Kamis, 30 Agustus 2007

Cerpen Karya Denni Pinontoan: "Orasi Bobi, Si Calon Presiden"


Bobi, sekarang so jadi calon presiden. Mar, Bobi sandiri nda tahu, kalau dia bakal memimpin negara bernama apa. Yang jelas, waktu berorasi di atas podium di hadapan ribuan massa ketika jadwal berkampanye, Bobi dengan berapi-api menyatakan komitmennya untuk mengatasi persoalan korupsi.

“Saudara-saudaraku, penyebab kemiskinan di negara ini adalah korupsi? Elite-elite yang memimpin negara ini banyak yang bermental korup. Mereka semua harus diganti dengan orang-orang yang bersih. Itu antara lain komitmen saya!!” begitu pengantar orasi Bobi.

“Benaaar…!!!” Ribuan massa dengan kaos bergambar foto Bobi berteriak setuju.

Mereka tampak kesetanan. Spanduk-spanduk bertuliskan: “Bobi Presiden Rakyat. Jangan Ragu Pilih Bobi” berkibar di tengah dan hampir setiap sudut tanah lapang kota itu. Tampak juga sejumlah nenek dan kakek nekat berdiri di tanah lapang itu. Untung petugas medis dan mobil ambulance bersiaga di sudut tanah lapang. Kalau ada di antara mereka pingsan dan mudah-mudahan belum sampai mati, para petugas sudah disiapkan untuk segera menolong. Para pedagang asongan sibuk melayani massa membeli air mineral. Massa kehausan.

“Saudara-saudaraku, persoalan utama di negara kita ini adalah korupsi yang kian akut. Kalau saya jadi presiden nanti, para koruptor, siapapun dia akan dihukum mati. Tidak seperti sekarang, para koruptor yang telah mencuri uang negara bebas lalu lalang ke sana kemari. Hukum juga harus ditegakkan…!!! Orasi Bobi si calon presiden itu mulai panas. Sound system ribuan watt menggemakan orasi Bobi sampai ke otak para pendukung calon presiden itu. Massa menjadi terhipnotis dengan jualan kecap Bobi. Bahkan ada yang serupa orang kesetanan.

Panji-panji dan spanduk-spanduk berwarna-warni tampak seperti tangan pemimpin paduan suara yang sedang memimpin paduan suara terbesar di dunia. Matahari yang tepat di atas kepala ribuan massa itu seolah-olah tersenyum lucu melihat pertunjukkan anak-anak manusia yang histeris dengan harapan perbaikan hidup.

Selain lansia, tampak juga pendukung setiap Bobi dari kalangan gadis. Mereka itu banyak yang memakai kaca mata hitam. Rambut dicat pirang, celana jeans yang sengaja dirobek di bagian paha dipasangkan dengan kaos ketat bergambar foto Bobi yang tersenyum menggoda. Sosok Bobi bagi para gadis memang menggoda. Bobi memang masih muda, tampan dan kaya.

“Saudara-saudaraku, untuk mengatasi persoalan korupsi di negara ini, kalau saya jadi presiden nanti, yang akan saya lakukan adalah merombak sistem birokrasi kita. Kalau sekarang, urusan-urusan yang sebenarnya mudah, sengaja dipersulit untuk mendapatkan sejumlah uang. Prinsip saya, kalau bisa dipercepat kenapa harus diperlambat. Kalau rumit, harus diusahakan menjadi mudah. Ini reformasi saya di bidang birokrasi. Sistem birokrasi yang dibuat longgar, namun tetap prosedural, mempermudah masuknya investor untuk menanamkan investasinya di negara kita,” begitu orasi Bobi dengan suara yang lantang.

Bobi tampak menyakinkan sekali. Sampai-sampai wajahnya yang putih mulus menjadi merah. Tak tahu memerah karena ketulusan komitmen kerakyatan atau memerah karena kebohongan. Massa sulit menebak itu.

Mendengar janji Bobi itu, massa berteriak histeris sambil melompat-lompat. Para lansia, cuma bisa menepukkan tangannya. Senyum mereka tak lagi seindah senyum para gadis yang tampil modis itu. Tapi kalau diamati betul sorakan, senyuman, dan tepukan tangan massa itu tak tampak keseriusan. Jangan-jangan mereka tak mengerti apa yang sedang diteriakan Bobi.

Siang itu tanah lapang kota memang tampak ramai sekali. Sorakan, tepukan tangan dan senyuman genit para gadis bahkan menjadi tontonan para bule yang menyaksikan pertunjukkan massal itu dari jalan yang mengitari tanah lapang. Tawa dan senyuman para bule seperti orang yang sedang menonton film Mr. Bean.

“Saudaraku, kini saatnya kita membuat perubahan. Rakyat di negara ini harus sejahtera aman dan damai. Kebijakan ekonomi negara harus berpihak kepada rakyat. Perimbangan keuangan pusat dan daerah harus adil. Kita harus hentikan eksploitasi pusat terhadap sumber daya alam milik daerahhh…!!! Itu kita harus hentikannn…!!! Saya siap berada di depan untuk perubahan ituuu…!!! Setujuuu…??!!” Suara Bobi meledak-ledak. Orasi kampanyenya mirip seorang demonstran di jalanan yang menuntut perubahan.

“Setujuuu…!!!” Gelegar suara massa serempak. Massa kesetanan. Mereka berjingkrak-jingkrak terhipnotis dengan orasi Bobi yang meledak-ledak itu.

Di podium, Bobi semakin menjadi. Para pendampingnya yang terdiri dari fungsionaris partai yang mencalonkan dia juga begitu. Tampak, istri Ketua Umum Partai Nekat yang bahenol itu menggoyangkan pantatnya mengikuti goyangan ngebor Inul Daratista.

Podium dan tanah lapang bergetar. Massa semakin menjadi. Bobi dan orang-orang di atas podium lebih gila lagi.

….

“Braaakkk…!!!” Bunyi podium runtuh menggelegar sampai di sudut-sudut tanah lapang. Podium ambruk karena orang-orang di atasnya tergila-gila dengan jualan kecap Bobi.

Bobi yang jatuh terkejut setengah mati. Lebih terkejut lagi dia ketika tahu bahwa yang di atas tubuhnya adalah istri Ketua Umum Partai Nekat yang bahenol itu. Spontan ia berteriak keras,”Pilih saya jadi presiden negara iniii…!!!”

Habis berteriak begitu, siraman air seember membasahi tubuh Bobi. Mata Bobi terbelalak seperti mata burung hantu.

Kiapa, kiapa ini? Kiapa ngana sirang pa kita deng air got?” tanya Bobi kepada teman kosnya, Tole.

“Bobi, ngana ini da mimpi! Ba bataria jadi presiden!...Mo jadi jadi presiden bagimana, sedang kuliah nda beres?” ujar Tole mahasiwa semester IV Fakultas Ekonomi UNPRAT sambil tertawa lebar, menertawakan kekonyolan Bobi.

“Ha, jadi presiden? Ba butul kwa ngana Tol? Orang da mengkhayal, bilang ba mimpi?” Bobi coba membela diri.

Kasiang ngana ini, Bob. Ba mimpi deng mengkhayal itu cuma beda-beda tipis tamang! Lia tre ngana pe supermi so tacura di lante,” kata Tole.

“Presiden?” gumam Bobi yang sementara kedinginan.

“Bob, sekarang ini, nda cukup kalu cuma ba mimpi. Torang musti beking revolusi!” ujar Tole sambil melangkahkan kakinya ke kamar.

“Revolusi?” gumam Bobi yang semakin kedinginan.

Tomohon, 24 Maret 2007