Selasa, 30 Oktober 2007

Cerpen Denni Pinontoan: "Oh Kasiang, Manado"

Kalau orang dari daerah pegunungan di Tanah Minahasa datang ke Manado yang mereka keluhkan antara lain soal suhunya yang panas. Dugaan aku, suhu yang panas itu antara lain karena kota Manado semakin padat penduduknya, sementara pohon-pohon besar telah sangat berkurang diganti dengan gedung-gedung megah milik para pembesar itu. Bukan cuma suhunya yang panas, tapi juga percaturan politik, social dan ekonomi di sana. Maklum, Kota Manado adalah kota plural, tinutuan, dengan berbagai dinamikanya. Bahkan hari-hari terakhir ini suhu semakin panas lagi ketika para PKL dikejar-kejar oleh Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Manado atas nama penertiban. Kata Pemerintah Kota, ini demi visi Kota Manado sebagai Kota Pariwisata 2010.

Tapi, banyak orang harus ke kota itu. Aku juga. Dari Kota Tomohon menuju Kota Manado kebanyakan orang akan menumpang bus antar kota. Aku hari itu menumpang salah satu bus yang melayani jalur Tomohon-Manado.

Waktu itu jam kira-kira menunjuk pukul 09.30 pagi. Pas memasuki Winangun di kompleks Citraland jalan macet. Antrian mobil sangat panjang. Diketahui kemudian kira-kira 500 meter dari bus yang aku tumpangi ada orang meninggal yang akan dimakamkan. Sudah pasti jalan harus jadi macet. Orang-orang di bus itu termasuk aku so jadi pastiu. Seorang pemuda yang duduk di dekat aku berbicara di selulernya dengan seseorang di seberang sana. “Udah, tunggu aja. Maaf jalan lagi mecet nih. Lu tunggu aja di situ, gue udah deket. Iyo, jang ba bamarah dang,” begitu kata si pemuda itu untuk – aku tak tahu – siapanya itu melalui seluler. Hei bae-bae balogat metro sbantar munta bete.

Hampir satu jam baru bus yang kami tumpangi itu tiba di terminal Karombasan. Memasuki terminal itu, hiruk pikuk manusia-manusia pejuang kehidupan tampak sekali. Hari belum terlalu siang jadi kita masih bisa melihat semangat mereka. Ketika turun dari bus, loper koran lokal meneriakan headline koran yang dia jual. “PKL Pasar 45 bentrok dengan Pol-PP, korban berjatuhan!” Teriak si loper koran. Aku tertarik membacanya.

Setelah membaca headline yang diteriakan si loper tadi, aku membaca halaman lain koran itu. Di sebuah halaman ada judul berita “Kawasan Boulevard Surga Belanja Indonesia Timur.” Berita itu isinya adalah soal Boulevard yang beberapa waktu lalu telah dicanangkan menjadi kawasan Boulevard on Business (B on B). Di berita itu dipromosikan bagaimana Boulevard yang kini berdiri megah banyak pusat perbelanjaan bisa menjadi tempat yang nyaman, karena katanya terlengkap bagi orang-orang yang suka berbelanja.

Setelah membaca dua berita itu dengan posisi berdiri di antara mobil-mobil angkutan umum berjubel aku langsung menuju ke jalan tempat lewat angkot-angkot. Sebuah angkot yang papan trayeknya bertuliskan “Wanea-Samrat” berhenti pas di depanku. Si sopir seolah-olah sudah tahu kalau aku memang menunggu angkot jurusan trayek itu. Aku yang memang bertujuan ke Pasar 45 langsung masuk dalam angkot itu. Si sopir tersenyum ramah.

Di dalam angkot itu telah ada beberapa penumpang yang tujuannya bermacam-macam. Tapi mereka semua sama dengan aku harus melewati jalan Samratulangi. Seorang perempuan berseragam PNS duduk di paling belakang. Di sampingnya ada seorang perempuan yang kemungkinan bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Boulevard. Itu kentara dari seragam yang ia kenakan. Duduk pas di samping sopir seorang laki-laki kira-kira berusia 50 tahun. Aku duduk di kursi ke dua di belakang si sopir.

Angkot yang aku tumpangi tidak melaju dengan cepat. Si sopir kadang-kadang mengerem mobilnya. Maklum ia harus mencari penumpang. Pas di depan Coco Supermarket lagi-lagi aku melihat antrian mobil. Si sopir yang mengemudikan angkot yang aku tumpangi untuk kesekian kalinya menginjak pedal rem. Aku lihat di dalam Coco Supermarket itu berjubel orang sedang berbelanja. Setelah lewat dari supermarket itu aku melihat seorang berkacamata hitam dengan tongkat di tangan digandeng seorang perempuan tua. Di tangan perempuan itu ada sebuah tas berwarna coklat.

Angkot yang aku tumpangi berjalan pelan seperti siput. Angkot dan mobil lainnya juga begitu. Sehingga baru beberapa menit kemudian angkot baru bisa melewati patung Dr. GSSJ Sam Ratulangie. Patung Sam Ratu Langie tampak memegang sebuah buku. Benda itu yang diandaikan sebagai buku berjudul “Indonesia In den Pacific: Kernpoblemen Van den Aziatischen Pacific”. Sebuah maha karya Sam Ratu Langie yang terbit di Batavia tahun 1937. Angkot-angkot dari Terminal Karombasan yang akan akan melewati jalan Samratulangi untuk menuju Pasar 45, Pall 2, Teling, 17 Agustus dan lain-lainnya harus sedikit memutar mengelilingi patung itu. Patung itu, tampak menatap warga yang melewatinya. Tatapan mata si patung Sam Ratulangi seolah-olah mengisyaratkan sesuatu. Aku berandai-andai, kira-kira yang ingin disampaikan oleh patung Sam Ratulangi adalah, ”Hati-hati kalau datang ke Kota Manado. Kota Manado sekarang telah begitu kompleks dengan persoalan.”

Angkot yang aku tumpangi meski pelan tapi tetap berjalan. Sepanjang jalan Samratulangi aku melihat berbagai macam manusia dengan aktivitasnya. Di depan gedung gereja GMIM “Paulus” Titiwungen aku melihat lagi-lagi seseorang yang berkacamata hitam di gandeng oleh seseorang. Masih serupa dengan yang aku lihat sebelumnya. Anak sekolah memang belum tampak.

Setelah itu beberapa menit kemudian angkot yang aku tumpangi melewati Toko Buku Gramedia. Dari dalam angkot aku melihat banyak orang di dalamnya. Kebanyakan yang aku lihat adalah mereka-mereka yang berkacamata tebal. “Pasti mereka-mereka ini hobinya membaca,” pikirku.

Lewat sedikit Matahari lama yang depan Korem itu, tiba-tiba kami yang ada di dalam angkot itu dikejutkan dengan suara yang datangnya dari sebuah mobil pick up (aku tak tahu apa mereknya) berwarna putih. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh si perempuan itu melalui alat pengeras isinya menghimbau warga Kota Manado atau yang sedang berada di kota itu untuk tidak membuamg sampah sembarangan. Katanya, kalau ada yang kedapatan membuang sampah sembarangan akan diancam dengan hukum penjara dan denda. Karena, soal cara membuang sampah di Kota Manado menurut si perempuan itu telah diatur dalam Perda Sampah.

Mendengar himbauan itu, perempuan berseragam PNS yang duduk di paling belakang langsung memberikan komentarnya. “Uh, sgala jo. Cuma lei mo buang sampah sampe musti mo ator-ator deng perda. Di Indonesia, skarang ini, samua so mo ator deng perda ini deng itu, undang-undang ini deng itu. Sampe lei cara ba pake so mo ator lei deng undang-undang. Mar, de pe aneh tu korupsi deng pembunuhan nda mo abis-abis,” kata si perempuan itu.

Dari nada bicaranya aku menangkap sebuah kekesalan.

Aku tidak bicara, tapi memberi respon dengan melihat kepadanya sambil mengangguk-angguk. Aku memang setuju. “Butul ngana tanta,” gumanku dalam hati. Ternyata masih ada orang yang kritis seperti itu. Benar, negara dan daerah ini semua akan diatur dengan macam-macam aturan atau perda. Jangan-jangan ini konsekuensi dari semakin bertambahnya beban daerah yang antara lain karena otonomi setengah hati dari pemerintah pusat. Aku ingat pendapat seseorang dalam sebuah dialog public di Radio Suara Minahasa 93.3 FM di Tomohon, yang mengatakan bahwa perda sama dengan retribusi dan retribusi sama dengan penghisapan.

Lia jo kwa, orang mo buang sampah di mana, nda ada tampa sampah, “ kata perempuan itu lagi sambil menunjuk ke luar.

Jari telunjuknya mengarah di trotoar depan pertokoan itu. Aku ikut melihat apa yang dia maksud. Tapi perhatianku setelah itu terarah pada seorang pengemis yang sedang meminta-minta di trotoar itu.

Nda usah kwa mo ator dengan s’gala undang-undang. Torang kwa mangarti itu. Yang pemerentah mo beking tare s’krang bagiman tu rakyat bole mo mancari bagus. Bagimana mo iko tu pemerentah pe mau kalu mo bajual jo so dusu-dusu sama deng binatang. Lia jot tu PKL di ampa lima,” perempuan itu berkata dengan serius sekali.

Tapi si perempuan berseragam PNS tak lama kemudian berkata, “muka jo sopir!” Tepat di depan Multi Mart, ia harus turun dari angkot. Ketika itu pandanganku beralih ke sebelah kanan. Aku melihat bekas gedung Minahasa Raad mulai tak tampak lagi keasliannya. Padahal gedung itu adalah saksi sejarah tentang asas-asas demokrasi yang sudah lama berkembang di Tanah Minahasa.

Angkot bergerak lagi. Di depan Gedung Joang aku turun. Penumpang yang lain juga begitu. Aku berjalan sampai di perempatan. Di sana aku melihat gedung gereja GMIM “Sentrum” Manado. Sebuah gereja tua di tengah hiruk pikuknya Kota Manado. Di sampingnya ada tugu peringatan pemboman perang dunia ke-II.

Aku memang bermaksud ke Pasar 45. Tapi karena angkot telah dilarang oleh Pemerintah Kota masuk sampai ke kawasan itu, maka aku lebih baik memilih untuk menyusuri jalan di sebelahnya.

Panasnya suhu Kota Manado siang itu minta ampun. Wajahku semakin memerah (dasar orang gunung). Aku sampai juga di kawasan Pasar 45 itu. Di sana suasananya beda jauh dari yang aku tahu beberapa waktu sebelumnya. Semenjak ada kebijakan penertiban PKL di kawasan itu, hari itu adalah hari pertama aku ke lokasi yang beberapa waktu terakhir ini ramai diberitakan. Suasana memang jadi lain. Ada sesuatu yang hilang dari Pasar 45 yang aku tahu, juga barangkali kebanyakan orang gunung tahu. Jauh sebelum ada pencanangan B on B, orang-orang dari kampung (jangan samakan ini dengan kampungan, neh) telah sangat familiar dengan Pasar 45. Juga meski telah ada pusat perbelanjaan di kawasan Boulevard, semasa pemerintahan Walikota Wempie Frederik, orang-orang masih banyak yang berbelanja di Pasar 45 itu. Orang-orang di kampung-kampung kalau ingin cuci mata atau berbelanja dulunya tidak ke Mall-Mall tapi ke Pasar 45 itu. Tapi sekarang semua itu tinggal kenangan. Tidak ada lagi tempat plesir dan berbelanja macam-macam barang kalau musim panen cengkih tiba.

Pasca penertiban PKL di Kota Manado yang kemudian membuat Pasar 45 menjadi sunyi dengan terpaksa orang-orang yang kantongnya pas-pasan sedikit bingung akan berbelanja di mana kalau hari raya tiba. Memang kawasan B on B telah hadir. Tapi ada yang mengeluh, kalau berbelanja di sana uang lima ratus ribu rupiah hanya untuk beberapa macam barang belanjaan.

Di sebuah sudut di Pasar 45 itu aku melihat banyak – yang barangkali mantan PKL – berkerumun. Aku tak terlalu simak apa yang sedang mereka percakapkan. Yang tampak jelas cuma keseriusan mereka. Itu tampak dari bahasa tubuh mereka. Tak lama aku memperhatikan itu. Selanjutnya perjalananku dilajutkan.

Menyusuri emperen-emperan toko. Di dekatnya ada Jalan Roda (Jarod). Siang itu aku melihat spanduk berwarna kuning dipajang pas di jalan masuk ke lokasi itu. Pesan spanduk itu lengkapnya aku sudah lupa, tapi isinya semacam memberi ucapan selamat menjalankan ibadah puasa bagi kaum muslim. Ada juga satu kalimat yang menyatakan dukungan terhadap program pemerintah kota. Yang aku dengar dari teman-teman bahwa Jarod itu, setiap harinya banyak aktivis dan pemikir yang berkumpul dan mendiskusikan banyak hal. Termasuk juga barangkali soal penertiban PKL itu.

Aku terus menyusuri emperen-emperan toko mengarah ke Plaza. Tapi dari jalan-jalanku di samping TKB sampai mendekat Plaza aku tidak lagi melihat lemari-lemari berisi emas. Kecuali memang toko-toko emas. Yang aku maksudkan para pembeli dan penjual emas yang biasa menyapa orang lewat: “Jual mas om, tanta, cowok?” Benda mirip atau memang lemari itu memang sudah tidak ada, tapi sapaan-sapaan itu masih banyak terdengar. Bahkan di sebuah sudut toko aku melihat dua orang perempuan yang menggegam tas berukuran sedang berkacap-cakap. Ketika aku melewati mereka salah satu di antaranya menyapaku, “Jual mas, cowok?” Aku hanya tersenyum.

Aku akhirnya sampai di tujuan. Di sebuah gedung dengan sebuah kepentingan. Setelah bercakap-cakap dengan seorang perempuan muda yang bekerja di gedung itu aku harus duduk antri menunggu nama dipanggil. Antriannya panjang. Memang di gedung itu banyak orang yang berkepentigan.

Sambil duduk di menunggu nama dipanggil, aku kembali merenungi perjalanan tadi. “Oh Kasiang, Kota Manado,” gumamku.

Minggu, 28 Oktober 2007

Cerpen Karya Greenhill G. Weol: "Sebuah Surat Dari Sebuah Kamar Kayu Tertanggal 29 November 2006"

For Honey,

Kita skarang ada di sini, pa torang dua pe kamar, kamar kos harga dua ratus ribu yang torang dua ada tinggal sama-sama so mo amper lima bulan. Kamar sederhana ruma papang, punung lobang, kurang ja tempel deng kartas. Kamar yang panas kalo siang, mar dingin kalo malam. Kamar yang banya bifi kalo sala lapas sisa makanan. Kamar yang hon mara-mara kalo kita biking talimburan dengan komputer mar sebenarnya kita jo le tu mo manimpang. Kamar tampa kita batunggu hon pulang dari kerja kong mulai putar mp3 kong dengar hon bacirita samua cirita dari tampa karja sampe hon lala kong tabobo... bobo sama-sama. Samua sama-sama... Hon, kamar ini kita anggap sorga, karna sama-sama deng hon.

Mar, skarang kita so sandiri di kamar ini. Tadi malam hon so angka hon pe barang-barang, baju-baju, piring, glas, kipas angin, samua-samua. Hon so pinda. Hon bilang, hon pinda karena mo kase lupa tu samua-samua yang perna torang dua rasa sama-sama di kamar ini. Hon bilang torang dua pe cerita so klar. So nimbole kase trus, karna memang nimbole. Hon pe mama nda kase torang dua mo jadi karna torang dua beda greja. Hon kata Cuma beking-beking malo keluarga kalo mo trus deng kita. Percuma kata mama so kase skola tinggi-tinggi sampe jadi sarjana mar cuma mo ba iko pa kita. Hon so pili dengar pa mama. Hon bilang, masa mo buang orangtua Cuma gara-gara paitua? Hon nyanda sala. Torang dua so lama baku sayang, so baku mangarti, so baku skola. Kita nyanda mara. Kita mangarti pa hon. Kita sayang pa hon. Kita rasa le Tuhan nda perna mara orang baku sayang.

Hon skarang so dapa paitua baru yang sama deng hon. Minggu lalu hon so bawa kase tunjung pa hon pe keluarga. Hon bilang skarang mama so sanang, karna skarang hon so ada paitua yang bole mo maso greja sama-sama. Kita nda binci hon pe keluarga. Dorang slalu bae-bae pa kita. Amper ampat taun kita pigi-pigi pa hon pe kampung, amper samua hon pe sodara so kanal pa kita. Kita so anggap dorang kita pe sudara. Dorang samua bae-bae pa kita. Kitale sebenarnya suka mo jadi orang pa hon pe kampung. Skarang, so ada orang laeng yang hon ja bawa ka sana. Kita minta maaf kalo perna so ta lapas kata ancam pa dia. Dia nyanda sala, semua orang berhak mencintai dan dicintai. Kita cemburu, dia datang-datang langsung ambe hon dari pa kita. Kita susa skali, karna hon dapa lia so kase lupa pa kita. Kita hon so beking stau, so rupa nyanda perna kanal, so orang laeng. Itu yang ja beking saki skali kita pe hati.

Skarang, so dekat dari hon pe tampa karja hon tinggal. Disana ruma beton, pake tehel, kong kamar mandi di dalam. Kamar bagus, harga limaratus ribu lebe. Hon bilang so beli karpet baru, kong nanti paitua mo bawa televisi deng pleysteisyen. Hon skarang tinggal deng dia, dari hon pe kata-kata kita simpulkan bagitu. Hon skarang so ja tidor deng dia. So bagitu no, mo bilang apa. Hon so pili jalan itu, jadi kita so nda ada hak mo ator-ator hon pe kehidupan, bagitu hon bilang. Hon lagi bilang nda usah lagi ganggu-ganggu pa hon. Hon bilang kita Cuma ancam-ancam tiap kali kita ba telpon pa hon. Hon bilang suda jo mo bilang-bilang tentang kita pe orang tua karena so bukang hon pe urusan. Io hon, kita mangarti. Kita minta maaf kalo so banya ba ganggu. Kita so sala. Kita Cuma lagi nintau mo beking apa. So bodok. Orang yang paling kita sayang tiba-tiba so pigi kase tinggal pa kita.

Sebenarnya kita nimbole mo bilang ini pa hon. hon mo bilang lombo. Hon mo bilang cengeng. Hon mo bilang kita kase-kase tunjung kelemahan, kase-kase tunjung aer mata, supaya hon kasiang. Cari-cari perhatian. Hon bilang kalo bagini hon malah lebe binci. Hon bilang kalo so berakhir ya sudah no! Skali lagi sori hon. Kita lagi panik, bingo-bingo yaki. Kita nda ada orang laeng yang dekat deng kita selain hon. Nda ada orang laeng yang perna lia kita pe aer mata selain hon. Nda ada orang laeng yang kenal pa kita luar dalam selain hon. Hon, kita ilang pegangan. So nintau mo kamana, so nintau mo bagimana. Samua kita rasa so nyanda berguna. Hon, kita nda pernah rasa saki hati sampe bagini. Hon, kita nda pernah sayang orang laeng sama dengan kita sayang pa hon. Kita kehilangan skali komang. Kita so nda mampu. Kadang kita ja pikir kyapa hon tega biking bagini pa kita. Sori hon, kita Cuma mo jujur, kita nda sekuat yang hon kira. Kita pe kuat ada pa hon... mar skarang hon so pigi.

Kita tau hon le saki hati. Kita tau hon le nimau samua ini mo jadi. Kita tau samua ini jadi bukang karna hon so nda sayang pa kita. Kita tau ini samua usahanya hon untuk sebuah masa depan yang baru, yang mungkin lebih cerah. Io hon, kita tau kita nda bisa menjanjikan apa-apa. So lama torang dua sama-sama nda ada kejelasan mo kamana, Cuma bagini-bagini jo. Kita le nda punya apa-apa. Hon bilang masa kata mo bagi-bagini trus tanpa kepastian? Kita bukan nda mo berusaha. Cuma hon kan tau, ada yang nimbole kita langgar. Setelah skarang so karja hon pe pikiran so lebe tabuka. So banya tamang-tamang karja ja bilang-bilang akang. Hon so se lupa dulu perna baku bilang mo baku sayang selamanya. Mar itu dulu. Waktu hon masi mahasiswa. Kita nda berhak mara. Sapa le yang mo hidop Cuma mo makang cinta! Io to? Skarang hon so ada masa depan deng dia. Hon bilang taun depan so mo kaweng. Kita nda mara. Kita Cuma kecewa, kyapa Cuma hon tu beruba, kong pe cepat skali le, kita nyanda.

Slalu kita berusaha kase yang terbaik pa hon. Samua-samua yang kita bole beking, kita pasti beking. Samua-samua yang kita bole kase, kita pasti kase. Kita tau, samua itu nyanda banya, nyanda berlebihan. Mar, kita so kase samua yang kita bisa. Samua-samua. Kita le sebenarnya ada mimpi for torang dua. Mimpi yang skarang mungkin tinggal mo jadi mimpi selama-lamanya. Kita nda mimpi besar-besar, nda muluk-muluk. Mungkin hon Cuma mo tatawa akang. Kita Cuma mimpi mo hidop sama-sama deng hon, kase lupa tu samua perbedaan, sanang sama-sama, susa sama-sama, kong hidop sampe tua, baku sayang sampe tua. Deng terakhir, kalo Tuhan ijinkan, kita nanti mo brenti banafas sementara hon ja plo. Mudah-mudahan le bole mo sama-sama bakudapa di sorga, kong hidop di sama selama-lamanya. Kalo itu jadi, so kita tu orang yang paling sanang di dunia ini!

Hon, skarang kita so bukang hon pe sapa-sapa lagi. Kita so bukang hon pe paitua. Hon slalu ulang-ulang kalo torang dua so nyanda ada apa-apa. So nyanda ada hak. Hon so ada paitua baru. Skarang kita Cuma seorang yang kecewa, sendiri, susa, deng somo gila. Kita tau kita so nda lagi ada harga. Kita le tau mungkin so nyanda guna mo bilang ini samua. Hon kurang mo tatawa akang sto. Kage hon kurang mo luda akang le. Mar kita musti bilang, akan selalu bilang, dan akan terus bilang kalo kita sayang skali pa hon. Biar hon so deng sapa-sapa, hon tetap satu-satunya orang yang kita sayang. Kita rasa hon sebenarnya mangarti apa kita pe perasaan, hon mangarti apa yang kita da tulis-tulis ini. Sebenarnya kita suka mo bacirita lewat kita pe bibir sandiri, Cuma tiap kali torang dua tabakudapa kita Cuma mo ta kaluar aermata. Banafas le mar susa.

Hon, skali lagi kita mo bilang, kita masi tunggu pa hon di sini, di torang dua pe kamar ini. Sama deng kita ja ba tunggu kalo hon kaluar malam pulang subuh. Sama deng kita ja batunggu pa hon pulang kerja. Kita nda mo brenti batunggu sampe kapan pun.

Kita masi batunggu hon. Pulang jo.

Novelet Karya Greenhill G. Weol: "Vale"

The Future is Now...



*GIRUN

*RUMON

*VALE 9

*MALES




GIRUN
“Paman, lihat...!” Lera berseru gembira sambil menunjuk-nunjuk layar pantau di ruang kendali. Layar itu sedang menampilkan gambar hidup hasil serapan sensor dari kuadran 5. “Lihat! Bintang berekor Epotril sedang melintasi orbit planet Mira! Dekat sekali... wah pasti jaraknya tidak lebih dari 100.000 emmo, ya!” celotehnya dengan bersemangat. Wajar kalau dia bergitu senang, sebab pada saat seperti inilah, saat Epotril melintasi orbit Mira, ia dilahirkan. Tak terasa, Lera sudah berusia 6 Siklus. “Waah, aku harus merayakan ini! Ya, aku akan ke ruang hidropon untuk memetik mayes buat kita semua!” belum selesai bicara ia sudah berlari-lari ke transporter. Dalam waktu singkat, pasti Ia sudah tertawa-tawa memetik mayes. Ruang hidropon, kebun kami, terletak di paviliun terbelakang dari rumah kami, pesawat meta antar kuadran Vale 9.
Namaku Girun. Usiaku 28 Siklus. Aku pengawas meta di Vale. Aku bertugas mengawasi dan memperbaiki Vale dari setiap kerusakan yang diakibatkan malfungsi logam, disamping bekerja di ruang kendali sebagai peneliti sensor. Kerusakan ini lumrah terjadi pada pesawat antar kuadran semacam Vale, karena masih berteknologi meta. Akhir-akhir ini kerusakannya semakin banyak dan sering saja. Kadang aku harus bekerja puluhan gillus untuk memperbaiki satu kerusakan saja. Walaupun semua penghuni Vale memiliki kemampuan mereparasi meta, aku tak tahu berapa lama lagi Vale bisa tahan hujan kosmik jika kami nantinya kehabisan meta untuk memperbaiki setiap kerusakan. Kalau di pikir-pikir... jika saja kami sempat, pasti kami menggunakan pesawat antar kuadran Deya yang tidak lagi menggunakan meta, tapi... semuanya terjadi begitu cepat... ah, masih tergambar jelas dimataku kejadian yang tak akan pernah kami lupakan itu. Ketika aku masih kanak-kanak, hampir 20 Siklus yang lalu...
“Cepat! Cepat! Kita tidak punya banyak waktu lagi! Krosus akan segera mencapai kulminasinya beberapa saat lagi! Zirah kita mungkin tidak dapat bertahan lagi! Segera menuju pangkalan! Anak-anak mendapat prioritas utama... transporter akan menjemput sesaat lagi!...” Suara dari omnicom menggema tanpa henti. Aku masih sempat memperhatikan ayahku sedang mencoba menghidupkan razo tuanya. Sayang, benda itu sudah kehabisan tenaga. Kalaupun itu nantinya hidup, paling-paling sekali dua kali bidik selesai sudah. Kami bangsa Minua sudah terbiasa hidup dalam zirah sehingga senjata-senjata kamipun karatan. Sehingga setiap kali kami sedang diserang musuh, semua pertahanan kami diserahkan kepada zirah yang memang tak mudah ditembus mereka. Zirah kami adalah sebuah tameng parabolik dari lapisan sinar yang digenerasikan dari beberapa buah pembangkit getaran. Selain melindungi kami dari agresi musuh, zirah ini juga melindungi kami dari atmosfer luar yang membakar. Sumber tenaga pembangkit-pembangkit getaran tersebut adalah sebuah mineral mirip bebatuan misterius yang disebut-sebut telah sangat tua. Kami menyebut bebatuan ini Maccatans. Kami percaya bahwa selama kami masih memiliki tameng, kami akan selalu terhindar dari segala gangguan. Memang, dalam ribuan tahun sejarah bangsa kami, tak sekalipun zirah kami gagal. Tetapi, kemudian bangsa kami menjadi terbiasa mengandalkan zirah sebagai pelindung satu-satunya. Tetapi ternyata zirah bukan tanpa kelemahan. Kali ini ketiika musuh kami, bangsa Mass, telah berhasil menemukan teknologi pemancar gelombang krosus yang jika berkulminasi akan mampu melelehkan mineral dari jarak jauh dan mendidihkan udara sampai berjuta-juta pass sehingga berhasil membuat pembangkit-pembangkit getaran zirah mulai goyah. Sudah beberapa hari kami dikepung bangsa Mass dan menurut kabar yang kami terima Maccatans sudah mulai meleleh. Kali ini berita akan melemahnya zirah kami telah beredar luas. Itulah mungkin yang menyebabkan orang-orang lebih was-was dari biasanya. Semua keluarga di blok kami sedang bersiap-siap mengungsikan anak-anak mereka. Ibuku sedang membantu ayahku mengenakkan jaket anti suhu tinggi saat jemputan tiba. Ia membawa aku keluar kabin. Sayang, ibuku akan tinggal dan turut bertahan. Ia berdiri disamping jalan ketika aku dan beberapa temanku di bimbing oleh beberapa petugas kedalam transport. Didalam tidak terlalu penuh. Hanya beberapa anak seumuran tiga-empat siklus dan seorang gadis kecil yang lebih tua dariku. Ibuku kelihatan berkaca-kaca sambil melambaikan tangannya. Sebelum kami bergerak pergi, aku melihat ayahku tersenyum saat razonya hidup. Kemudian Ia tersenyum padaku... senyum yang aneh untuk suasana darurat seperti ini. Sepertinya ayahku yakin bahwa aku akan baik-baik saja. Itu senyum terakhirnya padaku...
Di pangkalan kumpulan anak-anak, kebanyakan dibawah 10 siklus, sudah ramai. Ada ribuan, tetapi cuma sedikit yang lebih tua dari 13 siklus. Pasti yang lebih tua sudah merasa mampu bertahan dan rela menyumbang tenaga untuk bertempur mempertahankan Wantua, koloni kami. Keadaan riuh dengan suara anak-anak yang bertanya-tanya sebab kami umumnya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kemudian kami dibahagi menjadi beberapa kelompok yang entah apa maksudnya selalu seimbang jumlah anak lelaki dan perempuannya. Seorang Waran bersenjata razo model terbaru melalui layar besar memberitahukan bahwa kami akan dibawa ketempat aman dengan pesawat dan setiap kelompok akan ditemani satu tim Waran yang juga akan menjadi pengendara pesawat antar kuadran kami. “Anak-anak, jangan takut karena kalian akan segera kembali kekeluarga kalian setelah ancaman gelombang krosus lewat”, tambahnya. Didalam hati aku mulai merasa bahwa ini bukan ancaman biasa. Bangsa Mass memang sudah sering melancarkan serangannya, dan biasanya kami selalu terlindungi zirah yang megitari koloni kami. Tetapi, kali ini aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi.
Tersedia ratusan pesawat yang siap mengangkut kami. Tiap pesawat mampu menyangga kehidupan untuk kurang-lebih seratus orang. Dalam setiap pesawat terdapat kapasitas memproduksi makanan melalui tumbuhan hidropon, daging sintetis, serta pendaur air dan udara. Ada dua jenis pesawat yang masih tersedia di pangkalan yaitu kelas Vale dan kelas Deya. Yang terakhir ini lebih baru teknologinya. Katanya laju pesawat ini hampir tiga kali dari Vale. Kebetulan aku kebagian tempat di Deya 13. Aku dan beberapa anak lain sedang melangkah dibimbing seorang Waran menuju pesawat kami ketika tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dari omnicom, “Sudah dimulai!... Sudah Dimulai!... Kulminasi sudah dimulai! Zirah hancur! Diulangi, ZIRAH HANCUR! Luncurkan semua pesawat!... Selamatkan mereka...!”. Keadaan menjadi tidak terkendali. Kami mulai berlarian kesana-kemari. Suara gelegar menggema dimana-mana. Anak-anak panik dan berteriak-teriak ketakutan. Ledakan demi ledakan menggoncang. Rupanya zirah kami tidak lagi mampu menahan gelombang panas akibat kulminasi krosus. Pangkalan mulai merah oleh api yang membakar benda-benda yang meledak tadi. Beberapa pesawat juga mulai meleleh. Sebagian tertimpa logam akibat ledakan. Beberapa mencoba meluncur namun jatuh berkeping-keping. Suara tangis dan erangan bercampur jadi satu. Aku turut berlarian mencari pesawat yang bisa meluncur, namun pandanganku tertutup asap. Kulitku mulai terasa panas. Aku sedang melompati beberapa kepingan logam pecahan pesawat yang merah membara ketika terhempas akibat runtuhnya sebagian pelataran pangkalan. Pada saat itu aku kehilangan kesadaran. Semua gelap. Samar-samar aku merasa ada yang menggendongku...
Ketika sadar, sudah berada di Vale 9 dan kami sudah jauh dari Wantua, mungkin sudah puluhan ribu emmo. Hampir 3 gillus aku pingsan, sekarangpun masih amat pusing. Aku di baringkan di ruang pemulihan, tepat di samping ruang kontak. Samar-samar kudengar pesawat kami berusaha menghubungi Wantua, namun tidak ada respon. Aku memaksa turun dari dipan dan mendekati ruang kontak. Di layar sensor utama aku melihat visual yang sangat mengerikan... Wantua sedang membara di kejauhan. Aku mendengar Vale 9 kemudian berusaha mengkontak pesawat-pesawat lain namun hasilnya nihil. Semua gelombang komunikasi bungkam. Kelihatannya, Vale 9 adalah satu satunya pesawat yang sempat meluncur sebelum pangkalan hancur, dan mungkin... kamilah satu-satunya kelompok dari bangsa Minua yang masih tersisa.
Ketika kami mencapai 50.000 emmo, seorang Waran pengendara, satu-satunya orang dewasa yang tersisa dan sempat menyelamatkan kami dengan pesawat ini, mengumpulkan kami di ruang besar. Waran itu bernama Rumon. Ternyata hanya puluhan anak yang berhasil dimuat Vale 9 dan semuanya masih kecil, malah ada yang baru 3 siklus. Kami merengek-rengek untuk kembali ke Wantua. Wajar memang, karena beberapa dari kami masih terlalu kecil dan sedang ketakutan. Kemudian dengan suara perlahan namun berwibawa Rumon berkata, “Anak-anak dengan berat hati saya harus mengabarkan bahwa Wantua sudah lenyap. Tidak ada lagi yang tersisa disana. Semua yang kita pernah lihat dan kenal telah tiada. Kitapun tidak bisa kembali kesana. Kalau kita kembali, kita kemungkinan besar akan dibunuh atau diperbudak Bangsa Mass yang kejam itu. Pesawat-pesawat lain juga tidak berhasil dihubungi. Kini kita sebatang kara”. Tangis anak-anak yang rindu rumah dan orang tua terdengar balas-membalas apalagi dari gadis-gadis kecil. “Sudahlah, jangan bersedih. Kita malah mesti bersyukur bahwa kita masih hidup. Dan ini bukan akhir dari kita, bangsa Minua. Memang, kita tidak berhasil mengkontak Wantua dan pesawat-pesawat lain. Tetapi, Vale 9 sempat menerima transmisi data tujuan kita secara rinci dari pusat komando kita sesaat sebelum hancur. Kita akan menuju Males! Kesanalah tujuan kita. Kita akan kembali ke asal kita!” tambahnya antusias namun terselip nada berusaha menghibur kami. Males!... Negeri yang disebut-sebut asal bangsa Minua jauh sebelum menempati koloni Wantua ribuan atau mungkin puluhan ribu siklus yang lalu! Negeri tempat para nenek moyang kami lahir! Negeri yang cuma terdengar dalam dongeng-dongeng sebelum kami tidur! Ah... bukankah itu hanya legenda belaka? Apakah tempat itu benar-benar ada? Tidak ada yang pernah mampu membuktikan jika Males benar-benar ada. Tempat itu mungkin cuma rekaan belaka! Tapi, keraguan-keraguan itu harus ku lupakan dahulu. Saat ini, yang terpenting adalah memiliki harapan. Males adalah satu-satunya harapan kami. Vale 9 telah memiliki koordinat Males dari program navigasi dasarnya. Data posisi Males adalah data yang diambil dari gulungan-gulungan kuno yang diwariskan turun-temurun. “Males adalah sesuatu yang nyata. Menurut gulungan-gulungan tua, Males teletak nun jauh di kuadran 999. Memang, tidak pernah ada pesawat buatan bangsa kita sebetapapun canggihnya pernah mencapai jarak sejauh itu. Tidak disebut dalam data tentang berapa lama perjalanan ini akan berlangsung, tetapi kita memiliki Vale 9. Tetapi jika nenek moyang kita bisa menempuh perjalanan dari Males ke Wantua dahulu, berarti kitapun dapat melakukan hal yang sama. Kita akan tetap terus menuju Males dan suatu saat nanti kita pasti tiba!”, Rumon meyakinkan. Entah data itu memang memberikan posisi yang sebenarnya atau tidak, kami tidak tahu. Maka, mulailah perjalanan kami mengarungi ruang angkasa untuk mencari Males.
“Paman Girun, ini mayesmu!” lamunanku buyar seketika. Lera telah berdiri dihadapanku dengan mata berbinar-binar sambil mengacung-acungkan beberapa untai mayes yang ranum. “Ini , aku pilihkan yang paling merah untukmu. Aku akan membagikan mayes kepada yang lain yaa...!”. Ia pun lari menghilang lagi. Membagikan mayes memang adalah tradisi kami setiap menghadapi siklus baru. Lera adalah generasi ke dua di Vale 9. Ayah dan ibunya adalah teman-teman seperjalananku dari Wantua menuju Males yang akhirnya tumbuh dewasa kemudian menikah dalam perjalanan. Sudah ada banyak pasangan yang akhirnya menikah di Vale 9, sayangnya aku belum seberuntung mereka. Kini anak-anak mereka menjadi keceriaan tersendiri di Vale 9. Mereka jadi alasan bagi kami untuk tetap bertahan mencari Males. Ya, Lera, seperti juga teman-teman sebayanya, tidak lagi mengenal Wantua. Ia lahir dan dibesarkan di sini, di Vale 9...
***

























RUMON

Aku yang menyelamatkan Girun. Ketika dia terhempas untuk kedua kalinya kebawah runtuhan pelataran, kebetulan aku sedang berlari ke pesawatku. Aku harus melompati beberapa lobang yang menganga untuk mencapai tubuh kecilnya itu. Dia sudah tidak sadar ketika aku membopongnya tepat sebelum tiang penyangga balkon ruang pengawar runtuh. Kalau terlambat sepersekian detik saja pasti ia, dan mungkin juga aku, sudah menjadi kerupuk gosong! Padahal Vale 9 sebenarnya bukan pesawat yang akan aku kemudikan, namun entah mengapa aku justru memilihnya. Ya... aku memilihnya ketika keadaan sudah mencapai saat yang benar-benar kritis. Tiang penyangga pangkalan sudah mulai goyah ketika mataku tertuju pada pesawat ini. Padahal sebenarnya ada dua pesawat Deya yang masih utuh bersebelahan dengan Vale 9, tetapi... aku justu berlari ke sini. Mungkin ini cuma perasaanku saja... justru bukan aku yang memilihnya...tidak... Vale 9 lah yang memilih aku! Ketika pintu lambungnya terbuka, ternyata sudah ada puluhan anak kecil yang bersembunyi ketakutan didalam. Kebetulan, Vale 9 di parkir di bagian tertinggi pangkalan yang sebenarnya bukan diperuntukkan buat pesawat sebesar Vale. Biasanya transporter kelas Talda yang ditempatkan di bagian ini. Entah mengapa kali ini pangkalan membuat suatu kesalahan. Mungkin karena letaknya paling tinggi dan jauh dijangkau, hanya sedikit anak-anak yang mampu mencapainya. Sebelum pintu lambung kukunci, aku berusaha melongok kembali ke pelataran kalau-kalau ada lagi anak-anak yang berhasil menyelamatkan diri dari kekacauan dan kehancuran yang sedang berlangsung... dan benar, dikejauhan, disela sela asap hitam dan silau ledakan inilah kulihat seorang bocah terpental. Wajahnya yang telah hitam oleh asap rasanya cukup familiar. Tetapi siapa...? Sesuatu berkelebat di benakku. Aku terhenyak. Girun! Aku kenal baik Welo, ayah Girun. Kami teman sepermainan semenjak kecil. Walau kami tinggal agak berjauhan, kami kemudian memempuh pendidikan pada Wakian yang sama. Bersama beberapa anak-anak lainnya kami menempuh pendidikan dasar pada Wakian Rowor, seorang tetua berambut panjang dan berjubah merah darah. Ia adalah satu dari sekian banyak Wakian yang terdapat di Wantua Tengah. Memang, ia tidak setenar Wakian-Wakian lain , namun ada sebuah keunikan yang tidak dimiliki oleh Wakian lainnya. Diantara semua Wakian, baik di utara maupun di selatan, hanya dialah yang masih memelihara kepercayaan lama bangsa kami yakni kepercayaan terhadap kekuatan Topoka, sebuah kepercayaan akan adanya kekuatan yang maha besar di langit. Kekuatan ini dianggap sebagai asal dari segala benda yang pernah ada, yang ada, dan yang akan ada. Sayangnya, kepercayaan ini sudah dianggap sangat kuno dan telah ditinggalkan oleh bangsa kami, mungkin sejak kami mulai memasuki era perdagangan antar kuadran ratusan tahun silam. Wakian Rowor adalah mungkin yang terakhir dari para Wakian yang masih teguh memegang kepercayaan ini. Walau demikian, kami para muridnya tidak pernah dipaksanya untuk percaya kepada kepercayaan ini. Aku pada awalnya pun tidak perduli apakah Topoka ada atau tidak. Itu tidak penting untukku. Yang aku senang dari berguru pada Wakian Rowor adalah bahwa ia gemar sekali mendongeng. Di antara pergantian kelas kami akan bekumpul mengelilinginya di ruang didik ilmu bintang dan mulailah ia bercerita tentang legenda-legenda zaman dahulu... kisah-kisah tentang kepahlawanan para Waran dimasa lalu... cerita tentang asal usul Wantua... tentang nenek moyang kami... dan tentang Males...
Aku dan ayah Girun akhirnya percaya cerita-cerita Wakian Rowor. Mungkin awalnya Cuma didorong rasa ingin tahu anak-anak, tetapi kami kemudian menjadi begitu antusias. Bahkan sampai saat kami telah menyelesaikan pendidikan padanya sekalipun, kami masih sering berdiskusi akan kemungkinan dimana Males sebenarnya berada. Kami bermaksud membuktikannya secara teknis dan ilmiah. Ini terus berlangsung sampai kami masuk Pendidikan Besar. Kami berdua mulai mencari data-data tentang keberadaan Males sampai kepelosok-pelosok ruang arsip sekolah. Tidak puas dengan minimnya hasil yang kami peroleh dari situ, kami mulai mencari kesumber apa saja yang terpikir oleh kami. Tak sedikit teman-teman kami yang heran dan bahkan mencemooh usaha kami sebagai sesuatu yang absurd dan buang-buang waktu. Tetapi, kami berdua tidak kecil hati. Sesuatu dari dalam jiwa kami seakan-akan menyuruh kami untuk tetap mencari. Sebuah dorongan yang begitu besar seakan menguasai kami. Seperti dorongan kerinduan seorang pengembara akan kampung halamannya. Seluruh penyimpanan data yang dapat kami akses telah kami telusuri, bahkan sampai ke bank data terlengkap Wantua sekalipun! Namun, semua tentang Males sepertinya telah hilang. Tak ada data kongkrit yang kami temukan kecuali dongeng-dongeng tutur tentang tanah nenek moyang kami itu. Mungkinkah ada yang sengaja menghapus semua memori tentang Males? Mungkinkah ada yang sengaja menghapus hubungan kami dengan leluhur kami? Mungkin ada yang sengaja hendak mencabut kami dari akar kami! Tapi siapa? Mengapa?
Akhirnya, pencarian kami membawa kami berdua kembali kepada Wakian Rowor. Usianya sudah sekitar 80an siklus dan tengah terbaring lemah ketika kami berdua menemuinya di kabinnya. Sebelum kami bahkan membuka mulut akan maksud kami ia sudah menggumam pelan, “Mari anak-anakku, mendekatlah... Males menunggu kalian!” kami pun terhenyak karena heran. Ia bangkit dengan susah payah dari ranjangnya dan tertatih-tatih ke ruang belajar ilmu bintang. “Cepat, anak-anakku... waktuku tidak lama lagi. Begitu pula Wantua...” lanjutnya dengan nada penyesalan. Aku sempat berpikir akan makna ucapannya itu. Apa maksudnya bahwa Wantua sudah tidak lama lagi? Tetapi pikiran itu cepat pergi. Di ruangan itu kami duduk saling berhadap-hadapan. Wakian Rowor kemudian mengeluarkan sebuah tabung berwarna hitam dari balik jubahnya merahnya. “Tidak banyak yang tersisa dari ramuan leluhur ini. Hanya satu diantara kalian yang akan dapat melihat Wantua. Kau!” ia menujuk Welo. Kami berdua saling pandang. Welo kemudian mengangguk perlahan. “Kau adalah yang paling peka diantara kalian berdua. Kau akan minum cairan leluhur ini. Setelah itu aku akan membawamu kealam lain. Kembali kealam leluhur kita. Kembali ke Males! Kau akan mengingat seluruh perjalananmu itu dan kau akan mengetahui dimana Males berada!”. Aku bergeser sedikit kesamping dan mereka berdua saling berhadapan. Kemudian ia membantu Welo menenggak habis isi tabung tadi. Wajahnya menahan rasa yang tak sedap, mungking antara pahit dan amis. Berselang beberapa saat kemudian, Wakian Rowor mulai menggumamkan sebuah rangkaian kata-kata yang bernada mirip nyanyian dengan sebuah bahasa yang tidak dapat aku tangkap, namun rasanya tidak asing ditelingaku. Welo mulai bertingkah, mata dan wajahnya mulai merah, sedang duduknya mulai miring kesana-sini. Tiba-tiba Wakian Rowor memekik sambil memegangi kepala Welo. Matanya memandang tajam kearah mata Welo. Welo tersentak dengan mata terbelalak dan mulai bergoncang-goncang. Mulutnya mulai komat-kamit mengucapkan sesuatu yang bukan bahasa. Nada nyanyian aneh Wakian Rowor kian meninggi. Suasana menjadi sangat mistis. Nyanyiannya meninggi dan meninggi dan berlangsung cukup lama hingga hanya berupa teriakan histeris dan kembali hening. Mereka berdua basah oleh peluh dan kelihatan sangat kelelahan. Wakian Rowor sendiri tanpak kehabisan tenaga dan langsung terkulai. Aku langsung mendekati dan memapahnya kembali duduk. Welo masih duduk tediam dengan nafas terengah-engah. Pandangannya kosong kedepan. Kemudian dengan wajah yang antara takjub dan tidak percaya ia mengguman perlahan,”...aku... aku melihat... Males...”.
Kami berdua meninggalkan kabin Wakian Rowor setelah membantu memapahnya kembali ke dipan. Dalm perjalanan pulang Welo masih kelihatan melayang antara sadar dan tidak. “Aku haus... aku perlu minum” katanya. Kami singgah di sebuah kabin makan yang tidak terlalu penuh. Setelah ia cukup minum dan kelihatan sudah cukup tenang, ku desak dia untuk menceritakan apa yang dirasakannya, atau mungkin, yang dilihatnya tadi tentang Males. Welo dengan hati-hati mulai menggambarkannya, ”Males benar-benar ada. Aku telah melihatnya. Kala aku tidak sadar tadi aku seolah diangkat dari Wantua oleh seekor binatang terbang yang belum pernah aku lihat. Tubuhnya berbulu. Sayapnya lebar, kepalanya besar berparuh kecil, bertelinga menjulang dan... kedua matanya... besar dan bulat bercahaya dalam kegelapan. Ia membawaku kelangit dan terhisap sebuah pusaran waktu yang membawaku melintasi langit bintang sampai begitu jauh, mungkin ratusan atau ribuan kuadran. Aku melayang melintasi langit bintang melewati jutaan ruang dan waktu. Kemudian disana, di kejauhan, Males terlihat. Dia bersama beberapa planet lain berada dalam satu sistem edar dan mengitari sebuah bintang bercahaya. Panet-planet itu berwarna warni dan bebagai ukuran. Males sendiri dari kejauhan berwarna campuran biru dan putih. Sebuah planet disampingnya merah kehitaman. Aku ingin melihat dari dekat, tetapi binatang terbang yang membawaku sepertinya telah merasa bahwa kami telah cukup dekat melihat Males. Kami segera tersedot kembali menapaki jalur yang telah kami lewati dan aku kembali terhempas kembali ke Wantua...”. Ia kelihatan menyesal tidak bisa melihat secara lebih rinci lagi. “Mungkin aku tidak sadar tadi. Namun yang kulihat bukan mimpi. Bukan khayalan. Aku yakin benar Males ada nun jauh disana!”.
Sayang, itu adalah usaha terakhir kami untuk menemukan Males. Setelah kembali ke Pendidikan Besar, kami akhirnya menjadi terlalu sibuk akan pelajaran-pelajaran. Setamat pendidikan, kami akhirnya terpisah oleh pekerjaan yang berbeda. Welo memilih menjadi penambang yang bekerja jauh di bawah tanah, sedang aku lebih tertarik menjadi Waran. Ia kemudian menemukan pasangan hidup, aku belum seberuntung dia, di tempat ia bekerja. Bagaimana mungkin bisa seberuntung dia sedangkan aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Setelah menempuh pendidikan dasar Waran, aku kemudian dikirim ke pangkalan untuk belajar ilmu bintang jauh dan mendapat pelatihan pengendara pesawat. Aku dan Welo masih sering berkomunikasi lewat privacom bahkan sampai Girun berusia beberapa siklus. Hubungan kami benar-benar terputus saat aku harus ke planet Talaw untuk mengkomando sebuah pos. Tapi sebelum aku berangkat, Welo sempat mengirimkan gambar hidup mereka berdua sedang mengunyah mayes sambil tertawa-tawa ketika Girun merayakan siklusnya yang ke 3. Dari gambar itulah aku mengenal wajah Girun.
Setelah berhasil meluncurkan Vale 9, sebagai seorang Waran tugasku adalah menghubungi induk pasukan. Namun semua usakha kontak yang aku lakukan tidak berhasil. Keinginan untuk kembali ke Wantua untuk mengecek keadaan sebenarnya juga pernah terpikir olehku, namun dengan membawa Vale 9 seorang diri tanpa pertolongan pengendali senjata, usaha ini akan seperti bunuh diri belaka. Vale 9 akan segera dihancurkan oleh pesawat-pesawat penghancur Mass dengan mudahnya. Beberapa saat aku tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku hanya diam sambil memandangi layar sensor. Tetapi, sebuah langkah kaki kecil menyadarkanku. Di belakangku, tepat di pintu, aku melihat Girun sedang terkesiap memandang monitor yang memampangkan Wantua yang sedang terbakar. Wajahnya mengingatkan aku akan ayahnya. Ya, dan aku teringat akan persahabatan kami. Aku teringat akan tekad kami menemukan Males. Aku teringat akan semua pengalaman kami pencarian, termasuk ketika mengunjungi Wakian Rowor. Sebuah ide tiba-tiba melintasi benakku. ... Males! Ya... tidak pernah ada komunikasi dari Wantua yang menghendaki kami menuju Males. Tidak ada kiriman data koordinat tentang dimana Males berada. Tidak ada gulungan-gulungan tua tempat asal data-data tentang Males. Aku menciptakan semua cerita itu agar semua memiliki harapan. Aku kemudian harus menganalisa sendiri dimana kira-kira Males berada. Berdasarkan pengetahuan bintang jauh yang kupelajari dalam pendidikan Waran, dan dengan membandingkannya dengan informasi yang diceritakan Welo tentang posisi Males, aku menarik kesimpulan bahwa Males berada di suatu tempat pada kuadran 999. Kuadran tersebut memiliki komposisi bitang yang paling mendekati cerita Welo. Kesanalah Vale 9 kuarahkan.
Vale 9 mungkin telah menempuh perjalanan trilyunan emmo sejak dari Wantua. Telah ribuan kuadran yang dilaluinya. Pesawat tua ini telah mengarungi langit bintang hampir dua puluh siklus. Memang, ia dapat menyangga kehidupan dari semua penghuninya dengan kemampuan regenerasinya, namun usia metanya terbatas. Walau rajin diperbaiki, meta akan mencapai usia puncak pakai yang tidak akan mungkin dapat diperbaiki lagi. Setelah adanya beberapa keluarga baru, kini ada belasan jiwa yang menggantungkan hidupnya pada Vale 9. Ada belasan jiwa dari sisa-sisa terakhir bangsa kami yang harus segera menemukan “rumah”. Memang perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Tetapi, kami masih belum mau untuk menyerah. Harapan masih berkobar dalam hati setiap penghuni Vale 9. Males, entah berapa lama lagi...
***






VALE 9

Monitor di ruang pantau berkedap-kedip. Alarm membahana ke seantero Vale 9. Semua terhenyak. Seluruh penghuninya berlarian ke ruang besar, tak terkecuali anak-anak kecil. Di sana sebuah monitor besar diaktifkan dan langsung menggambarkan hasil sensor. Keadaan riuh rendah dan kacau. Namun, herannya tidak ada siratan kepanikan di wajah-wajah mereka, malah sebuah gambaran kegembiraan yang terlihat. Sorak-sorai menggema, “Males terlihat...! Males terlihat! Kita sampai! KITA SAMPAI!”. Jarak Vale 9 dan Males tinggal sekitar ratusan ribu emmo. Ternyata kumpulan planet tempat Males berada dikelilingi oleh sebuah pembatas berupa sabuk meteorit. Selain memang terlau jauh, lapisan inilah yang menghalangi sensor untuk mendeteksi Males lebih jauh dari ratusan ribu emmo, sehingga pemetaan kuadran ini oleh sensor dari Wantua begitu kabur, yang mengakibatkan Males tidak terpetakan dan dianggap hanya sebuah dongeng oleh belaka oleh bangsa Minua. Bangsa yang telah menganut pola pikir Griston, seorang suci Wantua, yang secara sistematis menghilangkan kepercayaan mereka terhadap hal-hal “diluar apa yang telah di anggap benar”. Kepercayaan lama Topoka yang juga dikategorikan “tidak benar” mulai ditinggalkan semenjak mereka mulai masuk era perdagangan antar kuadran. Padahal, sesuatu yang diluar kemampuan mempercayai kita tidak berarti bahwa sesuatu tersebut tidak ada, bukan? Dari luar sabuk inipun Vale 9 masih tidak memiliki visual yang jelas akan Males. Tetapi paling tidak, sekarang Males sudah di depan mata.
Rumon dan para kru diruang kendali sibuk mengarahkan Vale 9 menghindari sabuk meteorit yang lumayan tebal. Sabuk-sabuk semacam ini banyak tersebar di langit bintang dan Vale 9 pernah melewati yang lebih buruk dari ini. Rumon dengan ahlinya berhasil mengarahkan Vale 9 keluar dari kepungan asteroid. Pada saat pesawat terbebas dari medan magnit asteroid, sensor menerima sebuah gambaran yang mencengangkan dari Males. Girun yang bertugas mengawasi layar sensor terperangah, “Rumon, Males berpenghuni...!”. Seluruh awak Vale 9 terbelalak. Seluruhnya, termasuk mereka yang berkumpul diruang besar sekalipun. Dari sensor mereka menerima visual kehidupan di Males. Dilayar mereka melihat tanda-tanda kehidupan dan peradaban. Diberbagai sudut Males terdeteksi kumpulan-kumpulan hunian dalam jumlah besar seperti yang terdapat di wantua. Bahkan, berdasarkan analisa luas keseluruhan, mungkin populasi di Males jauh lebih besar dari Wantua. “Males berpenghuni...” ulang Girun lambat. Bermacam perasaan bercampur aduk dalam hati awak Vale 9. Mereka gembira telah mencapai tujuan setelah sekian lama mengembara namun, mereka kecewa ketika melihat Males ternyata berpenghuni. Dibalik kekecewaan mereka, tersembunyi bermacam-macam keraguan dan pertanyaan. Mungkinkah penghuni Males sekarang adalah saudara sebangsa mereka? Ataukah mereka itu penghuni baru yang datang menguasai Males setelah nenek moyang bangsa Minua meninggalkan Males menuju Wantua? Atau malah karena serangan penghuni inilah yang menyebabkan bangsa Minua harus pergi dari Males, seperti yang terjadi ketika bangsa Mass menghancurkan koloni mereka? Awak Vale 9 seperti terpatung dalam pikiran-pikiran mereka. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani mengambil inisiatif untuk maju terus atau meninggalkan Wantua, Rumon sekalipun. Semua hening. Sekonyong-konyong, dalam keheningan mereka tersentak. Pesawat antar kuadran Vale 9 tiba-tiba mengeluarkan cahaya biru, se biru Males. Dari layar sensor mereka kehilangan gambaran posisi Vale 9 sendiri. Kelihatannya Vale 9 seperti hilang dari layar sensornya sendiri. Dari luar memang Vale 9 seolah dibungkus lapisan tembus pandang. Pesawat ini hilang dari pandangan... Vale 9 kemudian bergerak sendiri tanpa diarahkan. Kru kendali Vale 9 berusaha mengendalikannya namun kontrol seperti putus. Ia seakan-akan memasuki pusaran magnetis yang dengan sendirinya menarik Vale 9 ke... Males!
Vale 9 meluncur pasti menuju Males, tanpa bisa dikendalikan lagi. Mereka semakin dekat dan dekat melewati lintasan kelompok planet yang mengelilingi sebuah bintang bercahaya itu. Mulai dari planet yang paling luar, terus mendekat melewati berbagai planet lain. Ada yang beku karena terlalu dingin Ada yang berukuran seribu kali Males. Ada yang dikelilingi cincin berlapis-lapis. Kemudian... dikejauhan...Males! “Lihat, Males sebagian besar terdiri dari cairan... tetapi, kelihatannya penghuni Males tinggal di bagian-bagian yang kering saja. Tidak ada pemukiman di dalam wilayah bercairan itu. Kemungkinan besar mereka hidup dengan menghirup angin seperti bangsa Minua!” Girun menganalisa tampilan layar sensor dengan hati-hati. Vale 9 mendekati Males dari balik sebuah planit kecil yang mengitarinya. Pusaran magnetis itu tambah kuat menarik Vale 9, hingga akhirnya, ia memasuki atmosfer Males dengan perlahan. Seluruh awak Vale menahan napas. Terlihat beberapa benda logam mengorbit Males. Vale 9 kelihatannya ditarik kearah tengah Males, kearah garis tengah planet ini. Vale 9 terus dan terus tersedot menuju sebuah gugusan kepulauan di bagian tengah Wantua dan terus mendekati sebuah pulau. Vale 9 oleh kekuatan penyedot itu diarahkan ke ujung utara pulau tersebut. Wilayah ini bergunung-gunung dan memiliki beberapa puncak yang berlava. Vale 9 terus ditarik menuju kaki sebuah puncak berlava tersebut. Namun, Vale 9 masih tetap ditarik sehingga akhirnya melayang-layang diatas sebuah bangunan kecil di ditepi hutan. Disini Vale 9 benar-benar berhenti. Medan magnetik yang menyeret mereka masih terasa dan memang berasal dari bangunan kecil tepat dibawah mereka. Melalui sensor, Girun menerima sebuah visual. Ternyata bangunan dibawah mereka berisi sebuah batu besar. Bangunan itu kelihatannya dibangun untuk melindungi batu tersebut. Girun mempertajam sensor dan tampaklah bahwa batu besar itu terdapat guratan-guratan semacam aksara. Ia sibuk bekerja dengan penganalisa di depannya....
Wajahnya kemudian berubah cerah. “Itu aksara Minua kuno!” seru Girun antusias. Sebuah perasaan lega tergambar dari wajah-wajah awak Vale 9. Mereka yakin bahwa inilah Males yang mereka cari selama ini. Dari sinilah asal mereka. Disinilah tempat nenek moyang mereka dilahirkan. Perjalanan berakhir. Vale 9 telah tiba! Mereka telah tiba!
***


MALES
Sebenarnya, masih ada beberapa deret aksara lain yang tervisualkan sensor. Tetapi bukan ditulis di batu besar tadi, bukan. Deretan aksara itu tertulis di bangunan yang memayungi batu tersebut. Aku tidak terlalu memperhatikannya karena itu tidak dapat dimengerti. Penganalisa telah mencoba menterjemahkannya namun, gagal. Deretan aksara itu terlalu asing. Mungkin, itu adalah aksara dan bahasa para penghuni Males. Deretan aksara asing itu adalah:

w a t u p i n a b e t e n g a n