Selasa, 18 September 2007

Puisi-Puisi Rickson Karundeng: "Kerinduan, Mimpi Buruk, Harapan, ... "

Kerinduan

Dari puncak Kasendukan sepasang mata bening terpaku tak berkedip

Dari mata itu terpancar kekaguman yang terbungkus keharuan

Dari kelopak matanya terlihat hamparan sawah yang luas

Warna tanah sawah itu jawaban kesuburannya

Lontoh, Supit, Paat….Stin Adam, Paul Pinontoan...Sam Ratulangi, M. Maramis….

Mereka tumbuh dari petak yang sama

Tarian mereka sempat membuat jutaan mata terpana

Tepukan mereka sempat membuat jutaan jantung terhenti sejenak

Di puncak kasendukan mata bening itu mulai basah

Sebab tanah subur itu sepertinya tak subur lagi

Ada apa dengan tanah itu ?

Mungkinkah air tak cukup lagi membasahinya ?

Mungkinkan benih yang ditabur tak unggul lagi ?

Atau ada yang salah dengan pemeliharaannya ?

Mungkin juga benih itu terlalu bodoh hingga mengoyak tubuhnya sendiri

Seketika mata bening itu menari perlahan

Entah tarian perpisahan bagi sebuah kenangan indah

Atau itu sebuah tarian harap bagi tanah itu.

Mimpi Buruk

Negeri apa ini ?

Negeri mimpikah ?

Mimpi buruk bagi yang tak beralas kaki

Tak bisa menyentuh halaman sekolah karena pakaiannya compag-camping

Tak bisa menyentuh pena sebab tak punya kuasa untuk meraihnya

Tak bisa mendekati istana kesehatan karena wajah mereka kusam

Tak bisa divisum karena kuman tubuhnya bisa merusak alat cek up

Ya, sehat dan pintar hanyalah sebuah mimpi bagi penghuni dunia bawah

Negeri apa ini ?

Negeri dongengkah ?

Menampilkan pemeran utama, sutradara dan sekenario seorang saja

Pemeran utama yang rakus

sutradara yang mau berteriak sesuka hati

sekenario seenak perut

dan yang lain hanya figuran

Ya, panggung luas ini mungkin miliknya

Negeri apa ini ?

Negeri mimpi atau negeri dongeng ?

Mimpi mengasikkan dari para monster

Dongeng kengerian bagi yang terhimpit

Menangislah ….menangislah sebab ini mungkin bukan negerimu

Harapan

Dengan kalbu terjepit kuhendak mengakhiri hari itu

Walau berat kugerakan kaki yang penuh beban

Menuju pembaringan yang semakin jauh saat kudekati

Angin berhembus menyemarakkan kesuraman malam itu

Mengorek sampai ke dasar sendi tulangku

Seakan terus menyedot liur yang tersisa

Lambaian dedaunan seakan menyindirku

Dan sindiran itu tepat memukul bagian perutku

Ia meronta sebab hari itu hampir tak ku belai sedikitpun

Ia memang tak bisa memahami seperti kalbuku

Yang setia memelukku walau ia tercekik

Nafasku yang tersengal terlepas dari sekat penghalangnya

Ketika mendapat kiriman berita dari mataku

Pembaringan telah siap menanti

Saat kasur kusam memelukku

Kupikir rantai tubuh dan jiwa yang mengikat bisa kulepas

Ternyata ia mau terus mengusikku

Malam semakin pekat

Aku benar-benar ingin melepas rantai itu

Tenggelam bersama mimpi

Sambil berharap

besok lahan yang dikais orang tuaku segera berbuah

dan topi sarjana bisa menghibur peluh mereka

Semikin erat kupajam mataku

dan coba mengabaikan otak yang menginterupsi

untuk sabar dan realistis

semakin ia mengganggu

semakin ku berusaha tenggelam dalam mimpi dan impian

kalbu menghibur

biarlah wajah hari esok berbeda dari wajahnya hari ini.

Wajah Mereka

Pagi itu kuingat……

Rumengan menyambut mentari dengan senyuman

Sambil menyapa Lokon yang masih terlelap

“Kau tampak gagah seperti kemarin”

Sambil tersenyum Lokon menyambut sapaan itu

Dalam kalbu ia berdecak kagum

“Pagi ini kau bangai pangeran berjubah embun”

Di sendangan…..

Kelabat menyapa Dua Sudara

“Elok persaudaraanmu seirama kedamaianmu”

Dengan bangga Dua Sudara menyambut sapaan itu

Dalam kalbu mereka berdecak kagum

“Oh…kelabat kau putri berjubah hijau pujaan kami,

Jika senja menanti mahkota putih menambah keindahanmu”

Ketika senja tiba……

Lolombulan menyapa Soputan yang berambut hijau lebat

Dengan lembut Soputan membalas

“Tidurlah cantik dalam kedamaianmu”

Pagi ini……

Mentari sepertinya enggan menampakkan wajahnya

Entah sedih atau takut melihat kenyataan

Pagi ini Rumengan tampak muram

Lokon tampak pucat

Dua sudara seperti saling berpaling

Kelabat kini bebaju kusam

Rambut Soputan mulai rontok

Dan sore ini Lolombulan tak lagi terlelap dalam kedamaian

Kerakusan telah menelan keceriaan mereka

Keogoisan mengabaikan rintihan mereka

Bersama mereka berucap

“Nantikanlah kesedihan kami menggumpal menjadi kegeraman”

Perjuangan

Dari dunia jauh

Kita turun ke dalam lembah perjuangan ini

Bumi berlari mengiringi perjalanan kita

Perlahan-lahan mata terbuka

Hingga kita mengenal tempat yang kita pijak

Di sana-sini bertaburan berjuta mutiara

Jauh di dasar laut, dalam lembah yang dalam

Dan di atas bukit-bukit terjal

Setapak demi setapak mengayunkan langkah

Untuk menemukan dimana milik kita

Kadang letih

Tergelincir dan terluka

Kalbu tertunduk

Membiarkannya mengapung di antara gelombang

Badai dan gelombang kadang menghalangi

Darah dan keringat turut mewarnai

Haruskah kita menutup lembaran ini dengan goresan hitam ?

Masih banyak tinta emas tersedia

Menanti setiap kaisan langkah kita