Menyusul peristiwa rusuh massa yang menimpa para mahasiswa sebuah sekolah tinggi theologi di Jakarta Timur belum lama ini, sebuah stasiun televisi memasukkan warta itu dalam rubrik tetapnya berupa interaksi dengan pemirsa yang memilih sendiri berita yang ingin ditayangkan ulang. Telepon berdering. Dan suara seorang perempuan terdengar memberi salam. Ia seorang ibu, tinggal di Bogor.
Menanggapi peristiwa di STT Setia Arastamar itu, dan peristiwa-peristiwa sejenis yang nyaris rutin, misalnya seorang Camat yang ikut dengan massa yang menuntut penutupan sebuah gereja, si ibu menyimpulkan: “Negara ini sudah gagal!”
Tak ada yang lebih telak, tepat, utama, dan penting, daripada simpulan demikian dalam menanggapi fakta menjadi rutinnya perlakuan tak adil atas kaum minoritas.
Kita sama tahu raison d’etre atau that’s why adanya Negara yang dijelaskan Hobbes dan kemudian disempurnakan oleh banyak pemikir lain termasuk Sumual: Setiap manusia dilahirkan dengan hak asasi; termasuk hak mempertahankan hidupnya dan miliknya dari serangan orang lain. Tapi usaha pertahanan diri itu tak boleh sepenuhnya diserahkan kepada warga, karena demi menjamin keberhasilan pertahanan tersebut setiap orang akan saling curiga, menyerang lebih dulu, membangun kekuasaan sendiri-sendiri tanpa batas, atau mengusahakan bala bantuan sebanyaknya dari luar. Dan itu niscaya menjurus pada bellum omnium contra omnes — perang semua melawan semua. Maka, semua warga itu mengadakan kontrak untuk membentuk satu badan pemegang kekuasaan bersama — yakni Negara — dan memilih pemerintah serta organ lain buat menyelenggarakan negara itu. Fungsi negara yang utama dan minimal adalah menjaga keamanan warga beserta hak-hak mereka, dan harus adil agar kekuasaan itu tak dimanfaatkan kelompok warga lainnya untuk hanya menguntungkan keamanan pihak mereka. Karenanya, negara harus dinilai gagal bila fungsi minimal — keamanan dan keadilan — itu kenyataannya tak tertangani.
Sampai di situ, di tataran konsep, siapapun (termasuk ibu penelepon tadi) setujuan. Tetapi praktiknya yang selalu jadi lain itu semestinya menyadarkan siapapun bahwasanya ada tataran konseptual yang lain lagi, yang selama ini mengarahkan praktikal aktual.
Lain? Ya, misalnya, di tataran “iman”. Di sini ada “perintah agama” yang, walau bertentangan dengan keharusan menjaga keamanan dan keadilan, dinilai “harus ditunaikan”. Amanat agama melampaui harkat hukum negara maupun negara itu sendiri. Dan penghayatan iman serta pengamalannya yang seperti ini bukan saja dalam satu agama tertentu di wilayah negara tertentu. Juga tak hanya di masa tertentu, seperti penyalahgunaan kekuasaan gereja untuk menebar teror dan ketidakadilan di sepanjang Zaman Pertengahan, atau Afghanistan di masa rezim Taliban. Para penganut Budhisme di Thailand dan Srilanka menyesak kaum minoritas Islam dan Hindu. Para penganut Yudaisme di Israel, pada hari Sabath, memukuli orang-orang di jalan yang tidak pergi ke sinagoge. Sejumlah orang Hindu di India berlomba membunuh warga Muslim dan membakar masjid.
Masalah ini hanya dapat selesai secara tuntas bila masyarakat telah mencapai taraf kecerdasan memadai. Lebih cerdas dalam beragama. Lebih tahu mana wujud takwa yang utama di mata Allah, yakni meneladani sifat-sifatNya yang rahmani dan rahimi. Bukan mengutamakan lain-lain berdasar bermacam tafsir manusia. Rahmani dan rahimi, pengasih dan penyayang. Jauh dari laku kekerasan dan ketidakadilan.
Untuk mencapai taraf kecerdasan memadai itu pun adalah fungsi negara. Bukan fungsi minimal, melainkan fungsi ideal — yang seharusnya sudah beres, mengingat kebudayaan homo sapiens ini sudah menggauli negara dan agama selama beribu tahun. Fungsi ideal ini — yang dirumuskan lewat bermacam kata-kata oleh Plato, Al-Farabi, Martin Luther dan Rousseau — masih gagal diperankan negara. Tepatnya: bangsa. Bangsa-bangsa.
Warga bangsa belum pernah berhasil mengajukan konsep negara yang sebenarnya — yang antaranya mengenai fungsi minimal sampai fungsi ideal Negara — sehingga tak pernah bisa mencapai kondisi ideal itu. Yang kendati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa — melalui International Covenan on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) — sebetulnya sudah pula diabsahkan sebagai kewajiban minimal suatu negara.
Negara harus menjadi lokomotif dari apa yang oleh UUD 45 dirumus “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Termasuk di dalamnya: kehidupan beragama yang cerdas. Lebih mampu mensistematisir ajaran agama — jelas mana inti dan mana implementasi berdasar kondisi situasional, kultural, historis — sehingga lebih ajeg, konsisten, menumbuhkan takwa. Dengan demikian, sebagai inti dan dasar, agama tetap bisa diposisikan pada harkat lebih tinggi di atas hukum dan negara, dan secara ajeg serta konsisten. Dengan kecerdasan pun maka setiap insan dapat mencapai kemajuan puncak tanpa harus meluncur ke sekularisme dan hambar imannya.
Beragama secara lebih cerdas, dan seterusnya membina agama yang mencerdaskan generasi-generasi selanjutnya.
*) Benni E.Matindas,
Filsuf Minahasa, penulis buku “Negara Sebenarnya”.
Minggu, 05 Oktober 2008
Cerpen Cyanthi Manoppo: "Cincin Kaweng..."
Alkisah hiduplah Lintje dan Antje di desa Tomohon[1]. Antje lahir di tahun 50-an. Tiga tahun sesudahnya Lintje dilahirkan. Pada waktu itu, para tetua desa dan para orang tua lagi kegandrungan menamai anaknya dengan akhiran..-tje (Baca : -Ce). Selain Antje ada adiknya Martje dan Vence. Lintje memiliki 3 orang kakak yakni Katotje, Dortje dan Suntje. Tambahan pula teman sepermainan mereka si Sartje, Yantje dan Mintje. Maka, setiap hari Ibu Guru memanggil daftar hadir siswanya : Katoce, Dorce, Marce, Ance, Sarce, Yance, Lince, Mince, Vince, Sunce… Ya, berhubung usia mereka berdekatan dan keterbatasan prasarana, semua generasi –ce –ce di desa itu belajar bersama-sama. Rukun dan damai.
Lintje dan Antje selalu bersama-sama.
Rumah mereka berdekatan, orang tua mereka berkawan dan mereka selalu bersekolah di sekolah yang sama sejak SD yang jaraknya hanya 15 menit jalan kaki dari rumah hingga masuk SMP yang jaraknya 1 jam lebih 15 menit jalan kaki dari rumah. Maka bisa di duga mereka akhirnya menikah juga. Hidup rukun dan damai.
Tapi, Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak.
Tsunami I
Saat itu olahraga adu semangat yang paling ramai adalah mengadu Ayam milik siapa yang paling jago di seantero kampung. Mereka yang ketagihan seperti saling menghormati norma baru yakni yang memiliki ayam paling jago kira-kira bisa disamakan dengan yang paling jago di kampung. Walah…padahal andil empunya para ayam jago paling banyak meneriaki para ayam dan memberi mereka makanan lebih dari takaran biasa. Tak tanggung-tanggung taruhannya dari Jagung sekarung sampai uang ratusan ribu rupiah.
Sebenarnya niat awal Antje menyabung ayam malam minggu itu bukanlah niat jahat. Antje bermaksud memberikan hadiah istimewa pas hari Valentin 14 Februari yang tinggal seminggu lagi, pada juwita puspita hatinya Lintje : membelikan coklat berbentuk buah hati bertuliskan I Love You yang hanya dijual di pertokoan kota Manado. Berhubung masih termasuk barang langka di kampung, biaya transportasi ditambah harga beli coklat setara dengan tiga kali hasil jualan di pasar.
Apa pasal ? Yach… seperti sikap dasar manusia, kalau ada cara mudah menggapai sesuatu mengapa tidak ? Tapi Antje salah perhitungan ketika dalam menyambung ayam niat awalnya berubah di tengah jalan. Hari itu jualan para pedagang sayuran laris manis, harga taruhan pun naik setinggi langit. Antje tak mau kalah dan kecoplosan menawar cincin kawin emasnya.
“Astaganaga…Antje, nyanda salah ngana se gadai itu cincin kaweng ?” teriak Ventje adik kandung Antje.
“Hush..kita pe ayam paling jago. Tenang jo kwa, nanti kita kase bagian MAR jangan bilang pa maitua neh !” seru Antje tak kalah semangat.
Roda kehidupan tidak ada yang tahu,
kata pujangga.
Kegagalan adalah awal kesuksesan,
kata filsuf.
Bahtera rumah tangga pasti ada riak kecil,
tutur Ventje selaku saksi, ikut nyambung
Demi Langit dan Bumi, nyanda sengaja cintaku
ratap Antje
Kita binci pa ngana, kalo minta cere bukang bagini depe cara,
tangis Lintje
Menjual cincin kawin untuk menebus kekalahan menyambung ayam bukanlah hanya riak kecil bagi seorang istri seperti Lintje. Hilang sudah cokelat valentine idaman malahan Tsunami menggemuruh mengalir deras di setiap sel darah Lintje.
Masalah Cincin Kaweng di keluarga Antje dan Lintje diredakan oleh si kecil Celia. Hhmm…sejauh ingatku, akulah yang mendamaikan Mama Lintje dan Papa Antje. Tepat seminggu perang dingin, tepat hari kasih sayang sedunia, aku yang masih cadel dan baru belajar menulis memberikan surat bagi mama dan papa.
Isi suratkku :
===============================================================
14 Februari,
Mama LinCE + Papa AnCE = ade CELiA
Celia sayang pa mama deng papa. Baku bae jo neh ??
===============================================================
Sampai sekarang, suratku dibingkai dan dipajang di ruang tamu. Padahal tulisannya cakar ayam alias tidak karuan. Haha..Dewasa ini aku baru tahu ternyata Om Ventje yang cerdik sangat berjasa mendamaikan mama papa. Isi suratnya diajarai Om Ventje selama seminggu penuh maka, selama 7 hari berturut-turut setiap selesai latihan menulis surat, Celia kecil mendapatkan permen Hopjes [2]
Masalah penggadaian cincin kawin demi valentines day akhirnya reda di hari valentines. Kembali pada kewajaran, Antje dan Lintje hidup rukun dan damai.
Sekali lagi,Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak.
Lintje dan Antje hampir tidak pernah memiliki riak kecil dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka. Sebagai gantinya mereka langsung menghadapi Tsunami dan kali ini Tsunami menggemuruh mengalir deras di setiap sel darah Antje.
Tsunami II
Aku berumur 17 tahun kala itu. Celia, si keke yang berkulit putih menjadi bintang kelas di sekolahan bertekad melanjutkan belajar di kuliahan di ibukota. Sebagai anak semata wayang, mama Lintje dan papa Antje sangat besemangat untuk menyaksikan Celia bisa meraih gelar insinyur. Hanya saja tekad dan semangat harus bertempur dengan uang. Pertempuran yang sengit, dimana anak usia sekolah dengan keadaan ekonomi keluarga pas-pasan kalau tidak mau disebut orang miskin, pastilah tidak menyanggupi biaya spp, buku cetak, transport pergi-pulang kampung-kota-kampung. Belum lagi biaya tak terduga lain-lain.
Berdasarkan musyawarah tertutup - Bapak, Ibu dan Anak. Mama memutuskan : menjual cincin kawin untuk biaya kuliahku. Papa yang tahu memainkan perannya membuat mama harus sukarela menjual barang kesayangannya. Toh, cincin itu sudah tidak ada pasangannya, bujuk papa. Toh, tanpa cincin itu kita saling mencintai sampai tua, rayu papa.
Akhirnya waktunya tiba. Om Ventje datang hendak membeli cincin kawin mama.
Sudah satu jam. Tapi, cincin itu tidak bisa terlepas dari jarimanis mama.
“Aduh..Vence, kita nyanda batowo kasiang. Pe setengah mati skali, nyanda tacabu ini cincin kaweng “ seraya berusaha memutar, menarik, me…, me…, menarik cincin kawinnya
“Lince dapa lia kwa..riki so merah do ngana pe jare manis. Santai jo”
Waktu terus berdetak dan tak pernah mau berhenti
Detik ke-60 menjadi menit
Menit ke-60 menjadi jam
Dan jam ke-3, dentang itu mengundang Tsunami
“Mama, so basangaja sto kang ? Papa nda abis pikir, masa cuma mo sekaluar itu barang spanggal so tiga jam ? “
“Aduh.. Papa jang asal-asal malontok. Tanya kwa pa Vence, so goso sabong, minyak goreng, minyak kalapa, minyak tawon, nyanda talapas ini cincin”
“Papa jang baku sedu..Mo apa itu peda ? Aaaahhhh…mama nimau !! “
Hari Jumat, kantor perguruan tinggi hanya buka setengah hari. Karena itu papa jadi tidak sabaran dengan usaha mama melepas cincin kawin dari jari manisnya. Papa sudah mengatur agenda bahwa hari itu juga, pembayaran awal kuliahku harus terjadi dan papa termasuk orang yang tidak mau mengubah apa yang sudah direncanakan.
17 tahun dibesarkan mama dan papa, aku tentu saja mengenal mereka lebih dalam. Peda [3] itu hendak digunakan papa untuk memotong cincin emas yang sangat lengket di jari manis mama. Tentu saja wanita separuh baya seperti mama sangat ketakutan membayangkan bahwa jari manisnya bisa ikut putus dalam sekali tebas. Mama menangis keras dan mengulang kalimat yang sama dengan 13 tahun lalu saat Tsunami pertama melanda, “Kita binci pa ngana, kalo minta cere bukang bagini depe cara”
Itulah pertama kalinya aku terpikir, mungkin tanpa Cincin Kawin sebuah keluarga justru tidak akan pernah terpikir tentang perceraian.
Masalah cincin kawin kali itu diselesaikan si ABG Celia dan Om Ventje. Om Ventje membawaku mengikuti tes masuk gratis untuk siswa berprestasi. Aku masuk sebagai 5 besar dan memberi mama waktu 6 bulan atau sama dengan 1 semester untuk menurunkan berat badan hingga jari manisnya menjadi lebih ramping dan tanpa ditebas dengan parang, cincin kawin itu bisa dikeluarkan dan dijual oleh Om Ventje.
Siklus hidup manusia memainkan jemarinya.
Selesai kuliah, ditanya kapan kerja
Sementara kerja, ditanya kapan menikah
Sebagai Psikolog, Aku tentu menyadari kehendak mama dan papa untuk segera menimang cucu. Sebagai tameng agar tidak dipaksa untuk segera menikah, aku mengatakan pada mama dan papa bahwa aku benarlah serius hanya akan menikah dengan pria yang mencintai dan menerimaku apa adanya. Termasuk menerima kehendak anehku, menikah tanpa pernik Cincin Kawin.
Semuanya baik-baik saja. Aku hidup rukun dan damai dengan keluarga, teman, kolega, pasien… dan kekasih di belahan benua yang lain.
Lagi-lagi,Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak
Tsunami III
Tepat Valentines Day, 14 Februari. Tiba saatnya Aku harus menanggulangi Tsunami ku sendiri.
Anaknya tante Martjee dan om Vintje tiba-tiba datang di tempat praktek, bukan kenalan biasa.
Marvin, pacarku semenjak SMU muncul sambil membawa gelar Master ekonomi dan pilihan kado di kedua tangannya. Dia memang selalu lebih pintar dari aku, to the point, tanpa basa basi dan sama-sama aneh kata sebagian orang.
“Celia…pilih yang mana ? coklat valentine untuk pernikahan ATAU cincin untuk persahabatan”
Haha…Celia yang anti dengan aksesoris bernama cincin tidak mungkin memilih barang itu kan ? Kurasakan tsunami ini bukan gemuruh yang meluap marah, tapi debar jantung kegugupan dan luapan kebahagiaan, karena terjawab sudah salah satu permohonan doa: Semoga, akulah empunya tulang rusuknya yang konon hilang satu.
Begitu tanganku menyentuh coklat valentine, Marvin mendekapku erat sambil berbisik :
Honey…
In the long run we are all dead[4],
In the short run we will marry!!
Menyambut hari ke-empat belas, di bulan kedua, tahun 2005
________________________________________
[1] Kota Tomohon dicapai melalui transpotasi darat 45 menit dari kota Manado, ibukota Sulawesi Utara
[2] Permen yang paling terkenal di Tomohon pada tahun 1960-an
[3] Parang, semacam pisau besar
[4] kalimat salah satu ekonom dunia
Lintje dan Antje selalu bersama-sama.
Rumah mereka berdekatan, orang tua mereka berkawan dan mereka selalu bersekolah di sekolah yang sama sejak SD yang jaraknya hanya 15 menit jalan kaki dari rumah hingga masuk SMP yang jaraknya 1 jam lebih 15 menit jalan kaki dari rumah. Maka bisa di duga mereka akhirnya menikah juga. Hidup rukun dan damai.
Tapi, Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak.
Tsunami I
Saat itu olahraga adu semangat yang paling ramai adalah mengadu Ayam milik siapa yang paling jago di seantero kampung. Mereka yang ketagihan seperti saling menghormati norma baru yakni yang memiliki ayam paling jago kira-kira bisa disamakan dengan yang paling jago di kampung. Walah…padahal andil empunya para ayam jago paling banyak meneriaki para ayam dan memberi mereka makanan lebih dari takaran biasa. Tak tanggung-tanggung taruhannya dari Jagung sekarung sampai uang ratusan ribu rupiah.
Sebenarnya niat awal Antje menyabung ayam malam minggu itu bukanlah niat jahat. Antje bermaksud memberikan hadiah istimewa pas hari Valentin 14 Februari yang tinggal seminggu lagi, pada juwita puspita hatinya Lintje : membelikan coklat berbentuk buah hati bertuliskan I Love You yang hanya dijual di pertokoan kota Manado. Berhubung masih termasuk barang langka di kampung, biaya transportasi ditambah harga beli coklat setara dengan tiga kali hasil jualan di pasar.
Apa pasal ? Yach… seperti sikap dasar manusia, kalau ada cara mudah menggapai sesuatu mengapa tidak ? Tapi Antje salah perhitungan ketika dalam menyambung ayam niat awalnya berubah di tengah jalan. Hari itu jualan para pedagang sayuran laris manis, harga taruhan pun naik setinggi langit. Antje tak mau kalah dan kecoplosan menawar cincin kawin emasnya.
“Astaganaga…Antje, nyanda salah ngana se gadai itu cincin kaweng ?” teriak Ventje adik kandung Antje.
“Hush..kita pe ayam paling jago. Tenang jo kwa, nanti kita kase bagian MAR jangan bilang pa maitua neh !” seru Antje tak kalah semangat.
Roda kehidupan tidak ada yang tahu,
kata pujangga.
Kegagalan adalah awal kesuksesan,
kata filsuf.
Bahtera rumah tangga pasti ada riak kecil,
tutur Ventje selaku saksi, ikut nyambung
Demi Langit dan Bumi, nyanda sengaja cintaku
ratap Antje
Kita binci pa ngana, kalo minta cere bukang bagini depe cara,
tangis Lintje
Menjual cincin kawin untuk menebus kekalahan menyambung ayam bukanlah hanya riak kecil bagi seorang istri seperti Lintje. Hilang sudah cokelat valentine idaman malahan Tsunami menggemuruh mengalir deras di setiap sel darah Lintje.
Masalah Cincin Kaweng di keluarga Antje dan Lintje diredakan oleh si kecil Celia. Hhmm…sejauh ingatku, akulah yang mendamaikan Mama Lintje dan Papa Antje. Tepat seminggu perang dingin, tepat hari kasih sayang sedunia, aku yang masih cadel dan baru belajar menulis memberikan surat bagi mama dan papa.
Isi suratkku :
===============================================================
14 Februari,
Mama LinCE + Papa AnCE = ade CELiA
Celia sayang pa mama deng papa. Baku bae jo neh ??
===============================================================
Sampai sekarang, suratku dibingkai dan dipajang di ruang tamu. Padahal tulisannya cakar ayam alias tidak karuan. Haha..Dewasa ini aku baru tahu ternyata Om Ventje yang cerdik sangat berjasa mendamaikan mama papa. Isi suratnya diajarai Om Ventje selama seminggu penuh maka, selama 7 hari berturut-turut setiap selesai latihan menulis surat, Celia kecil mendapatkan permen Hopjes [2]
Masalah penggadaian cincin kawin demi valentines day akhirnya reda di hari valentines. Kembali pada kewajaran, Antje dan Lintje hidup rukun dan damai.
Sekali lagi,Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak.
Lintje dan Antje hampir tidak pernah memiliki riak kecil dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka. Sebagai gantinya mereka langsung menghadapi Tsunami dan kali ini Tsunami menggemuruh mengalir deras di setiap sel darah Antje.
Tsunami II
Aku berumur 17 tahun kala itu. Celia, si keke yang berkulit putih menjadi bintang kelas di sekolahan bertekad melanjutkan belajar di kuliahan di ibukota. Sebagai anak semata wayang, mama Lintje dan papa Antje sangat besemangat untuk menyaksikan Celia bisa meraih gelar insinyur. Hanya saja tekad dan semangat harus bertempur dengan uang. Pertempuran yang sengit, dimana anak usia sekolah dengan keadaan ekonomi keluarga pas-pasan kalau tidak mau disebut orang miskin, pastilah tidak menyanggupi biaya spp, buku cetak, transport pergi-pulang kampung-kota-kampung. Belum lagi biaya tak terduga lain-lain.
Berdasarkan musyawarah tertutup - Bapak, Ibu dan Anak. Mama memutuskan : menjual cincin kawin untuk biaya kuliahku. Papa yang tahu memainkan perannya membuat mama harus sukarela menjual barang kesayangannya. Toh, cincin itu sudah tidak ada pasangannya, bujuk papa. Toh, tanpa cincin itu kita saling mencintai sampai tua, rayu papa.
Akhirnya waktunya tiba. Om Ventje datang hendak membeli cincin kawin mama.
Sudah satu jam. Tapi, cincin itu tidak bisa terlepas dari jarimanis mama.
“Aduh..Vence, kita nyanda batowo kasiang. Pe setengah mati skali, nyanda tacabu ini cincin kaweng “ seraya berusaha memutar, menarik, me…, me…, menarik cincin kawinnya
“Lince dapa lia kwa..riki so merah do ngana pe jare manis. Santai jo”
Waktu terus berdetak dan tak pernah mau berhenti
Detik ke-60 menjadi menit
Menit ke-60 menjadi jam
Dan jam ke-3, dentang itu mengundang Tsunami
“Mama, so basangaja sto kang ? Papa nda abis pikir, masa cuma mo sekaluar itu barang spanggal so tiga jam ? “
“Aduh.. Papa jang asal-asal malontok. Tanya kwa pa Vence, so goso sabong, minyak goreng, minyak kalapa, minyak tawon, nyanda talapas ini cincin”
“Papa jang baku sedu..Mo apa itu peda ? Aaaahhhh…mama nimau !! “
Hari Jumat, kantor perguruan tinggi hanya buka setengah hari. Karena itu papa jadi tidak sabaran dengan usaha mama melepas cincin kawin dari jari manisnya. Papa sudah mengatur agenda bahwa hari itu juga, pembayaran awal kuliahku harus terjadi dan papa termasuk orang yang tidak mau mengubah apa yang sudah direncanakan.
17 tahun dibesarkan mama dan papa, aku tentu saja mengenal mereka lebih dalam. Peda [3] itu hendak digunakan papa untuk memotong cincin emas yang sangat lengket di jari manis mama. Tentu saja wanita separuh baya seperti mama sangat ketakutan membayangkan bahwa jari manisnya bisa ikut putus dalam sekali tebas. Mama menangis keras dan mengulang kalimat yang sama dengan 13 tahun lalu saat Tsunami pertama melanda, “Kita binci pa ngana, kalo minta cere bukang bagini depe cara”
Itulah pertama kalinya aku terpikir, mungkin tanpa Cincin Kawin sebuah keluarga justru tidak akan pernah terpikir tentang perceraian.
Masalah cincin kawin kali itu diselesaikan si ABG Celia dan Om Ventje. Om Ventje membawaku mengikuti tes masuk gratis untuk siswa berprestasi. Aku masuk sebagai 5 besar dan memberi mama waktu 6 bulan atau sama dengan 1 semester untuk menurunkan berat badan hingga jari manisnya menjadi lebih ramping dan tanpa ditebas dengan parang, cincin kawin itu bisa dikeluarkan dan dijual oleh Om Ventje.
Siklus hidup manusia memainkan jemarinya.
Selesai kuliah, ditanya kapan kerja
Sementara kerja, ditanya kapan menikah
Sebagai Psikolog, Aku tentu menyadari kehendak mama dan papa untuk segera menimang cucu. Sebagai tameng agar tidak dipaksa untuk segera menikah, aku mengatakan pada mama dan papa bahwa aku benarlah serius hanya akan menikah dengan pria yang mencintai dan menerimaku apa adanya. Termasuk menerima kehendak anehku, menikah tanpa pernik Cincin Kawin.
Semuanya baik-baik saja. Aku hidup rukun dan damai dengan keluarga, teman, kolega, pasien… dan kekasih di belahan benua yang lain.
Lagi-lagi,Ini bukan kisah dongeng dari negeri antah berantah. Maka hidup rukun dan damai tidaklah mutlak
Tsunami III
Tepat Valentines Day, 14 Februari. Tiba saatnya Aku harus menanggulangi Tsunami ku sendiri.
Anaknya tante Martjee dan om Vintje tiba-tiba datang di tempat praktek, bukan kenalan biasa.
Marvin, pacarku semenjak SMU muncul sambil membawa gelar Master ekonomi dan pilihan kado di kedua tangannya. Dia memang selalu lebih pintar dari aku, to the point, tanpa basa basi dan sama-sama aneh kata sebagian orang.
“Celia…pilih yang mana ? coklat valentine untuk pernikahan ATAU cincin untuk persahabatan”
Haha…Celia yang anti dengan aksesoris bernama cincin tidak mungkin memilih barang itu kan ? Kurasakan tsunami ini bukan gemuruh yang meluap marah, tapi debar jantung kegugupan dan luapan kebahagiaan, karena terjawab sudah salah satu permohonan doa: Semoga, akulah empunya tulang rusuknya yang konon hilang satu.
Begitu tanganku menyentuh coklat valentine, Marvin mendekapku erat sambil berbisik :
Honey…
In the long run we are all dead[4],
In the short run we will marry!!
Menyambut hari ke-empat belas, di bulan kedua, tahun 2005
________________________________________
[1] Kota Tomohon dicapai melalui transpotasi darat 45 menit dari kota Manado, ibukota Sulawesi Utara
[2] Permen yang paling terkenal di Tomohon pada tahun 1960-an
[3] Parang, semacam pisau besar
[4] kalimat salah satu ekonom dunia
Langganan:
Postingan (Atom)