Rabu, 10 Desember 2008

Cerpen Kevin Mikael Eman: "Kematian Tuhan".

Langit mendung kala itu.
Dari kejauhan aku menyaksikan upacara penguburan itu. Air mata-air mata palsu menghantarkan dia ke kegelapan bumi yang paling gelap. Ya ........ orang yang membenci dia pun akhirnya “menangis”, “bersedih” atas kepergiannya. Mereka mengeluarkan sebanyak-banyaknya air mata yang mereka punya hanya agar dilihat orang-“kalau tidak menangis di saat orang meninggal berarti tidak berduka!”-itu kata mereka.
Aku heran, bahkan orang tuanya pun tidak mempedulikan dia, orang-orang banyak pun tidak ada yang menyukainya dan mau berteman dengan dia. Kalau pun ada itu semata hanya “akting” belaka karena orang tuanya seorang pejabat. Ahh......... memang dunia telah menjadi serba kepura –puraan. Nampaknya hanya aku orang yang mau berteman dengan dia.
Orang–orang bertanya-tanya kepadaku ”kenapa saudara mau berteman dengan dia”-“jauhi dia, nanti saudara menjadi “buruk” dan “hina” seperti dia”-segala macam pertanyaan mereka lemparkan kepadaku. Aku sendiri pun tidak tahu kenapa aku mau berteman dengan dia. Aku pikir di jaman sekarang ini baik dan buruk sudah tidak dapat dibedakan, Iblis telah menjadi Tuhan, Tuhan telah menjadi Iblis. Jadi menurutku tidak perlu dipersoalkan dia buruk atau tidak, yang aku yakin ia hanya manusia sama seperti aku.
Dia pernah berkata ”saudara, apakah aku seburuk itu, sehina, dan selicik Iblis? Hingga orang-orang membenci dan menjauhi aku. Kalaupun mereka dekat, aku tahu itu hanya topeng yang mereka gunakan. Hanya kau temanku saudara!”
Dia diam sejenak lalu berkata lagi “saudara, apa pandanganmu tentang Tuhan? Apa Tuhan tidak boleh dilawan, harus patuh 100% terhadapNya? Aku sudah muak denganNya, Ia memberi yang aku tidak minta, Ia tidak memberi yang aku minta!” ia tertawa, tertawa untuk siapa dan karena apa, aku tidak tahu. Mungkin ia hanya membersihkan batinnya.
Aku hanya diam memikirkan apa yang ia katakan, memikirkan memang begitu adanya Tuhan, memikirkan memang begitu adanya manusia, memikirkan segala perintah dan laranganNya, karena jika aku yang memerintah dan melarang maka Akulah Tuhan.
“Saudara!” dia membangunkanku dari pikiranku. “Bagaimana jika aku menyalahkan Tuhan atas semua ini, menyuruh dia bertanggung jawab atasku, bagaimana jika aku meninggalkanNya?” Lalu aku menjawab
“Tuhan adalah ciptaan setiap manusia yang merasa kecil dan sendirian di dunia yang kejam ini. Di saat kau merasa sudah tidak membutuhkanNya, buanglah!!!” dia diam, lalu aku berkata lagi “Tapi, terlepas dari itu, persalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi dalam hidupmu! Jangan persalahkan orang lain, apalagi Tuhan! Kau sendiri yang bertanggung jawab atas-mu. Hanya kau saudaraku!”dia masih diam sejenak, lalu berkata,
“Saudara, terimakasih atas pemikiranmu. Tapi apa aku tidak boleh kecewa padaNya?”
Memang kecewa itu manusiawi. Itu percakapan kami yang terakhir. Suatu hari aku mendengar kabar bahwa ia sakit keras, belum sempat aku menjenguknya ia sudah mati. Mati meninggalkan dunia yang tidak adil baginya dan bagi banyak orang.
.....................
Setiap kematian orang seperti dia, kematian orang “berdosa”, menandakan kematian Tuhan, kematian Tuhan untuk kedua kalinya, kematian perlahan Tuhan. Karna Tuhan telah gagal sebagai pencipta. Karna seorang lagi anakNya tidak bersama sama dengan Dia.

Upacara penguburan itu telah selesai. Aku mendekat ke kuburnya.Saat aku melihat tulisan yang ada di batu nisan, aku cukup terkejut ”Tuhan inilah aku anakMu, terimalah aku di nerakaMu!” Huhhh.......itulah manusiawi.
Langit masih mendung kala itu.