manis
Dia duduk diam didepanku
Mendengar kisah hati yang telah mati.
Hatiku telah menemui ajalnya
Ketika dia terluka dan terluka lagi
Luka tak berdarah yang ternyata parah
T’lah kukuburkan hatiku
Pada sebuah daun
Dan kuluruhkan bersama angin
Tak kusesalkan matinya hati
Karena hati selalu rapuh.
Semuanya lebih mudah, tanpa hati.
Hari ini, di rumah kaca
Dia merogoh kantongnya
Daun yang diterbangkan angin,
Kini dalam genggamnya.
Kau mengira hatimu benar-benar mati
Sehingga luka cinta tak terasa sakit lagi
Tapi percayalah
Hatimu hanya membeku, bukan mati
Dan cinta dapat mencairkan kebekuannya
Hari ini, di rumah kaca
Tanganku dalam genggamnya
Dalam hening kudengar dia berkata…
“aku bisa membuktikannya”
****
Epilog
Kutuliskan pada selembar daun
“Maukah kau menungguku?”
Daun ditiup angin,
Terbang tinggi… (kini ku tahu kemana.)
Dan tiba-tiba hening… Kedua Penyair menanti matahari untuk melanjutkan kisah.
“ Ayolah matahari, ceritakan pada kami, bagaimana akhir kisah ini?” pinta kedua penyair tadi.
Tapi matahari tak lagi melanjutkan kisah, karena kisah ini memang hanya berakhir di sini saja. Mataharipun meminta diri untuk membacakan kisah yang lain bagi penyair yang lain. Kedua penyair yang tak merasa puas dengan kisah yang menurut mereka belum tuntas, ingin melanjutkan kisah itu sendiri.
“Menurutmu, apakah dia akan menunggunya?” Tanya penyair pertama kepada temannya.
“Sanggupkah orang menunggu tanpa batas waktu?” Jawab penyair kedua.
“Jadi menurutmu, dia tidak akan menunggunya?” Desak penyair pertama
“Adakah kemungkinan, dia yang meminta untuk ditunggu, malahan tak pernah datang?”
Penyair pertama menjadi kesal kepada temannya yang selalu menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan yang lain. Dia memilih untuk tidak bertanya lagi. Kesunyian kemudian hadir diatara mereka, dan makin melingkupi mereka. Mata kedua penyair itu semakin berat, dan akhirnya mereka tertidur dibelai angin senja.
Kisah Kenangan Yang Tahu Segala Sesuatu
Namaku kenangan. Aku ada di mana-mana. Aku berada di antara akar pohon-pohon rindang, aku ikut mengalir bersama air sungai, terbang bersama angin, berpesta dengan badai, berdansa dengan gelombang, berjalan bersama kebahagian dan ikut menemani kesedihan. Dan aku tahu akhir kisah cerita Di Rumah Kaca yang dibaca oleh kedua orang penyair tadi. Kisah itu adalah potongan awal dari sebuah penantian panjang sang penyair pemilik taman ini.
Aku ingat, saat penyair pemilik ‘Taman Keabadian’ masih muda, pernah dia mencintai seorang gadis malang, yang selalu saja kehilangan. Penyair yang baik hati ini menemukan sang gadis ketika sang gadis sedang sekarat. Hati gadis malang itu telah membeku, penuh luka dan bekas luka yang masih terlihat dengan sangat jelas. Bukti nyata atas kepedihan dan kehilangan yang selalu dialaminya. Dengan sepenuh jiwa dibalutnya luka-luka hati sang gadis dengan hatinya sendiri, dan dibuatkan puisi-puisi pengobat duka. Melihat kebaikan hati sang penyair, gadis inipun mengumbar sebuah janji; ”Tunggulah aku, sampai luka cinta ini sembuh, dan aku akan mencintaimu.” Tapi setelah luka hati sang gadis sembuh, saat perihnya duka hilang, sang gadispun menghilang… Bertahun lewat sampai saat Dewi Juno datang memberikan hadiah 1 permintaan pada penyair, tapi gadis yang dia sembuhkan luka hatinya tak pernah kembali.
Saat Dewi Juno mengunjungi sang penyair, aku berada didekatnya, berbaur dengan udara yang dihirupnya, masuk kedalam hatinya dan memaksa penyair ini untuk meminta Dewi Juno menghadirkan gadis punyaanya. Tapi dia tidak mau mendengarkan kata hatinya. Aku tak menyerah. Akupun berenang bersama darah dan menembus otaknya, dan memaksa sang penyair untuk meminta kekayaan dunia, tapi sang penyairpun tak mendengar otaknya. Dia hanya mengikuti keinginannya. Karena itulah Sang penyair lebih memilih dibuatkan Taman Keabadian. Taman tempat dia mengabadikan sebagian kenangan dalam kehidupannya. Yah.., bukan semua kenangan yang dia abadikan, seperti yang dipikirkan orang-orang. Penyair kedua itu benar. Ada bagian peristiwa dalam hidup sang penyair pemilik taman ini yang tak dia abadikan dalam buku-bukunya.
Kalian tentu merasa heran, dari mana aku mengetahui semua hal ini. Tidak… aku tidak bermaksud sok tahu. Ingat, aku adalah kenangan itu sendiri, yang selalu hadir dalam setiap kejadian dalam perjalanan hidup manusia. Aku hadir dalam setiap helaan nafas dan selalu meninggalkan jejak dalam setiap peristiwa. Aku adalah ingatan tentang kebahagiaan sekaligus kesedihan. Ingatan akan kebersamaan dan juga kesendirian. Manusia sering mengira bahwa aku berwajah dua; Kenangan Indah dan Kenangan Buruk. Tapi sebenarnya tidak. Aku tak memiliki dua wajah dan aku tak pandai merubah wajah. Manusialah yang merubah wajahku dan kemudian menamaiku sesuai dengan keinginannya; yang ingin diingat dikatakan Kenangan Indah, dan yang ingin dilupakan dinamakan Kenangan buruk.
Sang penyairpun pernah menamakan aku Kenangan Buruk. Dan dengan sengaja dia coba menghilangkan ingatan akan sang gadis malang dengan luka hati yang berhasil dia sembuhkan. Gadis yang menghilang dengan meninggalkan sebuah janji “tunggulah aku, … aku akan mencintaimu.” Sang Penyair berusaha keras mengusirku dari ingatannya. Menekanku kepojok-pojok gelap ruang ingatan. Tapi seperti biasanya, aku tidak mudah menyerah. Aku berupaya sedemikan kerasnya untuk tetap berada dalam ingatanya. Kulingkarkan erat tanganku dalam ingatanya. Aku menjadi gurita kenangan. Makin keras dia mengusirku, makin ketat aku menggengam ingatannya.
Sang penyair akhirnya mengaku kalah, dan membiarkan aku tetap dalam ingatanya, hanya saja dia tidak bersedia mengabadikanku dalam tulisan-tulisannya. Tapi aku selalu abadi, dan terus tinggal bersama dengan sang penyair dalam tidur abadinya.
Sekali lagi aku adalah Kenangan. Aku ada di mana-mana. Aku berada di antara akar pohon-pohon rindang, aku ikut mengalir bersama air sungai, terbang bersama angin, berpesta dengan badai, berdansa dengan gelombang, berjalan bersama kebahagian dan ikut menemani kesedihan. Aku juga tahu kisah kedua penyair yang kini sedang tidur lelap di Taman Keabadian. Dan, oh yah, bukan itu saja, aku juga tahu tentang kisahmu….
(Tomohon, Desember 07 – Januari 08)
Menghapus kenanganan adalah sebuah kesia-siaan
(Grace O’Nelwan)
Kisah ini berawal dari sebuah taman. Taman indah yang bernama “Taman Keabadian”, tempat para penyair berkumpul dan menghabiskan waktu mereka untuk bertemu dan berdiskusi dengan sesama penyair yang lain. Tapi “Taman Keabadian” hanyalah awal kisah saja, karena bukankah segala sesuatu harus mempunyai awal. Dan seperti hal - hal lain yang juga memiliki awal dan awal adalah hal yang penting dalam suatu peristiwa, maka awal kisah ini juga penting untuk dibaca. Jadi, dianjurkan untuk membaca kisah ini dari awal.
Sebuah Taman yang Dipenuhi Pohon Buku
Ada sebuah taman kecil yang dipenuhi pohon-pohon buku, (yah benar, yang aku maksudkan adalah pohon-pohon yang berbuah buku-buku). Pohon-pohon itu hanya tumbuh di taman milik seorang penyair yang baik hati, yang selama hidupnya tak pernah kaya dan selalu sendiri. Bukan karena tidak bisa menjadi kaya, tapi karena memang tidak berniat untuk menjadi kaya. Pernah dalam hidupnya dia mendapatkan 1 kesempatan besar untuk menjadi kaya raya, lebih kaya dari raja Midas. Menurut cerita yang dapat dibaca dari salah satu buku yang tumbuh di dahan pohon dalam tamannya, dulu sekali Dewi Juno, sang Ratu Angkasa pernah datang mengunjunginya. Dewi Juno sangat terkesan dengan sebuah syair yang ditulis penyair tadi. Sebuah syair sederhana yang menceritakan tentang bagaimana damainya hidup di Negeri Awan Biru, sebuah negeri yang megah indah di angkasa yang berdiri diatas gumpalan-gumpalan awan dan di pimpin oleh seorang Ratu cantik yang arif bijaksana. Tentu saja, Dewi Juno sangat tersanjung.
Di suatu sore setelah hujan turun Dewi Juno yang cantik berkenan mengunjungi sang Penyair. Berkendara kereta kencana yang ditarik Pegasus, dibalut pakaian indah yang bergelombang warna-warni dengan kepala dihiasi sebuah mahkota emas bertaburan mutiara dan sebuah tongkat emas berukir burung elang berada ditangannya. Dewi Juno memasuki rumah tua sang penyair, didampingi peri-peri pelangi yang bertugas membukakan jalan untuknya. Tentu saja sang penyair terkaget-kaget, mendapati dirinya dikunjungi Dewi Angkasa. 1 permintaan dihadiahkan sang Dewi untuk sang penyair.
“Katakanlah keinginanmu, apa saja, dan aku akan mengabulkannya.”
Sang penyair, yang seluruh hidupnya diabdikan untuk syair-syairnya, tak mempunyai keinginan apa-apa selain mengabadikan pemikiran dan pengalamannya. Karena itu dia hanya meminta dibuatkan sebuah taman yang ditumbuhi banyak pohon-pohon. Tapi bukan pohon buah-buahan (karena dia tidak takut kelaparan) ataupun pohon yang dapat berbuah emas (seperti yang kukatakan tadi, dia tidak berniat untuk menjadi kaya). Dia hanya menginginkan pohon-pohon yang dapat berbuah buku yang lahir dari pemikirannya, lahir dari pengalamannya. Pohon-pohon yang dapat membantu dia dan memudahkan dia untuk menyimpan kenangan dalam bentuk tulisan. Walaupun terkejut dan merasa aneh, Dewi Juno mengabulkan keinginan sang Penyair yang baik hati ini. Dalam sekejap mata, sebuah taman dengan pohon-pohon yang berbuah buku, terbentang indah didepan mata sang penyair. Pohon-pohon dengan akar kuat yang menancap ketanah, dengan dahan-dahan kuat yang menampung beragam buku-buku. Walaupun daun yang menutupi pohon-pohon di taman itu sudah bereinkarnasi ratusan kali, tetap saja, tak ada sebuah bukupun yang jatuh dan lepas dari tangkainya.
Seiring dengan bertambahnya waktu, buku-buku di pohon itu makin bertambah. Yah, karena setiap kali sang Penyair mengalami sesuatu hal, sebuah buku baru akan muncul dari pohon di tamannya, bila sebuah ide melintas di otaknya, sebuah buku yang lain akan keluar dari ujung-ujung cabang yang di lindungi daun-daun berwarna kuning dan coklat. Setelah sang Penyair meninggal dalam kesendirian 179 tahun yang lalu, pohon-pohon di tamannya berhenti mengeluarkan buku. Tapi buku-buku yang ada di taman itu tetap ada disana. Tidak membusuk seperti lazimnya buah-buah yang lain. Tetap abadi bersama pikiran dan kenangan penyair yang baik hati tadi. Bertahun-tahun lewat, banyak sekali penyair dari seluruh dunia yang datang ke taman berpohon buku tersebut, untuk menemukan kearifan dan rahasia kehidupan di dunia lampau lewat pemikiran penyair tadi. Untuk mengenang sang Penyair, mereka menamakan taman itu “Taman Keabadian”
Dua Penyair Muda dan Segelas Kopi
Ada dua orang penyair muda yang sedang duduk di bawah sebuah pohon buku, di Taman Keabadian.”
Diatas meja kecil, yang dengan sengaja diletakan di bawah pohon, ada gelas besar berisi kopi panas. Dinginnya udara di taman dan panasnya kopi, membuat uap putih yang melingkar-lingkar keluar dari mulut gelas tadi.
“Ah, dari kumpulan cairan hitam, keluar asap putih. Ajaib!” gumam salah seorang dari kedua penyair tadi. Tangannya langsung mencoret-coret kertas putih dipangkuannya. Dalam hitungan detik, sebuah puisi yang terinspirasi dari kopi hitam dan asap putih yang melingkar keluar dari kopi telah selesai dia tulis. Tanpa diminta dia membacakan puisinya:
Dalam kumparan kegelapan
Menembus kabut putih yang pekat
Kureguk nikmatnya kelam
Di tengah manisnya malam
Selesai membacakan puisinya, dia menatap penyair kedua dan bertanya,”Apa pendapatmu?”
Hanya sebuah hembusan nafas keras yang diterimanya sebagai jawaban. Penyair kedua, yang kelihatannya lebih pendiam, sedang berkutat dengan sebuah usaha yang sia-sia. Kedua tangannya sibuk menangkap uap-uap putih yang mengepul. Sunyi sesaat dan penyair kedua membuka mulutnya,” Uap putih ini ibarat kenangan. Membuat gambar dan bentuk dalam sekejap, detik berikutnya akan berbaur dengan udara dan waktu, untuk kemudian hilang, lenyap, dan yang tinggal hanyalah kehampaan!”
“Apa yang kau tahu tentang kenangan?.” Penyair pertama kini meniup-niup mulut gelas berisi kopi, membuat uap putih dengan bentuk-bentuk abstrak berliak liuk dengan genitnya. “Kita berada di “Taman Keabadian” yang termasyur, semua kenangan tertulis dengan rincinya pada setiap buku yang bergelantungan di pohon-pohon ini. Bagaimana bisa kau samakan kenangan dengan kehampaan?”
Penyair kedua yang tadi sibuk menangkapi uap-uap putih, kini meluruskan badannya. Kedua tangannya dia letakan menyilang di atas kepala, dan berkata seolah-olah pada dirinya sendiri,” Benarkah semua kenangan telah terkungkung abadi dalam buku-buku sang Penyair? Tak adakah kenangan yang terlewati dari keabadian tulisan dan menguap menjadi sebuah kehampaan? Atau tak adakah kenangan yang dengan sengaja dilupakan dan dibiarkan lalu bersama angin?”
Penyair pertama memandang temannya dengan pandangan jengkel,” Tak baik bila kita terus berdebat.” Katanya lagi. “Lebih baik kita membaca bersama kisah yang diperuntukan untuk kita hari ini.”
Dengan tangan kirinya, dia menyentuh satu dahan pohon, meraih sebuah buku. Saat tangan sang penyair menyentuhnya, dengan lembut dahan kokoh itu merendahkan tubuhnya dan membiarkan buku yang diraih penyair pertama tadi mencapai meja. Angin membantu kedua penyair membuka lembaran-lembaran buku tersebut. Dan matahari yang tadinya malu-malu mengintip lewat celah daun-daun membacakan sebuah kisah yang ditulis dalam lembaran-lembaran tersebut. Kisah tentang sebuah permintaan.
Sebuah Kisah Dari Sebuah Buku di “Taman Keabadian”
Ini adalah kisah yang dibacakan matahari kepada dua penyair dari sebuah buku di “Taman Keabadian”
Di Rumah Kaca
Prolog:
Kutuliskan pada selembar daun
“Disini terbaring hati yang telah mati”
Daun ditiup angin..
Terbang tinggi… menghilang….(entah ke mana..)
****
Bagian I
Kemarin, di rumah kaca,
Dia datang, membawa kopi hangat dan selusin donat
Duduk didepanku, dan berkata
“kau adalah cermin diriku..”
Kemarin, di rumah kaca,
Berteman kopi pahit dan donat manis
Aku duduk diam mendengarnya bercerita,
Tentang pahit, tanpa manisnya cinta..
Tak akan ku bertanya “Mengapa”
Tapi ku tahu engkau terluka
Akupun pernah merasakannya
Terluka dalam yang tak berdarah,
Perihnya merobek jiwa, sakitnya tak terhingga.
Tak akan ku bertanya “Siapa”
Tapi ku tahu ‘dia’ orang tercinta
Akupun pernah mengalaminya
Ketika memberikan seluruh hatiku,
Kemudian menemukannya, membeku teraniaya.
Kemarin, di rumah kaca
Setelah kopi dan donat habis
Kubiarkan dia melanjutkan kisah,
Tentang keberanian hati yang pernah terluka
Aku tak tahu apa yang kau rasakan
Tapi aku tahu rasanya “ingin mati”
Jangankan bertemu penderitaan
Kebahagiaanpun terasa menyakitkan
Aku tak tahu apa yang kau inginkan
Tapi aku ingin memberimu cinta
Cinta yang juga dulu pernah terluka
Saat mencintai dengan buta
Aku tak tahu apa yang kau harapkan
Tapi aku harap kau menerima hati ini
Hati yang penuh tambal sulam
Dari kisah yang selalu tak indah
Bagian II
Hari ini, di rumah kaca
Dia datang tanpa kopi hangat dan donat
Duduk di depanku dan berkata
“aku membawakanmu cinta”
Hari ini, di rumah kaca
Tanpa kopi pahit dan donat manis
Dia duduk diam didepanku
Mendengar kisah hati yang telah mati.
Hatiku telah menemui ajalnya
Ketika dia terluka dan terluka lagi
Luka tak berdarah yang ternyata parah
T’lah kukuburkan hatiku
Pada sebuah daun
Dan kuluruhkan bersama angin
Tak kusesalkan matinya hati
Karena hati selalu rapuh.
Semuanya lebih mudah, tanpa hati.
Hari ini, di rumah kaca
Dia merogoh kantongnya
Daun yang diterbangkan angin,
Kini dalam genggamnya.
Kau mengira hatimu benar-benar mati
Sehingga luka cinta tak terasa sakit lagi
Tapi percayalah
Hatimu hanya membeku, bukan mati
Dan cinta dapat mencairkan kebekuannya
Hari ini, di rumah kaca
Tanganku dalam genggamnya
Dalam hening kudengar dia berkata…
“aku bisa membuktikannya”
****
Epilog
Kutuliskan pada selembar daun
“Maukah kau menungguku?”
Daun ditiup angin,
Terbang tinggi… (kini ku tahu kemana.)
Dan tiba-tiba hening… Kedua Penyair menanti matahari untuk melanjutkan kisah.
“ Ayolah matahari, ceritakan pada kami, bagaimana akhir kisah ini?” pinta kedua penyair tadi.
Tapi matahari tak lagi melanjutkan kisah, karena kisah ini memang hanya berakhir di sini saja. Mataharipun meminta diri untuk membacakan kisah yang lain bagi penyair yang lain. Kedua penyair yang tak merasa puas dengan kisah yang menurut mereka belum tuntas, ingin melanjutkan kisah itu sendiri.
“Menurutmu, apakah dia akan menunggunya?” Tanya penyair pertama kepada temannya.
“Sanggupkah orang menunggu tanpa batas waktu?” Jawab penyair kedua.
“Jadi menurutmu, dia tidak akan menunggunya?” Desak penyair pertama
“Adakah kemungkinan, dia yang meminta untuk ditunggu, malahan tak pernah datang?”
Penyair pertama menjadi kesal kepada temannya yang selalu menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan yang lain. Dia memilih untuk tidak bertanya lagi. Kesunyian kemudian hadir diatara mereka, dan makin melingkupi mereka. Mata kedua penyair itu semakin berat, dan akhirnya mereka tertidur dibelai angin senja.
Kisah Kenangan Yang Tahu Segala Sesuatu
Namaku kenangan. Aku ada di mana-mana. Aku berada di antara akar pohon-pohon rindang, aku ikut mengalir bersama air sungai, terbang bersama angin, berpesta dengan badai, berdansa dengan gelombang, berjalan bersama kebahagian dan ikut menemani kesedihan. Dan aku tahu akhir kisah cerita Di Rumah Kaca yang dibaca oleh kedua orang penyair tadi. Kisah itu adalah potongan awal dari sebuah penantian panjang sang penyair pemilik taman ini.
Aku ingat, saat penyair pemilik ‘Taman Keabadian’ masih muda, pernah dia mencintai seorang gadis malang, yang selalu saja kehilangan. Penyair yang baik hati ini menemukan sang gadis ketika sang gadis sedang sekarat. Hati gadis malang itu telah membeku, penuh luka dan bekas luka yang masih terlihat dengan sangat jelas. Bukti nyata atas kepedihan dan kehilangan yang selalu dialaminya. Dengan sepenuh jiwa dibalutnya luka-luka hati sang gadis dengan hatinya sendiri, dan dibuatkan puisi-puisi pengobat duka. Melihat kebaikan hati sang penyair, gadis inipun mengumbar sebuah janji; ”Tunggulah aku, sampai luka cinta ini sembuh, dan aku akan mencintaimu.” Tapi setelah luka hati sang gadis sembuh, saat perihnya duka hilang, sang gadispun menghilang… Bertahun lewat sampai saat Dewi Juno datang memberikan hadiah 1 permintaan pada penyair, tapi gadis yang dia sembuhkan luka hatinya tak pernah kembali.
Saat Dewi Juno mengunjungi sang penyair, aku berada didekatnya, berbaur dengan udara yang dihirupnya, masuk kedalam hatinya dan memaksa penyair ini untuk meminta Dewi Juno menghadirkan gadis punyaanya. Tapi dia tidak mau mendengarkan kata hatinya. Aku tak menyerah. Akupun berenang bersama darah dan menembus otaknya, dan memaksa sang penyair untuk meminta kekayaan dunia, tapi sang penyairpun tak mendengar otaknya. Dia hanya mengikuti keinginannya. Karena itulah Sang penyair lebih memilih dibuatkan Taman Keabadian. Taman tempat dia mengabadikan sebagian kenangan dalam kehidupannya. Yah.., bukan semua kenangan yang dia abadikan, seperti yang dipikirkan orang-orang. Penyair kedua itu benar. Ada bagian peristiwa dalam hidup sang penyair pemilik taman ini yang tak dia abadikan dalam buku-bukunya.
Kalian tentu merasa heran, dari mana aku mengetahui semua hal ini. Tidak… aku tidak bermaksud sok tahu. Ingat, aku adalah kenangan itu sendiri, yang selalu hadir dalam setiap kejadian dalam perjalanan hidup manusia. Aku hadir dalam setiap helaan nafas dan selalu meninggalkan jejak dalam setiap peristiwa. Aku adalah ingatan tentang kebahagiaan sekaligus kesedihan. Ingatan akan kebersamaan dan juga kesendirian. Manusia sering mengira bahwa aku berwajah dua; Kenangan Indah dan Kenangan Buruk. Tapi sebenarnya tidak. Aku tak memiliki dua wajah dan aku tak pandai merubah wajah. Manusialah yang merubah wajahku dan kemudian menamaiku sesuai dengan keinginannya; yang ingin diingat dikatakan Kenangan Indah, dan yang ingin dilupakan dinamakan Kenangan buruk.
Sang penyairpun pernah menamakan aku Kenangan Buruk. Dan dengan sengaja dia coba menghilangkan ingatan akan sang gadis malang dengan luka hati yang berhasil dia sembuhkan. Gadis yang menghilang dengan meninggalkan sebuah janji “tunggulah aku, … aku akan mencintaimu.” Sang Penyair berusaha keras mengusirku dari ingatannya. Menekanku kepojok-pojok gelap ruang ingatan. Tapi seperti biasanya, aku tidak mudah menyerah. Aku berupaya sedemikan kerasnya untuk tetap berada dalam ingatanya. Kulingkarkan erat tanganku dalam ingatanya. Aku menjadi gurita kenangan. Makin keras dia mengusirku, makin ketat aku menggengam ingatannya.
Sang penyair akhirnya mengaku kalah, dan membiarkan aku tetap dalam ingatanya, hanya saja dia tidak bersedia mengabadikanku dalam tulisan-tulisannya. Tapi aku selalu abadi, dan terus tinggal bersama dengan sang penyair dalam tidur abadinya.
Sekali lagi aku adalah Kenangan. Aku ada di mana-mana. Aku berada di antara akar pohon-pohon rindang, aku ikut mengalir bersama air sungai, terbang bersama angin, berpesta dengan badai, berdansa dengan gelombang, berjalan bersama kebahagian dan ikut menemani kesedihan. Aku juga tahu kisah kedua penyair yang kini sedang tidur lelap di Taman Keabadian. Dan, oh yah, bukan itu saja, aku juga tahu tentang kisahmu….
(Tomohon, Desember 07 – Januari 08)
Menghapus kenanganan adalah sebuah kesia-siaan
Langganan:
Postingan (Atom)