Selasa, 18 Desember 2007

REPORTASE KEGIATAN Oleh : Fredy Sreudeman Wowor*

KOMEDI DON JUAN DAN AJAKAN REFLEKSI
Sabtu, 15 Desember 2007

I

Gedung Kesenian Pingkan Matindas tampak lain dari biasanya. Para pekerja seni dan pemerhati seni berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan dari Balai Teater yang berjudul “Don Juan, Laki-laki dari Utara, Laki-laki Bataru”. Naskah yang dipentaskan ini diadaptasi dari “Komedi Don Juan” Karya Moliere. Dramawan Prancis yang terkenal dengan lakon-lakon lucu tapi penuh sindiran. Adaptasi naskah ini dilakukan oleh Eric MF Dayoh berdasarkan terjemahan Winarsih W. Arifin dan saduran Rudolf Puspa.
Pertunjukan yang dihadiri 150-an penonton ini mengisahkan perjalanan hidup Don Juan yang mengembara dari pelukan satu perempuan ke pelukan perempuan yang lain. Perjalanan hidup untuk memenuhi pilihannya menjadi manusia. Pilihan untuk menjadi manusia yang menghargai perasaan.Walau akhirnya dia harus berhadapan dengan kenyataan akan betapa pahitnya pilihan itu karena banyak orang tidak senang dengan pilihannya itu terlebih lagi Elvira istrinya.
Keyakinannya untuk memilih hidup dalam ketidaksetiaan dan mereguk kenikmatan fana sebagai syarat untuk menjadi manusia modern dapat kita simak dalam dialog Don Juan di adegan 3 :
”Hah! Kesetiaan bukanlah syarat utama manusia modern. Itu hanya kekonyolan masa lalu, ketika teknologi dan segala macam pengetahuan, baru menjadi milik segelintir orang, yang lalu disebut kaum terpelajar. Hanya kakek-nenek yang menganutnya. Di masa sekarang, setiap perempuan muda mempunyai hak untuk memikat siapa saja yang diinginkannya. Dan yang dipikat punya hak melayaninya. Ini kodrat, bung ! Manusiawi! Coba bayangkan, betapa indahnya menikmati tumpahan gelorah asmara, mendengar rintihan kerinduan : malu-malu tapi suka, disentuh gelora gairah laki-laki yang membuncah, mengajak kegairahan liar di balik kelembutan dan rasa malu-malu, membelit diri dalam gelora permainan libido yang menakjubkan, sekaligus menjijikkan dan tak beradab! Mencintai, memiliki, menaklukan, dan saling melibas. Itulah anugerah, talenta tamang…yang mesti dinikmati, agar tak sia-sia dan mubasir. Saling memberi dan saling melengkapi. Tak ada kekuatan apapun di muka bumi ini, yang sanggup membendung hasrat menguasai sesama untuk menaklukan dunia. Sebagaimana Iskandar Zulkarnaen, saya pun ingin menjamah dunia, memperluas jangkauan asmaraku.”
Berdasarkan dialog ini, kita bisa mendapatkan gambaran betapa paralelnya persoalan cinta dan persoalan kekuasaan.
Pahitnya sebuah pilihan dapat kita simak dari kata-kata Don Juan di adegan 5 berikut ini :
“Hah! Hantu, setan, neraka, sorga,aku tak perduli. Aku hanya menjalani sejarah yang telah dituliskan untukku. Kalian hanya melihat akibat. Apakah kalian mempertimbangkan sebab-musababnya? …. Tuhan inilah aku, Don Juan ciptaanmu! Mendamba cinta dari lorong-lorong sampai perampatan, dari mal hiruk pikuk hingga ke kafe-kafe temaram…Hah ! Bullshiit ! … Apa kamu tahu, sejak kecil aku terbiasa dengan uang sebagai jalan keluar untuk segala-galanya. Apa kamu tahu, Hah!? Enak saja nasihati aku…Dimana mereka ketika aku sedih dan menangis? Ketika aku menahan rindu dan ingin mendengar sapaan? Ketika aku kalut, bingung dan tak sanggup mengambil keputusan untuk memilih? Selalu yang dicekokin hanya kehormatan dan gengsi keluarga. Begitulah aku belajar hidup selama ini!...Munafik ! Aku tak takut, karena uang adalah jalan keluarnya….
Yah! Karena aku dicap sebagai pencemar kehormatan keluarga besar. Zaman edan,gila! Orang lebih suka menari dengan topeng menjadi pemain sulap dan akrobat. Mengolah hidup dengan kelicikan sambil mengumbar janji-janji sorga yang kosong, tapi diyakini sebagai tindakan suci….
Mana lebih penting, dari dari kemunafikan yang sudah dianggap kebajikan? Hah! Munafik telah menjadi pekerti dalam kesantunan, dalam pergaulan bersama. Orang tak segan-segan bersembunyi di balik nilai-nilai kebenaran, agar tetap bisa tampak suci, bahkan bisa mendapat pembelaan di mana-mana, menghilangkan rasa bersalah dan berdosa.
Aku terus didesak untuk bertobat,seolah-olah aku sumber kebejatan itu. Benar-benar terlalu! Kenapa mata ini tak sanggup melihat balok yang ada di depannya? (Setelah diam sejenak). Baik, Elvira, hari memang telah larut, tapi janganlah menolak keinginanku untuk mengantarmu pulang, karena disana kita bisa lunaskan semua kegundahan yang terus meronta-ronta di hati kita….”
Dan demikianlah kisah ini usai, seperti nyanyian orkes bamboo di adegan 6 :
“inilah, sepenggal kisah hidup anak manusia
kita semua ada di dalam cerminnya
berkaca bersama
berbenah bersama
karna,don juan memang don…
karna don, memang soal kita bersama…”
Pentas yang disutradarai oleh Eric MF Dayoh ini menampilkan Franky Supit (Don Juan), Donna Keles (Elvira), Sylvester Setligt (Sagan), Irene Buyung (Gusmar), Sandra Dewi Dahlan (Karlote), Ventje Mait (Pier), Melissa Nayoan (Maturin), Frangky Kalumata (Narator), Servy Maradia (Pelayan), dan Ferro Kuron, Roy Kumaat, Dolfie pantouw (Orkes Bambu/Pigura).
Adapun pelaksana pentas produksi ke 9 Balai Teater ini adalah Teddy Kumaat, Donna Keles, Recky Runtuwene dan Frangky Kalumata. Penata artistik : Ilham Nasikin, Penata Busana : Bebe, Penata Rias : Choi.
Hal penting yang bisa dicatat dari pementasan ini adalah penampilan Sylvester (Sagan) yang dinamis dan berhasil menggelitik tawa sekaligus membuat kita makang hati dapa terek, patut diacungi jempol, begitu pula penampilan Irene (Gusmar), Sandra (Karlote), Melisa (Maturin), Servi (Pelayan), yang bisa mengimbangi kedinamisan Sylvester. Penampilan Frangki Supit dan Fence Mait cukup menggelitik walaupun mesti diakui faktor daya tahan napas cukup mempengaruhi kedinamisan mereka. Penampilan Donna Keles berhasil memberikan nuansa serius di tengah kekocakan sagan dan kekenesan Don Juan. Begitu pula penempatan orkes bambu di atas panggung bagiku cukup menimbulkan efek dalam menjaga momen-momen transisi antara adegan yang satu ke adegan yang lainnya.
Terlepas dari adanya keterbatasan akibat kondisi gedung seperti pohon natal di depan panggung yang cukup mempengaruhi penglihatan dan lampu yang menyala tiba-tiba di tengah penonton, saat pertunjukan berlangsung, pentas ini mengasyikkan dan berhasil memancing gelak tawa sehingga penonton bisa bertahan dari awal sampai akhir pertunjukan. Apalagi inovasi yang berhasil dilakukan oleh sutradara pada adegan perkelahian antara Pier dan Don Juan berhasil memunculkan ingatan purba melalui pukulan tambor kabasaran, bagaimana dahulu orang bertarung memperebutkan perempuan tidak selamanya dilakukan dengan pertarungan fisik tapi melalui adu kemampuan berdebat dengan puisi.

II

Selain pementasan teater,di tempat ini berlangsung pula sebuah sebuah dialog budaya yang menghadirkan Benny J. Mamoto. Seorang pemerhati seni yang berhasil mendorong kajian-kajian, symposium-simposium, dan penerbitan buku-buku seni budaya serta mengadakan festival-festival seni budaya Sulawesi Utara seperti festival Maengket, Kabasaran, tari Jajar, Mahamba, musik Kolintang, musik Bia, dan tari Kabela.
Dalam dialog yang dipandu oleh Hendra Zoenardji ini, hadir para wartawan dari berbagai media massa dan para seniman Sulawesi Utara dari berbagai generasi seperti Eric MF Dayoh, Iverdikson Tinungki, Ari Tulus (SAT Tomohon), Ie hadi G, Deni Pinontoan (Radio Suara Minahasa), Greenhill Glanvon Weol (KONTRA), Vick Chenore (Teater Karang Mantra), Jenry Koraag (KAMISAMA), Rulan Wawoh, Frangky Kalumata, Inggrid Pangkey (KAMISAMA), Huruwati Manengkey, Hence Makalew, dan Bobby Anggai (Teater Club fakultas SASTRA UNSRAT), Andre GB (9 SOCIETY), Ifan Kiraman (KKBR Manado), Maikel Booluis Pelealu (Teater Bukit Hijau), Richard Rhemrev, Frangki Supit, Inyo Rorimpandey, Fence Mait, Joni Sangeroki, Roy Kumaat, Dolfie Pantouw, dan Ferro Kuron.
Dalam kesempatan ini Benny J. Mamoto menyampaikan beberapa pokok pikiran berkaitan dengan usaha-usahanya mendorong kemajuan seni budaya Sulawesi Utara. Dia mengatakan bahwa ada 2 alasan yang melatar belakanginya untuk mengambil peran aktif mengurus kebudayaan.
Pertama, karena selama seperempat abad ini, ia menekuni secara optimal profesinya sebagai seorang polisi, aparat hukum dan kamtibmas maka dia menjadi orang yang sangat menyadari mutlak pentingnya faktor budaya. Betapa banyak problem sosial dan hambatan dalam penegakan hukum yang berpangkal dari masalah nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.
Kedua, karena sebagai anak keturunan Minahasa Sulawesi Utara yang tumbuh di rantau, ia ingin menikmati kehangatan dari akar budayanya dan menerima kekayaan batin dari kebudayaan yang luhur ini.
Apakah salah jika saya ingin lebih dekat dengan kebudayaan leluhur saya sendiri? Adakah sesuatu yang bisa mencabut hak azasi saya di bidang kebudayaan ? Tanyanya.
Dia menjelaskan bahwa apa yang telah dilakukannya bersama teman-teman dengan mengedepankan segi kuantitas, seperti sejumlah rekor MURI untuk berbagai cabang seni tradisional secara massal, tak lain dari semacam upaya untuk membangun kesadaran dan ingatan masyarakat luas bahwa seni budaya adalah satu faktor. Seni budaya kita ada. Seni budaya adalah bagian eksistensial diri kita sendiri. Kita tidak dapat mengabaikannya begitu saja.
Beberapa pokok pikiran yang disampaikannya mengawali dialog budaya ini merupakan pokok-pokok mendasar yang disampaikannya dalam Pidato Refleksi Akhir tahun Bidang Seni Budaya berjudul Sekedar Ajakan Refleksi Untuk Rekomitmen Peran Budaya dan Budayawan.
Iverdikson Tinungki mengusulkan agar supaya dibuat sebuah antologi sastra yang melibatkan seluruh seniman Sulawesi Utara dengan ukuran ketebalan tertentu untuk mendapatkan rekor MURI dengan ini diharapkan publik luar Sulawesi Utara dan dunia akan lebih mengenal kesusastraan kita.
Greenhill Glanvon Weol mengatakan bahwa perlu diadakan pembangunan basis-basis seni budaya ke seluruh pelosok daerah Sulawesi Utara, karena berdasarkan penelusurannya sejak tahun 2005 meliput iven-iven seni budaya dia menemukan kenyataan bahwa di pelosok-pelosok daerah Sulawesi Utara terutama Minahasa aktifitas seni berbasis kelompok atau sanggar sangat kurang bahkan di beberapa tempat sudah tidak ada sama sekali.
Dia menggambar visinya dengan mengambil perbandingan Gerakan Mawale (Mawale Movement) yang dilakukan para Peteater dan Sastrawan Muda Minahasa yang sejak penghujung tahun 2004 mengadakan pembangunan basis-basis teater di seluruh Minahasa dan melalui basis-basis teater ini diadakan pelatihan dan pendidikan dasar seni budaya terutama sastra dan teater, musik serta seni rupa. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dalam bentuk pentas-pentas dan pagelaran teater, pembacaan dan musikalisasi puisi, serta peluncuran buku. Ada sekitar 30-an buku telah diterbitkan secara underground sampai akhir tahun ini dan berdasarkan pendataan akan ada 25 biji buku siap terbit tahun 2008. Untuk memfasilitasi proses penerbitan ini telah dibangun 9 SOCIETY PRESS . Sebuah penerbitan independent yang akan memfasilitasi pendistribusian karya-karya sastra ini. Sejak akhir tahun 2004-2007 ini karya-karya berupa puisi, cerpen, novel dan drama ini telah disebarkan sampai di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Australia, Jerman, Belanda dan Amerika. Dalam perkembangan terakhir karya-karya ini punya kemungkinan dibaca di seluruh dunia seiring dengan di bangunnya sebuah blog sastra di internet yaitu sastra-minahasa.blogspot.com
Secara kritis dia memberikan tanggapan terhadap beberapa iven budaya yang dilakukan di hotel-hotel berbintang. Dia mengatakan, terlepas dari kepentingan promosinya, mesti selalu disadari bahwa dampak dari penyelenggaraan iven-iven di hotel-hotel berbintang ini dapat mengakibatkan terasingnya seni dari masyarakat yang justru menjadi sasarannya.
Bagiku pribadi, apa yang telah dilakukan oleh Benny J. Mamoto bersama teman-teman di Institut Seni Budaya Sulawesi Utara harus disambut baik dan didukung. Karena, apa yang dilakukannya untuk membangun citra dan identitas ini merupakan tugas kita juga.
Apalagi sekarang kita hidup di era globalisasi. Era dimana penyeragaman dan homogenisasi menjadi satu kemustian. Era dimana imperialisme budaya merajalela. Imperialism is the export of identity, demikian Edward Said dalam tulisannya On Jean Genet’s Late Works. Perjuangan budaya di zaman ini adalah perjuangan menegakkan identitas.
Pembangunan kebudayaan kita sebaiknya tidak cuma terkonsentrasi pada seni tradisi tapi juga musti melihat perkembangan seni kontemporer.
Dalam bidang musik perlu diadakan eksplorasi lebih jauh terhadap Makaaruyen dengan mengadakan kajian-kajian maupun workshop-workshop yang melibatkan para pemusik yang ada. Perlu juga diperhatikan perkembangan musik populer seperti rock n’ roll dan metal mengingat banyaknya anak muda yang membentuk band-bandnya sendiri. Mereka sangat inovatif mencipta dan mengadakan konser-konser dengan dana seadanyanya serta berusaha merekam dan memasarkan karyanya. Contoh yang bisa saya berikan adalah Konser Malendong, Akustika dan Art For Heaven yang dilaksanakan di Ruang teater fakultas Sastra sejak tahun 2000.
Dalam bidang seni rupa, harus diadakan kegiatan workshop dan pameran-pameran dengan prioritas pada anak-anak dan kaum muda. Dalam bidang teater perlu di adakan workshop-workshop acting, penulisan naskah, dan pentas produksi teater. Kemajuan di bidang teater ini diharapkan akan menjadi landasan bertumbuhnya iklim perfilman kita, karena dengan pelatihan yang intens, problem aktor dan aktris serta naskah yang dapat menghalangi pertumbuhan kualitas penggarapan film dapat teratasi.
Dalam bidang sastra, perlu dikaderisasi angkatan penulis baru agar proses perkembangan tidak tersendat-sendat dan terputus-putus, ini bisa dilakukan melalui workshop penulisan kreatif dan penerbitan karya serta pemberian penghargaan bagi mereka yang menciptakan karya inovatif.
Semua ini dilakukan dengan memperhitungkan pembangunan wacana dan jaringan KESUSASTRAAN TEPI PASIFIK sebagai terobosan lebih lanjut untuk menjadikan kesusastraan kita menyebar ke seluruh dunia.
Pada ujungnya semua ini bermuara pada perlu dibangunnya sekolah seni yang akan mendorong lahirnya seniman-seniman yang sadar akan keberadaan dirinya dan memiliki daya tahan serta inovasi. Pembangun sekolah seni ini harus diimbangi dengan pembangunan pusat dokumentasi seni budaya Sulawesi Utara, sehingga penemuan-penemuan kreatif dan data-data historis yang sangat penting bagi eksistensi kita tidak tercecer, dicuri atau malah punah dari muka bumi.
Pembangunan pusat dokumentasi ini bagiku adalah langkah strategis untuk menerobos kebuntuan budaya selama 500 tahun terakhir ini,karena sejak pengetahuan baca-tulis dikenal oleh orang minahasa dan orang-orang Sulawesi utara lainnya mulai dari kisaran tahun 1500-an sampai sekarang, belum ada sebuah pusat dokumentasi yang benar-benar memenuhi kriteria : menampung semua sumber pengetahuan dan informasi tentang Minahasa serta daerah-daerah lain di Sulawesi Utara, baik itu pengetahuan dan informasi dari masa lalu maupun masa kini.
Pendapatku ini tentu saja tidak bermaksud menafikan apa yang telah dilakukan oleh Dr. Bert Supit dengan Perpustakaan Minahasanya dan Syeni Watulangkow dengan Perpustakaan Masarangnya.
III

Kegiatan lain dalam rangkaian pementasan teater di akhir tahun ini adalah Pidato budaya yang disampaikan oleh Benny J Mamoto. Pidato budaya ini mengajak para pekerja budaya berefleksi untuk membangun kembali komitmen peran budaya
Seluruh kegiatan ini ditutup dengan pembacaan puisi para penyair Sulut bersama beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama. Pembacaan puisi ini di awali oleh Pastor Cardo Renwarin, Gembala Teddy Batasina selaku Pucuk Pimpinan KGPM, Iverdikson Tinungki, Ie Hadi G, John Piet Sondak, Fredy Sreudeman Wowor dan Greenhil Glanvon Weol

* Penyair, Dramawan, aktif di Teater Kronis Manado
Sekarang Dosen di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unsrat