Selasa, 05 Februari 2008
Cerpen : MALAM MINGGU, karya Dean Joe Kalalo
Pesta baru saja usai. Menikmati deru musik dugem di tengah gemerlap cahaya lampu bersama kontjo-kontjonya. Malam yang berseri nan mengesankan. Amos menengok isi dompetnya yang melompong, sambil berpikir bagaimana ia bisa kembali lagi ke sana.
Hari mulai terang. Amos tersungkur letih pada sebuah kursi kayu depan rumahnya. Pikirannya ikut terbawa dengan suasana hati yang berbinar-binar. Ia bermimpi indah sebelum akhirnya dihentikan pukulan keras gagang sapu yang dihempaskan ayahnya. Amos terjaga dan untuk pertama kalinya terlambat memberi makan ternak yang telah sekian lama terbiasa dengan perlakuan manjanya.
Di luar kebiasaan hari itu wajah Amos berseri-seri. Semua pekerjaan yang dibebankan padanya, ditunaikan dengan senyuman. Tidak ada nada sedih atau kata-kata keluh untuk menunda pekerjaan. Sang ayah biasanya memerlukan usaha ekstra keras dan kejam untuk mendisiplinkannya melakukan kewajiban. Kali ini tidak. Semua berjalan mulus dan seisi rumah ikut tersenyum juga. Di luar perkiraan, Jam dua belas siang Amos sudah rampung dengan kewajiban yang dibebankan. Waktu lowongpun menjadi lebih longgar. Ia lalu melancong ke rumah Ivan, karib kental sepenanggungan.
“Minggu depan torang kasana ulang ne chiks?
Karib dekatnya itu tersenyum kecil. ”sabar sob. Nongkrong di tampa bagitu perlu banya pluru wan”
“So itu mulai skarang torang musti rajin batabung. Anak muda rupa torang musti tahu gaya hidup modern sob. Ngana nimau dorang bilang kurang gaul to?”
Ivan tersenyum lagi. Menyadari karib dekatnya tengah demam gaul. Kini Sabtu malam benar-benar menjadi malam istimewa bagi Amos. Setiap kali akhir pekan tiba, Amos paling tak tahan berdiam-diam diri di rumah. Pokoknya ia harus ke tempat dugem. Dengan usaha apapun itu. Tiga tahun lalu ia menarik diri dari statusnya sebagai anak sekolah tingkat atas. Walau berpenghasilan di bawah rata-rata, sebetulnya kedua orangtuanya masih sanggup menebus kebutuhan-kebutuhan sekolah. Namun Amos lebih sering mampir ke tempat nongkrong daripada memanfaatkan peluang ini. Mereka memberhentikannya karena merasa menyekolahkannya adalah usaha sia-sia. Sejak itu ia hanya menghabiskan waktu dengan nongkrong bersama orang-orang tak mengenyam pendidikan formal lainnya di gang. Ia juga sesekali membantu kedua orang tua yang menggantung hidup dengan usaha yang tak tetap. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan. Bekerja jika ada proyek yang kebetulan ditawarkan. Ibunya seorang guru sekolah dasar. Profesi yang kelayakan penghasilannya masih terus diperjuangkan sampai sekarang. Amos adalah putra semata wayang hasil buah kasih mereka.
Jam dua belas malam seisi rumah sudah tenggelam dengan dengkuran masing-masing. Amos menghidupkan sebatang rokok sembari merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Isi kepalanya tengah bergerak kesana-kemari menyiasati bagaimana supaya akhir pekan ini ia bisa menggaet cukup uang. Hasil tabungan selama beberapa bulan sudah habis hari sabtu kemarin.
Besok paginya ia mengkonsultasikan problem ini dengan ayahnya.
“Kita so beking keputusan mo cari penghasilan sandiri Pa. Kita nimau sepanjang hidop kurang bagantong trus pa ngoni” Tutur Amos simpatik. Sang ayah yang jarang sekali mendengar inisiatif dari Amos, tertegun. Ia memalingkan wajah sambil menatap putra tunggalnya penuh haru.
“Kalu ngana mau, ngana boleh bantu bantu pa Papa pe proyek di rumah sablah. Lumayan, satu hari ja dapa sampe dua puluh lima ribu”
“Asal nya baganggu kita pe karja di rumah no Pa”
Mulai hari itu Amos tampak lebih bersemangat. Secara gamblang bisa dibilang ia berubah drastis menjadi sosok pekerja keras. Dari pagi hingga sore keringatnya tak henti bercucuran karena mengangkat bahan-bahan berat. Kawan-kawan sekonconya yang memantau perubahan pada diri Amos kontan merasa kehilangan. Teman baik kita berubah. Pikir mereka.
Seperti biasa pada akhir pekan Amos kembali bisa tersenyum. Hasil tabungannya selama sepekan cukup memuaskan. Ia merapikan diri di depan cermin. Menyisir rambut hitamnya bergaya klimis. Merasa sudah cukup fasung Amos bergegas menemui Ivan yang sudah sepuluh menit menunggu di depan rumah. Keduanya telah siap sedia menikmati pesta yang dinanti-nanti.
Di dalam pub kedua pria berpakaian stylis itu duduk sambil memangku kakinya. Dengan isyarat kecil Amos memesan bir. Tidak lama kemudian seorang pelayan wanita datang membawa minuman.
“Ngana boleh pesan minuman sampe puas. Pokoknya ini malam torang dua minum sampe mati” ujarnya sambil tersenyum bangga.
Setelah empat jam Amos tetap antusias menikmati setiap hiburan di klub malam itu. Tubuhnya meliuk-liuk tanpa pola yang jelas. Sementara Ivan sudah terkulai lemah di tempat duduk. Beberapa pengunjung lain yang sudah sama-sama mabuk mengajaknya menari. Amos tak pernah bosan meladeni. Ia berlari, mengelilingi seluruh penjuru pub dengan semangat yang kian menderu.
Hari sudah terang ia tiba di rumah. Hatinya merasakan kepuasan yang sama. Ia terlelap lagi di kursi depan dengan wajah tersenyum. Ayahnya mulai merasakan perubahan terjadi pada diri Amos. Kemana saja ia setiap malam minggu?. Selain itu ia mulai bertanya-tanya kemana perginya uang hasil pekerjaannya selama ini?. Tapi sang ayah memutuskan tidak terlalu membatasi dan menanyakan hal itu padanya.
Beberapa minggu lewat proyek yang dijalankan ayahnya selesai. Siang itu sekumpulan anak-anak muda patah pinsil di sekitar gang sedang keasyikan duduk-duduk sambil ngobrol di warung tempat bagate. Berbagai jenis obrolan dibahas hangat bibir-bibir yang enggan berhenti bakarlota. Mulai pergunjingan mengenai sepakbola sampai saling unjuk gigi masalah perempuan. Atau ada juga yang menggebu-gebu membicarakan tentang masa lalunya sebagai preman kelas kakap.
Amos duduk pada pojok paling kiri kursi panjang di warung. Raut mukanya tampak memelas. Gelas demi gelas Captikus mengalir terus di tenggorokannya. Keributan di warung sedikitpun tak mencuri perhatiannya.
“Murung-murung ini Sob?, santai kwa, samua da sanang-sanang Cuma ngana yang melamun” sapa Ivan mencoba menghibur kawan baiknya.
“Skarang atik so nintau bagimana mo dapa doi sandiri”
“Jang talalu pikir-pikir masalah tu dia, tetap musti ada jalang, oi to? Kalu ngana mau torang dua baku tamba doi kong sabantar manyabung ayang di kampung sablah, sapa tau mujur depe untung basar Chiks”
“Mar atik pe pluru kurang dua puluh ini”
“Sudah, gampang mo stel tu dia”
Amos dan Ivan meninggalkan warung, mencoba mengadu keburuntungan di tempat adu ayam. Setelah memasang taruhan pertama terlihat sedikit titik terang, ayam taruhan mereka melibas lawannya tanpa ampun. Merasa di atas angin Amos tak sungkan-sungkan mengucurkan sisa uangnya terus. Dan lagi-lagi si jago mereka menumbangkan lawannya. Modal yang mereka kucurkan menjadi berlipat-lipat jumlahnya. Amos sumringah. Sepertinya malam minggu besok ia bisa ke tempat dugem lagi. Namun beberapa menit kemudian ia harus membuang jauh-jauh angan yang menguak. Sejumlah petugas berseragam secepat angin menggerebek tempat itu. Entah karena sedang terbuai dengan keuntungan yang baru diraup, Amos tidak cukup sigap untuk meloloskan diri. Sementara Ivan dan tukang judi lainnya sudah kabur dengan kecepatan maksimal. Amos dan beberapa orang yang kurang beruntung lain ditahan petugas. Mereka dikurung sementara di sel tahanan kepolisian setelah memperoleh pembinaan kejam oleh petugas yang haus menganiaya. Garis-garis wajah Amos yang sebelumnya enak dipandang kini dihuni gumpalan-gumpalan memar.
Di dalam sel yang lembab Amos tak tahan menahan sedih. Hatinya dirundung perasaan bersalah yang hebat. Ia tak henti membayangkan kekhawatiran yang sedang melanda orangtuanya di rumah. Rasa sepi ikut-ikutan membuatnya tambah stres. Setiap menit ia tak henti-hentinya berdoa. Meminta perlindungan dari Tuhan.
Keesokan pagi Amos merasakan tubuhnya semakin melemah. Ia tak sanggup lagi menggerakan tangan dan kaki. Terasa ada benda-benda kecil yang menggeliat di dalam otot-ototnya. Tak lama kemudian kedua orang tuanya datang. Berita musibah yang menimpa anak mereka disampaikan Ivan tadi malam. Amos seperti tak mampu lagi menatap wajah mereka. Rasa malu benar-benar membuatnya ciut.
Meski sedikit marah, sang ayah tetap memperlakukannya dengan bijaksana. Kemarahan mereka dikalahkan oleh rasa prihatin melihat keadaan si buah hati. Kesehatannya memburuk drastis. Melalui sedikit pembicaraan dengan petugas yang disertai sejumlah uang sogokan, akhirnya Amos diizinkan dirawat di rumah sakit.
Dokter yang kelihatannya ramah itu memutuskan Amos harus dirawat selama beberapa hari. Kondisinya tak memungkinkan untuk menjalani rawat jalan.
“Bapak pe anak talalu lalah. Itu yang beking dia pe badang gampang diserang panyaki” kata dokter itu menjelaskan keadaan Amos.
Sesungguhnya selain menanggung rasa tidak enak, ketika sedang sakit Amos mensyukuri banyak hal. Dalam situasi seperti ini ia diperlakukan istimewa. Ayah dan ibunya melipatgandakan perhatian dan kasih sayang yang biasa ia alami pada hari-hari sebelumnya. Ia diperlakukan layaknya anak kecil. Segala keinginan yang mustahil diperoleh sehari-hari, bukan tidak mungkin digenggamnya kali ini. Maka bukan hal aneh bila kamar tempat ia dirawat kini dipenuhi bermacam benda serta makanan kegemaran Amos.
Sore itu seorang dokter cantik datang memeriksa perkembangan kondisinya.
“Bagimana kita pe kondisi skarang Dok?” Tanya Amos pada dokter.
“Ngana masih perlu banya istirahat. Mungkin sekitar satu minggu le baru boleh pulang”. Jawab dokter sambil tersenyum manis. “Kong kiapa dang ngana boleh dapa saki bagini, talalu banya bapontar kang?” lanjut dokter masih sambil tersenyum.
“Samua memang kita pe salah no Dok, kita talalu forser mo berusaha supaya boleh mo dapa doi sandiri”
“Artinya mo coba mandiri dang, bagus no kalu bagitu”
“Cuma kita so beking orangtua susah. Kong doi yang kita dapa nya pernah kita kase pa dorang, ini yang beking kita rasa bersalah”
“Ngana ja pake for apa so tu doi?”
“Itu no, kita Cuma bapake bajalang deng tamang-tamang”
“So itu mulai skarang pergunakan bae-bae ngana pe doi for hal-hal yang berguna”
“Memang samua musti bagini dulu Dok, Tuhan kase hukuman supaya torang jadi sadar deng tu kesalahan”
“Awas jang Cuma sampe di mulu ne?” Ujar dokter sembari melangkah keluar dari kamar itu. Tapi sebelum dokter melewati pintu, Amos buru-buru berteriak, “Boleh mo tanya Dok?”
Dokter kaget lalu memalingkan wajahnya ke belakang, “mo tanya apa?”
“Skarang hari apa kang Dok?”
Dengan sigap dokter itu meraih agenda kecil di kantong bajunya, “em.. hari Sabtu”
Tiba-tiba Amos bangkit dari tempat tidurnya. “hari Sabtu Dok?, cilaka, butul hari Sabtu Dok?” Tanyanya lagi seperti tak percaya.
“Memangnya kiapa kalu hari Sabtu?”
“Dok,....ini malam kita musti kaluar dari sini Dok!”
“So mo kaluar?, blum boleh, ngana blum boleh ka mana-mana”
“Tolong Dok, Cuma ini malam jo, beso’ pagi nanti kita bale ulang ka mari” Bujuknya dengan wajah permohonan.
“Pokoknya nimbole” Bentak dokter yang mulai beranjak marah. Amos tetap tidak ambil peduli. Ia bersikeras mau keluar rumah sakit malam itu juga. Sambil menangis Amos terus berteriak tiada henti, “Dok... kase kaluar kita dari sini!”.
April 2006.
Cerpen KETIKA CUPIDO BELAJAR MEMANAH, karya Grace O'Nelwan
Namaku Cupido. Panggil saja aku Abu-abu. Semua penduduk Negeri Awan Biru memanggilku Abu-abu. Karena warnaku memang Abu-abu.
Kini aku berusia 1999 hari. Besok aku genap berumur 2000 hari. Itu berarti aku akan masuk kelas persiapan menjadi Dewa Asmara. Pasti sangat menyenangkan. Bekerja bersama bunda Aphrodite membantu manusia menemukan pasangan jiwanya.
Aku tak sabar lagi.. Besok.. besok… ah… masih sekian ribu detik sebelum besok benar-benar datang.
Kelas Bunda Aphrodite.
Aku datang sepagi-paginya. Ternyata aku bukanlah yang pertama. Cupido-cupido lain yang sudah duduk manis di kelas persiapan. (Pasti manusia merasa heran, karena Cupido bukan hanya satu, tapi banyak.) Ada si Putih yang diam di pojokan, Si Merah dan Hijau yang sedang bercanda, Biru sedang membaca, Kuning sedang memainkan sayapnya. Ruangan ini penuh warna, karena kami para Cupido memang berwarna. (Tidak seperti yang di gambarkan manusia dalam buku-buku mitologinya.) Hmmm, semua Cupido sama tak sabarnya seperti aku. Semua segera ingin bisa ‘memanah’ dengan busur asmara dan anak panah cinta.
Bunda Aphordite datang. Kami semua berusaha tenang. Ah, Bunda cantik sekali pagi ini. Rambut birunya yang bergelombang indah dibiarkan tergerai menebarkan aroma buih laut yang menyengarkan.
“Semua pasti tahu kenapa kalian berada disini”
Kami semua mengangguk, anggukan serangam, terbius kelembutan suara Bunda.
“Yah, kita berada di sini untuk membantu manusia. Membantu mereka menemukan pasangan hatinya, pasangan jiwanya.”
“Mengapa kita harus membantu manusia Bunda, bukankah manusia terkenal pandai?” tanya si Unggu yang duduk di belakangku.
“Manusia memang sangat pandai, tapi untuk urusan hati, manusia tidak berdaya.”
Cerita Bunda Aphrodite tentang Manusia
Jaman dahulu kala, manusia tidak terbagi dan terkotak-kotak seperti sekarang. Tak ada ras, suku dan agama. Tak ada laki-laki dan perempuan. Hanya ada satu jenis manusia, yang disebut androgynus. Manusia jenis ini berkepala 2, bertangan 4, berkaki 4 tapi hanya memiliki 1 buah hati. Bisa dibayangkan betapa kuat dan pintarnya manusia androgynus ini dan dengan hatinya yang utuh, manusia selalu kukuh dalam pendiriannya, tidak plin-plan seperti manusia-manusia sekarang. Kekuatan, kepintaran dan kekukuhannya dalam bertindak membuat para dewa takut dan khawatir, jangan-jangan satu saat nanti manusia akan menguasai para dewa. Karena itu Raja Zeus membelah manusia menjadi 2. Sehingga manusia hanya memiliki 1 kepala, 2 tangan, 2 kaki dan ½ hati. Raja Zeus kemudian memisahkan manusia dan melemparkan mereka kedalam pengembaraan panjang di bumi. Ketika saling terpisah, manusia selalu rindu pada pasangan hatinya. Rindu pada ½ hatinya yang lain. Karena itu dalam setiap pengembaraan manusia, mereka selalu mencari cara untuk dapat bersatu lagi dengan pasangan hatinya. Tersiksa oleh rindu dan mendambakan pasangan hatinya, membuat manusia menjadi lemah (Ada air menggenang di mata Bunda Aphrodite). Dalam kelemahannya manusia kemudian terlalu sering menyerah dengan mengikatkan diri pada potongan hati pertama yang dia temukan, tapi setelah berapa saat, manusia sadar, itu bukanlah pasangan jiwanya. Karena itu seringkali terjadi perceraian diantara manusia. Pernikahan bukan titik akhir dari pencarian pasangan jiwa. Kelemahan ini yang membuat manusia menjadi sering terluka dan menderita. Raja kita, Zeus, merasa bersalah melihat penderitaan manusia. Untuk menebus rasa bersalahnya Zeus menugaskan kita membantu manusia menemukan pasangan hatinya yang paling tepat.
Tangan kanan Bunda Aphrodite kini menggegam sebuah busur indah yang terbuat dari emas dan dengan tali-tali perak yang dijalin dari rumput laut. Tengahnya dihiasi mutiara hijau dan abu-abu.
“Ini adalah Busur Asmara kita yang termasyur. Hanya Cupidolah yang berhak memakainya. Tak ada dewa lain yang dapat menggetarkan tali-tali busur asmara ini.”
Dan kemudian Bunda mengangkat tangan kirinya yang menggengam sepasang anak panah kembar. Bentuknya panjang dan pipih. Ujungnya lancip berwarna pelangi dan diselimuti kabut tipis, beraroma sandalwood.
“Ini adalah panah asmara kembar. Anak panah ini dibuat sepasang-sepasang, tak ada sepasang panah yang sama. Karena manusia hanya memiliki 1 pasangan jiwa.
Busur asmara ini akan dipinjamkan pada kalian selama 1 minggu. Setelah itu kalian akan dievaluasi, bila minggu pertama gagal, kalian akan diberi kesempatan pada minggu kedua, bila kalian gagal lagi, maka kalian akan masuk dalam kelompok “stupid cupid”
Oh, aku tak pernah akan memaafkan diriku kalau sampai aku gagal dalam masa magang menjadi dewa asmara dan menjadi stupid cupid! What a nightmare, kalau sampai itu terjadi. Stupid Cupid adalah gelar yang diberikan pada cupido-cupido pecundang yang gagal melewati magang ‘menentukan pasangan hati.’ Dan biasanya Stupid Cupid harus menunggu 2000 hari lagi sebelum mendapatkan kesempatan menjadi dewa asmara. Dan selama 2000 hari stupid cupid hanya akan menjadi mahluk bersayap tanpa busur dan anak panah. Tanpa kesempatan membuat manusia bahagia. Dan tanpa membahagiakan manusia, cupido tak akan bisa bahagia. Sangat memalukan! Sangat menyedihkan!
Kelas hampir usai. Satu-satu kami berdiri, menerima dengan penuh sukacita, sebuah busur asmara dan sekantong anak panah cinta, buku manual memanah, buku UUM dan AUPH (Undang-undang Memanah dan Aturan Umum Penyatuan Hati).
“Ingat, teliti dulu sebelum memanah. Check en recheck itu perlu. Salah memasangkan hati maka manusia akan menderita, dan penderitaan manusia kan menyayat hatimu juga. Jangan buat kesalahan itu! Yang terbaik berhak mendapatkan Dewa Zeus Award. Sampai jumpa pada evaluasi memanah, minggu depan. Selamat bekerja”.
Bunda Aphroditepun berlalu….
Rambut birunya bergoyang-goyang, busur asmara dan panah cinta di bahunya turut bergoyang…
Minggu Memanah
Aku sangat bahagia. Ingin kubantu manusia menemukan pasangan hatinya yang paling tepat. Ingin kubantu Raja Zeus tercinta, mengurangi rasa bersalahnya, dengan mengutus aku, si Abu-abu. Cupido yang tepat, Cupido yang tak akan berbuat kesalahan.
Aku harus berhati-hati dalam mencocokan pasangan. Aku harus menemukan potongan-potongan yang paling tepat… yah ..yang paling tepat.
Alangkah menyenangkan membuat manusia bahagia dan Bunda Aphrodite bangga.
Aku kini melayang-layang, bersembunyi di awan-awan. Mengintip manusia… aha.. ini dia, satu pasangan telah kutemukan. Kucocokan dengan catatan, kucocokan dengan potongan hati, mereka klop. Anakpanahpun kuluncurkan…
Hati-hati ku bidikan. Tepat pada sasaran… aku berhasil…!!! Manusia kini kembali menjadi 2 kepala, 4 tangan, 4 kaki, dan 1 hati. Sempurna…!!! PERFECTO!!!
Kini pasangan yang lain juga… anak panah berujung pelangi menancap di hati… la..la..la.. aku bernyanyi. Trilili aku menari… Dewa Zeus Award… pasti jadi miliku.
Kekacauan di Negeri Manusia.
Di sebuah Gym (Kisah Astrid)
Sambil berjalan di atas treadmill, Asrid memandang kelas body builder yang hanya dibatasi kaca tembus pandang. Ada Ajie di sana. Ajie memang tampan. Badannya atletis tak berlebihan. Tak ada otot-otot yang terlalu besar, tapi keseluruhan tubuhnya tegap dan kencang. Dia selalu tersenyum, dan matanya sangat indah. Ajie sangat ramah dan penuh perhatian. Tak tahu kapan rasa itu datang, tiba-tiba saja Asrid menemukan dirinya jatuh cinta pada Ajie. Dia yakin Ajiepun mencintainya, tapi mungkin Ajie malu untuk mengakuinya. Tapi Aku harus mendapat kepastian perasaan Ajie. Asridpun berlari penuh semangat diatas treadmillnya.
Melihat Ajie keluar dari ruangan. Asridpun berhenti berlari, dan dengan handuk kecil di bahunya Asrid mengejar Ajie. Pasti Ajie menuju café di lantai bawah. Baru 7 anak tangga yang dia lewati, dilihatnya Ajie, tapi dia tidak sendiri. Ajie sedang berciuman mesra dengan Rodi, istruktur senamnya. Bibir mereka bertaut dan tubuh mereka melekat erat. Asrid membeku di tempatnya… ah Ajieku ternyata homo!!!!
Di sebuah Gereja: (Kisah Pendeta Dian)
Tiba-tiba Ketua Jemaat, memanggil seluruh majelis jemaat untuk rapat mendadak. Sore itu semua telah hadir di ruangan konsistori Gereja. Rapat ini diadakan untuk membicarakan persoalan pendeta Diana. Kabar baru yang terdengar, Pendeta Diana menjalin hubungan khusus dengan Bernard, seorang narapidana yang divonis 15 tahun penjara, karena tuduhan membunuh kakaknya. Pendeta Diana memang bertugas untuk memimpin ibadah-ibadah di penjara. Dan ternyata, di penjara pula pendeta Diana, jatuh hati pada Bernard.
Suara 1: Jadi, tindakan apa yang harus kita ambil?
Suara 2: Pecat saja
Suara 1: itu bukan wewenang kita, tapi itu wewenang Sinode
Suara 3:Kalau begitu bawa saja persoalannya ke Sinode
Suara 4: Kucilkan saja dari Gereja, itu perbuatan yang memalukan
Suara 2: Diskors dulu, tidak bisa memimpin ibadah, bahkan tidak boleh masuk gereja!
Suara 1: bagaimana kalau kita melakukan pemilihan suara. Masing-masing menuliskan gajaran apa yang paling pantas untuk pendeta Diana…
Koor : Setuju!!!!
Kini para majelis dan para pendeta pelayan sibuk mencoret-coret secarik kertas….
Entah apa putusan mereka.
Di sebuah Café: (Kisah Arimbi dan Anita)
Dipojok O La la Café, dua wanita cantik duduk. Keduanya berambut panjang sebahu, yang satu di cat burgundy, yang lainnya di cat dark blue. Sepotong black forest dan sepiring french fries masih utuh di depan mereka. Begitu juga dengan frappucino milik Arimbi dan hot chocolate yang sekarang telah menjadi cold chocolate, milik Anita, belum tersentuh sama sekali. Itu karena tangan-tangan Arimbi dan Anita sangat sibuk. Sibuk bergegaman dan membelai di bawah meja. Tak ada suara, karena semua komunikasi dilakukan lewat mata. Dan kedua pasang mata biru dan coklat, karena efek kontak lens itu, saling mengerti, bahwa cinta adalah milik mereka.
Di sebuah RSJ (Kisah Dokter Bayu)
+ Apa???? Gak masuk di akal? Dia kan dokter muda tercakep serumah sakit ini.
tapi ini benar-benar terjadi
+ dari mana kamu dapat gosip murahan ini
kemarin aku sempat mendegar waktu dokter Bayu, berbicara dengan dokter Tio.
+ oh My my… dunia benar-benar sudah gila. Apa kurang banyak dokter atau suster yang cantik di rumah sakit ini, sampai-sampai dokter kita jatuh cinta ke orang gila…
orang gila yang juga cantik…
+ tetap saja gila…
tetap saja cantik, dan dokter Bayu tetap saja mencintainya.
Di sebuah Rumah Mewah (Kisah Meta)
Mama: Meta, sudah berkali-kali mama ingatkan, Allan bukanlah laki-laki yang pantas untukmu!
Meta: Kenapa gak pantas, ma? Karena ibunya hanya seorang tukang pijat?
Mama: Bukan itu saja, tapi kamu dari kecil sudah ditunangkan dengan Bobby.
Meta: Loh,ma, akukan gak pernah minta untuk ditunangkan dengan bobby.
Mama: Meta!!!!
Meta: Mama, aku mencintai Allan. Dan sampai kapanpun akan tetap mencintai Allan
Mama: Kamu boleh 1000 kali mencintai Allan, mencintainya sampai akhir hidup, tapi kamu tak akan pernah menikah dengannya. Kau boleh pilih, menikahi Bobby, atau tinggalkan rumah ini.
Di rumah Baba Liem (Kisah Han)
: kamu itu anak laki-laki satunya dalam keluarga, kamu harus menikah dengan Mei-lan
- Tapi pa, aku mencintai Keke, bukan Mei-Lan
: Tidak bisa Han, kamu harus tetap menikah dengan Mei-Lan. Jangan membantah papa. Apa kata paman A San kalau kamu membatalkan pertunangan ini.
- Tapi Pa….
: Tidak ada tapi-tapian… Paman A San sudah banyak membantu kita.
Di sebuah Pesantren (Kisah Ustad Yus)
Apakah aku bersalah kalau aku mencintai Ayu, ya Allah. Bukankan cinta adalah anugrahmu? Dan kenapa Anugrah sangat menyakitkan seperti ini.
Aku mencintaiMu yah Allah. Tapi aku juga mencintai ciptaanMu. Dan Ayu.., Ida Ayu Oka Laksmini adalah ciptaanMu yang kucintai. Aku mencintai kelembutannya, kebaikannya dan keindahannya. Tapi dia Hindu….
Apakah aku bersalah padaMu kalau ku-impikan membangun rumah tangga bahagia bersamanya? Allahku kalau cinta adalah anugerah, kenapa anugerah harus se-membingungkan ini? Apa yang harus kukatakan pada santri-santri di sini jika mereka mengetahui rahasia hatiku? Apakah aku harus jujur dengan perasaanku, ataukah harus kututupi demi sebuah kedamaian?
.
Di sebuah sekolah (Kisah Bu Lian)
8 tahun, choy..!!! Mereka beda 8 tahun…
Oh yah???
Iyah… Armen itu, mantan murid Bu Lian.
Oh… Armen yang anak 99 itu?
Iya.. Armen yang itu..
Mungkin Armen hanya mengejar duit Bu Lian…
Tidak mungkin!!!
Mungkin saja… Bu Lian sudah tua, lagian Armen bukan laki-laki jelek.
Kalau soal uang.. tidak mungkin… Armen kan tidak miskin…
Atau mungkin… Armen kena guna-guna Bu Lian..??
Guna-guna?? Hari gini???
Evaluasi para Cupido
Hari ini Evaluasi memanah.
Bunda Aphrodite akan memberikan hasil evaluasi memanah kami minggu ini. Jadwalku bertemu Bunda jam 10 pagi, sesudah Cupido kuning. Tapi aku sudah berada di depan ruangan Bunda Aphrodite jam 9.17 pagi. Aku tak sabar dan sangat tak sabar untuk mendengar hasil evaluasi Bunda. Aku sangat yakin bahwa aku akan lulus dengan pujian. Aku sudah bekerja keras sepanjang minggu. Pasti Bunda Aphrodite akan sangat bangga dengan hasil kerjaku. Pasangan hati yang aku persatukan tak akan mungkin meleset.
Kulihat Kuning keluar dari ruangan Bunda. Wajahnya menunjukan expresi sedih.
“Mengapa” tanyaku prihatin
Dia memperlihatkan hasil evaluasinya. Dia lulus dengan nilai lumayan; SCB (Sudah Cukup Baik).
“Dari 10 pasangan yang kupasangkan, ada 2 yang bukan pasangan hatinya.”
“Paling tidak, kamu lolos jadi Dewa Asmara..” ku coba menghiburnya dengan tanpa bisa menyembunyikan kegembiraanku. Kuning yang terpandai diantara kami hanya mendapat nilai SCB. Kuning berhasil lolos… tapi bukan yang terbaik…
Aku tersenyum… kasihan Kuning. Membuat 2 kesalahan fatal.. dan aku.. ho..ho.. aku si Abu-abu yang sangat teliti. Kesalahan seperti itu tak akan terjadi.
Aku masuk ke ruangan Bunda dengan kepercayaan diri penuh. Ruangan Bunda yang sangat melegenda. Karena dari ruangan inilah kami diputuskan untuk menjadi ‘the real Dewa Asmara’ atau hanya sebatas ‘Stupid Cupid’ yang pasti terlihat sangat stupid!!!
Bunda duduk di atas kursi yang terbuat dari kerang mutiara. Mejanya yang berwarna – warni terbuat dari potongan pelangi. Cahaya merah, kuning, birunya berpendar-pendar indah. Di depan meja Bunda ada sebuah kursi indah yang dudukannya dianyam dari rumput laut dan awan-awan putih ditumpuk-tumpuk menjadi batalan empuk.
Aku duduk di kursi itu.
Bunda Aphordite masih menundukan wajahnya, mempelajari hasil evaluasiku. Aku masih tersenyum sampai Bunda mengangkat wajahnya…
“Apa-apaan ini? Kekacauan apa yang kamu perbuat?”
Wajah Bunda yang cantik terlihat sangat masam, membuat senyumku langsung surut.
Kekacauan?? Aku tidak mengerti..
“Abu-abu, bukan hanya tidak ada satu pasanganpun yang sesuai, kamu bahkan telah membuat gempar negeri manusia..”
“Bunda, aku benar-benar tidak mengerti. Dengan sangat teliti aku memasangkan potongan-potongan hati manusia. Aku telah berusaha menggabungkan potongan hati yang paling tepat… tapi mengapa aku dikatakan pembuat onar yang menggemparkan negeri manusia?”
“Abu-abu, kita lihat kasus Arimbi dan Anita, keduanya adalah perempuan. Ajie dan Rodi, keduanya lelaki, kau tidak bisa memasangkan mereka. Pasangan itu harus laki-laki dan perempuan. Kasus Han juga, kenapa tak kau pasangkan Han dengan Mei- Lan. Mereka cocok dan dari etnik yang sama. Bu Lian, dia terlalu tua untuk Armen. Menurut peraturan yang tidak tertulis laki-laki harus lebih tua dari perempuan. Kau juga membuat ibu Meta pusing karena memasangkan Meta dengan Allan. Meta terlalu kaya untuk Allan. Dan kasus Ustadz Yus, apa kau mau membuat dia dibenci para santrinya? atau kamu mau perang? Kau membuat semuanya kacau, tak sesuai pakem… tak sesuai aturan umum yang berlaku.” Mata Bunda Aphrodite menatapku tajam..
“Tapi Bunda, aku sudah sangat berhati-hati mempelajari UUM dan AUPH. Tak kutemukan pasal yang mengatakan bahwa pasangan hati itu harus hetrogen, tak ada pasal yang menyebutkan soal suku dan strata sosial, tak ada pasal yang menyebutkan gradasi kecantikan, tak ada pasal yang menyebutkan usia, tak ada pasal yang menyebutkan soal agama, tak ada pasal yang menyebutkan soal kaya - miskin. Dan Aku sudah sangat hati-hati dan berkali-kali menguji kecocokan pasangan sebelum akhirnya memanahkan panah cinta, dan mereka benar-benar pasangan jiwanya.”
“Abu-abu, kamu benar soal isi UUM dan AUPH. Tapi seharusnya kamu lebih bayak melihat dan mendengar dari senior-seniormu. Benar, tak ada hukum atau pasal yang mengharuskan pasangan itu hetrogen, sama suku, ras atau agamanya. Tak ada juga pasal yang menulis soal penetapan usia tiap pasangan. Tapi itu terangkum dalam hukum-hukum kuno yang tidak tertulis. Hukum yang lebih kuat daripada hukum yang tertulis. Dan karena itu… kita bisa kompromi, bila pasangan hatinya sudah sedikit ‘pas’ walaupun tidak benar-benar pas…kita dapat mempersatukan mereka. Kita bisa memodifikasi sedikit. Bisa kita tutupi di sana-sini.”
“Tapi Bunda, bila pasangan hati saja bisa dimanipulasi, bagaimana kita mengajarkan kemurnian cinta pada manusia? Apakah menjadi Dewa Asmara harus pintar memanipulasi? Apakah kini, kita para Dewa, jadi seperti manusia. Ikut menyokong perbedaan strata, ras dan kelas, ikut membedakan warna-warna….?” Aku coba beradu argumentasi dengan Bunda.
“Kau akan mengerti… satu hari nanti kau akan mengerti, Abu-abu.” Kali ini tatapan Bunda melembut.
Aku keluar dari ruangan Bunda dengan HML di tanganku. Nilai yang paling menyedihkan (Harus Mencoba Lagi). Jangankan Dewa Zeus Award, luluspun aku tidak. Bukan itu saja. Dalam dua hari ini aku juga harus mengerjakan hal yang paling tidak disenangi dan yang paling dibenci oleh semua Cupido; mencabut panah asmara! Kasihan manusia…
Mencabut panah-panah dan hati-hati yang terluka
Abu-abu terpaksa mencabut semua anak panah cinta yang terlajur melesat dari busur asmaranya. Dibuka lagi buku UUM dan AUHP, mencari pembenaran lewat hukum-hukum yang tertulis rapi. Semua pasal membenarkan tindakannya. Tapi toh dia tetap saja salah. Percuma saja ada UUM dan AUHP, karena yang paling penting adalah peraturan umum yang berlaku… walaupun tak tertulis, tapi peraturan-peraturan ini yang dipakai.
Kini, Abu-abu pergi kesetiap pasangan yang telah dipersatukannya. Kali ini, dia harus mencabut setiap anak panah yang telah ditancapkannya… Tapi oh… dia tidak boleh mencabut kedua anak panah kembar sekaligus. Dia hanya boleh mencabut satu anak panah dari setiap pasangan, (Dia juga baru diberi tahu, saat dia mencabut 1 anak panah dari satu pasangan, ada luka tak berdarah yang tertinggal di dada, tapi yang merasakan sakit adalah orang yang panahnya tidak dicabut)
Dan dari setiap anak panah yang dicabutnya, abu-abu juga merasakan kepedihan. Kepedihan karena perasaan bersalah. Itu konsekwensinya.
Tapi dia hanya ingin lulus ‘ujian’ memanah dan menyatukan hati’
Kalau dia tidak lulus, apa yang harus dia kerjakan? Karena sebagai Cupido, tugas satu-satunya adalah memasangkan dan menyatukan hati.. Tak ada yang lain.
Maaf manusia….
Aku terpaksa harus memasangkan dan menyatukan hati kalian menurut peraturan ‘tak tertulis yang berlaku sejak dahulu kala’.. Kalau ada hati yang tersakiti, jangan salahkan cinta. Cinta tak pernah salah. Cupido yang salah…Tapi.. sekali lagi.. aku hanya ingin lulus ujian..
*****
(Tomohon, November 2007: malam setelah diskusi)
Cerpen : KEMATIAN TUHAN, karya Kevin Mikael Eman
Dari kejauhan aku menyaksikan upacara penguburan itu. Air mata-air mata palsu menghantarkan dia ke kegelapan bumi yang paling gelap. Ya ........ orang yang membenci dia pun akhirnya “menangis”, “bersedih” atas kepergiannya. Mereka mengeluarkan sebanyak-banyaknya air mata yang mereka punya hanya agar dilihat orang-“kalau tidak menangis di saat orang meninggal berarti tidak berduka!”-itu kata mereka.
Aku heran, bahkan orang tuanya pun tidak mempedulikan dia, orang-orang banyak pun tidak ada yang menyukainya dan mau berteman dengan dia. Kalau pun ada itu semata hanya “akting” belaka karena orang tuanya seorang pejabat. Ahh......... memang dunia telah menjadi serba kepura –puraan. Nampaknya hanya aku orang yang mau berteman dengan dia.
Orang–orang bertanya-tanya kepadaku ”kenapa saudara mau berteman dengan dia”-“jauhi dia, nanti saudara menjadi “buruk” dan “hina” seperti dia”-segala macam pertanyaan mereka lemparkan kepadaku. Aku sendiri pun tidak tahu kenapa aku mau berteman dengan dia. Aku pikir di jaman sekarang ini baik dan buruk sudah tidak dapat dibedakan, Iblis telah menjadi Tuhan, Tuhan telah menjadi Iblis. Jadi menurutku tidak perlu dipersoalkan dia buruk atau tidak, yang aku yakin ia hanya manusia sama seperti aku.
Dia pernah berkata ”saudara, apakah aku seburuk itu, sehina, dan selicik Iblis? Hingga orang-orang membenci dan menjauhi aku. Kalaupun mereka dekat, aku tahu itu hanya topeng yang mereka gunakan. Hanya kau temanku saudara!”
Dia diam sejenak lalu berkata lagi “saudara, apa pandanganmu tentang Tuhan? Apa Tuhan tidak boleh dilawan, harus patuh 100% terhadapNya? Aku sudah muak denganNya, Ia memberi yang aku tidak minta, Ia tidak memberi yang aku minta!” ia tertawa, tertawa untuk siapa dan karena apa, aku tidak tahu. Mungkin ia hanya membersihkan batinnya.
Aku hanya diam memikirkan apa yang ia katakan, memikirkan memang begitu adanya Tuhan, memikirkan memang begitu adanya manusia, memikirkan segala perintah dan laranganNya, karena jika aku yang memerintah dan melarang maka Akulah Tuhan.
“Saudara!” dia membangunkanku dari pikiranku. “Bagaimana jika aku menyalahkan Tuhan atas semua ini, menyuruh dia bertanggung jawab atasku, bagaimana jika aku meninggalkanNya?” Lalu aku menjawab
“Tuhan adalah ciptaan setiap manusia yang merasa kecil dan sendirian di dunia yang kejam ini. Di saat kau merasa sudah tidak membutuhkanNya, buanglah!!!” dia diam, lalu aku berkata lagi “Tapi, terlepas dari itu, persalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi dalam hidupmu! Jangan persalahkan orang lain, apalagi Tuhan! Kau sendiri yang bertanggung jawab atas-mu. Hanya kau saudaraku!”dia masih diam sejenak, lalu berkata,
“Saudara, terimakasih atas pemikiranmu. Tapi apa aku tidak boleh kecewa padaNya?”
Memang kecewa itu manusiawi. Itu percakapan kami yang terakhir. Suatu hari aku mendengar kabar bahwa ia sakit keras, belum sempat aku menjenguknya ia sudah mati. Mati meninggalkan dunia yang tidak adil baginya dan bagi banyak orang.
.....................
Setiap kematian orang seperti dia, kematian orang “berdosa”, menandakan kematian Tuhan, kematian Tuhan untuk kedua kalinya, kematian perlahan Tuhan. Karna Tuhan telah gagal sebagai pencipta. Karna seorang lagi anakNya tidak bersama sama dengan Dia.
Upacara penguburan itu telah selesai. Aku mendekat ke kuburnya.Saat aku melihat tulisan yang ada di batu nisan, aku cukup terkejut ”Tuhan inilah aku anakMu, terimalah aku di nerakaMu!” Huhhh.......itulah manusiawi.
Langit masih mendung kala itu.
Sonder,14 Febuari 2007
Minggu, 03 Februari 2008
Puisi-Puisi Michael 'Booluis' Pelealu: "ETA ATIQ, HIV, MAKANTUMOTONE ..."
ETA ATIQ
He coy ente tau tu masalah tempo hari di
Ha?
Oh!!!
ngana kanal to pa Eta?
Eta sapa le ini?
ETAU dang e tu masalah itu!
H I V
Haaa?
Hiii!
Veve the!
MAKANTUMOTONE
Shotoku taishi yoritomo
Fujiwara tiara jingo minamoto
Bagengsine Shogun, Yamaha, Suzuki
Karedit, baras tarada diruma ne!
KOMUNI KASI
(for cupez de man)
Cewe gaga anak teater.
Ha!? Oh bagus, bagus itu!
Mo pangge kenalan?
Nanti jo sto!
Esei Fredy Sr. Wowor: "MENGARTIKAN FESTIVAL-FESTIVAL SENI BUDAYA SULAWESI UTARA"
Seperti Maengket, Kabasaran,Kolintang,Tari Jajar, Mahamba, Tari kabela dan Musik bia. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan pengadaan festival-festival seni budaya yang diadakan di hampir seluruh wilayah Sulawesi Utara yang melibatkan peserta yang sangat banyak dan dicatat dalam museum rekor. Selain itu juga diadakan penerbitan buku sejarah dan bahasa.
Adapun organisasi yang menjadi fasilitator dari penyelenggaraan iven-iven budaya ini adalah Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Institut Seni Budaya ini dipimpin oleh seorang putra kawanua bernama Benny J. Mamoto.
Menjawab beberapa pertanyaan tentang keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan budaya ini, dia mengatakan dalam pidato refleksi akhir tahun 2007 di gedung Pingkan Matindas, ” Pertama,Selama seperempat abad ini, saya menekuni secara optimal profesi sebagai seorang polisi, aparat hukum dan kamtibmas, selama menjalani tugas profesional inilah saya menjadi orang yang sangat menyadari mutlak pentingnya faktor budaya. Betapa banyak problem sosial dan hambatan dalam penegakan hukum yang berpangkal dari masalah nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Kedua, karena sebagai anak keturunan Minahasa Sulawesi Utara yang tumbuh di rantau, saya ingin menikmati kehangatan akar budaya dan menerima kekayaan batin dari kebudayaan yang luhur ini. Apakah salah jika saya ingin lebih dekat dengan kebudayaan leluhur saya sendiri? Adakah sesuatu yang bisa mencabut hak azasi saya di bidang kebudayaan ? Ketiga, sebagai seorang anak yang menghargai amanat orang tua, saya berusaha memenuhi pesan orang tua untuk tidak lupa dengan tanah leluhur dan dengan sadar memberikan perhatian terhadap tanah leluhur saya di minahasa di sulawesi utara.
Apa sebenarnya arti dari semua kegiatan ini, bila dikaitkan dengan eksistensi perkembangan Seni Budaya di Sulawesi Utara?
Pendapatku, pertama,kehadiran seorang Benny J. Mamoto secara pribadi yang dengan sadar dan penuh inisiatif melibatkan diri dengan memberikan perhatian, waktu dan dana dalam kegiatan-kegiatan seni budaya di Sulawesi Utara, telah mengisi salah satu ruang paling mendasar dalam proses perkembangan kebudayaan yaitu posisi Maicenas atau pemerhati dan pemberi dana untuk menunjang kegiatan seni budaya. Pilihannya menjadi maicenas ini, membuktikan keseriusannya untuk terlibat dalam kegiatan budaya di Sulawesi Utara karena hanya orang yang benar-benar mengamati perkembangan seni-budaya di sulawesi utara ini yang akan melihat bahwa celah yang kosong dalam peta seni-budaya kita adalah tidak adanya maicenas yang secara konsisten menunjang aktivitas-aktivitas para pekerja seni dan budaya, padahal kalau kita mau mengamati perkembangan seni budaya di seluruh dunia maka kita akan melihat betapa berarti dan pentingnya peran maicenas dalam mendinamisir aktivitas-aktivitas seni dan budaya. Di Cina misalnya sejak masa negara-negara berperang, Raja-raja muda yang menguasai benteng atau wilayah tertentu dengan sadar menjadi pendukung aktivitas para seniman bahkan dengan penuh inisiatif mengundang mereka untuk tinggal dan berkarya di wilayah atau bentengnya. Situasi ini tidak beda jauh dengan kondisi di Jepang dan India (Baca: Kisah Musim Semi dan Musim Gugur karya Kong Fu Tsu, Kisah Tiga Negara karya Lo Koan Tjung, Taiko karya Eiji Yoshikawa, serta Mahabrata dan Ramayana). Di Minahasapun situasinya dahulu tidak jauh berbeda karena sampai kisaran tahun 1800-an, sebuah Tumpukan Kabasaran di Minahasa akan dibiayai aktivitasnya oleh Walak yang bersangkutan.
Kedua, Pembentukan sebuah Institut Seni-Budaya di Sulawesi Utara sebagai lembaga dinamisator sekaligus pusat pendidikan dan pengembangan seni budaya membuktikan bahwa usaha pembangunan seni budaya ini bisa berlangsung terus menerus dan terarah. Pentingnya sebuah institut atau lembaga dinamisator sejenis dalam menunjang aktivitas seni budaya dapat kita lihat misalnya di Jerman dengan Bauhausnya dan Sekolah Frankfurt, Rusia dengan Moskow art Theatrenya, Amerika dengan Federal Theatre Project dan Esalen Institut, Inggris dengan Centre of Cultural Studiesnya.
Ketiga,pilihan untuk menemukan kembali nilai-nilai berharga dari masa lalu melalui penggalian akan seni-seni tradisi baik melalui simposium, penerbitan buku sejarah dan bahasa maupun festival seni budaya yang dilakukan secara masal membuktikan bahwa upaya pengembangan seni budaya yang dilakukan berhulu dari kesadaran akan keberadaan diri sendiri dan bermuara pada usaha untuk menegakkan identitas.
“ Apa yang saya lakukan bersama teman-teman dengan mengedepankan segi kuantitas, seperti sejumlah rekor MURI untuk berbagai cabang seni tradisional secara massal, tak lain dari semacam upaya untuk membangun kesadaran dan ingatan masyarakat luas bahwa seni budaya adalah satu faktor. Seni budaya kita ada. Seni budaya adalah bagian eksistensial diri kita sendiri. Kita tidak dapat mengabaikannya begitu saja”, demikian Benny J. Mamoto mengatakan dalam sebuah dialog budaya di gedung Pingkan Matindas akhir tahun 2007 yang lalu.
Upaya menegakkan identitas dan melawan pelupaan memang merupakan pilihan yang tidak bisa kita tawar-tawar lagi sebab bila kita lalai maka bola globalisasi akan melindas dan menghomogenisasikan kita. Pada saat itu kita tidak lebih nilainya dari bangkai-bangkai yang berjalan.
Pada akhirnya waktulah yang akan menentukan arti dari semua ini, karena paling tidak satu hal telah dimulai. Satu langkah pasti untuk menegakkan identitas.
* Sastrawan, Aktif di Teater Kronis Manado
Sekarang Dosen di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unsrat
Cerpen Dean Kalalo: "Stevly Tak Mau Sekolah"
Entah sejenis perasaan apa yang sering mengusikku tatkala sedang melamun sendiri akhir-akhir ini. Di usiaku yang sebulan lalu baru saja menginjak sepuluh tahun, aku seringkali menyalahkan diri sendiri. Mungkin ini hanya perasaanku saja. Kata ayah, rata-rata anak seusiaku sangat gemar berimajinasi dan berpikir hal-hal yang di luar kewajaran. Bisa saja ia benar. Tapi aku bukannya sedang menghayali keperkasaan Saint seiya meluluhlantakkan musuh-musuhnya. Atau berandai-andai layaknya Songoku yang bisa terbang sana sini mencari bola naga. Jawaban itu tetap tak mampu meyakinkan aku sepenuhnya. Perasaan bersalah ini tentu aneh sebab:
Pertama, dari empat kakak adik (aku anak paling bungsu) semuanya rata-rata pernah, bahkan sering melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang tua. Kemarin saja Wesly di tampar ayah gara-gara ketahuan mencuri uang dari kantong seragam kerjanya. Aku patut berbangga karena tidak sekalipun tega melakukan hal-hal seperti itu. Kedua, (masih perbandingan dengan kakak-kakakku), aku satu-satunya yang tega mengembalikan separuh uang jajan karena merasa berlebihan dan tidak mau merepotkan orang tua yang hanya berpredikat sebagai pegawai negeri biasa. Konon, mama terharu setengah mati dengan aksiku ini. Ketiga, dari delapan belas murid laki-laki di kelasku, minus aku tentu, pernah mencicipi terik matahari selama berjam-jam lantaran tidak tahan dengan peraturan sekolah. Saking patuhnya, pak Fredy enggan mengalihkan posisi ketua kelas dua semester berturut-turut dari tanggungjawabku. Aku menerima dengan lapang dada dan tetap rendah hati seperti yang sudah menjadi cirikhasku.
Selain ketiga alasan diatas, masih ada seabrek lagi kebanggaan yang jika kuceritakan semua nanti akan mengkhianati kapasitas cerpen ini. Pastilah ada yang janggal bila seorang anak kecil yang dengar-dengaran seperti aku dikejar-kejar perasaan bersalah. Namun itulah yang terjadi. Belakangan ini, hatiku dibuat gelisah karenanya.
Berawal, ah, aku lupa kapan tepatnya. Kesibukan bermain membuatku tidak ambil pusing masalah waktu. Suatu siang saat pulang sekolah, saat itulah aku diserang segumpal perasaan bersalah yang hebat itu. Aku sendiri merasa sulit untuk menuturkannya dalam bahasa yang gamblang. Yang jelas sejenis perasaan sesal, resah, gelisah mungkin, sesuatu yang bagai menuding diri sendiri tak berguna, menebas kesadaran yang selama ini bertumbuh lebat di pikiranku. Aku tiba-tiba bertanya pada diri sendiri, untuk apa seharian menghabiskan waktu di sekolah?. Ah bercanda kau. Kataku pada diri sendiri waktu itu. Sayangnya hatiku sepertinya serius. Barangkali sebagian orang akan menganggapku mengada-ada. Dan bila kukeluhkan, mereka tidak mengacuhkannya. Tapi bagiku ini penting. Tiada yang lebih buruk di dunia ini selain melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas. Dari salah satu film perang yang kutonton, Hitler saja mempunyai dasar pemikiran atas kekejamannya. Sekarang aku baru saja naik kelas lima, sebelum lebih dan lebih lagi, sebelum enam, SMP, SMA universitas, hingga istilah-istilah lain yang masih terlalu jauh dari pemahamanku, harusnya hal ini diselidiki sejak dini. Ada tiga jawaban dari tiga orang yang berbeda latar belakang yang pada awalnya sempat mengurangi rasa penasaranku.
Aris yang pertama. Ia teman sekelasku. Katanya ia rajin kesekolah karena diiming-imingi orang tua dengan bermacam mainan yang berbeda setiap semesternya. Memang pada umumnya begitu. Mainan adalah motivasi utama setiap anak-anak, tak terkecuali aku sih, dalam memenuhi tuntutan orang tua. Kalau untuk itu, bukankah orang tua bisa membelikannya tanpa harus repot-repot anaknya sekolah? Jawaban tadi tidak mengena di hati. Yang kedua kakak tertuaku, tak ada salahnya mengharapkan jawaban bijak dari yang tersulung pikirku. Aku ingin sekolah sampai capek, supaya dapat kerja yang banyak duitnya. Tukasnya lantang. Kalau begitu orang yang sudah kaya tidak perlu repot-repot sekolah dong!. Lalu mengapa si Jenry yang rumahnya bertingkat tiga dan bermobil mewah dengan jumlah yang sama, masih juga kesekolah dengan cerianya?. Kalau kakakku jadi dia, pasti hanya tidur-tiduran di rumah. Barangkali opini ketiga ini ada benarnya juga. Wali kelasku yang memberi tahu. Tuntutlah ilmu setinggi langit, supaya berguna bagi nusa dan bangsa. Kira-kira setengah jam menafsirkan, kemudian aku tidak mempedulikan lagi pernyataan itu. Banyak pahlawan-pahlawan kemerdekaan yang tidak mengenyam bangku sekolah dimasa lalu, Tetap saja mereka dikenang karena dianggap berguna bagi negara.
Hari demi hari berlalu tanpa sedikitpun mengurangi rasa penasaranku dengan masalah yang satu ini. Orang-orang pasti tertawa jika kukatakan hampir frustasi lantaran terus-menerus memikirkannya. Sebuah masalah pribadi. Ya, aku menyebutnya sebagai masalah pribadi. Karena tidak semua anak seusiaku mengalaminya. “Bocah ingusan sok tahu. Frustasi ni ye...Biasa jo”. Demikian olokan yang pasti kuterima. Teman-teman lain ada yang menyindir, jangan sok dewasa deh! Ini gara-gara kebanyakan nonton sinetronnya ketimbang serial anak. Begitulah, mereka sekejam itu padaku. Aku hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Yang terpenting bagiku saat ini adalah bagaimana menemukan arti sekolah yang sebenar-benarnya. Tekadku sudah benar-benar bulat, selama belum kutemukan arti tersebut, aku akan mogok ke sekolah mulai sekarang. Semua resiko sudah siap kuterima. Amukan papa, yang pasti marah besar, teriakan mama, sampai kakak-kakakku yang paling kurang melototkan mata mereka untuk menakut-nakuti, atau nilai-nilai raporku yang pasti anjlok. Demi sesuatu yang hakiki semuanya harus kutanggung.
Seharusnya mereka tidak asing lagi dengan aksi-aksi di luar kewajaran yang belakangan ini lumayan aktif kulakukan. Tapi aku mampunyai alasan yang kuat melakukannya dan pada akhirnya mama papa mengakui kalau mereka yang salah. Mereka tahu betul aku tak akan sampai tega melawan mereka tanpa alasan yang jelas.
Sebulan yang lalu karena sakit hati tak diizinkan ikut les piano, aku sampai tidak pulang kerumah selama tiga hari!, Iya, tiga hari! semuanya langsung kebakaran jenggot bingung mencariku. Tapi bujukan nenek begitu ampuhnya hingga memaksaku untuk pulang. Nenek memang selalu kompak denganku. Ia tidak memberi tahu papa selama aku mengungsi di rumahnya. “Biar mereka tahu mengekang minat anak adalah sesuatu yang salah” begitu jawabnya saat kutanya kenapa ia mendukungku. Tujuh hari berselang aku melakukan aksi yang sedikit lebih sopan, mengurung diri dua hari penuh di dalam kamar. Meski marah besar, mama sampai menangis membujukku keluar kamar lantaran khawatir aku kelaparan. Entah mengapa mama menganggap aku sebodoh itu. Sebelum menjalankan misi, tak kurang selusin roti kuboyong kekamarku. Di tambah dengan beraneka ragam snack dan minuman ringan tentu saja aku betah di kamar selama dua hari. Semua itu lagi-lagi karena mereka tidak mengizinkan aku bermain sepak bola dengan teman-teman sekolah. Sedangkan mereka tahu sendiri aku begitu tergila-gila dengan olah-raga ini.
Mereka sebetulnya baik padaku. Apalagi mama. ia Tak pernah luput memperhatikan kebutuhan-kebutuhanku. Namun ya itu! kadang mereka terlanjur mengada-ada mengatur segala keinginanku untuk memajukan potensi diri. Dengan alasan yang itu lah, ini lah, semuanya dil uar rasio.
Tapi kali ini tak seorangpun bisa membujukku kesekolah sebelum ada yang betul-betul memberikan jawaban memuaskan mengenai maksud aktifitas itu. Sekarang jam sepuluh. Tak terasa tiga jam sudah hal ini merampas pekerjaan pikiran diotakku. Suara ribut-ribut di ruang keluarga sudah tidak terdengar lagi. Barangkali semuanya sudah tidur. Yang terdengar tinggal sayup-sayup suara Televisi yang menandakan ayah sedang melakukan kebiasaan nontonnya sampai tengah malam. Jendela itu kubiarkan terbuka. Sinar bulan menyusup celah-celah dedaunan kemudian menyambar ruang tidurku dengan cahayanya yang tanggung. Purnama begitu kentara ketika lampu kumatikan. Satu dua bintang mencoba mencuri perhatianku lewat kemilaunya yang lucu. Aku tak peduli sambil merangkul boneka anjing di samping dan kemudian terlelap.
Bisikan-bisikan aneh mulai dapat kucium dari percakapan mama dan papa diluar.
“Dia mungkin sakit”
“Ah, barangkali cuma kelelahan latihan bola kemarin sore”
Kebiasaanku mengunci kamar sebelum tidur, membuat mereka sulit meraba apa yang terjadi.
“Sudah setengah tujuh Stevly, nanti terlambat” mama berteriak.
Aku tak bergeming. Dentuman pintu dan teriakan mama semakin tak terkendali menyayat telinga.“Stevly bangun cepat, kamu sakit ?”
Aku bangkit sayu. Gegas Membuka pintu kemudian berlalu kekamar mandi. Bilasan air sanggup menjernihkan peluh jiwa dan raga. Mama sudah di depan kamar mandi begitu aku keluar.
“Anak mama mau bikin aksi lagi ya” mimik yang kulihat jauh dari kesan marah.
“Tidak kesekolah sayang? lagi marah sama mama?” sikap itu selalu menyentuh hati.
“Tidak, aku memang tak mau kesekolah Ma” jawabku.
“Mengapa tak mau?”
“Aku tak mau lagi kesekolah” kalimat tadi membias ketelinga ayah. Mama menatapku bingung. “Aku tak mau lagi membuang waktu berjam-jam di sekolah mulai sekarang. Sebaiknya Mama daftarkan saja namaku di tempat les piano itu. Aku tak mau mempelajari sesuatu yang sia-sia. Aku ingin les piano saja. Itu memuaskan keinginanku”.
“Kamu bisa les piano sambil terus sekolah” ayah menyambung dari tempat duduknya.
“Mau jadi apa kamu kalau tak mau sekolah, orang yang tidak sekolah hanya akan menjadi sampah masyarakat”
“Sampah masyarakat itu apa, Pa ?”
“Orang-orang yang tak berguna dan cuma membuat bumi ini tambah sesak. Seperti preman-preman yang suka bikin onar itu. Atau pengemis yang cuma tahu meminta-minta tanpa mau bekerja keras. Papa bisa menyekolahkan kalian semua karena berhasil menyelesaikan sekolah dengan baik, sehingga mendapatkan pekerjaan yang lumayan baik pula. Mestinya kamu bersyukur, eh malah sok jago mau berhenti sekolah”.
“Jadi sekolah cuma untuk orang miskin Pa?”
“Semua orang harus sekolah supaya menjadi pintar.”
“Terus kalau sudah pintar?”
“Ya supaya kamu bisa menghasilkan uang yang banyak”
“Jadi guru yang mengajar di sekolah pintar-pintar semua dong”
“Ya iya mereka pintar-pintar semua”
“Mengapa gajinya sedikit? katanya orang pintar bisa menghasilkan banyak uang”
Aku tahu papa tergeragap meski ia mencoba meniadakan kesan itu.
“Sudah jangan banyak tanya, pokoknya kamu mesti terus sekolah” mama menyela.
“Aku tetap tak mau. Mama dan papa mesti memberikan alasan yang pas untukku, kenapa aku harus sekolah. Jika belum, aku benar-benar mau berhenti sekolah. Seperti aku, aku mempunyai alasan yang jelas mau les piano. Musik memberikan kepuasan tersendiri, membuatku senang dan tanpa beban melakukannya”.
Selanjutnya masalah ini secepat pesawat jet menyebar kesemua orang. Nenek, om, tante, sepupu, bahkan guru di sekolahku mendengar berita tentang pembangkangan yang kulakukan. Mama papa sibuk mencari orang yang pas untuk dapat merayuku kembali sekolah. Mereka kelabakan. Seperti itu situasi yang kuraba.
Ini hari yang ketujuh aku tak menginjakkan kaki di tempat yang katanya ruang pembelajaran itu. Di teras depan rumah mama sedang bercakap-cakap dengan seorang lelaki separuh baya. Sepertinya ia diundang khusus untuk menggagalkan konsistensi pemogokan ini. Hm.. setidaknya bisa kudengar dari nada pembicaraan mereka. Siasat-siasat sedang disusun rapi untuk membidikku.
“Stevly, kemari sebentar” mama memanggil.
Aku menghampiri setelah menanggal majalah olah-raga yang sedang asyik kuperhatikan gambarnya.
“Kenapa Ma?” sahutku santai.
“Ini kak Helli. Dia akan menjelaskan padamu pertanyaan konyol yang membuat mama dan papamu sebal”
“Akan kudengarkan kok”
Lelaki itu memasang senyuman kecil. Menebarkan gelagat meyakinkan.
“Katanya tak mau sekolah ya? Anak lincah harus rajin belajar” Kata lelaki itu.
“Kamu senang belajar?”
“Aku senang mempelajari semua yang aku suka”
“Bagus. Setiap manusia harus melakukan segala tugas yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Belajar termasuk salah satu tugas yang dimaksud. Hewan dan tumbuhan pasti iri karena kita manusia diberikan akal budi untuk digunakan. Dan belajar adalah kegiatan di mana kita menggunakan akal budi tersebut. Karena sekolah adalah tempat belajar, setiap manusia harus menggunakan tempat itu untuk mengasah kemampuan akal budinya. Tapi semua belum berakhir sampai di situ. Kita juga harus tetap mempelajari pengetahuan yang tidak didapat di sekolah. Ilmu pengetahuan bersifat universal. Dalam kehidupan sosial sehari-hari juga adalah lingkungan belajar kita. Pendidikan berlangsung di mana saja, keluarga, pergaulan, serta lingkungan masyarakat lainnya”
“Terus pengetahuan yang tinggi untuk apa kak?”
“Untuk mengisi kehidupan. Kehidupan yang singkat ini jangan hanya berlalu begitu saja. Dengan pengetahuan, setiap orang akan memberikan sumbangsih bagi peradaban manusia. Jadi selain belajar itu ibadah, juga untuk kehidupan manusia seutuhnya”
“Sepertinya kakak tahu banyak, apa kakak calon guru?”
“Bukan. Kak Helli ini mahasiswa. Mereka yang sering menyuarakan kepentingan orang banyak” Potong mama.
“Seperti berita-berita di televisi ya ma.”
“Makanya kamu mesti terus sekolah supaya nanti bisa menjadi mahasiswa teladan seperti dia”
“Mahasiswa orang-orang yang hebat ya kak?”
“Semua orang terpelajar itu hebat. Karena mahasiswa belajar setiap hari jadi mereka hebat-hebat semua”
Betul juga. Belajar untuk kepentingan manusia seutuhnya. Lelaki ini telah meyakinkan aku dari ketidakmengertian.
“Iya, aku mau terus sekolah nanti jadi mahasiswa seperti kakak”
Memang sekolah itu penting. Ah, bodoh aku bertindak yang tidak-tidak. Untung saja ada kakak itu sementara baru seminggu aku absen di kelas. Dia cerdas. Mahasiswa memang cerdas-cerdas semua. Mulai besok dan seterusnya, tidak ada lagi mogok mogokan. Aku mau kesekolah dengan semangat baru. Setidaknya aku punya pegangan sekarang.
Sejak saat itu, tidak ada yang paling menyenangkan untukku selain menikmati masa-masa SD yang ceria ini. Mama dan papa juga senang melihat apiknya perangaiku sehari-hari. Satu kebiasaan yang jelas berubah padaku mulai saat itu, sepulang sekolah yang biasanya naik mikrolet, kini lebih doyan jalan kaki. Tentu bukan karena ingin olah-raga. Apalagi gara-gara kehabisan ongkos untuk mendanai pak supir. Sengaja kebiasaan ini kulakukan karena ingin memperhatikan mahasiswa-mahasiswa di universtas yang tidak jauh dari letak sekolahku. Satu hal yang tidak terjangkau kalau naik angkutan umum. Biasanya setelah melintasi tempat itu, aku sering membayangkan delapan tahun nanti ketika aku seperti mereka. Betapa gagahnya aku saat itu.
Siang itu lamunanku mendadak dihentikan oleh suara ramai-ramai di sekitar tempat kuliahan tadi. Ramai sekali untuk ukuran pendengaran telingaku. Ada bunyi teriakan. Ada makian. Dan kalau memang pendengaranku masih sehat, rasanya ada juga bunyi pecahan kaca. Sepertinya sedang ada perkelahian dengan skala besar. Mustahil.. gumamku. Di lingkungan universitas begini mana ada orang-orang berkelahi. Semisalkan lorong-lorong, gang-gang atau mungkin di pasar anggapan tadi cukup layak dibenarkan. Beberapa polisi juga terlihat berada di tempat itu. Pasti sedang ada unjuk rasa. Ah, aku lupa nama kerennya... o, iya, demo, iya, pasti mahasiswa-mahasiswa itu sedang demo. Setiap hari aku melihatnya di televisi. Aksi-aksi protes yang dibuat karena merasa tidak puas dengan kebijakan orang-orang penting. Demikian yang kubaca di koran. Jadi penasaran nih, bagaimana sih kalau mahasiswa bikin aksi. Akhirnya aku memutuskan melihat lebih dekat ramai-ramai itu.
Memang banyak orang di sana. Tapi ada yang aneh. Sejauh demo yang kutahu, mereka membawa atribut-atribut seperti seprai yang ada tulisan di dalamnya. Ada juga semacam kertas kartun bertulisan yang di acung-acungkan keatas. Tapi di sana tidak ada. Justru orang-orang itu menggenggam-genggam benda yang berbahaya. Apa tidak khawatir nanti melukai orang lain?. Sementara polisi sibuk melerai-lerai satu dua dari mereka. Mungkinkah ini perkelahian?.
Mendadak kebingungan menyerbu otakku. Siapa yang sedang berkelahi? Mahasiswakah? Yang aku tahu tawuran hanya digemari anak-anak SMA. Tiba-tiba ketakutan ikut-ikutan menyerang perasaanku. Semakin menyerang dan menyerang hingga kurasakan benda keras menghantam entah bagian yang mana dari kepalaku. Di tengah hampir lenyapnya kesadaran, aku tahu pasti kalau itu batu. Tubuhku semakin lemah, kurasakan rasa pusing yang begitu hebat. Aku tak kuat lagi. Rasa takut itu kini berubah menjadi geram. Jahanam kalian. Umpatku. Aku tak mau seperti kalian. Semuanya bohong. Aku tak mau lagi sekolah. Aku tak mau jadi mahasiswa. Aku tak.......
Perkamil, Januari 2005
Penulis adalah anggota Teater Kronis Fakultas Sastra