Sabtu, 01 September 2007

Puisi-Puisi Inggrid Pangkey: "Mawalemorfosa, Pulang Pada Cinta, ..."

MAWALEMORFOSA

Untuk apa mengelana ke selatan

sementara di sini tersedia

cukup tanah yang menghidupi

sinaran jiwa bunda

mencurah tegar bijak sang ayah

menyejuk sukma, memancar ramah

dari mata sedarah

bahwa tanah ini

kan kita bagi bersama.

Untuk apa menjejal takdir ke selatan

ternyata di sini masih cukup

banyak cinta

sebar ketulusan tak hanya ucap

tapi terulur panjang menjamah hati tetap

mendekap erat, supaya tak lepas harap

berseru kekasih

mari membajak di tanah sendiri


PULANG PADA CINTA

Mengapa gontai jejaki takdir?

Mari pulang..pulang pada cinta

yang wariskan keabadian darah

mahkotahkan kodrat

berhias kemurnian rasa

percuma mengais hidup

di hati yang kerontang.

Mari pulang.. pulang pada cinta

yang melautkan setia

meriak seia

menepi rindu

sauhlah segala rasa

karam di dermaga

karena cinta menanti

kan nikmati senja nanti

maknai usia

dengan karya


TENTANG SUATU BANGSA

Mengkristal kini budaya

pada prasasti raya

tentang suatu bangsa

Terpajang indah pula

kilau jayanya

dalam romansa

artefak sejarah

yang dengan bangganya dikumandangkan

sebagai wujud kekinian peradaban

bangsa itu

sungguh ironis…

pembenaran yang bercumbu munafik

berkilah sebagai pewaris

tapi mengemis pada gerimis globalisasi

yang bengis, meringis pada sang pewaris

yang saying, terlalu tersenyum manis

terdengar kini hanyalah dongeng konon

dan setumpuk buku

berbaris kata “pernah”…


TENTANG KASIH

Kasih yang t’lah terbakar sucinya

menyisakan debu yang terbang

bersama kepulan asap

usaha ‘tuk menghirup sisa kemurniannya

ternyata hanya menyesakkan saluran hidup

keperkasaanmu dulu

yang akhirnya

tinggal menjadi dongeng tidur bagi anakku

Awan hitam berkabung atas layunya harummu

laut keruh, seiring kulitmu yang keriput

akh, inikah tandanya waktu kan berhenti

tidak!!!

Wahai dunia,

sambil meratap

kita tinggal menunggu

datangnya hari penghakiman


REALITA

Nyiur melambai di tepian

lirih, menatap kelambu hitam

yang halangi mentari mencurah

cahya nirwana

membasuh fana

dosa yang terjebak bencana

mulut – mulut yang menganga

meraup baka..ampuni jiwa

demi satu dua hela nafasnya

Nyiur melambai di tepian

miris, berkhayal dalam imaji

bilakah mulut – mulut itu terkatup janji

bukankah nasi yang tersaji

meski meronta nadi menuntut gizi

tetap tak terucap

hasrat mengecap

tirani mendesak

Nyiur melambai di tepian

perih, merontah sukma

berserakkan raga – raga

taruna pengemban sabda

yang jejali dunia dengan sok mulia

terlupa menentang tameng

atau, memang sengaja

yakin jiwa terlalu baja?

Dogma sang bunda

katanya serak mengiang

pecahkan gendang

menabuh bintang

tapi apa?

Terseret meraka

bersama arus neraka