Jumat, 26 Oktober 2007

Novel Karya Logonk: "Wale Roga"

Novel ini adalah karya seorang sastrawan muda kelahiran Manado, berdarah campuran Gorontalo-Bugis yang beberapa waktu lalu "hijrah" ke Jakarta. Setelah di "sentra", Logonk justru getol menulis memakai setting Minahasa.

Anda dapat mengkopi-paste novel ini, sebelum di baca, asal saja tidak dikomersilkan.

Wale Roga

(Raung Tulang-Belulang)

SEBELUM MERAWI KISAH

“SEBIJI ide. Sekuntum khayal. Berpercik-percik ilmu. Sinar kenang. Bermekar setaman roman. Berlapis kelopak bunga seperti lapis kisah. Aku menemu jemuh di ujung sendat kata. Di otak rimbun paragraf. Tumpang tindih tak beratur. Mengakukan jari-jemari. Menelan gumam. Merunut logika. Membayang wajah. Memikir pikir. Merasa asa. Tokoh hadir melempar senyum. Kau siapa Aku? Lantas siapa pula kau yang bergelinjang dalam setting? Wajahnya serupa mozaik. Kadangkala serupa mukaku. Mengejekku kembali meremuk kertas. Ia berucap. Merawi kisah. Tak satu pun aksara. Tak pula bunyi tik-tik-tik mesin ketik. Kertas kosong. Selesai di khayal. Ia terus merawi kisah. Menjadi setumpuk ide. Comot sana-sini. Terbata-bata. Terputus-putus. Demi sebuah kisah. Aku harus bermula dari mana? Dari budaya yang mana? Untuk menumbuh kembang kisah dari akar yang mana? Semua hanya untuk sebuah kisah. Kisaaaaaaaa ... aaaaaaahhhhhhhhhh!”

“Woii! Berisik,” teriak dari luar kamar. “Dasar penyair gila!”

“Ini caraku cari duit,” bergumam. “Kau yang berisik, bodoh! Mereka lagi bicara, jangan ganggu konsentrasiku. Nanti mereka ngacir meninggalkanku. Banyak yang akan mereka bicarakan...puisi, cinta, persahabatan, mitos, kematian...tapi aku belum bisa menyusun, belum bisa merangkai, belum bisa mengeratkan. Kisahnya tumpang tindih...ah, serasa aku mau mati saja membulatkan pecahan-pecahan kisah...dari warisan budayaku.”

Seketika, kubenturkan kepenatan kepala ini di atas meja, di samping kiri mesin ketik. Brakk! Meja meretak, begitu pula tengkorakku. Berapa saat kemudian, kurasakan wajah tenggelam dan merekat di genang darah. Tak ada rasa perih, tapi mataku terpukau menangkap sosok yang terpantul dari genang darah. Ah, itu rupaku. Aku ada dalam kucuran darahku. Aku berwarna darah. Begitu juga langit dan rimbunan pohon. Aku seperti menonton pada ruang berselaput darah tentang diriku.

Dalam darahku, Aku, menapaki ketinggian sebuah gunung. Entah gunung apa? Bertelanjang dada, dan memakai cidako[1] yang kerap tersingkap menunjukkan pantatku. Bersusah payah aku menapak seolah mencari sesuatu. Entah mencari apa? Sejauh ini aku masih menyaksi, belum menjadi seutuhnya aku dalam genang darah. Hingga pertanyaan tentang diriku hanya bisa terjawab tatkala aku mengandung rasa sosok aku dalam genang darah itu.

Kuhempaskan diri ini, menyusup dalam genang darahku sendiri. Berkali-kali kucoba untuk melumatkan tubuh nyata ini dengan birahi kreasi dan imajinasi, akhirnya utuh juga lewat kesakitan yang teramat perih. Ya, aku kini telah menjadi aku dalam genang darah. Langit pun nyata berwarna biru dan rimbunan pohon berwarna hijau. Dan aku, tampak seperti aku.

Kini aku tahu, gunung apa yang kutapaki ini dan apa yang kucari itu. Inilah gunung kehidupan di mana menyimpan batu wale roga, batu pelumat jenazah. Pelumat kematian. Sesuatu yang kucari itu adalah kematian.

Sampai di suatu tempat di gunung kehidupan ini, di mana tepat di depan kakiku terdapat punggung batu apela menyembul dari tanah. Batu inilah bahan untuk membuat waruga. Batu inilah yang menjadi lidah kisahku. Aku akan berucap lewat akar budayaku.

Berselang kemudian, aku mengais-ngais tanah yang menghimpit batu itu. Mengais-ngais kematianku sendiri. Akan aku bebaskan batu kematian itu, dan kisahku akan terawi. Hingga kuku-kuku tanganku terselip tanah gunung kehidupan, dan nantinya setelah semua, tanah itu akan jadi tai kuku.

-()-

SATU

“MALAM Jakarta,” salamnya. “Salam ini mengalir dari Manado.”

Kata-kata itu bak tak bertuan dalam kepekatan malam di balik pintu. Langkah kaki mendekati ruangan ini. Aku yakin inilah suara orang yang kutunggu-tunggu.

“Tak ada lagi yang namanya telapak kaki, betis, paha, kelamin, pantat, perut, jantung, otot lengan, jakun, bibir, bola mata, otak...semua telah lumat dalam waruga[2] itu,” sambungnya.

Seperti sekerumunan tanda tanya berbuntal-buntal membentuk wajah. Dia tepat berhadapan denganku tanpa senyum dan memaku tajam matanya. Yang sebelumnya muncul tiba-tiba melerai kepekatan gelap dari balik pintu ruangan ini, dan kemudian berkata-kata. Bukan padaku, tetapi terlebih kepada ruang pelantun misteri kesepian ini, yang telah menunggu kedatangannya berkali-kali.

“Semua tak beruntut lagi untuk membangun tubuh manusia yang utuh. Yang ada hanya tulang belulang, hakikatnya adalah mayatlah dalam waruga itu.”

Untuk kesekian detik, tanda tanya itu bertambah banyak membentuk seutuh dirinya di tatapku.

“Tulang rusuk tertimbun bersama lutut, ruas jari-jemari, tengkorak kepala, pinggul, tulang belakang, semua tak beraturan. Namun anehnya, meski sehancur itu kau masih mengenal itu adalah tubuh manusia.”

“Apa bedanya dengan plot, setting, tokoh, logika cerita, sudut pandang cerita, dialog, klimaks, judul, dan sebagainya yang membangun sebuah roman. Tanpa kau runut serupa tubuh manusia, roman tetap roman. Walau berhamburan dan bertimbunan menjadi seonggok penggalan-penggalan tubuh, dia tetap dia.”

“Dalam ruang penghacuran tubuh?” tanyaku.

“Ya, dalam Wale Roga.”

“Bagaimana bisa mereka tahu, dengan hanya kau sodorkan tulang-belulang itu tanpa kau bahasakan dengan jelas.”

“Dengan sedikit kesombongan imajinasi mereka, dan sedikit rasa kebodohan mereka, sehingga mereka bisa menangkap yang tersirat tanpa terhalang oleh kekritisan.”

“Dan kau merasa pintar dengan itu?”

“Tidak, justru aku merasa bebas bersama lepasnya keterikatan.”

“Ikatan apa?”

“Tubuhku, tersisa rasalah yang ada dalam diriku.”

“Kau mau menghancurkan tubuhmu?”

“Ya, jadi tak beraturan.”

“Dalam ruang penghancuran tubuh?”

“Tepat. Dalam Wale Roga.”

Ia menyeringai. Kubayangkan manusia-manusia khayali yang terus berperan dalam pikirnya. Memberontak untuk segera terlepas dari aturan-aturan Dia, si Pencerita. Namun kuduga Dia terlalu mengeratkan manusia-manusia itu dalam genggamannya yang berisi pena, guna membiarkan sebuah cita-cita yang terserap dari akar budaya primitifnya. Minahasa, kota dan kata awal yang menyambung semua penggalan-penggalan tulang itu.

Seketika, pada waktu itu, sebundel naskah dihempaskan pada meja di hadapanku. Bunyi benturan meja memekak telinga. Sementara jantungku serasa lepas dari tubuhku. Dia menarik kursi yang tersembunyi di bawah meja dan duduk berhadapan denganku. Naskah tadi kini berada di antara kami, menekur, seolah ingin segera kubuka lembar demi lembar, lalu kuukir kata demi kata dari naskah itu di dalam hati. Tapi dari tatapannya, aku diperintahkan untuk menunda dan mengijinkan sabar untuk terus kupertahankan.

“Baik, aku ceritakan yang kutemukan,” sambungnya.

“Sebuah dongeng?”

Dia tersenyum. Membuatku tak pasti dengan sebuah kesimpulan.

“Biarkan lidahku menjadi lembar-lembar naskah ini, aku tak ingin matamu merampasnya. Yang kuingin, dengarlah untuk sebuah kenyataan. Sebelum kau masuk pada anggapan fiksi.”

“Kau memaksaku mempercayai segala hal berbau imajinasi.”

“Itu ungkapanmu setelah membaca, bukan setelah mendengar. Apalagi ditambah kepercayaanmu padaku.”

Kutahan nafas guna menahan ego, “Baik, aku mendengar apa yang tersirat.”

Dia mulai berkisah ;

RIWAYAT SELANGKANGAN

MALAM hari di Manado. Bulan terlalu nyata melukis bayang-bayangku di atas rumput-rumput liar berembun. Entah kenapa aku suka dingin malam Manado yang meliuk-liuk turun dari puncak pegunungan berupa kabut. Dan tanpa kusadari kabut telah berubah menjadi kipas angin yang tak lagi tergeletak di sudut ruang, tapi melekat di pori-pori tubuhku. Sehingga kurasakan tubuh seolah kesejukan itu sendiri. Rasa sukaku timbul setelah kurasakan hawa Jakarta yang mencipta bintik-bintik jerawat di wajahku dan mendidihkan zat air di tubuhku. Dulunya, ketika diriku lahir dan besar di sini tanpa pernah memindahkan tubuhku ke jarak yang lebih jauh, aku tak pernah menganggap Manado adalah daerah yang sejuk.

Jika kau berada di sana pada malam itu, dan kakimu menginjak rumput liar, matamu pasti tertuju pada bongkahan batu yang tergeletak jauh di sudut hutan itu –Kusebut hutan karena kampung ini lebih pantas disebut hutan—, dan kau akan melupakan dingin yang menjadikan kulitmu bantal yang nyaman. Jantungmu pasti berdegup lebih kencang daripada sewaktu kau habis terbatuk-batuk oleh asap rokok. Bagaimana tidak, batu itu tak ubahnya rumah kecil, membuat benakku berputar balik mengingat sebuah kepurbaan. Yang paling menakutkan adalah sesuatu yang mendiami kepurbaan itu. Seandainya engkau orang Minahasa, mungkin ketakutanmu akan sama jika engkau yang melihatnya. Aku jelaskan sedikit tentang batu itu, biar kau merasakan ketakutan yang sama.

Pada masa Minahasa purba, orang-orang membuat kuburannya sendiri dari batu. Mereka bersusah payah mencari batu itu dengan mendaki pegunungan, lalu menggali sampai mendapatkan batu apela yang masih lunak untuk dibentuk seperti rumah kecil dan diukir sebagus mungkin. Di zaman seperti sekarang ini mana ada yang ingin membuat kuburannya sendiri? Meski disediakan kuburan yang indah, bahkan untuk mengingat kematian pun mereka takut. Kalau perlu hilangkan kata ‘mati’ dalam kamus bahasa. Sampai di sini, apa kau merasa takut? Kalau tidak, mungkin lain waktu. Aku akan meneruskan ceritaku dulu.

Tak berapa lama, pijakan kakiku tersisa dua langkah jaraknya dengan rumah batu itu. Ketika itu hatiku memastikan bahwa batu itu adalah seperti dugaanku sebelumnya. Waruga. Makam Minahasa purba. Sebenarnya aset antropologi ini telah banyak dipindahkan untuk menjadi tontonan wisatawan. Tentu tidak bersama tulang-tulang di dalam waruga itu. Dan pertanyaan yang masih menyisakan getar ketakutan adalah apakah pemerintah daerah melupakan satu waruga untuk dipindahkan? Aku pikir pemerintah tak sebodoh itu. Apalagi waruga itu tak terlalu tersembunyi. Tak mungkin jika pemerintah daerah tak melihat waruga itu. Kalau begitu, mengapa waruga itu masih di situ? Dan mengapa pula ketika aku dengan susah payah membuka tutup waruga itu, tulang-tulang manusia masih saling bertimbunan di dalamnya? Sejenak aku bergidik, serasa kulit tengkuk akan mengelupas, dan langkah kakiku ingin berlari menjauh untuk segera melupakan waruga.

Namun, hati ini lebih mengunggulkan rasa penasaran. Sejurus kemudian sebagian tubuhku sudah tertelan waruga. Kedalaman waruga mampu menyimpan tubuh orang dewasa yang meringkuk. Karena itulah aku harus memasukkan tanganku sampai sepinggang tubuhku untuk merogoh tulang-tulang itu. Sekali hentakan di perut, sebagian tubuhku yang terbenam terlontar keluar, serupa busur panah yang dilepas setelah dilengkungkan berbalik arah. Seiring itu sebongkah tulang tercengkeram. Nafasku tersengal-sengal. Peluh dan embun bercampur di tubuhku. Kuperhatikan tulang itu meski harus berbantuan cahaya bulan. Tulang itu tulang pinggul. Mohon maaf kali ini aku lebih suka menyebut tulang itu, adalah tulang selangkangan. Sebab tulang pinggullah yang terdekat dengan selangkangan.

Aku tak tahu menahu pasti pemilik selangkangan itu. Maksudku, apa ini selangkangan seorang lelaki atau perempuan. Karena di situ tak lagi tertempel kelamin. Dan untuk menduga-duga, aku belum berani. Sebab diriku bukan seorang antropolog yang bisa membedakan tulang harimau betina atau dinosaurus jantan. Namun, dari selangkangan itu aku berani merunut balik sebuah kisah. Sama seperti saat seorang antropolog menyusun kerangka dinosaurus. Tapi lebih tepat seperti seorang detektif yang akan menyelidiki sebuah kasus. Karena detektif mempunyai dugaan-dugaan sementara yang bersifat imajinasi, kemudian disusun berdasarkan hasil penemuan-penemuannya. Dari selangkangan ini pula, dua jenis manusia akan kuduga dengan kisah. Lelaki dan perempuan. Dengarkan baik-baik!

Sebelum selangkangan ini tersisa tulang dan terkubur di waruga, mungkin dulunya tertancap tonggak kejantanan yang masih perjaka milik seorang lelaki yang bernama ...

HUJAN bagai tampilan layar tv yang tak terpasang antena, berbutir-butir titik acak, hitam dan putih, percik kristal dan pekat malam, meringkuk kami –Aku dan Cristhy-, membuat kain baju dan kulit kami menyatu atas nama proses fisika yang disebut basah. Angin pun menyamar jadi jubah di pundak kami. Gigiku beradu saling mengganyang. Tubuh Cristhy menggigil seperti gunung berapi akan memuntahkan lahar.

Di teras warung yang telah lama menutup diri, di mana tanahnya mengukir besar tapakku dan tapak Cristhy, aku mengeja angka untuk sampai di ruang tamu rumahku. Neuron otakku yang berbunyi menyerupai suara tikus mengendap-endap di sudut kamar, menyatakan bahwa hasilnya adalah 3 menit harus merelakan kulit kami teringkus jutaan tetes hujan. Sama dengan sekali guyur air seember. Itu pun dengan kaki yang bergegas. Kami membuat keputusan yang tak disertai penyesalan. Karena basah seperti itu biasa. Seolah untuk berpikir dalam memilih berteduh atau terus berlari, tak susah-susah karena pilihan tersisa satu, yakni keluar dari rasa dingin menusuk ini.

Namun, apa yang di tangan kami membuat untuk bisa berpikir lebih dari satu kali. Bungkusan-bungkusan yang terpampang megahnya desain nama swalayan, menggantung di hampir setiap jemari kami. Isinya bakal membuatku menjadi raja dalam gereja pemberkatan. Dan Cristhy, bibirnya akan menyambut tindihan bibirku, sejurus itu lumatan demi lumatan disaksikan oleh pendeta menjadi halal ketika mata pendeta tertuju pada jari manisku yang tengah mengelus pipi Cristhy sudah terbalut logam mulia. Saat itu pula, pendeta itu akan membayangkan kami sedang membuang waktu untuk memilih dan memilah yang terbaik dengan masuk keluar toko emas, dan juga butik busana pernikahan, sampai kami bisa berada di hadapannya dengan tampilan sempurna. Tapi semua itu nanti, tiga bulan ke depan. Saat ini kami harus segera menguapkan air di tubuh dengan kehangatan ruang, mungkin itu rumahku, sebab rumahku adalah kemungkinan yang terdekat.

Lebat hujan yang telah berubah gerimis, adalah kesempatan. Sebelum kami mungkin tak diberi kesempatan. Titik-titik kecil hujan lebih baik daripada menunggu detik kemudian yang tak dapat diduga. Akhirnya langkah gegas kami membuat genangan air di jalan berkecipak, seolah menghanyutkan kami sampai di rumahku. Ternyata rumah hening. Sosok Ibu kutemui di kamar, tertidur pulas diiringi hujan. Meski kecil titik-titik gerimis tadi, tubuh kami bertambah basah.

“Kau ganti bajumu,” seruku sambil menunjukkan kamarku. “Aku ganti baju di ruang tamu.”

Semua percakapan kami menggunakan bahasa Manado melayu. Tapi karena mungkin sebagian yang membaca kisah ini tak mengerti bahasa itu, akhirnya dengan tidak mengurangi rasa hormat aku membuat keputusan dengan menerjemahkan ke bahasa Indonesia.

Cristhy tertelan pintu kamarku, kemudian larut dengan keremangan. Tubuhku kaku karena dingin. Di telapak tanganku keriput hampir mirip wajah Ibuku. Segera kulepas pakaian yang sedari tadi jadi transparan dan menonjolkan putingku.

Ah, aku melupakan sesuatu. Apa yang akan mengganti pakaian basah ini dalam ruang tamu, sedangkan baju ganti tersimpan di dalam kamarku. Tak banyak bertanya, aku langsung masuk kamar. Menurutku masuk ke kamar sendiri tanpa mengetuk terlebih dahulu, adalah hal yang halal. Namun, aku benar-benar melupakan sesuatu.

Kudapati Cristhy tengah berganti pakaian. Aku melihat punggungnya yang bening, hanya helai-helai rambut yang menutupi. Begitu indah tubuhnya dalam keremangan cahaya seperti ini. Ruang bagai pameran keramik berwarna kuning bercahaya. Ada maksud untuk menghindar tetapi aku tetap saja bertahan dengan pemandangan ini. Nafasku mulai memburu, langkahku menggiring tubuh ini mendekatinya perlahan, serasa kuberjalan di atas awan hingga secepat ini kutelah berada di punggungnya yang masih merupai keramik, licin dan bercahaya. Ia yang sibuk menyapu lembut setiap lekuk tubuh basahnya, terkejut ketika sentuhanku yang terlembut menjalar di punggungnya. Cristhy pun hanya bisa tertegun seakan menikmati sentuhan. Kurengkuh tubuhnya. Begitu cekatan, entah dari mana kupelajari ini semua. Terdengar nafasnya yang memburu, menaik-turunkan dadanya.

“Fred! Sabar Fred, sebentar lagi kita menikah,” desahnya

“Aku hanya ingin memeluk dan mencium calon istriku yang maha cantik ini.”

Aku tak kuasa membendung energi yang terus mendobrakku dari dalam. Begitu pula dia, terlalu lembut belaianku untuk ditepis. Sejurus kemudian aku memagut bibirnya. Hanya sepenggal cahaya yang tahu untuk apa semua ini kulakukan. Berselang waktu, ketika selimut putih menutup tubuh telanjang kami di atas ranjang, aku baru sadar sesal tengah tumbuh.

Aku dan dia masih melekatkan tubuh. Kuelus-elus helai rambutnya. Dan kami berada dalam kebisuan ruang, sementara hujan malam yang panjang mereda, berbisik-bisik, bahkan mendesah-desah.

“Aku malu dengan semuanya, diriku terbentang jauh dari kata-kataku,” sesalku terasa mendalam.

“Aku tak menyesal dengan semua ini. Kau adalah calon suamiku.”

“Padahal ada tujuan lebih utama dari pernikahan kita. Aku ingin mencontohkan manusia yang lebih bermoral, aku malu dengan kata-kataku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku orang yang tidak berbudaya, aku orang yang munafik.”

Kutukan-kutukan itu serasa menggema ke sudut-sudut kamarku, dan mereka seolah turut memaki.

“Cukup Fredi! Apakah setelah semua ini kau adalah orang yang munafik di hadapanku? Pantaskah aku sebut kau munafik? Sementara kau adalah orang yang aku cintai. Orang yang membuat aku sadar tentang kewanitaan.”

Tampaknya kurusak kedalaman hatinya yang sudah berbentuk kesetiaan.

“Untuk sementara kita lupakan dulu puisi, ada yang lebih penting untuk kita jalin. Sesuatu yang membuat kita lupa apa itu kata-kata, yaitu rasa ini,” sambungnya seketika.

“Sekarang aku sadar, bahwa aku orang yang menyombongkan diri. Orang yang hanya bisa berkata-kata bual belaka, orang yang bermulut besar.”

“Jangan katakan itu di depan orang yang mencintaimu. Sudah kukatakan lupakan puisi, kau bukan Nabi yang bisa membuat kata-kata menjadi suci.”

Kali ini kata-katanya bergetar.

“Ini bukan masalah puisi, tapi masalah tanggung jawab. Itu berlaku juga buatmu, bagaimana aku bisa bertanggung jawab terhadap cintamu.”

“Tanpa kata-kata Fred! Tanpa kata-kata aku percaya kau orang yang mencintaiku. Aku mohon Fred, pikirkanlah dulu rasa cintamu. Persetan orang mengatakan ini cinta buta.”

“Ya, aku buta. Aku orang yang sadar dengan kebutaanku.”

“Aku mohon Fred, biarkan aku merasa tidak berdosa untuk sejenak. Sejenak saja,” terucap lirih dari mulutnya

“Sampai kapan?” tak kutunggu jawabnya. “Sampai kapan pun ini tetap kesalahan,” sambungku tegas.

“Sampai aku sadar, bahwa kau suamiku.”

Ia menangis di dadaku. Kurengkuh dia lebih erat. Mataku menerawang jauh ke sisi paling gelap di kamar ini. Isak tangisnya perlahan terdengar letih. Sampai akhirnya ditelan hening. Aku masih menyesal, meski dia menghilang dalam pulas tidur di atas dadaku.

Kemudian, dalam rebahanku, buku biru yang setia mendengar kata penaku, harus bergadang menikam malam. Dia harus rela kutuangkan untaian kenyataan. Aku tak cukup untuk berkata, karena semua ini adalah peristiwa batin. Kesenyapanku terus berucap, sementara Cristhy mulai mendengkur. Kata-kata mengalir setelah punya sekumpulan masalah, dan setiap kata yang tersendat memancing tatapanku menerawang ke sudut paling gelap untuk meraih kata-kata yang terbang dan yang bandel menggantung di ujung lidahku. Kalau masih juga tak kutemui sepatah kata, pualam yang rebah di dadaku, dengan kulit kuningnya menjadi inspirasi untuk menghirup kata dari hati. Oh, Cristhy engkau sungguh maha karya. Namun sungguh, kali ini kata seperti kehabisan tinta. Takdirku terhenti pada sekedar memperhatikan. Segala lekuk ruang kujalari dengan langkah tatap. Gaun pengantin itu telah tergantung. Tertiup, seolah angin mengenakan gaun itu dan melenggak-lenggokkan. Sungguh cantik. Kubayangkan tubuh telanjang Cristhy mengisi gaun itu. Seiring itu hatiku perih, menguras air mata sesal. Bahkan buku biru ini tak mampu membuatku berbohong.

ATAU mungkin juga, dulu selakangan ini bersanding dengan daging pantat seorang perempuan cantik yang bernama ...

“SUDAH! Lepaskan tanganmu.”

Tangannya begitu cepat menyelusup di antara kedua gundukan dadaku. Kecupan-kecupannya bak tetes hujan deras yang memercik di tubuhku. Entah dari mana lelaki ini belajar, hingga tangannya begitu lincah dan juga kecupannya begitu menghanyutkan. Padahal dia seumuran denganku, masih 17 tahun. Kami sama-sama masih berseragam sekolah yang tak pantas berbaring di ranjang kamar hotel ini. Bergulat bersama seprei lusuh yang sudah meninggalkan sperma kering dari penghuni semalam, atau mungkin sejam tadi. Hanya dengan patungan dari sebagian uang sekolah kami, hotel jam-jam-an ini siap dijadikan kancah birahi. Seperti biasa, bau nyengat kamar berlomba-lomba dengan bau amis ludah bekas jilatan lelaki ini di sekujur tubuhku. Dinding kamar serasa berputar bersama seberkas cahaya yang menyelusup lewat jendela yang bertirai usang. Dalam serpihan-serpihan kenikmatan, jiwaku yang memberontak tersudut pada dilema. Meski enggan dan kunikmati juga. Sisa kejap mata sekilas memaku pada pandangan luar jendela. Hanya langit biru bertabur percikan awan, serasa kita adalah burung dengan sayap-sayap kebebasan. Sejenak kusadari kamar ini berada di lantai yang cukup tinggi.

Jam masih menunjukkan pukul 10.00. Pasti teman-teman kami yang lain sedang duduk terpaku dengan perasaan takut mendengar penjelasan guru. Ada juga mungkin sedang deg-degan menunggu guru memeriksa tugas yang belum mereka selesaikan. Terbayang batang sapu yang keras akan menimpa bokong dan meninggalkan bekas biru lebam. Atau juga meninggalkan wajah merah karena malu. Iya, kamilah remaja yang tak terhormat jika disetrap di depan kelas. Sakit dari batang sapu akan hilang secepat hari berlalu, tapi malu yang memeluk rasa, seakan sudah menjadi diri kami. Tidur bersama kami dengan menyuguhkan mimpi buruk. Makan bersama kami sambil memuntahkan segala isi perutnya hingga selera makan kami berkurang. Bahkan mandi bersama, seakan ada yang mengintip segala ketelanjangan. Tapi hal seperti itu hanya bisa terjadi pada teman-teman yang sedang bertatapan dengan guru di kelas. Sementara kami (Aku dan Lelaki bersamaku) memotong separuh jam belajar untuk menikmati seribu kenyataan yang terjadi di dunia remaja.

“Ah, aku tak mau!”

Berkali-kali harus kuulangi gerutu itu. Namun semakin kutegaskan, semakin berani pula lelaki ini menjamahku. Dan semakin hanyut aku dalam pelukannya bagai gelombang yang menggulung. Dalam benak lelaki ini aku memang sudah menjadi sosok kebebasan remaja. Segala trend remaja bahkan arus budaya asing yang kurasa paling gregetan untuk hatiku, ingin kucicipi dan kujadikan pola pikir. Sehingga diriku yang berjalan adalah trend. Menapaki setiap jalan kehidupan dan jejak tapakku selalu menjadi sensasi. Mata-mata akan terbelalak dan menghiraukan segala daun jatuh, tetesan embun, atau sapuan angin yang mungkin bisa membuat setiap manusia dewasa. Akulah titik pandang semua manusia, menggegerkan setiap akal sehat yang tabu.

Tubuh sudah terbalur peluh. Seragam sekolah melekat bening di tubuh kami. Tanpa sempat membuka seragam, lelaki ini berhasil menyumbat segala liang tubuhku, hingga desahan pun tak terdengar. Tampak wajah lelaki ini puas setelah begitu sulit memegang tanganku yang tak diam untuk menghalangi. Aku kalah berkat kenikmatan. Tanpa kusadari, semua kurelakan agar ia dengan mudah menerobos dinding prinsipku.

Tapi kalau melihat kenyataan, aku mungkin menang. Lihat saja, lelaki ini begitu terkejut melihat tak ada secercah darah yang membekas di celana dalamku. Kebingungannya memancing bibirku tersenyum. Tampak ia bertambah melongo melihatku tersenyum lega. Sekejap rasa bangganya tentang perenggutan mahkota, hilang ketika ia telah sadar penuh. Lelaki ini bukan orang pertama yang menunggangiku.

“Kau masih ingat, aku adalah Cristhy,” mataku tenang memandangnya. “Yang seperti ini sudah lama jadi gayaku...apa kau menyesal dengan keperjakaanmu?”

Segera kutinggalkan lelaki dan kebingungannya. Seperti biasa, ini hanya segelintir kisah yang terus kutuliskan di buku diari. Tapi kalau dipikir-pikir, kisah ini paling tidak menarik untuk diceritakan. Masih banyak cerita yang bisa membuktikan adanya seseorang itu. Kian kelamnya kisah seseorang, kian menariklah kisah itu. Dan untuk jadi orang yang biasa-biasa saja, rasanya aku gagal dalam hidup. Aku harus punya pesona tersendiri dalam hidup. Harus.

Itu remajaku. Sebelum itu aku memang terbiasa dengan pelecehan. Pernah suatu waktu aku harus melucuti rok seragam SD, hanya untuk merelakan jari-jemari guruku berdansa di atas vaginaku. Naluriku memberontak atas perbuatan itu, tetapi kenikmatan di selakangan mengatup mulut kecilku. Sehingga sampai hari ini perbuatan guruku tetap menjadi rahasia. Sementara saat itu, di manakah orang tuaku yang menyerahkan kepercayaan pada guru dan etika timur yang mereka anut? Mereka lupa guru itu mempunyai sesuatu di selangkangannya yang tak pandai beretika timur. Padahal Ayahku seringkali menelusuri situs porno yang makin aneh untuk dinikmati, seperti pemerkosaan guru terhadap murid, hubungan sex incest, dan juga traffiking. Di satu sisi ia mengunci erat-erat pemikiran seandainya itu terjadi padaku, anak gadisnya. Di sisi lain ia begitu mengagumi betapa beruntungnya pelaku-pelaku itu. Begitu juga Ibuku, terus berpikir guruku lebih pantas untuknya daripada untukku. Ibuku tak pernah menyadari lubang di selakangannya tak beda dengan milikku.

Setelah itu perkembangan umur sangat pelan kurasakan. Karena setiap hari aku bergumul dengan kenikmatan. Aku lupa ulang tahunku. Umur yang kian bertambah tak jadi hal penting untuk diingat. Yang teringat hanya saat darah segar keluar dari kemaluanku akibat sodokan benda tumpul yang bernama penis. Waktu itu aku duduk di kelas satu SMP. Bahkan pemilik penis itu pun aku lupa orangnya, karena terlalu banyak lelaki untuk kuingat.

Pikiranku bertambah luas dengan melihat semua mata yang memandang tubuhku. Hampir semua laki-laki terpesona. Apalagi ditambah prinsip hidupku yang merdeka terhadap tabu. Makin meneteslah liur-liur birahi para lelaki. Dan aku tak peduli ditiduri berkali-kali.

Satu waktu di masa remaja, aku menemukan sebuah artikel di koran nasional. Artikel itu berbicara tentang trend di kalangan remaja Inggris. Dan menurut hematku trend ini sangat menjunjung dan bersujud-sujud pada kebebasan yang jujur.

Oh, kebebasan, rasa yang diimpi-impikan seluruh umat manusia. Selain itu, Manado adalah titik loncat ke peradaban barat. Apapun yang disuguhkan, aku sebagai orang Manado, menelan mentah-mentah dan mencari rasa di lidah tentang apapun itu. Aku pun tak perlu memijak kaki di pusat administrasi Indonesia untuk menoleh ke barat. Cukup dengan meloncat lewat tindak laku, yang sebenarnya telah berbentuk seiring sejarah kota ini, dan aku telah sampai di ruang perubahan dari mulai alur pikir sampai rambutku yang memirang. Dua indikasi di mana aku membuka gerbang prinsipku lebar-lebar untuk menjamu tamu kebebasan itu.

Sex usia muda, berganti-ganti dan bertukar pasangan, aborsi, HIV, masokis dan segala macam penyimpangan sex sudah berlalu di belakang masa. Ada yang lebih elegan ketika setiap huruf artikel itu seakan menyihir binar mataku hingga tak bisa melewatkannya walau sekedip.

Tak ada yang dapat kupelajari dari timur tentang kebebasan yang jujur itu. Inilah sebuah gerak manusia bumi kontemporer. Remaja perempuan Inggris kubaca sangat keranjingan merelakan sel telur berenang sesuka hatinya di danau rahimnya tanpa sangkut paut apapun dengan sesuatu yang bernama pernikahan. Setelah benih itu membentuk manusia kecil, mereka membangga-banggakan bulatan besar di perut mereka. Remaja yang tak hamil sama saja dengan remaja yang memakai kacamata tebal serta mempunyai kebiasaan mengorek kotoran hidungnya.

Betapa majunya kejujuran di hamparan barat sana. Hatiku pun serasa maju banyak langkah meninggalkan remaja-remaja Manado yang sok kebarat-baratan. Saat itu aku ingin segera menuntaskan hasrat kebebasan itu. Namun, segala yang mengepungku adalah lingkungan pikiran dan hanya mampu mencapai batas-batas yang menurutku masih di bawah standar pemikiranku. Ternyata untuk melangkah begitu berat melenggangkannya, selalu ada pagar besi terbentuk dari keraguan, berujung lancip dengan kebodohan-kebodohan mereka, yang suatu saat bisa melukai hati sepiku. Seperti satu kisah berikut ini;

Kulihat sebuah undangan tergeletak di atas mejaku. Hanya undangan itu yang bisa membuatku tak begitu cuek. Di bawah undangan itu bertumpuk undangan lain, yang kubiarkan debu-debu untuk menemaninya. Aku paling tak tertarik dengan undangan pergelaran pesta, apalagi pesta pernikahan. Undangan baru itu sampai di tanganku disebabkan nama dengan tulisan yang seakan menari di atas kertas undangan itu.

Nama itu sangat kukenal. Bahkan bau tubuhnya saat orgasme masih bisa kubayangkan. Dia temanku, sekaligus pernah jadi pacarku. Kita sama-sama punya payudara, dan seringkali saling mengadu ujung puting. Kami sama-sama melecehkan kenikmatan yang bisa kami dapatkan lewat laki-laki.

Namun kini aku terbelalak heran, namanya bersanding dengan makhluk yang berjakun, dan satu hari di minggu yang akan datang adalah hari perpaduan sah atas kelamin mereka. Aku masih belum percaya. Rasa yang selama ini kusimpan sebagai bayang birahi kini membuatku mencibir. Meski kebanyakan wanita berkata pernikahan adalah puncak kehidupan seseorang, tetap saja pernikahan menurutku salah satu peristiwa aneh pada hidup manusia. Aku tak bisa berpikir bagaimana cara perempuan mengurus lelaki, untuk mengurus diri sendiri pun pusingnya tak karuan. Segera kurogoh ponsel yang terjepit di saku depan celana jeans ketatku. Dan kumulai memencet nomor-nomor, sehingga nada sambung dari ponsel menggetar gendang telingaku.

“Halo! Ini siapa?” suara dari balik ponsel, berbahasa Manado.

“Cristhy.”

“Nomor baru lagi?”

“Kau tahu Y akan menikah?”

“Ya, aku sudah punya undangannya.”

“Dengan alasan apa dia menikah. Apa dia sudah gila?”

Wanita pemilik suara di balik ponsel itu adalah salah satu dari sekian banyak pacar perempuanku yang pernah menggesek-gesek selangkangannya di pantat montokku. Kudengar ia cekikikan. Dan aku terbawa arus cekikikan, hingga kami tertawa mendera-dera.

“Pernikahan memang hal yang lucu,” sambungku.

“Pertanyaanmu yang lucu. Dia ingin menikah karena ingin menikah. Tak ada alasan lain.”

Tawa kami bertambah.

“Jawabanmu yang lucu. Aku pikir selangkangannya sudah gatal untuk disodok benda tumpul. Padahal buat apa pengalaman birahinya dengan kita itu.”

“Pikiranmu dangkal sebagai orang yang mengaku modern. Tak semua yang menikah hanya memikirkan sex. Bagaimana dengan cinta.”

“Dasar kolot. Cinta itu seperti apa? Membedakan wanita baik-baik dan pelacur saja kau bingung.”

“Di jaman sekarang aku akui.”

“Di mana otak kau itu? Jaman sekarang tak ada namanya pelacur dan wanita baik-baik. Tak ada bedanya.”

Segala analogi tentang cinta dikumandangkan pacarku ini. Tapi aku belum bisa terima setiap detail penjelasannya. Semua tak ada yang konkrit. Pacarku ini hanya mengikuti rasa yang pernah dia alami. Tak kupungkiri pernah juga kualami, tetapi yang nyata dalam percintaan hanya birahi dan sedikit memberi perhatian. Selebihnya tak ada. Mana ada orang mementingkan orang lain. Tanpa banyak bicara aku segera menutup pembicaraan. Terserah apa kata pacarku itu dengan tindakan tidak sopanku. Tiba-tiba ponsel meraung-raung dan bergetar. Pacarku penasaran, dan segera kuterima panggilan itu.

“Bagaimana dengan peluang mempunyai anak?” tanya ia seketika.

Tak ada lagi sepenggal kata untuk menjawab pertanyaan itu. Seandainya artikel ini kubaca saat itu, mungkin banyak kata yang akan mengalir dari tenggorokanku untuk menjawab kebuntuan waktu itu.

Tanpa membuang banyak waktu aku menghubungi pacarku itu, hanya untuk meloloskan arus prinsip yang terhalang oleh sepenggal kata. Kujelaskan dengan perasaan seperti seorang ilmuwan yang menemukan sesuatu yang baru dan bakal menjadi pengaruh dalam putaran kehidupan manusia.

“Meskipun ini Manado, kota dengan segala pemikirannya berkiblat ke barat, kau tak akan lepas dari kekolotan yang kau lawan selama ini,” katanya setelah mendengar penjelasanku.

“Maksudmu aku tetap disebut pelacur seandainya aku hamil di luar nikah?”

“Tepat.”

“Pelacur dan wanita di sini tak ada bedanya.”

“Para pelacur tak ingin disebut pelacur ketika mereka tak lagi di ranjang yang penuh gelimpangan harta.”

Rasanya ususku ingin keluar lewat mulut ketika pacarku ini berkata seperti itu. Di mana kebebasan yang jujur itu? Dia telah menukar dengan kemunafikan.

“Y sudah menikah dengan pertaruhan prinsipnya. Jangan kau sangsikan kebenaran yang ada dalam prinsipnya,” sambungnya.

“Kalau begitu aku pun bisa menambah erat genggaman prinsipku.”

“Tak ada yang melarang. Namun jika kau tetap dengan prinsipmu, tak bisa kuelakkan pikiranku terhadapmu sama dengan pikiran orang banyak.”

“Aku tak peduli.”

“Ingat aku ketika perutmu membulat tanpa seorang laki-laki di sampingmu yang kerap memangilmu, istriku.”

“Aku bisa saja melakukan aborsi.”

“Dengan begitu kau sendiri menggagalkan kebenaranmu.”

“Aku merdeka sayang. Apapun yang kulakukan adalah kebenaranku.”

“Apa bedanya dengan kita yang kolot. Itu tandanya kau menerima ketabuan. Berapa banyak wanita melakukan itu hanya untuk menghindari kata jalang tadi?”

Seberapa benar kata-katanya, aku terlanjur berjanji untuk tak menjadi wanita biasa. Aku bukan orang yang gampang dipengaruhi oleh wanita semacam pacarku ini. Ia hanya dengung seekor nyamuk yang berputar-putar di telingaku saat tidur, tak lebih dari itu.

Tapi, ketika aku berbicara mengenai janji, dan mendengar gema di hatiku setelah terbentur setiap nafas dalam kehidupan, perlahan-lahan dan tak kusadari janji itu menipis dikikis rasa. Dulu, jika kau membuka lembaran hatiku, tak akan kau temui kata tabu. Bahkan aku sendiri tak mengerti kata tabu itu. Namun kini, setelah kuberkaca pada kebeningan mata seorang lelaki lugu, aku merasa berharga. Akulah perempuan yang berhak diombang-ambingkan kemanjaan, dan berhak menuntut cinta. Aku semakin berani mengingkari karena akulah takdir keperempuanan lengkap dengan atribut nyatanya.

Buktinya aku mencinta. Seorang lelaki bernama Fredi membuatku tertawan rasa cinta. Kuceritakan satu waktu di detik-detik yang lewat, saat semuanya menemui puncak perubahan ;

Tak pernah aku terpaku seperti waktu itu. Sementara Fredi dan satu temannya yang genit itu—belakangan kutahu namanya Hadi—terbahak-bahak. Fredi yang belum juga tahu keberadaanku, tampak puas dengan lelucon yang baru saja ia ucapkan hanya untuk pantas dianggap tak terlalu kaku dalam pergaulan. Sebelum kata-kata tak pantas untukku terungkap, ada rasa penasaran saat kutunggu jawaban yang menegaskan tentang perasaanya padaku.

Aku, Fredi dan Hadi sama-sama tahu saling meremas hati untuk sari warna-warna asmara sempurna. Ya, aku menunggu jawaban sesempurna maha rasa. Tapi, hati sayuku berubah seperti kaca yang meretak ketika jawaban Fredi tak sesuai dengan keinginanku. Sebutkan cinta Fred, harapku dalam hati. Namun ia malah berkata akan menunggangiku di ranjang-ranjang mesum. Hadi yang menghabiskan tawanya dengan mata berair itu, segera bergegas menjauh ketika melihatku tak juga menjemput tawanya. Meski pergi menyisakan tawa, tampak Hadi tersipu dan membuang pandangannya ke arah lain selain mataku. Itu cara laki-laki untuk melarikan diri.

Kutambatkan pantatku di kursi dengan tegas. Kini Aku dan Fredi beradu pandang.

“Apa kabar Cristhy?” sapanya sedikit resah. “Masih tentang generasi muda sastra Manado?”

“Kini kurasa sangat mengenal Bapak.”

Sarkatis. Pasti itulah dugaannya terhadap kata-kataku.

“Saya baru ingat, kita berkenalan kemarin,” Ia tersinggung. “Dan itu cukup untuk mengenal sedalam yang kau mau.”

“Rasa kenal itu adalah tembok antara puisi-puisi moral Bapak dan diri Bapak,” balasku. “Itukah penataan nilai kemanusiaan?”

“Terkadang puisi menjauh dari penyairnya. Fungsinya tetap berpeluang jadi kontributor nilai moral. Karena kebaikan tetap kebaikan tanpa kompromi terhadap manusia mana pun.”

“Nilainya apa jika kebaikan tertambat di atas kertas?” sejenak hening. “Untuk menghias perpustakaan dan menunggu orang berkaca mata tebal yang keranjingan menulis puisi? Berapa banyak perpustakaan yang ingin Bapak bangun?”

Tampaknya ia tak ingin menyalahkan dirinya. Aku berkata atas dasar cinta, bukan pengetahuanku.

“Makian bisa tak jadi makian. Bagaimana kau bisa jelaskan, ternyata keindahan tak seperti impianmu. Ternyata ada juga makian berpesan moral lebih tinggi daripada bahasa-bahasa indah.”

“Moral apakah dengan kata ‘baik’ tadi?” mataku membelalak. “Agar saya terhindar dari kehamilan di luar nikah?”

“Boleh kalau mau berpikir seperti itu. Kau terlalu hijau mengenal laki-laki, hingga perbedaan antara canda dan serius kau tipiskan. Ini bahaya. Sama saja kau menipiskan batas salah dan benar.”

“Kalau ungkapan tadi itu canda, berarti Bapak setuju saya hamil di luar nikah?”

Habislah kata-katamu, Frediku sayang. Kau harus berlutut pada keinginanku. Ingat aku wanita, seribu senjata kemanjaan ada padaku.

“Untuk apa kau datang? Hanya untuk berdebat tentang kemanjaanmu?” tanyanya kesal. “Kau terlalu cantik untuk manja. Kapan kau jadi sastrawan, jika ungkapan tadi setiap detik meyinggung kewanitaanmu. Kau hanya bisa menggerutu, habislah waktu menulismu.”

Oh, kelaki-lakiannya terkuak. Ia malu membenamkan egonya. Sementara aku harus dimanja. Sebab ia belum berucap dengan cinta. Jujurlah Fredi, dari matamu kutahu seberapa inginnya dirimu berbagi rasa. Kau harus meminta maaf, Fred. Ingat kau mencintaiku. Ayo, tak usah sungkan terhadap wanita yang telah jatuh cinta ini. Namun lama kutunggu, tak juga ia meminta maaf. Gerutu perlahan mulai menembus dadaku. Aku segera berdiri. Kutatap ia lekat-lekat.

“Kuharap, ada wanita yang mau bermanja dengan Bapak,” tandasku marah.

Bergegas kuperlebar jarakku dari kantin yang membuatku lupa tentang diriku. Langkahku masih bisa terhitung jika dirunut dari tempatku dan kantin. Semua alasannya menguap. Tak ada pembenaran yang kuanggap benar darinya. Sebab aku marah. Yang benar adalah aku ingin dimanja. Titik.

Langkahku yang entah ke mana, terus menjauhkan raga ini dari dekapan masalah dengannya. Sebelum ke kantin perutku terasa sangat lapar. Dan entah kenapa kakiku memilih keluar dari kantin. Apa tak ada cara yang lain meninggalkannya selain keluar dari kantin? Padahal aku masih bisa duduk di sudut lain dalam kantin sambil mengisi perutku. Meskipun rasa kesal bersarang di hatiku tak terselesaikan, namun masalah perut bisa terselesaikan.

Aku tahu kenapa aku tak ingin berada lama di dalam kantin. Alasannya tak lebih karena masalah kesan diriku di hadapannya. Atau kesan diriku di dalam pikirannya. Bukan ungkapan dia tadi yang menyinggungku, tapi karena apa yang terkandung dalam hatiku. Dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya, aku lupa kapan aku terakhir melakukan hubungan intim. Aku ingat diriku telah berjanji untuk menjadi orang yang tak biasa. Namun aku benar-benar lupa siapa diriku. Seandainya ungkapan itu bukan keluar dari dirinya, mungkin kini aku berada dalam kamar, memanjat birahi dengan laki-laki yang mengaku akan menghamiliku.

Semenit yang lalu aku tak bisa sejujur ini, tepat di hadapannya. Karena aku tahu hatiku. Aku tak suka dia tahu tentang masa kelamku. Aku tak ingin dia tanya keperawananku. Aku tak suka dia mencium beribu jamahan yang melekat di tubuhku. Karena aku takut dia meninggalkan aku. Karena aku tahu hatiku, meski kita baru saja bertemu.

Sekali lagi, jangan dari mulutmu keluar kata-kata yang menelanjangi setiap lekuk masa silam tubuhku. Kau bukan orang yang kuinginkan berkata seperti itu.

Detak detik setelah itu belum sebanyak perjalanan pikiranku. Saat itu tubuhku terasa seperti amuba, membelah diri. Dari pori-poriku, keluar sesuatu selayak asap transparan. Serupa fatamorgana, asap itu menumpuk di hadapanku, dan membentuk satu sosok. Yaitu diriku sendiri. Sosok yang kupikir terbuat dari cermin –karena aku seperti sedang bercermin- telah berdiri mengikuti sikapku. Lantas diriku yang di hadapanku, memaki-maki. Ah, ia bahkan meminjam suaraku.

“Lihat dirimu. Tegaskan di mana dirimu sekarang. Adakah kau hilang ditelan rasa itu?” tanya Diriku.

“Ya,” jawabku. “Aku tak inginkan raga ini. Biarkan kuhapus semua masa laluku.”

Aku akui, aku tak sebebas dulu lagi. Dia, lelaki dalam kantin tadi yang bertanggung jawab dengan rasa yang mengikat ini.

“Atau mungkin kau sendiri yang mengukung diri dengan rasa ini?” potong Diriku yang tepat berada di depanku. Aku baru sadar dia adalah diriku, sehingga kata-kata pikiranku pasti mengalir di pikirannya.

“Entahlah,” jawabku. “Aku hanya membutuhkan penghapusan masa laluku. Hidungnya tak setajam hidung anjing, tetapi pikirannya setajam pisau yang acap kali mengiris habis kebohonganku. Memang, dia adalah lelaki dengan ekstremnya pemikiran. Namun aku ragu ketulusannya. Di mana keperawanan tak jadi masalah dalam kelaki-lakiannya.”

“Diam!” sergah Diriku. “Kenapa dengan ketidakperawananmu? Kau tak akan mati ditinggal rasa itu. Dan Dia hanya laki-laki. Sama dengan laki-laki yang sebelumnya kau temui. Cristhy, jadilah dirimu.”

“Aku terlanjur terpenjara oleh rasa yang mengombang-ambingkan nada manis dalam diriku. Serasa aku tidur di ketinggian bulan, dan melihat keindahan bumi dengan segala kerlap-kerlip lampu malamnya, berwarna-warni. Demikianlah hatiku yang lalu kelam, kini berwarna-warni. Dan setiap kali pikiranku beralih, terbentang untuk senoktah darah dari selangkangan, semuanya bak mimpi buruk.”

Berselang beberapa minggu setelah aku membelah diri. Aku telah berada di ranjang Fredi. Bergumul atas nama cinta. Begitu cepat berlalu. Kemudian aku mendengar penyesalan-penyesalannya. Sedikit terjadi perdebatan antara aku dan Fredi. Padahal setelah malam itu, aku dan Fredi melakukan hal ini saat ada kemungkinan waktu. Fredi menyangka aku telah tertidur di dadanya. Namun aku belum tertidur. Betapa heningnya kurasa hati ini. Aku puas meski harus berbohong. Titik darah dari selangkanganku membuat diri ini suci. Aku ingin buru-buru bermimpi, dan dalam mimpi itu aku sedang bernyanyi untuk menyenangkan hatinya di masa-masa sulit. Oh, betapa indahnya hidup yang biasa-biasa saja. Menikah lalu mati dengan senyuman sarat kenangan. Dadanya seolah sedang berburu. Degup jantungnya seolah dongeng sebelum tidur. Dengan degup itu kutahu nuraninya yang lembut. Selembut kegelisahannya. Selamat tidur Fred, kali ini aku akan pulas di dadamu. Tidur yang kutunggu selama masa lalu bertengger di otakku. Padahal bukan otakku bertanggung jawab penuh dengan penyakit imsoniaku, tetapi kelaminku yang paling bertanggung jawab.

Bau obat bius terhirup oleh lubang hidungku. Siapa yang merubah kamar ini menjadi serupa kamar operasi. Aku membuka mata. Kudapati diriku tak lagi di dada Fredi. Tempat ini seperti pernah kulihat. Apakah aku bermimpi? Entah. Tiba-tiba kulihat diriku sedang berjalan dengan wajah kelam. Langkahku begitu cepat dan diriku yang bercerita ini terserap oleh tubuhku yang berjalan itu. Menyelinap masuk lewat pori-pori tubuhku yang berjalan sehingga kini aku seorang diri. Bergegas dengan pikir yang pernah kupikirkan sebelumnya. Aku ingat setelah kuberseteru tentang tanggung jawab kata-kata Fredi, diriku berseteru dengan diriku sendiri. Kemudian tubuhku masih berseteru pula.

“Anda harus berpikir tujuh kali untuk melakukan operasi ini,” tanpa kusadari langkah ini telah membawaku ke hadapan seorang dokter yang mencoba merayuku untuk tidak melaksanakan niatku.

Ya, bau bahan kimia dari obat-obat yang tersebar di ruangan ini, yang membuatku sadar betapa mengerikan darah, adalah ruang operasi. Betapa begitu banyak orang sakit, berliter-liter darah, dan organ-organ amputasi menjadi momok yang ada di benakku. Tapi lain hal dengan darah dari selaput dara. Itu membuatku puas akan kemanusiaanku sebagai wanita. Tak ada hal yang mengerikan ketika darah itu aku seka dari selangkanganku dan disaksikan oleh suamiku. Ternyata aku tengah bermimpi tentang masa-masa sebelum tertidur di dada Fredi.

“Biarlah,” berulang kali kutegaskan kepada Dokter.

Dokter itu menghela nafas. Tampaknya ia menyerah dengan rayuannya ketika matanya tepat menangkap ketegasan yang ada di mataku.

“Untuk melakukan Himenoplasit[3], anda harus didampingi orang tua.”

Sialan, apa Dokter ini berpikir aku anak kecil? Apa pikirannya buntu dengan semua ini? Mana ada seorang anak kecil yang meminta perawannya dikembalikan. Kalau pun ada mungkin anak itu mengadu ada yang memperkosanya.

“Untuk apa ada sistem seperti itu?” protesku. “Supaya orang tuaku tahu bahwa aku tak perawan lagi.”

“Aku seorang dokter. Tugasku bukan hanya mengembalikan selaput dara-mu, tetapi juga memberikan mental yang sehat.”

“Maksud Dokter aku gila?”

“Setidaknya kau akan mendapatkan suntikan-suntikan moral, yang nantinya akan kau suntikan kepada orang lain. Dan aku sebagai seorang dokter, tak akan lagi berhadapan dengan seribu kasus yang membuat dilema seperti saat ini.”

“Lalu bagaimana dengan aborsi, apa itu harus didampingi orang tua?”

“Itu lain. Dan juga tak semua dokter melegalkan itu tanpa pertimbangan.”

“Aku tak perlu yang legal untuk ini. Lakukan saja. Dan aku mohon pertimbangkanlah.”

Dokter itu terdiam. Ia membuang pandangannya ke meja di hadapannya.

“Hampir semua yang ingin melakukan itu hanya karena mereka takut menghadapi calon suaminya tanpa keperawanan.”

“Aku tak melihat kesalahan dalam alasan itu.”

“Kau harus ingat, tak semua lelaki perjaka saat menikah.”

“Apa alasan itu mujarab kugunakan di hadapan suamiku nanti?”

Sekali lagi dokter itu terdiam

“Tolonglah,” mohonku. “Dokter akan menyelamatkan segala-galanya yang ada di hidupku. Demi cinta, Dok.”

Setelah ia terdiam lama dan menatapku, tak berapa lama aku telah berbaring di ruang serba putih. Aku teringat gumpalan awan yang indah, betapa sucinya dia. Sorotan lampu-lampu membuat wajahku terasa hangat. Cahayanya menyilaukan mata. Seperti itukah kesucian? Berkilau?

Seiring nafasku, ada yang menyusup masuk untuk menidurkan rasa sakitku. Bersiap-siaplah Cristhy, gumamku. Kau akan menuju ruang penghancuran jejak-jejakmu. Mataku terkatup untuk dunia sadar dalam mimpiku, dan seperti koin yang berputar-putar, diriku kembali mengenang. Meski aku bermimpi di dada Fredi, dan dalam mimpi terbius di ruang operasi, aku masih bisa mengenang dalam pingsanku. Inilah tiga lapis ruang. Di mana ruang ketiga kudengar gumam-gumam dengan benakku. Sekejap segalanya meruang. Kudapati diri di tengah-tengah taman waruga. Ah, aku baru ingat. Otakku seperti memutar kembali video rekaman yang sebelumnya telah merekam sedetail mungkin. Suara gumam perlahan menjadi jelas. Berkali-kali mengungkapkan kalimat yang sama. Dan gumam itu sangat kukenal ...

Itu menurut Hadi ...

Itu menurut Hadi ...

Gumam ini milikku.

Itu menurut Hadi ...

Itu menurut Hadi, tetapi menurutku waruga lebih dari sekedar kontradiktif perilaku seorang anak terhadap Ibunya. Wale Roga, kuburan sementara untuk melumatkan tubuh sebelum tulang-belulang dihantarkan pada Balonsong, peti purba. Setelah mati, tubuh ini tak berguna lagi. Namun ada hakikat yang lama hancurnya. Namanya roh.

Setelah semua hancur, kulit, urat dan daging, ada sesuatu yang masih bertahan untuk berjuta-juta waktu. Yaitu tulang. Tulang lebih lama bertahan dari kehancuran dibanding umur manusia. Tulanglah yang dianggap roh bagi manusia Minahasa purba. Lantas dipersiapkan kuburan kedua, tulang-belulang itu dikemas dalam Balonsong kemudian dikuburkan.

Meski tak terlalu mirip, aku teringat ajaran Islam. Bahwa manusia lahir ke dunia dengan proses perjanjian suci. Seandainya roh dari seonggok darah bakal jabang bayi itu mengingkari, maka takdirnya ia tak akan lahir. Atas alasan itu, semua bayi yang berhasil lahir dalam keadaan suci, dan juga tujuan yang suci. Seiring umur bertambah, tujuan suci yang termaktub itu terkikis perlahan-lahan dengan pembangkangan terhadap kesucian. Hal itu ada dalam perkembangan pikir, otot, dan rasa.

Waruga bertujuan mengembalikan tubuh manusia pada esensi kesucian. Wale Roga atau penghancuran raga sama seperti penghapusan dosa-dosa yang telah merekat dalam setiap tumbuh-kembang daging kehidupan. Pada setiap detik yang lewat.

“Kesucian tujuannya,” kataku membuat Fredi dan Hadi tersadar dari renungan mereka.

Sejurus itu mereka menatapku dengan mata yang bertanya-tanya. Aku membalas tatapan mereka untuk mempertegas pendapatku.

“Menghancurkan semua dosa yang melekat di tubuh ini,” sambungku. “Dan menghadap Tuhan dalam keadaan suci.”

“Aku teringat mandi jenazah dalam Islam,” timpal Hadi. “Tujuannya sama dengan pendapatmu.”

“Benar,” tegasku. “Bukan sekedar posisi janin dan simbol penghormatan terhadap perempuan.”

Aku telah berpendapat di hadapan Fredi. Meski tak mematahkan pendapat Fredi, tetapi kini ada pendapat di samping pendapatnya. Aku sangat puas, setidaknya ia tahu aku adalah wanita yang cukup cerdas memahami sesuatu. Lalu aku kembali merenungkan waruga. Sebuah batu pembenahan. Bukankah pembenahan terhadap sejarah adalah penyucian? Sangat provokatif. Tiba-tiba aku ingin suci. Ketika kutatap mata Fredi, getar-getar itu terasa. Aku yakin kutemui ujung pertemuan. Dan itu ada pada lelaki yang bernama Fredi Wowor. Sejauh ini aku belum berani menyebut ini, cinta. Aku hanya berani berkata ‘aku ingin suci’.

Ketika aku tersadar. Obat bius masih beraroma di hidungku. Masih pusing dan terbaring di ruang operasi. Namun aku sadar ada yang berkemas baru di selangkanganku. Tak lama kemudian aku terbangun dan berada di dada Fredi. Sebelumnya Fredi merobek kemasan baruku. Malam itu adalah malam yang begitu suci bagiku. Begitulah aku menemukan kesempurnaan cinta lewat selangkangan.

TIBA-TIBA kisah itu terputus. Tak ada lagi yang bisa kurunut di tulang selangkangan yang kutemukan dari dalam waruga. Dengan hati-hati kuletakkan tulang selangkangan itu di atas tanah. Aku jadi penasaran. Kisah tadi tak berawal dan berujung. Aku ingin mengetahui secara utuh kisah itu. Dan semua bisa kutemui dengan membaca tulang-tulang yang masih tersisa dalam waruga. Kembali sebagian tubuhku masuk ke dalam waruga, mengais-ngais untuk tulang-tulang pengisahan. Aku telah melupakan ketakutanku dengan waruga dan segala proses pemakamannya, dan juga apa isi dalam waruga itu. Jari tangan kananku menyentuh benda keras yang kuduga adalah tulang. Entah tulang apa. Dengan susah payah aku mencoba meraihnya. Kutahan nafas selagi berusaha mengambilnya ...

-()-

DUA

“Kau masih ingat alasan dirimu berada di ruangan ini?” tanyaku setelah merasa bosan dengan dongeng selangkangannya. Kemudian mataku kembali menatap sebundel naskah yang mematung di atas meja.

“Apakah itu sekumpulan data wanita untuk bisnis trafficking?” sambungku seraya menunjuk sebundel naskah itu. “Kisahmu berputar di sekitar selangkangan. Apakah itu yang tersirat?”

“Sabar kawan,” ujarnya. “Aku sadar, di ruang ini aku penjual. Namun di jaman sekarang sulit menjual wanita. Mereka tahu menjual diri mereka sendiri. Bahkan ada yang tak ingin bayaran dengan kenikmatan sex.”

“Lantas apa yang kau bawa?” tanyaku lagi. “Kuharap kau tahu apa yang ingin kubeli.”

Tatapannya yang tajam menusuk mataku.

“Aku belum tuntas meriwayatkan tulang-tulang itu,” tegasnya. “Dari awal kau sendiri yakin dengan yang akan kujual.”

Ya, Dia benar. Minahasa sesuatu yang membuatku tertarik. Meski tak jelas apa yang akan dijualnya, tetapi Minahasa seperti kata kunci yang berkaitan erat denganku. Setidaknya Dia sendiri pun yakin dengan memilihku sebagai pembeli.

“Baik, kusambung yang putus di malam itu,” katanya.

Matanya memicing, menghitung mundur, lalu merenggut kisah dari lampau. Ia kembali beriwayat ;

RIWAYAT TENGKORAK I

SETELAH kuangkat tubuhku dari dalam waruga, kedua tanganku mencengkeram tengkorak. Saat itu aku serasa hidup di abad-abad kelam. Nafasku tercekat membuat jantungku menabuh purba. Mataku melotot tepat di dua rongga hitam yang dalam, tempat tadinya mata bercokol. Sungguh aku tercengang, melihat sesuatu yang selama ini hanya kulihat di film-film horor. Dan kini berhadapan denganku, bahkan ibu jariku menyentuh gigi geraham tengkorak itu. Mungkin aku harus merelakan ibu jariku dimakan seandainya tengkorak itu hidup kembali. Ia tak akan susah-susah membuka mulut sebab mulutnya sudah menganga. Oh, Tuhan tolong aku. Tak berapa lama, semua ketakutan itu bisa kutepis. Apa bedanya, aku juga bisa berimajinasi yang baik. Bukankah ketakutan hanya buah rohani imajinasi? Bahkan dengan imajinasi, aku sebisanya ketawa sebelum seseorang mengutarakan lelucon. Segera kuperhatikan benda botak di tanganku. Sedikit retakan membuatnya bertambah kesan sakral. Dari semua daging yang pernah bermukim di tengkorak, baik itu bola mata, daun telinga, bibir, lidah, bahkan amandel, hanya otak yang paling menarik untuk kutelusuri. Daging serupa gumpalan benang itu, kubayangkan terhidang di piring, dan kemudian lidahku merasakan lezatnya. Setiap kecapan, bayanganku mengatakan bahwa aku telah memakan kenangan, konsep pikiran, dan imajinasi. Begitu pula saat ini. Meskipun otak di tengkorak itu telah habis dimakan belatung, aku masih bisa merunut kisah-kisah lezat. Tak peduli dengan otak kiri dan kanan dengan segala prinsip fungsinya, bagiku otak adalah kesatuan tubuh. Di mana fakta dan imajinasi saling bersilang tempat di otak manusia. Aku pun menduga, mungkin otak dalam tengkorak itu dimiliki lelaki yang bernama...

BERULANG kali detik menyahut tanyaku. Bahkan hampir setiap detik, keyakinan itu menjamah kebenaran setelah aku lahir dari kandungan mitos-mitos orang tua. Pernah kuingat Nenek melarang bermain saat senja tiba. Padahal senja tak kukenal lagi saat sedang asyik bermain. Katanya, banyak setan-setan yang berkeliaran dan menyebarkan kesialan di saat senja seperti itu.

Aku kecil lahir dari ketakutan-ketakutan mitos, dan dari situlah aku menemui banyak pertanyaan dengan bermain logika. Semua pertanyaan yang mengelitik dapat kujawab hingga mitos tinggal mitos belaka. Tak dapat lagi kupercaya. Hingga suatu saat, setelah dari rumah ini, aku menemui mitos itu dalam kenyataan. Sebelumnya aku telah diperingati Nenek dengan cerita-ceritanya pada sore itu.

Kalumba,” jelas Nenek dengan mata memaku tajam padaku.

Aku bergidik di kuning sore dengan gerimisnya. Sekeliling terasa mencekam. Hari malu-malu untuk gelap. Terasa senja lama menakutiku.

“Gerimis seperti sore ini, kalumba muncul untuk memakan ampas kelapa yang di buang orang,” sambung Nenek.

“Seperti apa kalumba itu?”

“Tak lebih dari seekor kambing, tetapi makhluk itu berjalan mundur. Sebelum seperti itu, mungkin kalumba adalah mahluk yang sangat indah.”

“Seperti manusia?” selaku.

“Entahlah, mungkin malaikat. Mungkin sebab itu kalumba jalannya mundur. Dia malu dilihat orang dengan bentuknya seekor kambing.”

“Bagaimana membedakan kalumba dengan kambing biasa?”

“Baunya sangat busuk, warnanya hitam pekat dan takut dengan api. Kalau ada manusia yang melihatnya dia langsung lari.”

“Kenapa aku harus takut bertemu dengannya, sedangkan dia lari ketika bertemu denganku?”

“Yang harus dihindari adalah tatapan matanya. Ketika dia saling berpandangan denganmu, maka kematian akan segera menjemputmu.”

Aku terdiam. Masih saja ada pertanyaan dalam benakku. Tapi entah apa. Yang pasti sore itu lebih membuat hatiku resah.

“Karena itu dia lebih pantas disebut malaikat. Malaikat pencabut nyawa,” sambung Nenek.

“Apa itu benar?” tanyaku untuk meyakinkan cerita Nenek.

Ia mengangguk pasti. Lalu menatap nanar daun-daun di halaman yang dimandikan gerimis. Tampak Nenek sedang mengingat kejadian lampau.

“Di Gorontalo, kalumba begitu banyak,” celetuk Nenek.

Aha, di sinilah kutemukan semua jawaban. Meski cerita itu benar, namun hatiku lebih tenang.

“Nek, ini Manado! Mana mungkin kalumba sanggup jalan dari Gorontalo ke Manado? Mundur pula,” protesku dengan perasaan menang.

Sore itu juga, kupaksa diri bermain dan melawan ketakutan. Di kebun yang biasa kubermain, tampak indah saat gerimis seperti ini. Berkilau kuning, ribuan jumlahnya di atas daun. Bau tanah basah sangat segar. Rumput dan pohon liar seakan tak berujung luasnya. Ketakutan terhadap mitos telah kululuhkan bersama tetesan gerimis. Warna takut luntur tak pekat lagi, bahkan menjadi bening, hingga bekas pun tak kentara.

Seiring hari semakin kuning untuk meninggalkan siang, kulihat sekeliling. Sore itu memang aneh. Hari seakan menunggu sesuatu untuk malam. Ia tak akan berganti gelap sebelum sesuatu terjadi. Semacam takdir untuk mataku.

Serasa ada yang memerintah, mataku menjalar di setiap rimbunan daun yang terasa misteri. Jauh dari dalam rimbunan itu, seolah ada yang sedang memperhatikanku. Terus kujalari sekeliling dengan mataku. Dari salah satu balik rimbunan rumput liar yang hijau, gundukan hitam menyembul. Bergeliat-geliat. Tengkukku bergidik. Kepalaku mengeras, serasa rambut menarik kulit kepala. Tiba-tiba bau menyengat menari di hidungku. Aku teringat sesuatu, mitos! Setelah itu aku tak ingat lagi selain suara Nenek yang memanggilku.

“Hadi!” berulangkali terdengar namaku dalam pejaman mata.

Mataku membelalak. Tubuhku terasa lemas. Kamar sungguh pengap. Hanya ada Nenek yang sedang menyapu keringat dari leherku. Baru kusadari aku sakit, setelah kuraba tenggorokanku yang kering terasa hangat. Sebelum kuminta, Nenek tahu aku membutuhkan setetes kesejukan yang ditawarkan air.

“Ingat ayat Al-Qur’an yang kamu pelajari saat ngaji!” kata Nenek sebelum keluar mengambil air.

Ketika Nenek berganti ruang lewat pintu. Mataku nanar melihat langit-langit rumah. Mulutku segera berucap syahadat. Kunyanyikan dengan berbagai lagu. Saat lagu mengalun merdu, ekor mataku menangkap sosok cahaya di sampingku, sehingga aku merasa ditemani. Semakin kukeraskan syahadat, semakin jelas sosok cahaya itu duduk di pinggir ranjang tempat tubuhku terbaring. Namun sayang, sosok itu menghilang seiring meletupnya tubuh Nenek dari pintu membawa minuman.

“Ke mana orang yang berbaju putih tadi?” tanyaku tiba-tiba.

Nenek menghentikan langkahnya, ia bingung sembari melihat sekeliling. Tampak wajahnya gusar. Kemudian ia melangkah lebih dekat ke tubuhku.

“Itu hanya khayalanmu saja,” jelas Nenek sambil meletakkan gelas berisi air di meja dekat ranjang.

“Orang itu tadi di sini,” tegasku sambil menunjuk tempat Nenek duduk.

Nenek terus dengan kegiatannya tanpa menghiraukan penjelasanku. Ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.

“Apakah itu malaikat, Nek?”

Nenek masih tak menjawab. Aku menduga kematianlah yang dia sembunyikan dariku. Mendadak detak jantungku berdentum keras, hingga mampu merontokkan tulang dadaku.

Benar, di rumah ini, perasaanku adalah saksi atas ketakutanku terhadap malaikat maut yang membawa kabar kematian. Pertanyaan yang sampai sekarang belum terjawab adalah, kenapa hampir semua manusia takut akan kematian. Padahal itu masih misteri. Bukankah kematian sama dengan tidur yang panjang. Manusia mana yang tak ingin harinya diisi oleh tidur? Bagaimana pun, kesimpulanku belum sanggup menjawab ketakutanku. Malaikat maut telah menjadi sosok menakutkan di memori otakku. Dengan warnanya hitam atau putih, sungguh tidak membuatku beralasan untuk tenang.

“Ya, sungguh aku takut mati.”

Itu masa kecilku. Berjuta-juta detik kemudian aku berada di laut Bunaken bersama Fredi. Mendayung perahu, menjauhkan diri dari pulau-pulau. Aku teringat saat meninggalkan Fredi sendirian di atas perahu, membenamkan diri ini hanya untuk bergelut dengan pesona taman laut.

Aku berkelabat dengan kulit terasa bersisik di antara gelembung-gelembung. Bercumbu dengan ikan berwarna-warni, terumbu karang yang bersahabat, dan tekanan air yang menyumpal segala liang tubuh. Tempat ini seperti memangil-manggil namaku. Hampir semua ikan mungkin sedang mendengungkan nama Hadi.

Itulah yang membuatku –walau tanpa pelindung berbahan kaca yang menempel di mata—tetap menyalakkan sinar mata ini. Menerangi setiap seluk riak dalam laut. Siapa bilang laut biru? Hanya ada kegelapan yang harus diterangi dengan mata hati. Yang tak tahan, tetap saja asin laut membuat gelap semuanya. Padahal air itu bening.

Laut. Terlalu indah disebut kuburan seperti ungkapan Fredi. Mungkin Ia hanya bersensasi dengan pikir dan asumsi. Ya, Ia adalah Fredi. Sosok penuh cita-cita untuk memahkotai diri dengan gagasan. Merengek pertama mendamba puting susu Ibu, semenjak tiga puluh tahun silam. Kulitnya sekuning susu telah merah tersiram terik. Sinar matanya bagai oasis yang menjadi puisi di setiap sahara wanita.

Namun pesona kedalaman laut Bunaken bak firdaus ini, lebih membuatku kehilangan rasa kenal. Berkali-kali aku selam kedalaman seperti menyelami hati, tak kunjung juga kukenal puas. Aku lebih mengenal hatiku. Dan kurasa seperti menemukan wajah baru yang menuturkan sapa. Keramahan yang baru, teman baru, keindahan yang baru. Indah, seperti puisi. Hanya orang yang hidup menikmati ini. Serasa gumamku dihantar gelembung, lalu pecah di telinga karang. Karang pun tersenyum melambai, menunjukkan eloknya. Bila saja nafas berbaik hati dan mengijinkan ekstaseku menikmati terus keramahan taman laut, mungkin kelebat tubuh ini berubah tarian seribu abad. Namun nafas adalah hidup yang tak mampu berunding dengan mati. Kelebatku berubah menjadi gasing ombak yang menggulung, mencari serat-serat jalan pulang pada erat air.

Aku meletup membawa pasukan gelembung bertebaran di permukaan laut. Sisa nafas tersengal. Dadaku bersaing dengan ombak. Bergelombang mencari sesuap udara.

“Fred, aku tidak setuju dengan kata-katamu,” protesku

Kupanjat perahu lalu menghempaskan pantat. Perahu mengayun mengikuti ombak halus. Menghirup nafas sebentar.

“Bunaken terlalu indah. Aku tak rela mendengar ini punya semua orang. Hanya ini yang bikin aku gregetan jadi orang Manado,” sambungku.

Sesimpul senyum menarik bibirnya. Pena-nya tak berhenti menari menguntai kata pada buku. Sementara aku terus mengagumi hamparan laut meski nafas berburu dengan desir. Laut terus mengayun sepanjang abad. Masih biru. Masih menipu mata. Matahari sebentar lagi seperti jeruk dijilat habis liur laut. Dayung kembali mengepak, menghantarkan perahu pada rebahannya. Pesisir pantai jadi ranjang untuk perahu.

Aku berbadan terbakar mentari dan membawa butir-butir halus garam di kulit, bersimpuh menatap khusyuknya mentari tercelup laut. Rokok-rokok setengah basah mengepulkan asap di antara pandanganku dan Fredi.

“Kau mungkin hanya memikirkan tempat lahirmu. Lalu kau cari apa yang baik di tempat lahir itu. Dan itu membuatmu bangga. Tapi kau lupa, di mana kau akan mati. Apa yang bisa kau banggakan di tempat kematian?” tanya Fredi tiba-tiba di antara kepulan asap berkemudi angin menjangkau hampa.

“Kalau kematian, apa yang bisa buat kita bangga? Nama besar? Karya? Apa semua itu kita nikmati kalau kita mati? Bahkan tempat kita mati pun tak membuat kita bangga. Asal kau, Fred.”

Mataku membelalak selagi menuturkan protes tadi. Dan matanya walau sendu, berubah kritis mendengar ungkapanku yang bersifat memancing perdebatan.

“Yang kau bilang tadi itu urusan hidup, sebuah proses di antara lahir dan mati. Jadi itu bukan masalah lahir dan mati. Lawan dari mati adalah lahir, bukan hidup.”

“Terus apa yang bisa dibanggakan dengan kematian?”

“Sesuatu yang kita banggakan dengan kelahiran kita. Sama seperti kebanggaan kau tentang Bunaken ini.”

“Kalau dengan tempat kematian itu?”

Terjawab oleh pasir-pasir senyap. Ia memaku pandang pada hamparan laut yang tersisa desir gelap.

“Kau lihat laut, apa yang bisa dibanggakan dengannya?” Fredi balas bertanya.

Kupandang jauh laut. Gelap. Hanya liukan cahaya bulan memantul di ujung riak. Aku tak melihat jelas yang dimaksud Fredi. Kututup mata dan mencoba melihat dengan rasa. Tarikan nafas panjang mendesis. Dan seungkap kata terletup melalui hembus,

“Indah.”

“Hanya itu?”

Ia berdiri, menggeser-geser tapak kakinya di atas pasir, hingga pasir tergerus sampai ke lidah pantai.

“Bagaimana dengan luasnya yang tanpa batas?” sambungnya sambil merenggang tangan layaknya Sema-sema[4] yang menjangkau samudera. Laut mulai pasang dan menjilat ujung kakiku. Dan itu berhasil menarik perhatian kami.

“Air yang menyentuh kakimu itu mungkin dari Samudera Atlantik,” Ia menunjuk ujung kaki yang kubiarkan terjilat air. “Jadi apa yang kau banggakan, adalah kebanggaan orang yang berada di sana juga. Dan kau tahu apa artinya itu?... Artinya laut adalah perekat kebanggaan manusia. Tempat yang menilai tentang pelukan sahabat. Sama seperti kita hari ini. Apa kau tak bangga dengan tempat seperti ini?” jelasnya dengan tenang mengalahkan merdunya desir dan siul angin malam.

“Jadi masih bertahan dengan pikiran bahwa laut pantas dijadikan kubur?” Aku bertanya menyelidik.

“Kenapa orang takut dengan kubur, hanya karena kata mati? Padahal rahim Ibumu itu juga kubur sampai kamu lahir. Lahir dan mati sama saja.”

Aku tertegun mendengar ungkapannya. Mata kami saling memaku.

“Keabadian. Itu yang mau aku bahasakan dalam kehidupan ini. Sama seperti laut ini. Persahabatan kita. Dan mungkin mati itu sendiri adalah keabadian,” lanjutnya.

“Ini pikiran dalam puisi-puisimu?”

Ia mengangguk sambil memandang laut

“Aku yakin, kata-kata yang pernah aku ucapkan akan menuntutku dalam kehidupan ini. Dan itu hanya untuk membuktikan kebenaran.”

“Termasuk kata persahabatan tadi?”

Ia hanya menatapku. Lalu ia membuang tatapnya ke tarian cahaya bulan pada ujung riak.

Angin malam makin menusuk. Api unggun siap di atas pasir pantai. Tampaknya api unggun mau bersaing dengan bulan meraih simpati kegelapan. Aku dan Fredi duduk melingkar di sekitar api unggun sekedar menghangatkan badan. Sesekali aku sibukkan diri dengan menambah kayu kering ke dalam api unggun untuk membuat api terus berkobar. Sementara Fredi terus menari-narikan kata di buku birunya.

“Suatu saat nanti, persahabatan kita pasti diuji. Terkadang orang tidak menyadari mereka dalam proses ujian sampai sesuatu yang dikatakan akhir menjadi pengingat. Saat itu entah bisa dikatakan orang terlambat untuk sadar atau tidak, tapi kebanyakan orang menyesal,” jelasnya sambil terus menulis.

“Kalau kupikir lagi, kau lebih pantas jadi guruku daripada menjadi seorang sahabat. Itu mungkin yang membuatmu cepat diterima sebagai Dosen di Universitas.”

“Kalau kau dalam proses seperti tadi dan menemukan kau berada di posisi akhir, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya mulai serius dan masih tetap menulis.

Aku mengerlingkan bola mata ke atas, dan mulut kumonyongkan sedikit, tanda aku berpikir.

“Mencoba memperbaiki yang masih bisa diperbaiki. Karena sebaik-baiknya guru pasti ada yang harus diperbaiki juga,” jawabku berkelakar.

“Kau yakin dengan kemampuanmu untuk itu?”

“Aku selalu yakin dengan perbaikan-perbaikan. Dalam perjalanan hidup ini kita sudah terlalu banyak bersalah, dan hidup ini sibuk dengan pembenahan sana-sini. Jadi aku pikir, aku sudah cukup terlatih dengan perbaikan.”

Ia berhenti sejenak dari kegiatan menulis, lalu merenungkan kembali ungkapanku tadi.

“Kau telah berkata. Berarti kau telah berhutang dalam hidupmu,” simpulnya setelah itu.

“Dan aku orang yang paling sulit tidur sebelum membayar hutang,” balasku seketika.

Senyum kami mengalahkan sinar bulan dan api unggun sekalipun. Kembali Ia untai kata dengan sisa-sisa senyumnya. Aku jadi penasaran dengan keseriusannya menguntai kata-kata di buku biru. Terkadang aku merasa cemburu terhadap buku biru itu. Buku yang telah mengambil penggal demi penggal waktuku untuk berbicara banyak dengannya. Tanpa menunggu lama, aku bertanya.

“Kau tulis apa?”

“Draft novel. Setelah antologi puisiku, mungkin ini yang akan kubukukan.”

Tuangala[5], kau sedang menulis novel? Antologi puisimu ‘kan baru minggu depan launching,” protesku.

“Ini stok tulisanku. Sewaktu-waktu aku perlukan, tidak repot lagi cari tulisan. Lagipula ini masih draft.”

Semua serasa senyap setelah penjelasannya. Aku menambahkan kayu kering lagi ke dalam api unggun dan terus memandang kobaran api itu. Sedangkan Fredi kembali menulis. Tampaknya ia menggerutu, kata tersendat serupa pena-nya yang tak bersahabat itu.

Tiba waktunya untuk meluncurkan antologi puisi Fredi. Aku dalam aula yang kurubah menjadi tempat penyelenggaraan sejarah pergerakan sastra di Manado. Tumben, semua bisa duduk rapi bersejajar dan menambatkan pantat mereka di kursi-kursi. Kadangkala aku melihat mereka seperti raja pada diri mereka sendiri dengan pena di tangan, lalu menguntai kata. Ego setiap orang ini bertahta mahkota. Mereka menguasai daerah seinchi dari bulu nyawa mereka. Seperti kalau kita seksama melihat pendar cahaya yang mengelilingi sekujur tubuh saat bercermin. Mungkin itu yang dinamakan nyawa. Mereka merasa bisa menguasai semuanya. Sama seperti perasaan kita bisa menguasai sesuatu yang buruk terjadi pada diri sendiri, tapi kita resah ketika itu akan terjadi pada orang di sekitar, dengan rasa tak percaya mereka bisa menghadapi keburukan itu. Itulah mahkota ego yang ada di ruang ini. Serasa kitalah yang paling bisa di bumi ini, di ruang ini.

Ruang seolah keglamoran karya. Segala ide mencoba menggetar dengan pesona kata. Di depan ada sosok berperan Nabi bersabda pada umat. Di belakangnya terdapat spanduk yang bertajuk “KELAHIRAN DI ATAS KEMATIAN” Sebuah Antologi Puisi dari Fredi Wowor”. Tole adalah panggilan untuk anak laki-laki dari Minahasa. Itu sebabnya ia lebih suka memakai panggilan Tole daripada Fredi. Karena ia benar-benar berdarah Minahasa yang riwayatnya turun dari darah Yunan. Namun aku tak pernah memanggilnya dengan nama itu. Ia tetap kuanggap orang Manado. Sebuah kota yang hilang periwayatannya, yang tak akan jelas karakter asalnya. Sementara para hadirin berkerut serius, mengernyitkan dahi, mengangguk khidmat, untuk mendengar puisi yang mengalun-alun sunyi. Di antara hadirin, aku terbelakang duduk di sudut paling kiri. Biasalah, sebagai koordinator komunitas pekerja sastra yang menyelenggarakan event ini, duduk di belakang dan menonton, adalah tanda sukses penyelenggaraan. Artinya event telah dipersiapkan dengan matang tanpa campur tangan ketua penyelenggara.

Aku memaku mata dan terkadang memicingkannya pada detail makna ruang. Terkadang hanya mata yang bisa mengucap keinginan, dan kadang mata pun bisa menipu walau kata orang kita bisa melihat dia berbohong lewat matanya.

Tak berapa lama.

Tempat apa ini? Surgakah? Hingga bidadarinya meletup seketika dari sesuatu yang bernama pintu. Ah, jarang secantik dirinya di ruang ego seperti ini. Mungkinkah ia turun dari langit, lalu membahasakan bahwa ia adalah satu-satunya yang harus dipuja, bukan pada Tuhan? Ia telah membuat Tuhan cemburu, dan menghukumku dengan dosa syirik. Liukan langkahnya bak menari di hamparan mata dan hati yang buta dengan nyanyian dunia. Semua telah terlena pada nikmat. Hanya aku yang sadar atas kecantikan surgawi ini. Lunglai tubuh itu melunglaikan nada jiwa ini. Aku luluh dalam setiap irama yang ia lagukan lewat laku. Padahal ia belum berbuat apa-apa untukku. Hanya berbuat semestinya, yaitu melangkah mencari kursi kosong untuk diduduki. Aku heran, kenapa harus dipuitiskan?

Alun-alun, pinggulnya ia tambatkan pada kursi. Aku pikir sesaat lagi ia jadi ratu di antara raja-raja ego yang lain. Namun ia hanya jadi segelintir pukau yang menyerahkan binar matanya pada Nabi yang bersabda. Aku cemburu. Entah pada siapa? Dua sosok yang sudah kupuja telah bertemu mata dalam takdir detik ini. Telah kujalani tiap detik hari untuk mengungkap makna-makna. Tapi bagaimana dengan hari ini? Ternyata cinta paling mudah ditebak dari mata walaupun ditipu dengan sejuta aksi palsu. Namun kalau aku bilang selamat datang pada cinta, sama saja aku bilang selamat datang pada masalah. Di mana kita menuntut ketulusan dan kemurnian untuk membawa pada kejujuran yang sempurna, hanya ada pada diri masing-masing dan tidak perlu terucap untuk sebuah kejelasan. Dan semua ini sebenarnya adalah masalah dalam nurani manusia, yang terkadang kata pun tidak bisa mengucap kekesalannya, hanya mata yang mampu mengucap apa yang diinginkan dan itu sama saja dengan diam, hening, kesunyian, kekosongan arah, atau kematian yang masih sebuah misteri dalam kehidupan.

Aplaus panjang mengajakku berdiri untuk menghormati sahabatku berpuisi. Lagipula kesuksesan Fredi, adalah kesuksesan yang menyelenggarakan pula. Namun mata ini terus memaku pada bunga surga itu.

Setelah semuanya, aku lebih tertarik memandang momen puitik yang terjadi antara wanita surga itu dan Fredi, daripada wanita-wanita yang sedang bercanda denganku. Semua jabat tangan dan pujian-pujian terhadap event yang baru dilaksanakan oleh komunitas yang kupimpin, menjadi sekedar basa-basi. Hari ini tetap saja, Fredilah yang jadi bintang. Buktinya pandangan wanita surga itu tak lepas dari sosok yang bernama Fredi Wowor. Saat seperti ini, biasanya Fredi selalu mengalah. Ia tak mampu menggapai peluang-peluang yang ada. Itu karena ia terlalu dingin dengan makhluk yang bernama wanita.

Aku mencoba menghindari para wanita yang ada di hadapanku, dengan mengambil minuman yang tersedia di meja prasmanan. Kulihat Fredi beranjak pergi dari ruangan. Tampak dari jalannya ia tak rela untuk meninggalkan ruangan ini. Aku berjalan perlahan sehingga searah dengan pintu keluar. Sosok Fredi telah hilang ditelan ruang ketika ia berbelok. Hanya sepenggal koridor berdinding putih seukuran pintu yang tersisa di pandanganku. Tiba-tiba, dari belakang dengan tergesa-gesa lewat wanita surga itu. Ia menuju pintu keluar dan langsung berbelok searah dengan Fredi, dan lagi-lagi menyisakan dinding koridor.

Aku tertegun. Tanpa kusadari, sesimpul senyum menarik bibirku. Masih saja kutatap pintu. Nanar. Lama ruang di balik pintu itu tak terisi orang lewat, atau apapun. Tiba-tiba, dengan sekejap sosok gumpalan hitam melesat melewati sepenggal ruang di balik pintu itu ke arah Fredi tadi berbelok. Aku terhenyak, dan bertanya-tanya apakah itu? Namun, tak berapa lama aku sadar itu hanyalah khayalan ketika mata sedang letih. Beberapa hari belakangan waktu tidurku berkurang karena mempersiapkan acara baca puisi hari ini.

Aku pikir, aku terlalu banyak mengetahui perasaan orang. Ya sudah, biarlah itu jadi urusan Fredi. Lebih baik kunikmati ruang yang penuh harapan ini. Dan menepis semua kelelahan. Ketika baru saja kuingin berbalik, menyusul sosok putih serupa awan begitu cepat melintas di balik pintu itu lagi. Kali ini aku tercekat. Mataku membelalak. Jantungku berdegup keras. Aku mematung menahan napas. Tanpa terasa keringat dingin membasahi dahiku. Rasa ingin tahu makhluk apa itu, membuatku perlahan menuju pintu. Namun langkahku terhenti ketika aku dan pintu berjarak tinggal selangkah lagi. Aku tak bisa meneruskan langkahku. Aku hanya bisa menelan ludah dengan suasana mencekam ini. Entah kenapa, hatiku bergetar. Aku takut, sungguh aku takut.

Kuceritakan sedikit tentang ketakutanku, sebelum dan sesudah kejadian sebuah pertemuan dengan waktu yang tak beraturan. Entah kenapa semua seakan teruntai seperti benang merah dalam cerita;

Aku menggigil. Di ranjang gigil ini, mitos itu berkunjung untuk kesekian kali. Sore akan hujan tatkala mereka ingin berkunjung. Dan aku akan menggetarkan kamar ini dengan gigil yang menghujani tubuhku berjuta-juta peluh saat sosok hitam dan putih menunjuk diri.

“Mataku adalah matamu.”

Kudengar kata-kata itu berulang kali dalam otakku. Mengeras seperti batu es, membekukan urat-uratku. Memang benar setelah aku melihat dengan jelas ketakutanku itu, mereka membawaku terbang melintasi setiap peristiwa. Akulah yang ditakdirkan untuk menemukan semua cerita. Tapi kenapa aku? Entah.

Sosok putih di samping ranjang, tiba-tiba masuk ke dalam tubuhku lewat pori-pori seperti patung lilin yang berusaha menyusuri lubang-lubang. Begitu liat. Seketika itu pula layar pandangku akan berubah. Tubuhku serupa molekul-molekul cahaya yang bertaburan membentuk, dan memindahkan posisiku. Dari ranjang kini aku tengah berjalan dalam koridor kampus yang ramai. Kenapa harus bermula dari ranjang? Apakah aku mimpi. Seumur hidup aku bermimpi jika anggapanku ini benar.

Dari arah belakang kudengar langkah-langkah yang mengadu lantai. Berturut-turut. Sampai riuh dalam telingaku. Namun, di depanku ada langkah yang terdengar sangat halus menginjak lantai. Aku tergoda untuk mengetahuinya.

Ternyata Cristhy. Dengan pelan-pelan ia melangkah menyusuri koridor kampus yang ramai dengan mahasiswa itu. Kepalanya menunduk, pandangannya tertuju entah kemana. Ia tak mempedulikan apa yang ada di sekitarnya. Aku mempercepat langkah untuk menghampirinya. Setelah diriku bersejajar dengan posisinya, rasanya aneh melihat tingkah Cristhy yang belum menyadari lingkungan di sekitarnya. Ia hanya sekedar berjalan. Bukan! Mungkin melayang.

Aku mencoba menyapanya.

“Cristhy!...Cristhy!”

Ia baru sadar setelah beberapa kali kupanggil namanya. Ia menoleh ke arahku. Lama ia masih dengan tatapan kosong menatapku.

“Hadi,” gumamnya nyaris tak terdengar.

Ia begitu hilang. Cukup lama kami saling memandang, tetapi ia belum benar-benar sadar akan kehadiranku.

“Kamu tidak apa-apa?”

“Tidak,” jawabnya dingin.

“Tapi kamu kelihatan sakit.”

“Kelihatannya saja seperti itu.”

Aku berhenti bertanya, karena kurasa ia mencoba menutup sesuatu untuk tidak diceritakan. Terlebih-lebih pada diriku. Aku hanya coba terus mengiringi jalannya yang pelan itu. Dan berharap ada yang diceritakannya kepadaku.

“Kata Fredi, simbolik kandungan Ibu dengan waruga, terdapat dalam filsafat fungsionalnya. Di satu sisi melindungi kehidupan dan di sisi lain menyimpan kematian,” gumamnya pelan yang membuatku harus tersiksa karena coba mendengar dengan seksama di antara keriuhan.

“Pada hakikatnya, keduanya merupakan sesuatu yang kokoh dalam fungsinya masing-masing. Kamu tahu, dunia dalam kandungan Ibu seluas misteri yang hari ini pun belum terjawab oleh manusia mana pun. Sama dengan ruang dalam waruga, seperti apa luasnya kematian?” sambungnya

Ya, aku bertanya tentang kematian. Agar diri tak pernah takut dari kematian. Namun, apa yang Cristhy katakan cukup mencekam hatiku. Hempasan nafasnya itu mengiang dalam telingaku dan merubah suasana seolah sepi.

“Tapi aku yakin, ruang dalam waruga itu menawarkan kenyamanan seperti dalam kandungan Ibu,” tegasnya.

Nah, ini yang membuatku menjawab ketakutan tentang kematian. Setidaknya di balik semuanya, ada kenyamanan yang dirasa. Kalau mati itu nyaman, kenapa harus takut?

“Jauh dari rasa berdosa atau dari harga diri yang kita junjung, karena itu hanya ada di pandangan orang yang hidup,” sambung Cristhy.

Bukankah itu lebih pantas disebut melarikan diri dari kenyataan.

“Dan itu kokoh terlindungi dari semuanya, dan seperti kematian tidak pernah ada, hanya ada hidup kembali menjalani sesuatu yang baru.”

“Walaupun hidup kembali, kamu tidak akan pernah menghapus jejak kamu menuju kehidupan kembalimu,” akhirnya kuprotes untuk mencoba meyakinkan bahwa pemikirannya benar. Aku harap itu benar.

“Oh,ya? Tak apalah, yang penting aku bisa keluar dulu dari rasa berdosa ini.”

Aku kurang puas dengan pernyataannya yang terakhir ini. Ia hanya lari dari kenyataan, sedangkan hidup sesudah mati itu tak ia pikirkan. Ia tak bisa menjawab ketakutanku selama ini. Sangat subjektif. Apa ia tak pikir yang akan dilakukan Sang Penguasa dengan dosa-dosanya setelah itu.

“Aku ingin terlindungi di dalam waruga. Seperti seorang bayi yang nyenyak di kandungan Ibunya,” Cristhy berkata sambil mengelus perutnya.

Seindah itukah kematian? Kenapa dia ingin berada dalam waruga?

“Apa maksudmu?” tanyaku.

Sejenak semua membeku. Kuharap yang aku pikirkan salah. Kalau bisa aku harus membantah ungkapannya, biar ia tahu, takut akan kematian itu normal.

“Kamu pikir kematian itu puisi? Kamu pikir hanya dengan kata-kata yang indah kita sudah merasa mampu untuk menghadapi kematian dan mencoba untuk meyakinkan diri tentang indahnya mati?”

Kutatap mata sayunya dengan melotot, “Semuanya omong kosong! Bahkan orang yang tengah bunuh diri, di saat nafas terakhirnya, nafas yang masih menyisakan rasa dan pikirnya, akan merasa menyesal dengan tidak berpikirnya dia untuk kesekian kali dengan apa yang dia lakukan! Dan semua tentang ini, sayang tidak pernah diketahui oleh orang yang berencana untuk bunuh diri,” nafasku tersengal-sengal setelah menjelaskan semua ini.

“Kalau kamu lebih pintar sedikit lagi, kamu akan merasa hidup dan mati hanya berdekatan. Hanya rasa sakit yang membatasinya. Jadi apa yang harus ditakutkan?” Ia menoleh ke arahku, lantas menatapku dengan sendu. “Kalau kamu tidak percaya, silahkan coba sendiri.”

Kemudian ia meninggalkanku yang sedari tadi terasa berat melangkahkan tungkai, akibat kata-katanya. Dia semakin menjauh dariku. Ada yang ingin kukatakan kepadanya, untuk bisa membenarkan kebenaran yang bersarang pada prinsipku.

“Gila! Semuanya telah jauh dari sebuah kenyataan yang benar-benar kenyataan,” teriakku dari belakangnya, namun sosoknya semakin jauh seolah tak mendengar apa yang kukatakan. Berapa langkah setelah itu, ia akhirnya menoleh ke arahku.

“Justru kamu tak mengerti kenyataan yang aku alami.”

Aku tercengang mendengar ungkapan penutup darinya. Betapa kakiku seakan tonggak yang menancap, hingga mengejarnya pun aku tak berdaya. Sementara mataku tidak lepas dari langkah Cristhy yang makin jauh dari keberadaanku. Hatiku risau penuh pertanyaan. Kenapa matanya? Terbuka, tapi tidur! Tak ada bahasa apapun yang diucap mata seperti itu dalam hidup ini. Tapi aku pernah bertemu dengan ketidakmengertianku ini. Ya! Seperti tidak mengertiku pada mata orang mati.

Saking begitu lekatnya mataku pada langkahnya, tak kusadari sesosok melewatiku untuk mengikuti Cristhy dari belakang. Kalumba. Sosok inilah yang membuatku terpaku di tempatku berdiri, dan menyisakan segala kulitku mengeras, dan bulu romaku menjulang bak duri.

Kalumba terus mengikutinya dari belakang dengan berjalan mundur. Aku dan kalumba kini berhadapan. Mata merahnya tak kelihatan. Aku rasa kalumba memenjamkan matanya, karena aku belum ditakdirkan. Kemudian hilanglah keduanya dalam belokan yang sama. Bagai magnet, tubuhku terhisap jejak-jejak dua sosok tadi. Namun aku sadar, cukup lama aku terpaku sebab ketakutan, hingga tertinggallah aku. Entah kemana mereka, dan entah kenapa pula diriku yang takut, akhirnya menyusul mereka. Apa karena takdirku?

Aku menyusuri koridor kampus yang begitu banyak lorong-lorong serupa. Telah sepi ditinggal keriuhan mahasiswa. Ada sekilas bayang manusia melintasi koridor dan menghilang di lorong yang lain. Bayang itu, sekejap saja tertangkap mata, hingga aku jadi penasaran. Dengan langkah yang hati-hati, aku menelisik dengan mengikuti bayang itu. Melewati cahaya demi cahaya yang masuk lewat jendela dan menghias koridor. Menaiki tangga dan mendapatkan koridor lagi di tingkat lantai yang berbeda, hingga berurusan dengan cahaya-cahaya sore lagi.

Aku masih terus mencari. Bunyi langkah kakiku menggema di koridor yang panjang dan sepi ini. Keheningan koridor itu membuatku merasa sedikit tegang. Mataku tak lepas untuk mengawasi setiap lorong yang kulewati. Jendela-jendela gedung yang terhias sepenggal cahaya, ruang-ruang kelas yang kosong melompong, sampai pada ujung koridor yang berada di depanku. Jauh, dari pandangan mataku.

Peluh mengalir dari alis dan menyentuh mata kananku hingga ada sedikit kedipan yang tidak aku inginkan. Kupaksa untuk tak berkedip, hanya saja aku tak tahan dengan mata yang terasa gatal. Sekejap mata, aku memaksa membuka mataku lagi dan terus mengawasi kekosongan koridor ini. Terlintas dalam hatiku untuk tidak meneruskan pencarian yang tak menampakkan hasil ini. Aku berpaling ke belakang, lantas kembali memandang ke depan dan sekitarnya. Pandanganku terhenti pada jendela besar yang berada di koridor itu. Ada dua buah jendela besar di situ. Berhadapan. Yang satunya terhias cahaya sore hingga kuning sore tertandas di lantai koridor. Dan yang satunya biasa-biasa saja. Jendela-jendela itu serasa melambai-lambaikan tangannya padaku. Perlahan aku menuju jendela yang terhias cahaya itu.

Beberapa detik kemudian, aku sampai di bibir jendela. Mataku tersipitkan cahaya sore yang masuk lewat jendela itu. Aku membuka daun jendela berharap angin masuk. Tanganku menepuk-tepuk, menghapus debu yang menempel di sekitar badan saat kubuka jendela. Lalu kupandangi langit yang tergambar luas lewat jendela itu. Kuning sore sudah sangat terasa. Sebentar lagi gelap. Matahari sudah hampir tenggelam. Sejenak aku mengagumi keindahan itu dengan mata yang mengkerut silau.

Sejenak Aku berpikir dan melepaskan pandangan dari matahari itu, lantas membuang pandangan ke kiri-kanan koridor yang sepi dan mulai gelap. Aku tergoda dengan jendela yang berada di belakang. Perlahan aku menoleh ke belakang mencoba menenangkan diri dan menduga bahwa pemandangan dari jendela itu sama indah dengan jendela sebelumnya. Tapi aku terhenyak, mataku membelalak kaget setelah apa yang kulihat dari balik jendela itu. Sebuah pemandangan gedung kampus yang tinggi, dan di lantai paling atas berdiri seorang wanita yang siap untuk terjun. Dengan segera kuhampiri jendela itu. Mencoba mengenali wanita itu dalam kejauhan. Tampaknya aku sangat mengenal wanita itu, dan spontan kubergumam,

“Cristhy?”

Kutajamkan pandang untuk memastikan kebenaran yang kulihat. Namun, wajah wanita itu tak berubah, justru lebih memperjelas.

“Cristhy!” gumaman yang lebih keras.

Setelah mengenal siapa perempuan itu. Aku berusaha membuka daun jendela, tetapi karat di daun jendela itu menghalangiku. Aku bertambah bingung akan melakukan apa. Aku berteriak memanggil Cristhy beberapa kali sampai aku sadar bahwa suaraku tak terdengar Cristhy yang berdiri di gedung bersebrangan itu. Aku mencoba turun gedung tetapi belum sampai lima meter dari jendela tadi, aku kembali ke jendela dan berteriak-teriak. Kupukul-pukul kaca jendela yang keras.

Dari balik jendela, kini Cristhy merentangkan tangannya seolah akan terbang. Aku pun menambah volume teriakan, dan kepalanku masih menggedor-gedor kaca. Beberapa detik berselang, kulihat sosok hitam muncul di samping Cristhy. Aku terpaku ketakutan. Mulutku menganga seperti hendak melahap semua yang ada.

Kalumba. Sosok yang paling kutakuti, kini berada di atas gedung itu dan berdampingan dengan Cristhy. Aku tak bisa bergerak. Badanku kaku. Tenggorokanku mengeluarkan suara parau.

“Tahan Cristhy! Jangan lihat matanya,” teriakku setelah lepas dari ketakutan. Suaraku seakan melenturkan dinding-dinding yang menggema.

Berkali-kali aku berteriak untuk mencegah Cristhy menatap kalumba. Tapi hasilnya sama saja. Teriakanku tertelan koridor yang panjang ini. Nafasku tertahan ketika melihat kepala Cristhy menoleh ke arah kalumba yang berdiri membelakanginya. Apalagi sewaktu kalumba membalas tatapan itu dengan menunduk melalui ruang di antara selangkangannya. Hatiku menggeletar serupa petikan senar gitar dalam ruang hampa.

Aku hanya bisa terperangah, dan mataku meringis mengikuti gerak jatuh tubuh Cristhy dari ketinggian gedung. Terhuyung seperti kertas. Hentakan dadaku berdetak keras. Untuk menghembuskan nafas pun aku tak sanggup. Cristhy meranggas nyawa dengan tragis. Aku terdiam dengan kerongkongan mengering. Tatapku melekat di lantai paling bawah. Aku tak percaya dengan detik yang baru lewat. Mataku tertutup. Kepalaku tertunduk, tersangga di kaca jendela. Kubuka kembali mataku.

Orang-orang satu per satu mengerumuni tubuh Cristhy yang terkapar tepat di kaki gedung itu dengan darah yang tergenang di antara tubuhnya. Aku masih tak bisa percaya. Dalam ketertundukanku, mataku melirik ketinggian gedung yang ada di hadapanku. Meski buram, sosok itu masih nampak. Kalumba, perlahan menghilang ditelan gelap.

Sekejap, diriku serasa meletup. Bias-bias cahaya putih menyebar ke segala arah. Kemudian aku merasa terbang. Aku tahu, tubuh ini dipermainkan sesuatu yang berkaitan dengan ketakutanku. Bukan hanya tubuhku, bahkan pikiranku juga dipermainkan. Segera kukatupkan lagi kelopak mata ini, dan gigil itu kembali menggoncangkan semua yang ada dalam tubuhku. Ada yang berdengung. Suara-suara serupa igau dalam mimpi. Kucoba menangkap getar suara itu. Hingga mulai jelas di gendang telingaku.

“Surga dan neraka.”

Akhirnya tertangkap jua ejaannya, meski terdengar seperti suara dalam gorong-gorong. Sungguh aku sangat mendendam suara ini. Inilah ketakutan itu. Yang mentakdirkan aku melihat kematian Cristhy. Namun aku belum berani membuka mata.

“Tuhan punya hati.”

Sekali lagi terdengar suara itu. Seolah mengundang dendamku terkuak. Kata-kata inilah sumber gigil itu.

“Kau pilih siapa untuk menjemputmu?”

“Cukup! Aku tak percaya padamu,” teriakku dalam pejaman mata.

“Bukalah matamu yang belum ditakdirkan itu.”

Susah payah aku melawan arus ketakutan. Dengan satu keputusan bulat, kuberanikan membuka mata. Ketika mataku terbuka, yang langsung tertangkap mata adalah mata merah kalumba. Mati aku. Bulu kudukku berdiri tegang, dan aku tergagap-gagap.

“Kau berbohong padaku,” protesku bergetar.

“Mataku adalah matamu.”

Aneh, Aku tetap hidup setelah melihat matanya.

“Apakah aku sudah mati?” tanyaku sembari melihat sekeliling. Hanya biru langit.

“Apakah aku langsung menuju langit?” sambungku.

“Pikirku adalah pikirmu.”

“Hei, jawab pertanyaanku.”

“Kau belum ditakdirkan.”

Kalumba ini tampak tak semenakutkan apa yang kubayangkan. Aku curiga, Dia mungkin hanya bermain-main denganku.

“Aku ragu kau malaikat,” tukasku.

“Aku adalah kau.”

Tiba-tiba kalumba itu meliuk-liuk menjadi gumpalan-gumpalan putih. Aku teringat sosok putih di pinggir ranjang. Ternyata sosok itu adalah kalumba juga. Tak berapa lama sosok putih itu membentuk satu sosok manusia dari serpihan cahaya. Sosok itu ternyata adalah aku.

“Apa ini? Kau jangan mencoba menipuku,” ancamku.

“Kau menipu diri sendiri. Kau hidup denganku sedari kecil. Selama ini aku tinggal di ketakutanmu. Kau takut dengan kematian karena hati Tuhan. Surga dan neraka. Akulah mitos yang hidup denganmu, sehingga dosa-dosa kau kaitkan dengan kematian. Kematian kau kaitkan denganku. Dan aku kau kaitkan dengan malaikat maut yang akan menjemputmu menuju surga dan neraka. Yang kau takutkan adalah pertanyaan di balik kematian di manakah tempatmu? Neraka?”

Kemudian tubuhku melesat, terhisap oleh sosok putih itu. Mataku begitu cepat berganti pandang. Aku kembali ke ranjang gigil semasa kecil. Kulihat diriku terbaring melantunkan ayat-ayat suci. Dari belakang kudengar langkah kaki. Aku ingat saat itu, Nenek masuk membawa segelas air. Tiba-tiba, sekejap mata aku menyelusup ke tubuh kecilku. Kembali mataku berganti pandang. Neneklah yang kini di hadapanku.

“Nenek masih hidup?” tanyaku.

“Cucu kurang ajar,” ketus Nenek. “Semestinya kau harus bertanya ‘mana sosok putih tadi?’ bukan kau menyumpahku mati.”

Aku benar-benar bingung. Ini pernah terjadi. Tapi tak seperti yang memang seharusnya terjadi.

“Berarti tak perlu kutanya, Nenek sudah tahu yang bakal kutanyakan,” gumamku.

“Hei, kau di sini untuk kudongengkan lagi tentang kalumba,” potong Nenek.

“Jadi itu dongeng?” tegasku.

Kemudian aku baru sadar semuanya kenyataan. Wajahku terbias dari kaca jendela koridor. Di balik kaca itu, kembali tubuh Cristhy yang hancur oleh lantai bawah menjadi pandangku. Segera aku berlari menyusuri koridor, menuruni tangga, dan terkuak di antara kerumunan orang yang melihat jasad Cristhy. Setengah memaksa aku menggeser orang-orang yang berkerumun. Saat itulah kulihat tubuh Cristhy hancur lebur dan tak runut lagi dari kepala hingga kaki. Sekilas ingatanku melintas Wale Roga. Kata Cristhy sebuah penyucian diri. Tapi dari apa Cristhy? Dari Apa? Tolong kamu jelaskan pada orang yang takut akan kematian ini.

Aku merasa mual melihat darah yang begitu banyak dan tubuh yang tak berupa manusia itu. Kendati begitu, aku mencoba memeriksa tubuh Cristhy. Bodoh, mana ada denyut kehidupan lagi dengan tubuh seperti ini. Langsung saja kuangkat tubuh Cristhy. Segalanya terasa lengket di tanganku. Mulutku yang akan memuntahkan sesuatu, segera kukatupkan. Tubuh Cristhy seperti bidadari surga, kini seperti habis terajam neraka. Aku segera meninggalkan tempat itu. Banyak orang-orang mengikutiku. Tertinggal genangan darah yang lama-kelamaan ditelan kegelapan malam.

Dan aku pun kembali menemukan diriku di ranjang gigil itu. Setelah kejadian gigil aneh itu, aku tak bisa bernafas dengan tenang. Kuberdiam di rumah. Ketegangan-ketegangan kulewati secara rinci. Waktu seakan membiarkan aku untuk merasakan ketakutan. Mataku yang terlingkar hitam dan memuat gumpalan mimpi-mimpi menatap nanar dari depan jendela rumah penuh ketakutan ini. Sementara itu, aku setiap hari mencorat-coret, merangkai sesuatu di buku. Sesekali aku berpikir dengan melayangkan pandangan ke luar jendela rumahku—satu hal yang menjadi rutinitas ketika mengingat ketakutan— dan melayangkan pikiranku masuk ke sisi kegelapan, kebutaan, dan kematian.

Satu ketakutan selain gigil aneh itu, adalah rusaknya persahabatan. Kebanyakan manusia buta dengan keadaan, dan membawa kepada mabuk yang paling indah, lebih indah dari meneguk alkohol. Berkali-kali mabuknya, sampai manusia itu merasa benar sendiri. Merasa telah berjalan pada esensi hidup yang sebenarnya. Manusia mungkin bisa sebut itu cinta terhadap apapun selain kebenaran. Setiap hari manusia menipu diri dengan pembenaran-pembenaran, adakah sehari kita tidak memikirkan kesia-siaan. Misalnya kesombongan yang kita kumpul lewat kerja banting tulang setiap hari, atau ilmu yang kita petik dari keangkuhan orang lain, atau mencari arti persahabatan. Banyak, sungguh sangat banyak kesia-siaan. Kuceritakan sedikit pergunjinganku dengan Fredi saat ia habis memberi kuliah di kelas;

“Memang biasanya kata tidak sesuai dengan kenyataan. Seperti kebanyakan para penyair, hampir semua munafik,” kata Fredi.

Masih berjalan beriringan di koridor kampus. Kata-katanya ini menyinggung diriku. Entah kenapa—belakangan aku tahu, ini masalah Cristhy yang ia lihat lewat jendela kelas tengah bersama denganku di bawah pohon beringin taman kampus—.

“Kau bicara apa?”

“Atau kita hanya menghias diri dengan pesona kata-kata, supaya gadis cantik mana pun melayang-layang dengan itu. Dan aku pikir itu hanya sebuah rayuan, bukan puisi.”

Aku bingung.

“Kau mengkritik aku?”

“Lucu, seseorang yang tidak sadar dengan apa yang dia inginkan. Saya tidak bisa bayangkan, puisi seperti apa yang dia buat. Mungkin hanya retorika tanpa makna yang jelas.”

Aku benar-benar tersinggung.

“Apa dulu masalahnya?”

Langkah-langkah kami semakin gaduh seperti tabuhan pertanda perang akan segera dimulai.

“Kau penyair yang tidak mempermasalahkan masalah. Kau tidak peka dengan lingkungan. Bagaimana kau bisa membuat puisi yang berguna bagi lingkungan.”

Fredi terus berjalan meninggalkan aku.

“Kalau kau mengkritik hanya untuk merendahkan pribadi seseorang, pantaslah sampai hari ini kau kaku soal mengenal cinta,” tukasku. “Dan aku menemukan jawaban dari pertanyaan yang lama, bahwa kau belum pantas jadi seorang teman, terlalu kaku.”

Aku sadar dengan ungkapan yang kurang bijak ini, tetapi aku puas bisa membalas semua kritikannya.

“Dan begitu rendahnya mutu jiwa seorang yang bekutat dalam kebudayaan. Cengeng seperti kau,” balas Fredi. “Pantas puisimu terlalu romantis, dan fungsinya hanya untuk merayu wanita. Aku tidak mau terpengaruh dengan lingkungan seperti itu.”

Aku tertegun. Dan ia semakin menjauh. Apakah ia tahu persahabatan itu tidak diukur saat kita tidak lagi berhubungan? Dan hubungan tidak selalu hubungan baik. Bahkan permusuhan adalah sebuah hubungan. Di saat teman ada, dia jadi orang yang membutuhkan dan menyakitkan, tapi sia-sia. Itu hanya sekedar warna baru dalam lukisan atau nada baru dalam irama. Aku kecewa setelah bertemu dengan kesimpulan. Tidak ada hakikat dari persahabatan, nyatanya semua manusia berpikir untuk diri sendiri, dan ini jadi tujuan untuk menjalin persahabatan.

Inikah yang dinamakan nilai dari persahabatan? Mengalah dari kemauan kita sendiri. Berkorban rasa. Ya, kalau kita tidak mengalah, itu namanya perang, tidak ada perang antara teman. Walaupun di mana-mana ada perang saudara. Teman adalah tempat saling memberi. Memberi rasa senang, cinta, cemburu, bahkan sedih sampai sakit. Apakah nanti aku akan dianggap teman dengan pengorbanan yang aku lakukan bukan untuk dia, tapi untuk aku sendiri? Walaupun itu sakit? Manusia-manusia, mau saja melakukan hal-hal yang tidak esensi dalam kehidupan.

Kembali aku di rumah ini yang menyediakan ranjang gigil.

UNTUK Hadi, sampai di sini aku memungkinkan periwayatannya lewat tengkorak. Putus sudah raut-raut kisahnya dalam kelezatan otak. Aku sudah kenyang menjilat otak itu. Namun pada retakkan tengkorak ini, aku akan memungkinkan kisah yang lain lewat. Setidaknya kau akan menemukan dugaan baruku, dan menjadi sebuah kisah.

-()-

TIGA

AKU mendengus jenuh. Menatapnya dengan sayu.

“Kau berkisah tentang Bunaken, bunuh diri, dan kalumba,” kataku. “Oke, aku akan coba menyiratkan sesuatu dari situ. Biar kau tak lupa untuk apa kau ke sini.”

Ia yang tadinya ingin berucap, kini mengurungkan niatnya untuk mendengarku.

“Bunaken, berisi tentang laut yang mensahkan dirinya milik dunia. Bunuh diri, menyiratkan tentang kesia-sian tentang keduniaan. Dan kalumba, kau menegaskan tentang keberanianmu, dengan menganggap bahwa ketakutan adalah dongeng.”

“Pintar juga kau menduga.”

“Kau masih ingat bahwa kau penjual?”

Ia mengangguk.

“Menurutmu yang kau jual adalah milik dunia, yang sebenarnya tak penting untuk dunia ini?” dugaku. “Dan kau tidak takut tentang undang-undang yang meng-ilegal-kan itu? Atau mungkin tidak takut dengan akibat yang akan menimpa negeri ini?”

Ia tersenyum. Sementara aku dibiarkan penasaran dengan jawaban.

“Intinya kau membenarkan apa yang kau jual,” sambungku, “yang bagi sebagian orang adalah kejahatan.”

“Tepat,” potongnya. “Tapi sabar. Kau harus menunggu kisah dari tulang-tulang itu rampung. Agar kau tahu apa yang kumau.”

“Baik aku bersabar,” kataku kesal. “Mudah-mudahan saja yang kau jual itu benar-benar yang kuinginkan. Dan waktuku tak terbuang sia-sia dengan mendengar kisah tulangmu itu.”

“Minahasa. Apa satu kata ini membuatmu percaya apa yang akan kujual?”

Lagi-lagi kata itu. Membuat mataku memaku ke sebundel naskah yang terpekur di meja. Sekali-kali angin kecil bermain-main dengan sudut kertas. Aku semakin penasaran. Aku tak menyangkal kalau kata Minahasa itulah yang akan membuat telingaku rela mendengar kisahnya. Kembali aku mendengus panjang sambil mengangkat alisku. Tanda aku bersabar.

Ia menyambut dengan sekulum senyum, lantas kembali berkisah;

RIWAYAT TENGKORAK II

KUPUTAR-PUTAR tengkorak itu. Mataku mengitari retak yang berjalar mengelilingi batok botak itu. Akhirnya aku temukan kembali sesuatu kisah. Tepatnya aku menduga-duga. Sepenggal kisah ini, nantinya aku percaya akan utuh membentuk manusia dan persoalannya. Meski itu hanya tulang-tulang, dan tak lagi berbentuk tubuh yang sempurna. Namun, bukankah daging dan urat serupa cabang-cabang kehidupan? Berarti tulang adalah hakikat. Lapis dasar tentang esensi kehidupan ini berada pada tulang-tulang. Sebelum kau jenuh dengan riwayat ini, aku akan memulai dugaanku. Kisah-kisahku. Jadi, sebelum tengkorak ini masuk ke dalam waruga, dulunya juga tersimpan kenangan, konsep pikiran, dan bahkan memikirkan rasa. Dan pula ditumbuhi oleh gerai rambut lurus kepunyaan;

JAUH sebelum aku berada di tengah laut Sunda ini, begitu rumit kisahnya hingga kutemui yang namanya kesedihan. Aku awali di satu saat, sewaktu terngiang-ngiang di telingaku perihal gumaman Hadi. Jalan menuju rumah, masih sebagai jalan bagi tungkaiku. Tetapi bagi pikiranku, berupa alunan tempo yang menghanyutkan menuju sadar, sehingga aku merasa sangat jauh. Tak mampu aku menepis semua gumam yang bertambah banyak, dan bermetamorfosis menjadi desis di benak. Anganku telah sampai ke tujuan, namun nyata tak jua sampai.

Akhirnya sampai juga aku di depan pintu pagar rumah. Embun mulai turun di halaman rumah. Seketika bau tanah segar tercium. Daun-daun hutan yang menjulang di belakang rumah seperti siluet istana yang kokoh menyimpan gelap. Aku perhatikan rumah panggung yang disinari cahaya sore ini. Bias-bias jingga seakan kuas yang menyapu kanvas. Lukisan sore itu membentuk lekuk-lekuk artistik. Aku tak melewatkan setiap lekuk. Meski pun lekuk itu bersembunyi pada keburaman. Jingga dan coklat kayu saling mewarnai, hingga akhirnya bersatu pula dua warna itu. Hitam.

Rindu yang pernah ada, datang menjamah hatiku. Aku luluh bersama kenangan yang tumbuh bersama rumah ini. Padahal setiap hari rumah inilah tempat pulangku.

Setelah basah dengan kenangan, aku bangkit dari kekuyupan. Aku mulai melangkah ke dalam rumah. Anak tangga rumah berderit malu-malu.

Saat aku berada di pintu, aku menetapkan langkah ini pada anak tangga terakhir. Ibu, adalah landasan awal pandangku. Sosok itu terbaring nyenyak di sofa ruang tamu. Bagi orang lain mungkin sosok itu hanya segumpal daging tua, namun bagiku lebih sebagai seonggok rindu yang menyimpan tangis seribu abad.

Perlahan aku melangkah masuk rumah. Papan-papan lantai masih menyisakan derit. Pandanganku menjalar ke seluruh sudut rumah yang dirudung sepi. Hingga akhirnya aku tersendat pada bingkai-bingkai potret yang terpampang di dinding. Kudekati rentetan bingkai itu dan menatapnya lekat-lekat. Dalam bingkai itu ada gambar diriku semasih bocah bersama Ibu tepat di ruangan ini. Kurasa mataku berembun, dan bulir-bulir bening ini mengandung kenangan. Kuhempaskan nafas sembari melihat sekeliling ruangan, terdengar tawa anak kecil yang tengah bercanda dengan Ibunya di benakku. Lama-kelamaan tawa itu ditelan sunyi, tertinggal sosok yang merindukan itu.

Aku menghampiri ibu yang terlelap. Langkah ini begitu lesu, sehingga aku terduduk di lantai tepat di bawah kaki ibu.

Lengkung hitam di bawah mata Ibu, bak album usang yang menunggu potret keceriaan baru. Lama aku menatap mata Ibu yang terpejam. Entah apa yang tengah Ibu mimpikan? Aku katupkan mata, dan mencoba berbagi mimpi dengan Ibu.

Namun aku terantuk pulas. Serasa tak pernah tidur. Setelah terbangun, dengan mata menyipit aku mencari Ibu yang tak lagi berada di sofa. Aku menemukan Ibu di depan bingkai-bingkai foto yang kulihat tadi. Sejenak kubiarkan ruang hening. Aku pun bangkit dari lantai dan perlahan menghampiri Ibu. Derit lantai akibat langkah beratku memberitahu kepada Ibu tentang bangun tidurku.

“Cukup lama rumah ini sepi tanpa tawa anak kecil,” gumam Ibu.

Adakah ruang paling indah di dunia ini? Jika ada, mungkin itu ruang dalam ideku. Di mana aku bisa membawa masuk secuil kebahagiaan Ibu, dan terbahak melihat bayang-bayang kesepiannya memudar sedikit demi sedikit seiring sosok yang berupa bayang-bayang berlarian. Sosok itu mungkin tawa-tawa kecil yang lahir dari benihku. Namun nyatanya aku berada di ruang yang sudah lama dirudung sepi. Ditinggal rindu yang tak berkesudahan. Ibu masih saja mematung di sudut-sudut pengharapan.

Bingkai-bingkai berdebu adalah saksi air mata rindu itu. Seakan sudah tertakdirkan untuk menampung segala resah Ibu. Meski bingkai itu selalu dikilapkan, tetap saja debu menempel dan menegaskan bahwa itu hanya kenangan. Ayah yang bercokol di potret itu, telah lama berpulang untuk meninggalkan rindu. Tertinggal aku dengan harapan yang ada dalam hati Ibu.

“Tole!”

Nada suara itu sangat kukenal. Bukan karena suara itu terucap dari mulut Ibu, tetapi terlebih karena nada ini berulangkali kudengar sehingga seperti desir pantai yang kukenal.

“Tole..”

Aku tahu maksud Ibu, tanpa ia melanjutkan semua kata yang tertunda setelah panggilan itu. Hanya rangkulan erat di perutnya yang sejauh ini kulakukan untuk menahan Ibu dari keterjatuhan pada rindu yang mendalam. Sambil melihat potret dalam bingkai berdebu itu, kusandarkan dagu di pundaknya sebelah kiri. Mulutku berada dekat dengan telinga ibu, namun aku tak sanggup berkata, meski itu hanya sekedar berbisik.

Dadaku yang bergetar melekat erat di punggungnya, detakku seirama dengan detak Ibu. Tanpa kusadari sedalam ini kurasakan kerinduan Ibu. Terbayang pembangkanganku yang kesekian kali terhadapnya. Dan juga terbayang kesabaran Ibu membunuh sepi. Setelah mendiang Ayah pergi, kelahiran-kelahiran barulah yang diharapkan Ibu untuk mengisi ruang yang sudah sangat hening ini. Aku pun memilih membangkang untuk terus kuliah dan menunda untuk membenihkan kehidupan baru.

Aku sangat tahu, walau Ibu tak meneruskan kata-kata yang tertunda itu. Aku paham Ibu, cuma aku belum sanggup menampung airmatamu.

“Ibu rindu dengan yang pernah ada,” suaranya bergetar. “Kamu waktu kecil dan Ayahmu.”

Hanya menangis pula kusampaikan pahamku. Dalam dekapan yang benar-benar erat.

“Ibu tak sanggup menepis rasa ini.”

“Bu, Tole masih di sini. Tole tak akan membiarkan Ibu merasa sendirian,” Aku berjanji.

Setelah janjiku, hanya tangis kamilah yang meramaikan sudut-sudut sepi. Serasa malam tak akan pernah habis di makan waktu. Ayam jantan pun malu untuk berkotek. Mungkin mereka juga menangis melihat kesepian ini.

Berbicara tentang ruangan ini, tak cukup seribu halaman untuk menjelaskannya. Namun, ada kisah yang sangat penting. Mungkin ini berhubungan dengan benang merah kisah ini;

Terhitung dua tahun belakangan, ketika aku berada di rumah dan duduk di ruang tamu, dan juga berhadapan dengan Ibu, selalu saja ada hal serius untuk diperbincangkan. Sama seperti saat itu. Aku berbincang dengan Ibu, melewati setiap detik yang panjang, dengan topik masalah yang sama. Heran, aku sendiri tak habis sabarnya. Dinding rumah kami yang terbuat dari papan sudah keropos menunggu hasil pembicaraan kami. Padahal aku ingat, sewaktu awal pembicaraan itu, papan-papan itu masih mengkilap dengan pelitur.

“Sedikit pun tak ada masalah nikah dalam otakmu. Apa kamu tak punya pacar? Ingat umurmu semakin tua, sudah pantas untuk menikah. Dan ingat juga, Ibu sudah tua, mungkin sebentar lagi mati. Rasanya Ibu tak akan pernah melihat cucu. Seandainya kamu punya kakak atau adik, Ibu akan suruh mereka menikah lebih dulu. Tapi kenyataannya tak ada.”

Selalu saja kepalaku pening setiap mendengar masalah ini. Kurasa semua jawaban dan alasan sudah kukerahkan untuk menolak. Tapi nyatanya sampai detik ini, masih terngiang di telingaku.

“Ibu,” suaraku sangat lembut. “Kalau masalah cucu gampang. Tole akan mengadopsi anak.”

“Mau Ibu, cucu yang lahir dari rahim istrimu. Kalau adopsi anak tak perlu menunggu saran kamu.”

Memang untuk urusan ini, Ibu selalu lebih kurang sabar dariku. Maka itu, aku selalu lembut berucap, meski sebenarnya ucapanku itu bersirat menolak.

“Kalau nikah hanya untuk bikin cucu, belum tentu Tole dan istri Tole dapat anak nantinya,” paparku.

Mendadak Ibu melotot.

“Kamu ini banyak alasan. Kamu tidak kasihan sama Ibu. Ibu kepingin sekali menimang cucu. Mana rasa terima kasihmu kepada orang yang melahirkan kamu? Dari dulu Ibu bujuk supaya kamu cepat menikah, tetapi dengan berbagai alasan kamu menolaknya. Selesaikan kuliah dulu, cari kerja dulu. Sekarang semuanya sudah, apa lagi alasan kamu?”

“Ibu, menikah tidak hanya selesai di pestanya. Tidak semudah yang kita pikirkan. Perlu persiapan yang matang dari materi dan mental.”

“Yang pernah menikah itu siapa?” potong Ibu. “Siapa yang bilang begitu? Kapan kamu akan menikah kalau pikiranmu seperti itu. Kalau hanya materi jangan terlalu dipikirkan. Masalah mental Ibu yakin, kamu anak berpendidikan. Itu bisa membuat kamu jadi lebih dewasa.”

Aku tertelan ludah sendiri. Semakin hari, Ibu semakin pintar membalas alasanku. Artinya alasan-alasanku hampir habis. Aku perlu waktu lagi untuk mencari alasan baru.

“Pendidikan tak jadi jaminan,” kilahku. “Dan rumah tangga tak ada sekolahnya, Bu.”

“Ibu sendiri tidak pernah berpikir seperti itu, tetap saja menikah. Memangnya Ibu pernah duduk di bangku sekolahan.”

Habis sudah alasan. Seiring habis sudah kesabaranku. Aku merasa dipaksa untuk berbuat sesuatu yang tak ingin kulakukan. Kalau aku diam, sama saja aku tidak hidup di dunia ini dengan pilihanku sendiri. Aku harus berucap, meski itu keluhan.

“Aduh Ibu! Kenapa Tole selalu dipaksa seperti ini? Hanya karena ingin melihat cucu? Jadi Tole dilahirkan hanya supaya bisa mendapatkan cucu?”

“Di mana otak sekolah kamu itu? Sebenarnya kamu hidup untuk apa? Mau membujang seumur hidup. Suatu saat kamu tua nanti, kamu akan berkeinginan seperti Ibu juga.”

“Tole tidak akan menuntut seperti ini kepada anak-anak Tole nanti. Mereka akan mendapatkan kebebasan demokratis.”

“Iya, anak kuliahan!” balas Ibu sarkatis. “Kamu ini terlalu pintar. Kalau tahu kamu akan jadi pembangkang seperti ini, Ibu tidak akan sekolahkan kamu tinggi-tinggi.”

Ibu tampak kesal. Suaranya terdengar bergetar karena menahan sakit hati. Aku kasihan kepada orang tua yang telah membesarkanku dengan kasih sayang, tetapi aku belum bisa menerima dengan segala paksaan. Aku harus beralasan.

“Ibu tidak sadar Tole kuliah di mana? Tole kuliahnya di Sastra. Mana ada Sarjana Sastra mampu bikin cucu,” kucoba berseloroh.

Alah, Ungke tetangga kita, tidak sekolah bisa bikin cucu. Tiga cucu pula.”

Kini aku bisu. Ibu ternyata lebih pintar dariku. Aku merasa durhaka dengan semua perbincangan ini. Aku membuat Ibu kesal. Namun hingga saat ini aku belum berubah pikiran.

Namun pikiranku berubah setelah bertemu dengan seorang perempuan. Sebelum aku ceritakan bagaimana ia mengisi hari-hari di rumah ini, aku ceritakan sisi lain darinya. Perempuan ini juga yang membuatku benar-benar merasa cemburu, meskipun itu terhadap sahabatku sendiri. Kecemburuan itu bermula dari kulihat akrabnya Cristhy dengan Hadi di taman kampus. Setelah sebelumnya Hadi membuat aku kepergok berkata yang tak pantas untuk Cristhy di kantin. Akibat candaan di kantin itu, merenggang pula keeratan rasa antara aku dan Cristhy yang tumbuh dari awal pertemuan. Aku merasa Hadi seperti lagu lama, pagar makan tanaman.

Aku dan Hadi secara tak langsung berjanji untuk mengabadikan persahabatan. Dan itu kupaparkan semua saat di laut Bunaken. Saat itu kuingat bagaimana manisnya persahabatan. Dan kini, aku seakan harus melepehkan sepahnya. Bersanding dengan Hadi di perahu itu menjadi masa silam, setelah kutahu diri tengah menjalin cinta dengan Cristhy, calon istriku.

Izinkan kuceritakan bagaimana aku memandang pertemuanku dengan seorang perempuan bernama Cristhy. Sesaat setelah antologi puisiku diluncurkan.

Saat itu aku merasa telah melahirkan sesuatu. Setidaknya ini untuk sementara menjadikan aku sebagai orang yang menepis rasa bersalah. Telah lama aku dituntut untuk melahirkan sesuatu yang baru, hanya untuk membunuh yang namanya sepi. Puisi, adalah ruang kegembiraanku untuk saat ini. Bagaimana dengan Ibu. Ruang kelahiran seperti apa yang dia mau? Yang pasti bukan puisi.

Ternyata kelahiran bukan hal terduga. Ia datang seperti asap yang melata di lantai dengan sangat pelan dan memenuhi ruangan tanpa disadari oleh orang yang akan bergumul dengan asap itu. Kelahiran ada lewat proses yang begitu indah. Pertemuan-pertemuan kami pun adalah kelahiran. Orang-orang di depanku ini, berhadapan denganku, berjabat tangan dan bercanda, pasti sebelumnya melewati proses yang tak kalah indah dengan perjalanan diriku untuk sampai di sini. Karena itu aku sangat menghargai proses kelahiran. Sama penghargaanku terhadap peristiwa bertemu pandang antara aku dan perempuan yang dari tadi menatapku. Ia terlalu rapi untuk acara sejenis ini. Buku yang digenggamnya terlalu berat untuk mengesankan dirinya sebagai penikmat buku.

Mataku selalu berujung pada sosoknya, meski banyak yang terus bercuap di hadapanku. Kurasa hanya perempuan itu yang membuatku bertahan untuk tak segera beranjak dari ruangan ini. Namun seperti biasa aku terlalu dingin, dan selalu menyimpan semua ingin. Walau akhirnya selalu menyesal. Penyesalan seperti ini telah terlatih bertahun-tahun. Jadi tak ada beratnya kutinggalkan ruang sekaligus meninggalkan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada pesona perempuan itu. Dengan menepis semua rasa, aku melangkah tanpa bernapas. Kutinggalkan ruang penuh kelahiran-kelahiran baru itu. Berganti koridor yang panjang penuh keheningan.

Koridor berdentum dengan sepatuku. Tampak bayang diriku memanjang di keramik lantai. Berangsur-angsur bayang itu menyamai tinggi badanku. Kesepian koridor bertambah dengan kehadiranku yang membawa bangkai-bangkai rasa, setelah rasa kubunuh bersamaan kutinggalkan segala harapan di ruang tadi. Langkah kaki yang berirama mengetuk lantai ini, tak lama bertambah ketukan yang agresif. Tadinya ketukan hanya satu-satu. Kini bertambah banyak dengan ketukan yang cepat. Sangkaku hanya orang-orang yang biasa berjalan di koridor ini. Namun panggilan itu.

“Pak Fredi...Pak Fredi!”

Memaksaku untuk membalik badan dan setidaknya melihat asal ketukan lantai itu. Perempuan dengan seribu harapan itu mengejarku. Apa yang ia inginkan? Menambah sepi diriku? Ataukah meledakkan warna di hatiku yang sudah lama kelam?

Aku tunggu songsongannya. Ia pun sampai, lalu menyuguhkan dirinya yang terengah-engah di hadapanku.

“Ya. Saya Fredi,” sambil berjalan lagi aku menunggu lanjutan kata-katanya.

Ia terus mengikutiku dari belakang. Sebelum ia berkata, terdengar sisa-sisa nafasnya menghirup panjang. Meluangkan ruang udara sedetik di dada untuk mengumpulkan energi, lalu dihembuskan dengan kata.

“Kenalkan nama saya Cristhy Sondah, mahasisiwi Fakultas Sastra Indonesia semester satu di Universitas tempat Bapak mengajar,” jelasnya cepat.

“Oh ya. Ada yang bisa saya bantu?” Aku masih acuh tak acuh. Penjelasannya tak ada yang lebih. Hampir semua mahasisiwi baru mengatakan serupa dengan itu, hanya supaya kuperhatikan lebih daripada yang lain.

Melihat sejauh ini dengan sikap tak peduliku, tampaknya ia benar-benar tak bisa berbicara lain selain Sastra. Mungkin karena urat wajahku tak mudah renggang dengan hal-hal yang murahan.

“Sudah lama saya memperhatikan Bapak dalam pergerakan Sastra, khususnya di kota Manado ini. Bapaklah yang paling intens dalam perkembangan sastra di kota ini.”

Apalagi pujian seperti ini, banyak kudengar dari mulut remaja yang sok kritis terhadap Sastra.

“Ada lagi keperluannya?” selaku sambil kembali berjalan.

Pertanyaan itu hampir membuat ia menyerah. Telingaku menangkap getaran kecil dari hembusan nafas keluhannya, seperti orang yang telah selesai menyelesaikan tugas dengan hasil kegagalan. Lama kami diam, hanya langkah-langkah kami yang sahut-menyahut dalam koridor ini.

“Dan saya sendiri suka dengan puisi-puisi Bapak,” gumamnya terdengar kurang percaya diri.

Aku yakin, ungkapan itu keluar dari alam bawah sadarnya. Biasanya ketika orang dalam posisi menyerah, ada hal-hal yang tak terduga menjadi senjatanya. Seperti saat seseorang dikejar anjing dan seseorang itu berhadapan dengan tembok tinggi, tanpa sadar orang itu akan melompat dinding yang tak mungkin dia lompati dalam keadaan tak dikejar anjing. Maka, apa yang dikatakan perempuan muda ini tadi, sangat sama dengan senjata terakhir orang yang dikejar anjing. Sebab dengan kata-katanya aku merasa koridor semakin panjang untuk dilalui. Aku semakin betah dengannya.

“Terima kasih. Hanya itu saja keperluannya?”

Tampaknya ia telah membaca gelagatku. Ia tahu aku merasa betah berada dekat dengannya, meski kata-kata yang terakhir tadi bersifat mengusir. Energi percaya dirinya terasa dari langkahnya yang sedemikian tegas mengikuti iramaku. Tadinya irama langkah kakinya selalu tersendat setengah ketukan setelah aku selesai berkata.

“Masih ada lagi, Pak. Apa Bapak tidak pernah berpikir untuk melahirkan sastrawan-sastrawan muda di kota Manado ini?” sarannya penuh percaya diri.

Kuhentikan langkah, lantas berbalik badan menghadapnya. Ia pun terhenti dengan mata bertanya-tanya dan menahan nafas dengan mengigit bibir bawah untuk menunggu jawabanku.

“Berapa umur anda?”

“19 tahun.”

“Dan saya 30 tahun, itu artinya kitalah generasi muda hari ini. Yang perlu kita lakukan bukan melahirkan sastrawan muda, tapi kita lahirkan karya-karya baru. Anda paham dengan ini?”

Kulanjutkan jalan menyusuri koridor. Melihat itu ia mengikutiku lagi. Ada rasa penasaran dalam dirinya. Tampaknya ia tak akan melepasku begitu saja sebelum ada jawaban dariku yang bisa membuat ia tenang.

“Tapi bagaimana dengan orang seperti saya untuk menjadi seorang sastrawan?” tanyanya lagi di antara ketukan-ketukan langkah yang bergema di sepanjang koridor.

“Belajar dan berkarya lewat media sastra.”

“Maksud saya belajar pada siapa?”

“Pada kehidupan Anda sendiri, atau pada kehidupan sastrawan besar di seluruh dunia, atau pun kehidupan orang yang pernah tersentuh oleh media sastra, dan masih banyak lagi.”

“Terus siapa yang akan menilai bahwa karya saya sudah pantas untuk menjadikan saya seorang sastrawan?”

Untuk kesekian kali kuhentikan langkahku, dan perlahan kubalikkan badan lalu membiarkan koridor menjadi sepi. Sesaat aku dan dia hanya saling bertatapan. Ada perasaan cemas nampak dari gelagatnya.

“Dengar Cristhy,” Aku mengeluarkan kartu nama dari saku baju. “Saya hanya seorang dosen,” lalu kartu nama itu dengan segera berpindah ke tangannya.

Tak satu pun huruf dalam kartu nama itu ia lewatkan. Matanya teliti dan berbinar-binar.

“Karyamu tidak akan menjadi bagus dengan penilaian seorang dosen atau guru besar sekalipun. Tapi sebuah karya yang bernilai adalah karya yang benar-benar berefek bagi kehidupan manusia, terlepas karya itu berefek negatif atau positif,” sambungku.

Mata tadi yang berbinar-binar kini menatapku dengan penuh harap.

“Tapi saya ingin menjadi murid Bapak,” gumamnya

Melihatnya seperti ini, ada kesan lucu. Dari situ aku baru percaya dengan pesona kecantikan perempuan mampu membuat urat-urat tegang mengendur. Ada keinginan berseloroh dengan dia, namun aku lupa kapan terakhir bercanda dengan seorang perempuan. Aku takut nantinya selorohku berkesan kaku, bukan berkesan yang semestinya.

“Kamu lebih pantas jadi istri saya daripada murid saya,” akhirnya seloroh itu terucap juga, meski sebelumnya kutahan di ujung lidah.

Malu menyelimuti hati ini. Aku tak percaya bisa mengatakan kata-kata itu di hadapannya. Sementara dia tertegun, bercampur rasa di hatinya. Tak ada yang bisa menyelamatkan rasa maluku selain segera beranjak dari hadapannya. Aku teruskan langkahku.

“Saya serius Pak,” sahutnya dari belakang.

“Saya juga serius dengan ungkapan tadi,” balasku sambil terus berjalan. “Tenang Cristhy. Kita pasti akan sering bertemu. Sampai jumpa di kelas nanti.”

Aku yakin, koridor ini telah berubah jadi taman berbunga-bunga, sama seperti hatiku.

Mulai sejak itu, aku terus merajut keanggunan cinta dengannya. Segala rindu, cemburu, birahi, keluar masuk di sela-sela detik yang berjalan.

Selain cemburu, kurasa diri inilah yang menjadi aral melintang dalam proses merenggut Cristhy menjadi milikku. Aku akan mencoba mengkisahkan satu per satu masalah ini. Aku awali dengan rasa cemburu. Hanya satu senjataku untuk menuntaskan ini, yaitu menebar pesona dengan kematanganku berpuisi. Senjata yang selama ini tabu untuk kugunakan. Aku sangat yakin, Cristhy akan kembali terpesona denganku meskipun aku telah berkata kurang pantas untuknya di kantin.

Waktu itu kami berada di taman waruga. Waruga adalah makam para manusia purba yang berada di daerah Minahasa. Berbentuk kotak bertutup seperti atap rumah di atasnya. Terbuat dari batu utuh yang dipahat dan dilubangi tengahnya untuk tempat mayat. Ada sekitar 40 waruga berlumut, memenuhi taman yang berlumpur dan ditumbuhi sedikit rumput liar ini. Dari ukuran kecil sampai ukuran besar. Ada yang masih sempurna bentuknya dan ada juga yang telah rusak. Semua waruga itu bertebaran di taman yang dipagari dengan pagar sederhana. Melihat pagar yang terbuat dari besi setinggi lutut kaki orang dewasa itu, mengesankan waruga-waruga tidak terlalu dilindungi atau dengan istilah kasar, dibiarkan pun tak ada yang mencurinya.

Mungkin berbeda dengan masa sebelum waruga-waruga dipindahkan ke taman ini untuk dijadikan aset wisata. Orang Minahasa pada jaman dahulu memasukkan barang-barang berharga di dalam waruga bersama mayat. Dipercaya barang-barang itu untuk perbekalan mayat di kehidupan lain. Otomatis tangan-tangan jahil tak mau ketinggalan dengan barang-barang yang bernilai itu. Tetapi kalau dibandingkan dengan hari ini, nilai batu tetap batu, pikir si tangan-tangan jahil. Tak ada lagi yang berharga di waruga selain batu purba. Karena itu orang-orang lebih memilih batu bata untuk membangun rumah daripada batu seperti waruga.

Udara sore begitu hangat. Pemandu wisata yang bertugas di taman waruga ini telah selesai menjelaskan semua perihal tentang waruga. Meski informasi dari pemandu wisata hanya sekilas, para anggota komunitas pekerja sastra mengangguk-angguk sambil memproses semua informasi dalam imajinasi mereka. Serasa waruga kembali baru terbangun dengan daya khayal mereka.

Sementara kulihat Cristhy tengah memperhatikan waruga dengan mendekatkan matanya pada detail batu purba itu. Aku dan Cristhy sempat lirik-lirikan sewaktu aku menjelaskan sesuatu kepada anggota komunitas sastra. Setelah itu kulihat Hadi mendekatinya. Mereka sangat akrab. Bercanda diselingi tawa mereka, membuat hatiku terbesit cemburu yang mendalam. Rasa tak mau kalah dari dalam diriku, membuat aku berniat mengalahkan keakraban itu dengan pesona.

“Kalian tidak mencium estetika puisi di tempat ini?” teriakku

Tampak Hadi dan Cristhy terdiam. Perlahan aku mendekati mereka. Bersama bunyi retakan rumput kering yang terinjak kaki, kulanjutkan berkata-kata;

Waruga, makam purba yang belum tepat teridentifikasi tahun bermulanya, yang ada hanya perkiraan-perkiraan semata”

Aku berhenti di salah satu waruga yang dekat dengan mereka. Kemudian memperhatikan waruga itu dengan detail, sebelum aku menjelaskan kembali.

“Zaman yang mungkin belum tersentuh teknologi modern ini, sudah bisa berpikir puitik. Lihat arsitektur dari waruga. Berbentuk seperti rumah dan mayat yang ada di dalamnya berposisi seperti janin di dalam kandungan.”

Kembali aku melangkah, membuat tubuh ini semakin mendekati mereka.

“Filosofis kehidupan mereka sangat berkesan. Mereka melihat manusia dalam kandungan posisinya bertekuk lutut. Maka ketika manusia dimakamkan, harus dengan posisi seperti itu juga. Karena perut Ibu ibarat rumah, pelindung janin, dan waruga dibuat seperti rumah yang kokoh untuk melindungi mayat.”

Aku berhenti lagi di depan waruga yang terdekat dengan mereka. Lalu aku mendekatkan wajahku ke waruga itu dan memperhatikan pahatan-pahatan yang ada di atap waruga.

“Bahkan di zaman itu mereka punya gengsi. Atau lebih tepat disebut naluri kehormatan. Sebuah harga diri. Itu bisa terlihat dari berlakunya penyimbolan status sosial yang terpahat di makam. Kalau tinggi derajat kemanusiaannya, bersimbol tiga garis pendek yang bersusun, bahkan lebih. Dan begitu juga sebaliknya.”

Mataku seakan mengajak mereka untuk melihat pahatan itu.

”Mereka juga mengenal profesi. Lihat! Ini makam seorang hakim. Mereka memahat orang-orang sedang berkumpul dan ada seseorang yang memimpin.”

Hadi dan Cristhy berebutan melihat waruga yang kutunjuk. Kemudian aku mengetuk-ngetuk atap waruga itu.

“Batu adalah benda terkokoh saat itu. Mereka menyamakan dengan kekokohan kandungan seorang Ibu. Ternyata di zaman mereka telah ada penghormatan simbolik seperti itu terhadap manusia. Apakah dengan gambaran budaya tadi pantas mereka disebut primitif?”

“Yang jadi pertanyaan, bagaimana mereka tahu posisi janin dalam kandungan perempuan tanpa teknologi seperti saat ini? Kecuali mereka membelah perut perempuan hamil itu. Kalau itu benar, mungkin itu yang menyebabkan mereka disebut primitif,” sergah Cristhy dan membuat aku membenarkan dalam hati.

“Apa bedanya dengan zaman sekarang? Membelah perut adalah hal yang biasa. Ini yang saya maksudkan dengan estetika puisi,” balas aku tenang.

Tampaknya Cristhy terpukau denganku. Setelah kata-kata terakhirku, dengan berbinar-binar ia menatapku. Lama kami mengadu pandang. Senyum kecil seolah siap-sap memekar di antara kami. Tiba-tiba Hadi bergumam;

“Begitu kokohnya kandungan Ibu sampai disimbolkan dengan rumah batu,” Ia merapatkan bibir dengan alisnya yang bertemu. Disusul angukan-anggukan, “Indah. Sangat indah penghargaan mereka terhadap perempuan khususnya Ibu. Berbeda dengan para anak masa kini. Mereka lebih mengokohkan keras kepalanya di depan Ibunya.”

Gumam inilah yang terngiang-ngiang di telinga hingga membuatku buru-buru pulang menemui Ibu

“Inilah yang puitik,” sambung Hadi.

Sebelumnya telah aku ceritakan tentang Ibu yang menunggu tawa di rumah sepi kami. Karena keras kepalaku, rumah itu terus dirudung sepi. Namun setelah pesonaku menancap di hati Cristhy, tak satu manuver yang kugunakan untuk merekatkan Cristhy ke dekapanku. Sampai akhirnya Cristhy menjadi sosok harapan bagi Ibu. Aku ingat bagaimana waktu itu, di sofa ruang tamu, Ibu duduk sendirian tengah membuka-buka album foto kenangan. Dari depan pintu aku muncul dengan senyum. Ibu dengan mata yang sayu membalas senyum. Aku duduk di sebelah Ibu. Perlahan kujelaskan sesuatu. Dan Ibu menjadi serius mendengarku. Sampai aku menunjuk ke pintu, di situ Cristhy telah berdiri malu-malu. Senyum Ibu melebar, tak ayal lagi Ibu langsung menarik Cristhy untuk duduk di sampingnya. Masih teringat jelas di benakku, senyum Ibu yang paling manis pada Cristhy dan matanya yang berkaca-kaca.

Cristhy mengisi rumah kami dengan rencana pernikahan. Hari-hari yang menyertai kami, menjadi begitu indah. Ibu akan bersiap memulihkan kesedihan yang selama ini ia idap.

Namun semua berubah saat ini. Saat aku berada di tengah laut Sunda ini dan menikmati matahari tenggelam. Sebelumnya foto digital yang menyimpan potret Cristhy di bandara Sam Ratulangi terjatuh ditelan laut. Tiba-tiba ponselku berdering. Nama Cristhy terpampang di LCD ponsel. Langsung kuangkat, mengingat beberapa hari ini, Cristhy tak pernah mengaktifkan ponselnya. Tapi suara di balik ponsel bukan dari Cristhy, melainkan dari Ibuku.

“Halo.”

“Tole, ini Ibu.”

“Ibu?”

Suara kabar Ibu bagai petir terselimut mega-mega. Dalam dan menggelegar. Yang bisa kulakukan adalah meronta-ronta. Menangis sejadi-jadinya. Berselang waktu aku menerima kenyataan dengan sesal.

“Kamu harus cepat pulang, sebelum dia dikubur,” pinta Ibu

“Ya. Aku akan pulang. Menemui Cristhy.”

Mataku menerawang pada matahari jingga itu. Pikiranku hanya laut. Seutuhnya laut.

SEPERTI yang sudah-sudah, kisahnya terputus. Kau pikir gampang mencari kisah lewat tengkorak itu? Aku harus berkeringat dingin mengarangnya. Retakan di tengkorak itu masih tersisa, bahkan masih banyak, tetapi tetap terputus-putus. Aku rasa kelezatan menghirup sumsum otak terletak pada rasa penasaran kita. Bagaimana kita dengan sebisanya, mencari sari rasa yang tersembunyi dalam tulang-tulang itu. Menghirup panjang-panjang. Hingga lidah tertuang gurihnya sumsum. Bukankah itu kenikmatan?

Otak sudah habis kulahap. Sebagian retakan telah kusambungkan untuk sebuah kisah. Masih ada retakan lainnya. Dan mungkin lewat retakan yang ini, kisah, meskipun tumpang tindih akan menjadi erat. Dan kau akan mengerti maksudku.

-()-

EMPAT

“AKHIRNYA dari kisah ini, kau siratkan juga tentang jenis naskah yang kau bawa,” kataku lega. “Dan itu masuk dalam kategori pembelianku. Tampaknya aku semakin tertarik untuk mendengar kisahmu.”

“Oh, ya? Dari bagian mana kusebutkan yang ingin kujual?”

“Kepurbaan waruga. Saat Fredi menjelaskan tentang filsafat kepurbaan Minahasa. Bukankah itu menyirat yang akan kau jual?”

Dahinya berkerut. Lalu ia bertanya;

“Kalau dengan kerinduan seorang Ibu, apa yang kau tangkap?”

“Ah, itu hanya bumbu saja. Kau ingin membuatku tertarik dengan kisahmu.”

“Justru di situ letak esensi kisahku tadi,” potongnya. “Harusnya kau menangkap kerinduanku untuk bertemu kembali dengan kejayaan negeri itu. Negeri yang hilang dalam peta budaya. Berapa banyak naskah yang bicara tentang Manado? Tentang sejarah kepurbaan Minahasa? Sehingga untuk dielu-elukan sangat mungkin terjadi. Coba kau bandingkan dengan buku tentang Majapahit, Sriwijaya, Mataram, Singosari, Samudera Pasai, dan masih banyak lagi. Kau tahu betapa aku malu ketika orang menganggap manusia Manado ‘menang nampang doang’, karena budayanya menjilat yang namanya Barat itu? Hura-hura. Gaya selangit. Mencitrakan orang Manado lepas dari aktifitas logika, etika, dan estetika. Kau tahu betapa kurindukan labirin kreatifitas orang-orang Manado?”

Sejenak hening. Urat-urat lehernya membesar, serupa belatung-belatung yang panjang. Tapi aku bingung, buat apa Dia di sini dengan alasan se-idealis itu? Bukankah Dia datang ke sini untuk menjual sesuatu yang memang menjadikan negerinya seperti apa yang Dia katakan itu?

“Aku memang merindukan itu,” sambungnya. “Dan rinduku itu adalah ego yang menuntut untuk berkompetisi. Bukan untuk berbagi dan saling menghargai. Tapi aku menepisnya untuk menghindari saling menyatakan kepemilikan. Itulah kenapa aku di sini dan membuang segala sekat rindu itu. Aku manusia global.”

“Oke, oke! Aku paham,” sergahku. “Bagaimana kalau kau biarkan saja aku menyiratkan semuanya lewat kisah dari tulang-tulang itu?”

Ia diam. Hela-hembusnya nafasnya teratur daripada sebelumnya. Sementara sebundel naskah yang belum aku tahu isinya terus berdiam diri. Tadinya aku tak sabar dengan ulur waktu yang ia lakukan lewat kisah. Namun kini aku menikmati.

“Aku siap mendengar kembali,” kataku tiba-tiba.

Tak berapa lama, ia mulai berucap meskipun serak.

RIWAYAT TENGKORAK III

KINI mataku tepat memandang belakang tengkorak itu. Retakan yang tersisa cukup rumit untuk kutelusuri. Karena ia begitu hancur. Seolah pernah terhantam sesuatu. Namun aku tak menyerah begitu saja. Rasa penasaran terus menghasutku. Inilah dugaanku untuk kisah tersisa. Tongkorak ini, sebelum meretak seperti ini, pasti terbentur dengan benda keras. Dan pada masa lampaunya terhias rambut perempuan yang cantik lengkap dengan segala pikirannya. Perempuan itu bernama...

TEDUH. Itulah pikiranku sekarang. Serasa baru kemarin aku mengenal semua ini, lantas aku terbawa ke sini. Di atas gedung kampus. Semuanya tentang kampus ini meninggalkan kenangan.

Aku ingat waktu itu, nafasku tersengal-sengal. Setelah kususuri koridor kampus, aku akan memasuki gairahku. Di mata orang-orang dalam ruangan itu, aku adalah asing. Seasing hidup. Seorang wanita muda dengan seribu pertanyaan tentang apa itu puisi. Namun, tujuku adalah inginku. Persetan dengan mata-mata asing itu. Aku harus menjawab semua cita ini. Dan langkah-langkah yang menggema dalam sepanjang koridor, semacam roda yang menggilirku pada putaran hidup dan takdir yang membuat pesonaku berbeda dengan yang lain. Memang dentuman sepatu ini sudah menjadi jodohku sedetik lalu. Entah apa jodohku selangkah, dan selangkah lagi ke depan. Semua rahasia yang akan terjawab secepat nyata. Bahkan lebih cepat dari kedipan mata. Bahkan, lebih cepat dari sadarku.

Apa yang akan mereka katakan dengan dandanan terlalu feminim ini. Di antara kepulan asap dan rambut serba urakan, begitu juga acara yang tak pernah formil, aku memakai gaun seukuran pesta pernikahan. Mereka pun akan mecibir dalam hati dengan lenggokan pinggulku bak tarian asap yang mengepul dari rokok. Hanya buku tebal di tentenganku yang menjadi simbol dunia yang kutuju adalah kancah intelektual. Pikiran di balik rambut urakan mereka bagai lembaran-lembaran yang menggagas ekstrem. Kupikir ketebalan buku ini bisa jadi penyaing untuk mereka. Aku pun melangkah dengan percaya diri. Kutemui pintu terakhir setelah sebelumnya beberapa pintu mengundang longokanku.

Aku duduk diam dan menikmati pembacaan puisi oleh seseorang yang nantinya kuanggap pangeran. Setelah itu, tak ada salahnya kumulai perkenalanku dengan aplaus panjang untuk pangeran itu. Mataku sudah cukup meyakinkan ia tentang ketertarikanku. Kutahu ia memilih untuk senyum pada semua hadirin, karena mungkin hanya kewanitaanku yang bisa kuandalkan. Jadi para hadirin yang penuh dengan ekstremnya pemikiran mengalahkan perhatiannya untukku. Tak berapa lama ia takluk juga dengan penasaran. Entah kenapa mataku pun tak mengelak pesonanya. Ia lebih dari orang asing yang baru kukenal. Namanya Fredi, kini aku mengenalnya berkat spanduk yang bertengger di belakangnya. Nama Fredi cukup familiar di koran-koran lokal untuk rubrik Budaya. Ia adalah sebuah gerak intens dari dunia perpuisian Manado. Sedikit tahu tentang dia dari segelintir berita lokal. Sejenak pikirku tentang buku yang kutenteng tak menjadi jaminan untuk membuatku berkesan intelek di antara orang-orang ini. Semua telah berganti pandanganku. Hanya dengan itu, ia bisa memperhatikanku. Bahkan menganggapku seorang penyair. Atau mungkin seorang perempuan dengan pesona yang berbeda.

Aku pun berhamburan. Semua berdialog. Semua berjabat tangan. Sedang aku tak ada yang mengenal. Hanya mata itu yang kukenal. Fredi. Lebih kukenal dari banyaknya detik yang mempertemukan kami. Basa-basi pemikiran membahana layak pasar malam. Ketawa-ketiwi membuatku serasa asing. Aku mencoba sibuk dengan makanan ringan yang disuguhkan. Lalu senyum-senyum simpul menyelamatkanku dari laku kebingungan. Kutatap ia lagi, sesekali pandangannya mencuri. Tapi kerumunan orang selalu memagari tatapku. Belum lagi mondar-mandir orang. Setiap kali tatap-tatap kita terputus, ia kudapat telah berbincang dengan orang. Ah, aku belum menjadi satu-satunya perhatian dia.

Aku yakin telah menancapkan pesona di hatinya, seyakin pesonanya yang telah tertancap di hatiku. Minuman yang kuserumput dari cangkir adalah sela dalam kesendirian. Tampaknya aku harus menunggu ia keluar dan kejaranku menjadi tindak laku nyata untuk terus berkenalan. Aku pun teringat tujuan awal aku ke ruang ini. Seribu pertanyaan telah bergemuruh di dadaku. Dan siap membuncah di wajahnya. Kenapa harus wajahnya? Bukan jawabnya? Apakah aku terpesona?...Ah, begitu cepat berubah. Seandainya sebelum ini tak pernah kumaki yang namanya cinta.

Beberapa bulan kemudian dari perkenalanku dengannya, aku menemui masalah yang bukan berasal dari Fredi. Tapi terlebih berasal dariku dan masa lampauku. Lewat perdebatan dalam kantin, aku merubah semua tentang diriku, tanpa merubah rasa hatiku. Satu kenanganku di taman kampus—belakangan aku mengetahui, kisah ini menjadi sumber merenggangnya persahabatan antara Fredi dan Hadi—, yang kurasa adalah titik mula perjalananku menuju pemikiran seperti saat ini. Aku ceritakan ;

Aku duduk di bangku taman yang berada di bawah pohon beringin. Dengan membaca buku kumpulan puisi-puisi Fredi, bayangan tentang perseteruan dalam kantin terus mengganggu konsentrasiku. Sebelum Hadi membuyarkan semuanya dengan maksud berkenalan. Hadi menghampiriku dengan dalih bicara sastra. Sesuatu yang sangat aku suka. Ia memuji gaya percakapanku dengannya. Katanya aku mempunyai unsur dasar dalam puisi, yaitu retorika. Aku anggap ia salah. Kutentang argumennya itu. Bukankah retorika hanya sebatas keindahan kata-kata? Apakah itu pantas disebut puisi? Namun satu ungkapan yang membuatku membenarkan argumennya, sekaligus tersipu malu; “Tanpa keindahan sesuatu tidak berarti apa-apa, dan saya yakin apa yang ada di dunia ini tercipta indah. Termasuk diri Anda.” Jujur, aku tersipu malu. Mungkin wajahku waktu itu memerah. Ia sebisanya merayu, dan aku pikir ini bukan yang pertama kali baginya, bahkan kurasa lidahnya terlatih untuk rayuan. Berselang kemudian ia memperkenalkan diri. Rahadi Bempa nama lengkapnya. Seorang Koordinator Komunitas Pekerja Sastra Manado, komunitas yang menerbitkan puisi-puisi Fredi. Sewaktu kami mengeratkan jabat tangan, waktu seakan tidur di antara jabat tangan itu. Sehingga untuk melepas pun kami lupa.

Kami terlibat percakapan seputar peluncuran antologi puisi Fredi. Semuanya aku yang memulai. Entah kenapa diriku, meski secara tidak langsung, selalu ingin bertanya tentang Fredi.

“Mengapa komunitas Anda memilih puisi-puisi dari Fredi Wowor? Anda sebagai koordinator pasti punya campur tangan yang besar dalam menentukan,” tanyaku waktu itu.

Alasannya adalah karena Fredi adalah salah satu pendiri Komunitas Pekerja Sastra. Mengingat Dia yang paling tua di antara teman-temannya, maka Dialah yang mendapat penghormatan untuk menerbitkan buku terlebih dulu. Namun, ketika aku bertanya tentang kualitas, begitu percaya dirinya Hadi menjawab mereka sangat yakin dengan kualitas karya sastra mereka. Buat apa menerbitkan karya di luar komunitas mereka, kalau kualitasnya sama saja? Itu jawab Hadi. Namun aku belum puas. Aku terus menyerang Hadi dengan pertanyaan kualitas tadi. Alih-alih aku mendapat jawaban tentang begaimana mereka bisa yakin dengan kualitas karya sastra mereka, aku malah berbalik ditanya.

“Menurut Anda, puisi yang berkualitas itu seperti apa?”

“Yang berguna bagi manusia banyak secara kontribusi budaya yang luhur.”

“Lalu apakah puisi itu sendiri?”

“Ketepatan kata pada sebuah makna yang berkesan, karena kata-kata yang mubazir diucap tidak melewati proses pikir dan rasa.”

Hadi tampak terkejut. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba, tak dinyana, Hadi memancing percakapan yang menurutku sangat sensitif dan menggugah. Meskipun ia menyelimuti ungkapan itu dengan penjelasan tentang puisi.

“Bagaimana bisa buku itu ada di tangan Anda, kalau Anda sendiri tidak tertarik dengan itu. Setidaknya ada yang berkesan. Mungkin itu hal-hal di luar dari puisi itu, yang memberikan kontribusi rasa hingga membangun perilaku yang luhur misalnya.”

“Saya belum paham.”

“Misalnya ketika kita mencintai seseorang.”

Bergetar hatiku. Aku semakin tertarik bicara dengannya.

“Dengan rasa itu kita bisa berbuat sesuatu yang menyenangkan bagi orang yang kita cintai,” sambungnya. “Contoh yang lain, ketika kita memutuskan menikah karena rasa libido sebagai manusia, seiring itu kita menata kemanusiaan yang lebih beradab, daripada hewan yang sembarang kawin. Atau juga saat seseorang hamil, dengan kerinduan dia menjaga janinnya selembut mungkin, walau dia tahu nantinya pasti ada rasa sakit saat melahirkan, dan bisa saja setelah anaknya dewasa tiba-tiba mendurhakai dia. Apakah itu bukan sesuatu yang luhur? Dan itu puitis bagi saya, karena selalu saja berkesan untuk diceritakan.”

Aku rasa inilah penjelasan paling indah yang pernah kudengar. Di samping aku senang rasa hatiku terhadap Fredi kepergok Hadi, aku juga baru menemukan sesuatu yang lembut dalam kehidupan ini. Yaitu makna puitis yang dipapar Hadi tadi.

Dari situlah aku diundang Hadi untuk menghadiri perjalanan budaya ke taman waruga minggu besok. Bersama komunitasnya, keyakinanku tentang kehadiran Fredi benar-benar tepat. Fredi datang meski awalnya acuh tak acuh terhadapku. Namun perlahan, Fredi pun seperti magnet yang menarikku untuk bersitatap dengannya di taman waruga itu. Aku memberikan argumen tentang waruga, begitu juga Hadi. Tapi yang paling aku suka adalah argumen Fredi.

Hilanglah semua kekakuan di antara aku dan Fredi yang timbul akibat perdebatan di kantin itu. Kami pun menjalin kisah-kisah asmara dan membara. Seolah waruga menjadi kegaiban yang menyelusup melunakkan hati aku dan Fredi. Selanjutnya, kami pun ke arah hubungan yang serius. Menikah jadi tujuannya. Dalam proses menuju pernikahan, tak sedikit ranjang berasin peluh dengan desahan kami dan adu kenikmatan itu.

Sampai suatu waktu, beberapa hari setelah Fredi bertandang ke Jakarta untuk mengikuti Festival Puisi Indonesia. Aku merasa ada yang tumbuh di tubuhku. Membuat aku menjadi mual setiap saat. Pikiranku kacau balau menduga sesuatu yang mungkin akan terjadi. Tidur jadi tak nyenyak. Bahkan ketika tertidur pun aku bermimpi. Dan dalam mimpi ingatanku entah kenapa terbawa kepada jejeran waruga yang kokoh. Di sana ada Fredi dengan senyumnya yang paling aneh. Tiba-tiba atap penutup waruga terbuka dengan sendirinya, lalu merangkak keluar bayi yang lucu dan melemparkan senyum pula kepadaku. Wajah bayi itu mirip dengan wajah Fredi. Aku mencoba menggapai bayi itu. Sebelum tanganku menggapai bayi itu, waruga-waruga di sekitarku seolah kembali hidup dari masa lampau. Aku mengurungkan niat untuk menimang bayi itu. Lama kelamaan waruga-waruga seakan membuka mata dari tidurnya yang panjang, dan menatapku hina. Sejurus itu terdengar makian-makian yang tertuju padaku. Telingaku dipenuhi sumpah serapah. Sangat berisik, mengalun bagai requim yang mengerikan. Aku tersiksa dengan suara-suara itu. Kusumbat telinga dengan kedua tangan. Aku berteriak-teriak, memohon untuk menghentikan suara-suara itu. Dan sekejap aku tersadar dari tidur.

Lepas dari itu, toilet menjadi tumpahan-tumpahan isi perutku. Aku makin tak bisa tidur. Cristhy yang dulu benar-benar tak berbekas. Aku bukan lagi wanita dengan segala trend setter. Aku perempuan yang suci. Haram untuk hamil. Betapa aku begitu takut, entah kepada siapa. Aku bisanya hanya menangis dan menahan isak. Kepada siapa aku berteduh dengan ketakutanku ini?

Biarkan aku merasa tenang dulu Tuhan! Baru saja aku merasa berdosa dengan semuanya. Aku malu terhadap diriku sendiri, terlebih pada semua yang akan merasa curiga terhadapku. Apa yang akan aku katakan pada dunia tentang ini? Cinta! Aku bukan orang yang pandai menjadikan pembenaran terhadap kesalahanku. Biarkan aku lepas dariMu dulu Tuhan. Aku tidak sanggup melihat diriku di wajahMu, selalu saja kutemukan diri ini berdosa. Lepaskan dulu aku dari sorotan mataMu, Tuhan.

Bahkan ketika aku mengunjungi rumah Fredi untuk mengais kesejukan hati dari Ibunya, rasa itu jutru mengental. Karena ketidakjujuranku.

“Ini Fredi waktu baru lahir. Sewaktu Ibu mengandung, Fredi terlalu berat dalam perut Ibu. Lahirnya pun harus di caesar,” jelas Ibu saat aku berada disampingnya. Setelah itu serentetan kata-kata Ibu seakan petir yang menusuk tepat di jantungku.

“Ibu menunggu saat kalian menikah dan saat kalian mendapat anak. Ibu sudah ingin sekali menimang cucu.”

“Ibu rasa kesepian rumah ini akan hilang dengan adanya cucu.”

Ibu, Ibu, dan Ibu lagi. Aku tak tahan lagi. Apa Ibu tahu aku tak menginginkan anak ini lahir? Sementara Ibu berharap anak ini lahir.

Oh Tuhan, mengapa Engkau biarkan aku terus mendapat penjelasan dariMu tentang dosaku ini? Sudah keluh lidahku bermohon untuk Engkau tinggalkan aku sejenak saja. Aku tahu aku berdosa. Janin dalam perutku pun aku terima sebagai manusia. Tapi apakah yang lain menerima aku sebagai manusia, jika dia hadir dan memanggilku, Mama! Apakah yang lain tidak akan menganggapku sebagai pelacur, seperti apa yang Engkau vonis terhadap setiap perempuan yang melakukannya? Saat anak ini lahir, tegakah dia membuat Ibunya sendiri menderita seperti itu? Kalau bisa bicara, dia akan mengatakan ‘Bunuh anakmu Ibu!’ Sebab Engkau pun Tuhan, enggan menerima dia hadir dan bermohon kepadaMU.

Apalagi Ayahku, seorang yang kuanggap akan menemani rasa takutku, dengan lembut membuat hatiku berkeras hati untuk membunuh anak ini.

Dari balik selimut ranjangku, Ayah bergumam untukku setelah kubertanya apakah ada kasih sayang setelah seorang anak bersalah?

“Ayah yakin, Cristhy itu anak baik. Dan kalau pun Cristhy bersalah, Ayah tak akan sampai membunuh Cristhy. Itu sangat tidak mungkin. Mana mungkin seorang Ayah tidak sayang sama anaknya sendiri. Jangan terlalu memikirkan yang macam-macam. Sejahat orang tua tidak akan membunuh anak kesayangannya.”

Apa yang harus aku lakukan? Bayi ini tidak berdosa. Bahkan anak yang bersalah pun tidak mungkin dibunuh orang tuanya sendiri. Tapi aku malu jadi orang tua dari bayi ini. Secantik apapun dia, atau segagah apa pun dia, aku malu pada Ayah yang menyayangiku walau aku berbuat salah. Sejahat-jahatnya aku, dia tidak akan membunuhku dengan semua ini. Tapi dalam inginku, bayi ini memaksaku untuk membunuhnya. Tidak. Sejahat-jahatnya orang tua, tidak akan membunuh anaknya sendiri. Tapi kenapa dalam kenyataan, aku ingin membunuh bayi ini? Anakku sendiri. Padahal bayi ini tidak bersalah. Bagaimana dengan aku yang bersalah? Apakah dalam kenyataannya aku akan dibunuh?

Aku takut Tuhan. Jangan tinggalkan aku, Tuhan!

Dan kini, Aku dan seseorang yang bermukim di rahimku, telah sampai di luar gedung kampus, tepatnya tingkat paling atas gedung ini. Kota Manado dari sini seperti menyimpan kesahajaan. Laut yang meluas dari pantai adalah pemandangan paling eksotik yang kudapat dari sini. Namun, aku lebih tertarik pinggiran gedung ini. Karena itu, langkah ini terus membawaku menghampiri sisi gedung yang paling pinggir itu. Oh, betapa tingginya gedung ini. Pemandangan jauh di bawah terasa mengayun-ayun. Terlebih saat angin yang cukup keras menyibak rambut dan bajuku. Serasa seperti terbang dan bebas. Aku yakin, apa yang berada dalam keinginanku sudah sangat pasti. Itu kutandai dengan menatap ke bawah tanpa ada rasa takut, atau pun sesal. Tapi kenapa hatiku tergetar oleh sedih yang menguras pedih air mata ini. Kupejamkan mata untuk menyusup masuk ke dalam hati ini, dan mencoba menenangkan hati yang sangat mengguncang tubuh. Kemudian kubuka mata, ketinggianlah yang jadi awal penglihatanku.

Hanya setinggi inilah dunia. Dan itu termasuk harga diri manusia yang dijunjung tinggi. Untuk menakuti aku pun ketinggian ini tidak sanggup. Aku meludah ke bawah gedung seperti menghina seseorang. Ludahku pecah di lantai yang paling bawah, hingga menimbulkan suara cipratan. Bagaimana bisa aku takut dengan ini? Masih terlalu rendah.

Aku menengadah. Melihat kitaran langit yang luas mencari sesuatu. Sampai aku berputar ke arah belakang kepalaku. Matahari sorelah yang aku cari. Setelah berhadapan dengan matahari sore, aku menuju arah matahari sore itu. Dan kini aku berada di pinggiran gedung sisi yang lain.

“Kamu lihat itu anakku,” tanyaku pada janin ini. “Keindahan sore, ketenangan kuning menjelang istirahat.”

“Kamu harus mengenal itu dulu sebelum hadir dan menjalani siang hari, karena dia pasti menjemputmu. Setelah kamu benar-benar mengenalnya, Ibu yakin kamu pasti tak ingin mengecup siang yang penuh peluh dan air mata.”

Kudengar janinku bicara.

“Kenapa? Kamu ingin hidup? Kamu ingin memalukan Ibumu?” kubentak segumpal darah di rahimku.

Janinku menangis.

“Tenang anakku, kamu tak akan Ibu bunuh. Aku bukan orang tua yang jahat. Tapi kalau kamu hadir di dunia ini, kamu akan memalukan Ibumu, dan membiarkan Ibumu terbunuh oleh harga diri yang manusia junjung.”

Masih menangis.

“Bahkan Tuhan pun tidak menginginkanmu, kenapa kamu masih saja menginginkan hidup? Itu sama saja menjauhi kediaman yang tenang. Tidakkah kamu menginginkan ketenangan anakku, seperti manusia dalam waruga itu? Dia terlindung oleh kekokohan dalam kediamannya.”

Janinku kembali berkata-kata.

“Kamu jangan membantah Ibumu sendiri,” kumarahi Ia. “Kamu jangan jadi pembangkang. Dengan sikapmu itu, kamu pantas Ibu bunuh!”

Janinku terus berkata-kata. Tapi kali ini Ia seperti bermohon kepadaku. Ia takut mati.

“Jangan mengubah keputusan Ibu. Ibu melakukan ini karena Ibu menyayangi kamu, dan untuk semua orang yang menyayangi Ibu. Dan Ibu tidak akan mengucapkan selamat jalan bagi siapa pun, biar mereka tidak pernah kesepian.”

Janinku sangat bermohon dengan ketakutannya.

“Kamu jangan pernah takut dengan kematian. Dia hanya menakutimu untuk meninggalkan keindahan dunia ini yang sama sekali tidak seindah dengan apa yang kamu inginkan.”

Tiba-tiba janinku diam. Tampaknya ia menahan isaknya. Mungkin karena takut.

“Kamu tahu apa itu keindahan? Diizinkan melakukan apa yang kamu mau, itulah keindahan. Itulah ketenangan. Itulah kediaman yang paling nyaman. Itulah kebebasan.”

Serasa janinku memeluk erat rahimku. Ia bersiap-siap dengan sesuatu yang akan terjadi.

“Inilah saat yang puitik kukira. Kita berdua menuju Wale Roga di saat penghabisan hari menuju kesunyian malam. Oh, indah...Tenang anakku, hanya satu nafas ini yang menjembatani kita. Ketenangan sungguh sangat dekat.”

Aku dan janinku melayang menuju ketenangan.

RAMPUNG sudah kisah dari retakan tengkorak itu. Aku langsung meletakkan tulang itu di samping tulang pinggul tadi. kembali aku merogoh kedalaman waruga. Kemudian tanganku tergenggam sesuatu, yang pasti tulang. Tulang ini berbeda dengan tulang yang lain. Tulang ini tak terasa utuh. Bahkan boleh dibilang seperti pecahan-pecahan tulang. Setelah kuangkat tubuhku keluar dari waruga, dan melihat butir-butir dalam genggamanku, baru aku tahu. Ini seutuhnya tulang, meski hanya berbutir-butir.

-()-

LIMA

“TUNGGU dulu,” tahanku. “Ke mana arah kisahmu kini? Aku bingung.”

“Kau harus menjadi seorang yang kritis sebelum membeli naskahku itu,” jawabnya.

Aku meluangkan waktu untuk kembali menganalisa. Tapi aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala. Aku tak sanggup menyiratkan sesuatu dari kisah barusan. Dia yang melihat itu membalas geleng-geleng kepala, seolah mencibir kemampuan analisaku.

“Aku hanya mau mengatakan semua ini tak ada gunanya,” jelasnya dengan kembali menunjuk tegas naskah itu. “Apa yang tersirat dari kebudayaan? Kebanggaan? Identitas? Dengan alasan kita mampu bersejajar dengan manusia di belahan dunia lainnya?”

Matanya melotot dengan leher mengeras. Kali ini dia tampak menakutkan.

“Semua inginkan harga diri dengan membanggakan kebudayaan,” tukasnya. “Kau pernah dengar harkat martabat? Kenapa tak bunuh diri saja, hingga manusia kembali ke titik di mana budaya pun belum lahir. Di saat itu kau tak akan saling menuding, mencaci, dan meludah satu sama lain.”

“Jadi, kau sendiri tak ingin menghargai kebudayaanmu? Sehingga kau ingin menjual data dan aset itu?”

“Justru inilah, tindakan bunuh diri itu. Di mana manusia rabun dengan budayanya sendiri. Yang akan tersisa hanyalah budaya global yang dimulai dari titik nol setelah kehancuran.”

Dengan paparan terakhirnya ini, tanpa aku harus membuka setiap halaman naskah itu, yakinlah aku dengan apa yang akan dijualnya. Tak ayal lagi, dari laci mejaku, sebuah pistol yang memang kusiapkan untuk orang sepertinya, akhirnya kutodongkan tepat di jidatnya. Dia terkejut. Matanya membelalak takut, kedua lengannya otomatis terangkat.

“Ada apa ini?” Dia bertanya gugup.

“Kau harus siap mati pengkhianat,” bentakku. “Mungkin kau bisa beralasan seidealis itu. Tapi apa kau tahu perbuatan para oreintalis Belanda saat meriset sepertimu?”

Seketika aku menghantam wajahnya dengan gagang pistol. Ia tersuruk ke sudut ruang. Bunyi kursi bergeser memekak. Hidungnya berdarah. Aku langsung menandaskan laras pistol di jidatnya sambil merenggut kerah bajunya. Terdengar sedikit ringisan darinya.

“Belanda sebelum menjajah negeri ini,” kataku, “mendatangkan para periset terbaik mereka untuk mengenal negeri ini. Sampai kelemahan pun mereka tahu. Sehingga untuk menginjak-nginjak negeri ini terasa mudah bagi mereka. Setelah merdeka pun, orang-orang negeri ini harus belajar tentang budaya sendiri ke negeri penjajah itu. Dan sekarang, kau datang seperti orang-orang Belanda itu. Menjual risetmu kepada bangsa asing. Kau tahu siapa aku? Aku adalah fundamentalis budaya yang berkedok agen bangsa asing untuk meringkus orang sepertimu”

“Bodohnya orang-orang kita, ingin meraih kemapanan ilmu dengan belajar di luar negeri tentang budaya sendiri,” celotehnya.

“Itu sejarah, kawan!” sergahku. “Itu yang membuatmu mengenal dirimu.”

“Kenapa kau tak bunuh diri saja. Biar kau tak perlu mengenal dirimu. Toh, itu pun tak ada artinya buatmu.”

Ungkapannya yang terakhir ini membuatku kembali menghantam wajahnya dengan gagang pistol. Bertambahlah luka di wajahnya.

“Kau belum mendengar terusan kisahku,” katanya sambil meludah darah yang serasa penuh di mulutnya.

“Tak perlu lagi.”

“Dengarlah untuk sebuah kisah, agar untuk mebunuhku kau tak menyesal. Aku belum juga menuntaskan kisah ini.”

Tanpa kuminta, dia memulai kembali kisahnya.

RIWAYAT JEMARI

TIDAK besar kutemukan dibanding dengan tulang-tulang sebelumnya. Hanya beberapa ruas jemari. Sebenarnya apa yang kutemukan ini, membuatku penasaran untuk mengindahkannya, dan buru-buru kembali merogoh sesuatu dari waruga itu. Namun, dengan segera pula, jemari itu seakan berkisah. Masuk ke dugaanku sembari melengkapi fragmen tadi. Aku yakin, sekecil apapun kutemukan, tetap menjadi salah satu pendukung kesempurnaan. Tak ada yang sia-sia. Kemudian aku pun mulai menduga kembali. Pemilik ruas jemari ini mungkin kepunyaan Fredi.

SEBELUM tulisanku ini menjadi perdebatan dengan Hadi dan kutitipkan kepada seseorang di Jakarta, aku telah menyusunnya semenjak di laut Bunaken. Aku ceritakan sedikit perasaanku waktu itu;

Diam-diam aku menulis dalam kesunyian alam ini. Ini hanya sebuah rencana yang berawal dari kenyataan. Gelombang, riak biru, gairah yang bersarang di jiwa Hadi, dan renung yang bersila di hatiku, seakan menjadi kediaman yang paling senyap. Segala rautan kata, bisu di atas kertas, selayak rahasia. Sebuah ruang yang belum siap untuk berkata-kata di atas mimbar. Bahkan puisi pun belum terang menggamblang makna. Namun, semua nyata dalam mata. Hamparan biru laut bagai tertabur ribuan kerlip bintang. Dan haluan perahu tradisional membelah laut dari buhul-buhulnya, lalu menyatukan lagi di sauh runcing perahu. Tak berbekas perpisahan air laut itu. Seakan tak pernah terbelah. Tak mau kalah, dayung pun mengepak-ngepak, memisahkan air dari pelukan laut. Namun akhirnya erat juga. Air dan laut kian menyatu. Begitu sederhana dan tak pelik untuk bisa menyatu. Berbeda dengan alur pikiranku dan alur pikiran Hadi.

Kami kini adalah dua pemuda bertelanjang dada. Hadi, genggamannya di ujung dayung, sedang aku di ujung pena. Bak dua ksatria dalam kerajaan makna-makna. Dan Hadi, seperti macan tak bersangkar. Gerai rambut sebahunya, selama dua puluh enam tahun membuat cemburu awan sirus. Peluh terpeleset di minyak kulitnya. Hitam kulitnya berpantul cahaya. Mengkilap selayak zamrud. Kuteringat Bilal -budak arab di masa Nabi Muhammad- dalam sejarah Islam. Tapi memang, Gorontalo, daerah asal Hadi dominan berdarah Arab yang datang dari Tidore. Meskipun ada beberapa daerah berasal dari Minahasa. Seperti Suawa, kemiripan nama daerah itu dengan nama salah satu Makatelu Pitu, yaitu anak dari Toar-Limimuut[6], membuat dugaan menjadi begitu dekat. Mungkin Hadi memangku keteguhan Bilal dalam berprinsip, yang tak mau mengakui Tuhan lain, walau sebongkah batu panas menindihnya. Teguh, itulah wajah lain dari Hadi. Semangatnya dalam kelembutan menjadikan pendar auranya memercik. Dan percikan-percikan itu seakan merintihkan semangatnya di atas laut.

Nanar singgah di matanya. Tampaknya layar angan membuka dan menghantarkan benaknya pada makna-makna. Aku yakin hatinya terus berucap. Sejurus kemudian, perahu kami bersanding kapal bermotor. Para rambut kuning dengan hanya baju dalam, membuang jangkar. Aku dan Hadi melambai-lambai. Tanda ramah menjamu tamu. Sahut-menyahut membahana. Mungkin tampak dari jauh lambai serupa nyiur dihembus angin. Harmonis. Ibarat mendengar alunan lagu pantai. Sejurus kemudian, perahu bercerai dengan kapal bermotor. Kami pun melanjutkan kegairahan.

“Ini Bunaken, milik semua orang yang pernah hidup,” aku membatin.

Hadi menyebur diri ke laut, tersisa aku ditemani buku kecil yang tengah kumuntahkan tinta. Menarikan pena untuk kata-kata yang teruntai. Sejenak aku dan Hadi terpisah alam. Pena tersendat pada kata terakhir yang semestinya belum berakhir. Apakah inilah saatnya harus kutulis namaku lengkap dengan tempatnya di bawah karya;

Tole, laut Bunaken

Aku rasa belum saatnya.

Semua berlanjut. Perkenalan di koridor, persinggunganku di kantin, kerinduan Ibuku, kecemburuanku melihat keakraban Hadi dan Cristhy di bawah pohon beringin, perdebatanku dengan Hadi, rencana pernikahanku, juga senggama yang fantastis. Dan semua itu membuat jemariku tak berhenti menulis di buku biru.

Satu hal yang makin merenggangkan persahabatanku dengan Hadi mengenai tulisan ini, adalah perdebatan dalam rapat Komunitas Pekerja Sastra Manado. Aku ceritakan sedikit;

Setelah aku berdebat dengannya di koridor, kami bertemu lagi dalam rapat. Saat itu Komunitas Pekerja Sastra Manado tengah merapatkan sesuatu. Orang-orang mengelilingi meja besar yang berbentuk lonjong. Termasuk Aku dan Hadi. Semua orang dalam ruangan tersentak dengan tamparan Hadi di meja. Ia memprotes sesuatu keputusan. Wajahnya yang memerah tampak begitu marah.

“Aku di sini sebagai koordinator yang dipilih anggota. Jadi setidaknya aku yang memberikan keputusan untuk program selanjutnya,” jelas Hadi dengan lantang.

“Kalian jangan mengangguk-ngangguk saja dengan orang yang kalian anggap tua di komunitas ini. Kita jangan lagi mengikuti sesuatu karena rasa segan pada orang tua. Orang tua hanya ingin selalu benar dan dianggap benar. Padahal dia hanya menginginkan kita untuk tidak mengambil apa yang dia cita-citakan. Egois! Munafik! Kenapa program selanjutnya novel dia lagi yang diterbitkan. Padahal baru kemarin Antologi puisinya diterbitkan.”

Orang-orang yang mengikuti rapat diam. Suasana menegang. Sementara hatiku panas dengan ungkapan-ungkapan Hadi. Aku pun akhirnya berani bersuara kepada semua orang.

“Ingat, kita orang Manado. Tidak ada sejarahnya kita punya seorang Raja. Raja adalah keputusan bersama dari kita.”

“Lalu apa fungsi saya sebagai koordinator komunitas ini?” potong Hadi. “Kalian harus bertanggung jawab dengan apa yang telah kalian putuskan bersama. Kita harus profesional.”

“Komunitas kita terbentuk dengan hubungan emosional yang tinggi. Itu yang menjadi landasan kita untuk bergerak. Landasan persahabatan,” balasku.

“Ini profesional Bung, tidak ada yang namanya persahabatan...Dan apakah Anda pantas disebut sahabat? Anda hanya seorang yang tidak ingin mengakui. Anda pengecut! Apakah orang seperti Anda pantas memberikan kontribusi Budaya yang sehat,” Hadi menuding-nudingkan jarinya kepadaku. Lalu ia meludah dan langsung meninggalkan ruang rapat. Aku yang masih menyimpan emosi menambah keheningan orang-orang.

Namun setelah aku mengalami hal yang tak pernah kuduga di tengah laut Sunda—berada di laut Sunda adalah salah satu agenda Festival Puisi Indonesia—, tulisan ini kutitipkan kepada seorang panitia Festival Puisi Indonesia yang cukup dekat denganku. Ya, buku biru ini kuharapkan bertemu dengan seseorang yang kuinginkan. Yaitu sahabatku. Dan kini aku telah berpikir untuk pulang menemui Cristhy, calon pengantinku. Tanpa memikirkan segala hal yang berbau puisi, yang berbau kehidupan.

TAK adil kalau aku hanya menduga ruas jari ini adalah kepunyaan Fredi. Mestinya aku menduga juga bahwa ruas-ruas ini pernah menjadi jemari Hadi. Baik, tanpa membuang waktu aku akan merinci kisah dari jemari Hadi.

AKHIRNYA, aku bisa merampungkan novelku. Di spanduk yang berada tepat di belakang tempat dudukku, bertuliskan “Peluncuran Novel WALE ROGA oleh Rahadi Bempa” dan ruang dipenuhi para hadirin yang duduk beraturan sesuai dengan kursi-kursi yang tersedia. Di depan pintu masuk ruang ini terdapat meja yang menjadi tempat tumpukan novelku, tergelar rapi. Setiap undangan yang datang, sebelum mereka duduk menikmati peluncuran, mereka melihat-lihat novel itu dulu. Di sampingku seorang pemateri—salah satu Dosen Fakultas Sastra UNSRAT—sedang berbicara mengenai novelku. Tapi pikiranku terbang ke suatu tempat sehingga kata-kata pemateri itu terdengar seolah gumaman. Setelah semua kegiatan ini selesai, tanpa banyak bertemu orang dan berbincang tentang novelku, aku bergegas menuju tempat yaang memakan banyak pikiranku tadi. Pantai.

Di pantai pikiranku melayang kepada seseorang, yang sampai saat ini tak berjejak tubuhnya. Justru seseorang ini meninggalkan tulisan-tulisannya sebagai bekas. Sudah sejak lama aku melihat Fredi sibuk dengan buku birunya. Ah, aku terkenang saat aku duduk di pantai Bunaken bersamanya. Pandanganku waktu itu seperti saat ini; aku memandang biru laut yang tenang. Dan membiarkan pantat dan pahaku tertempel butir-butir pasir pantai. Saat itulah aku terasa asing karena ia sibuk menulis di buku biru, meskipun sebelumnya aku berjanji tentang persahabatan dengannya. Dalam waktu berjalan pun aku sering melihat ia duduk di pojok ruang untuk menulis. Seperti sesaat sebelum peluncuran antologi puisinya, saat bersama Cristhy di bawah pohon beringin, dan juga saat ia tengah bersitegang denganku dalam rapat.

Waktu itu aku berjalan dengan cepat sedari keluar ruang rapat. Wajahku serasa kencang karena marah. Nafasku memburu dan hatiku mengerutuk.

“Kadang kebohongan dipakai karena cinta. Tapi itu ternyata termaklumi oleh seluruh manusia, karena tidak ada manusia yang tidak pernah bohong selama hidupnya,” gumamku saat itu.

Orang buta lebih bisa mendengar kenyataan, daripada orang yang sedang dilanda cinta buta. Punya mata untuk melihat tapi masih keras kepala dengan kenyataan. Sebagian orang mengatakan tanpa cinta buta orang tidak bisa bermimpi seperti berada di surga. Serasa saat itu aku tak pernah mengenal sahabat yang bernama Fredi. Ia sanggup membuatku kesal karena rasa cemburu. Namun, setelah kejadian Cristhy yang melayang dari ketinggian gedung kampus, aku kembali memaknai persahabatanku dengannya. Fredi tak pernah kembali setelah itu. Pak Tulus, dosen di kampusku meminta aku untuk menjemput Fredi di Jakarta. Karena Pak Tulus adalah orang yang paling bertanggung jawab dengan kepergian Fredi ke Jakarta. Undangan ke Festival Puisi Indonesia di Jakarta, sebenarnya ditujukan untuk Pak Tulus. Namun kesibukan Pak Tulus membuat Fredi ditunjuk untuk mewakilinya. Hasilnya, Fredi tak pernah kembali.

Saat aku menjemput Fredi, yang bisa kutemui hanyalah seorang panitia Festival itu. Begini kata panitia itu saat aku berhadapan langsung di Jakarta;

“Boleh aku minta tolong lagi?” pinta Fredi pada Panitia itu.

Panitia itu diam seperti mengiyakan. Fredi berdiri merogoh kantong celana dan mengambil buku kecilnya yang berwarna biru.

“Kamu tidak perlu kemana-mana untuk mengantarkan buku ini. Tunggu saja di Jakarta, orang yang bernama Rahadi Bempa datang dari Manado. Dan berikan buku ini padanya. Ini draft Novel aku,” kata Fredi. “Katakan padanya, dia berhutang kepada seorang sahabat yang tak bisa lagi bertanggung jawab terhadap apa pun. Tak bisa memenuhi janjinya. Tak mampu memandang keindahan Manado lagi. Juga tak mampu menjawab semua pertanyaan tentang Cinta. Salam maaf untuk semua. Katakan sahabat di sini hanya menginginkan keabadian.”

Panitia itu hanya bisa terdiam.

“Boleh aku mengganti tiket pesawat pulangku dengan tiket kapal laut? Aku ingin rileks di laut,” tandas Fredi.

Saat mendengar itu aku terperangah. Perlahan mataku menyiratkan kesedihan. Berkaca-kaca. Di hadapan panitia itu, aku pun membaca seluruh isi buku biru Fredi yang diberikan panitia itu. Terawali dengan sebuah ungkapan,

Sudah tertutup mata, habislah sudah air mata. Kita sudah ditakdirkan menumpahkan air mata. Kalau dihitung berapa tetes air mata kita tuangkan, sebanyak lautkah?

Apakah gelap kematian itu? Tanpa air mata, bahasa, ataupun puisi, dan yang ada hanya diam, tenang? Dan meninggalkan tangis, meninggalkan rindu, juga meninggalkan sesal?

Membaca ungkapan ini, kenanganku berputar di suatu ketika. Di rumah yang ramai dengan orang berpakaian hitam. Di tengah ruangan terletak sebuah peti yang terisi jenazah Cristhy. Di samping peti tertunduk Ayah Cristhy yang menangis tersedu-sedu. Sementara Ibu Fredi yang berada di sekitar peti, menutup ponsel sehabis menelpon Fredi. Aku berada di antara kerumunan orang yang melayat. Melirik-lirik orang di sekelilingku dalam ketertundukan. Berselang kemudian, setelah peti termakan tanah, orang-orang yang melayat satu per satu meninggalkan makam Cristhy. Tertinggal Ayah Cristhy yang terus merasa sedih dan Ibu Fredi yang terus menahan isak tangisnya. Aku masih juga termenung di situ.

Aku pikir, ketika mata tertutup dan tak mampu berbahasa apapun, baru kita tahu kenapa harus kita sembunyikan sesuatu yang kita takutkan untuk diucap lewat mulut. Karena nama baik yang tercoreng atau apapun yang kita namakan dengan harga diri. Tapi harga diri ternyata hanya bisa ternilai dengan kita hadapkan kenyataan pada sisi keberanian merubah semuanya tanpa kemunafikan, dan itu terlalu sulit untuk dijalani hingga kematian jadi jalan termudah untuk semuanya. Untuk mengucap, untuk mengakui, untuk memperbaiki harga diri, dan untuk menelan ketakutan. Sampai pada ketenangan hidup. Dan aku masih hadir dalam hidup ini. Berarti aku belum juga menemukan ketenangan hidup. Gelisah. Aku harus menunda untuk tidur. Aku baru bisa tidur, setelah semuanya. Dan saat di pantai kini, aku sudah melunasi hutang. Namun, aku masih saja melangkah bahkan berlari. Tapi tidak pernah aku menunggu sesuatu. Apapun itu.

Masih di hadapan Panitia itu, kembali aku membaca buku biru Fredi sambil di pikiranku terbayang gerak riak halus dari laut. Baru aku tahu, ternyata Fredi banyak mencatat sesuatu. Kesepian Ibunya, persenggamaannya, perseteruannya, dan keputus-asaannya. Dan kembali kutemui sebuah ungkapan buku biru itu;

Seperti orang-orang yang menunggu, menelan kerinduan dengan kepulangan. Tapi pintu belum saja terketuk tamu

Ini pasti untuk Ibunya yang kesepian. Kubayangkan Ibunya dengan wajah yang sepi, duduk di sofa memandang album kenangan. Foto-foto Fredi dan Ibunya yang terlihat tua seakan wadah air mata Ibunya, hingga membuat foto itu buram berwarna ganjil. Lantas dengan mata yang berkaca-kaca, Ibunya melayangkan pandangannya ke pintu yang terbuka.

Atau orang-orang yang menanti cahaya matahari pagi dalam kegelapan

Ini untuk Ayah Cristhy, yang mungkin kini berada tepat di pintu kamar, memandang ranjang tidur Cristhy yang tertata rapi. Matanya berkaca-kaca menahan tangis sampai akhirnya tecurah juga tangis yang benar-benar tangis. Kemudian ia mematikan lampu kamar dan menutup pintu. Hingga tersisa gelap.

Sekali pun itu menunggu sesuatu yang tidak pernah kita rasakan dalam hidup

Ungkapan ini kukenangkan pada gaun pengatin Cristhy yang tergantung di dinding kamar Fredi. Terlihat indah dalam keremangan. Diam tak tersentuh apa pun sampai angin yang berhembus dari jendela meniup pelan gaun itu dan menimbulkan suara lembut kain tersibak.

Begitulah beberapa saat aku di hadapan Panitia yang menyerahkan buku biru Fredi. Dan aku kembali ke Manado membawa tubuhku sendiri, beserta buku biru yang terlipat-lipat di kantong belakang celana jeansku.

Kini, aku masih terduduk merangkul kaki di atas pasir pantai. Menikmati desiran air laut dan angin pantai. Mataku menerawang jauh.

“Aku tahu, kau tak akan pernah pulang. Seperti kau bilang, hanya orang hidup yang bisa menikmati biru laut ini. Kau benar. Aku tidak sadar dalam ujian itu! Kau tetap sahabat seperti biru laut ini. Kau benar-benar mengatakan laut adalah kubur. Dan biru laut ini benar-benar puitis. Persahabatan kita ada dalam biru bukumu. Dalam biru kisahmu.”

Kusandingkan buku birunya yang terlipat-lipat oleh waktu dengan novelku.

“Ini ceritamu. Aku hanya memperbaiki yang bisa aku perbaiki.”

HA...HA...HA, setelah aku memperoleh kisah dari ruas jemari itu, segera saja kubuang jauh-jauh tulang itu agar tak bertumpuk dengan tulang-tulang yang sebelumnya kutemukan. Kau tahu, kenapa aku tak mengumpulkan tulang itu? Semua karena keikhlasan. Aku tak suka tentang kepemilikan. Aku tak suka nama di akhir puisi. Aku tak suka mengaku-ngaku orang Manado, sebagaimana aku tak suka orang-orang mengaku orang Jawa, orang Sumatera, orang timur, orang barat, orang melayu, orang Cina, orang Arab, orang asing, dan orang-orangan.

-()-

ENAM

UJUNG pistol masih di jidatnya. Tampak beberapa bekas tindihan ujung pistol di jidatnya. Tanpa kusadari, tindihan pistol ini terlampau ketat, dan melecetkan kulit dahinya. Namun itu tak jadi pusat pikiranku. Setelah Dia meriwayatkan ruas jemari, aku benar-benar bingung.

“Jadi, yang kau bawa adalah novel?” tanyaku.

Dia tersenyum. Seakan mengejek dugaanku.

“Lantas kau siapa?” sambungku. “Hadi? Fredi? Atau kau Cristhy?”

“Sudah kukatakan, sombonglah kau dengan imajinasimu. Lalu bodohlah dulu kau, jangan bersikap kritis dulu. Nanti kau akan tahu juga yang tersirat. Aku belum menuntaskan riwayat tulang-tulang itu.”

“Aku tak sabar lagi denganmu,” bentakku. “Kau tak membawa apa yang akan aku beli.”

“Urusan kaulah itu. Mau beli atau tidak, biarkan aku tuntaskan itu meski harus di ujung pistol.”

Aku sudah muak diombang-ambing ketidakjelasan naskah itu. Sungguh jariku benar-benar gatal untuk menarik pelatuk pistol ini. Namun, mulut besarnya terlalu cepat berkata-kata. Sialan, ia kembali berkisah.

RIWAYAT IGA

KALI ini aku mendapat tulang terakhir dalam waruga itu. Kurasa inilah tulang yang paling gampang kuduga kisahnya. Tulang yang berbentuk serupa busur panah ini, menurutku kepunyaan Cristhy. Kau ingat ‘Kejadian’? Adam telah tercuri iganya semenjak ditakdirkan menjadi laki-laki. Itu artinya tulang ini tak terdapat pada tubuh lelaki. Inilah Iga Cristhy.

TAK ada lagi siang dan malam. Aku telah menghilangkan garis tebal pergantian waktu itu. Yakni tidur. Betapa tidur membuat aku merasa jelas antara siang dan malam. Namun kini, mana yang disebut hitungan hari? Pikiranku terus menyambung tanpa tersendat pada detik terakhir 24 jam. Menjadi 30 jam, 40 jam, 50 jam dan seterusnya. Fredi kini berada di WIB sejak sore tadi -Sore, pantaskah disebut sore?-. Sedang aku berada di WITA. Tanpa bisa memejamkan mata pikiran karena sesuatu di ruang rahimku.

Wajahku pucat membayang di cermin toilet kamarku. Di wastafel, air terus kubiari mengucur dari mulut kran. Sehingga lantai kamar mandi ini telah cukup tergenang setapak kaki. Kakiku berganti-ganti merasa dingin dan tidak, seolah mengerjap-ngerjap. Itu karena pikiranku bermain antara kenyataan dan pikiran yang melambung jauh dari kenyataan. Ya, aku tengah memikirkan kehidupan dalam rahimku. Sungguh yang kukandung seolah bukan sejabang bayi, tetapi terlebih aku mengandung keresahan. Itu sebabnya kuraih ponsel, tanpa tedeng aling kusambungkan ke Fredi.

“Halo, sayang. Aku baru saja mau menelpon,” suara Fredi.

Aku tak menjawab. Kami sama bisu, hanya suara jalur sinyal kecil terus berdengung di telingaku.

“Fred...!”

“Kenapa, kangen?”

Fredi menemukan kata yang tepat mengungkapkan perasaanku. Sejak burung besi yang menyimpan tubuhnya melintas di atas kepalaku, rasa kangenlah yang meruang di sekujur jiwaku.

“Iya,” aku mengakui. “Kapan pulang?”

“Kemarin ‘kan sudah aku sudah kasih tahu. Aku 3 minggu di Jakarta. Sabar, ini juga baru sehari.”

“Aku ingin ketemu sekarang.”

“Ada apa rupanya?”

“Ada yang ingin aku bicarakan.”

“Apa tidak bisa lewat telpon saja?”

“Mauku, kau ada di sini,” kataku meledakkan tangis.

“Sudah, tak perlu menangis. Tiga minggu bukan waktu yang lama. Sudah, jangan nangis lagi,” Fredi mebujukku.

“Fred...aku hamil.”

Gumamnya yang tercekat, terdengar jelas di ponselku. Setelah itu, nafasnya pun tak aku dengar. Kembali hening.

“Hamil?”

“Iya, kayaknya sudah sebulan,” kali ini aku lega telah membagi resah.

“Tidak salah?”

“Salah bagaimana? Aku lihat sendiri test pack. Aku positif. Dan aku juga telat haid,” tegasku bernada tinggi. “Kenapa reaksimu seperti itu? Kau tak menginginkan ini juga ‘kan?”

“Bukan begitu, aku hanya kaget.”

“Kau sebagai bapaknya tidak menginginkan bayi ini juga ‘kan?”

“Justru aku sangat menginginkan anak. Apalagi itu darimu, hanya...”

Tiba-tiba kata-kata Fredi terhenti. Aku menunggu lanjutan kalimat yang terputus itu.

“Hanya apa? Teruskan! Kenapa berhenti? Kalau sikapmu seperti ini, bagaimana dengan Ayah, Ibumu, teman-teman, dan semua orang.”

“Dengar sayang. Aku adalah bapak dari anak itu. Apapun yang terjadi pada anak itu, adalah tanggung jawabku. Jadi jangan khawatir dengan itu.”

“Tapi aku malu dengan semua orang di sekililing kita. Berikan aku jalan keluar untuk ini.”

Aku pun malu mendengar ungkapan ini ketika mengingat masa laluku. Bisa-bisanya kalimat ini keluar dari mulutku dengan masa lalu sok bebas itu. Benar kata pacar lesbianku sewaktu aku berdebat denganya lewat telepon tentang ketabuan, aku tetap tak bisa menepis tabu ketimuran. Betapa manusia bertukar-tukar rupa. Serasa baru kemarin aku menentang itu, dan kini aku benar-benar takut akan malu.

“Aku juga tak tahu,” kata Fredi setelah lama membisu.

“Berarti kau masih ragu untuk menerima semua ini. Akan kugugurkan bayi ini.”

“Jangan Cristhy! Jangan pernah berpikir seperti itu. Hal Itu bisa membahayakan nyawamu. Aku mohon Cristhy. Cris...”

Klik. Ponsel kututup.

Menghubungi Fredi sama saja dengan memupuk resah ini. Kupandangi bayang dalam cermin. Binar mataku kalut. Dalam binar mata itu, diriku kembali membayang, dan kutemui diri yang berlapis-lapis keresahannya. Sungguh itu pandangan paling mengerikan dalam hidupku. Kukatupkan mata keras-keras. Kuhibur diri dengan mengenang pertemuan-pertemuanku dengan Fredi. Momen-momen yang menurutku membahagiakan. Koridor kampus, kantin masalah, dan satu hal yang paling berbahagia saat-saat ia mengutarakan isi hatinya dengan berpayung bayang rimbun beringin. Sebelum itu kami ke kantin terlebih dahulu.

“Lama nunggunya? Aku baru selesai memberi kuliah,” kata Fredi saat itu. Saat masalah di kantin selesai dengan adu pukau pandang di taman waruga. Aku ingat ini pertama kalinya kami membuat janji bertemu secara khusus.

“Aih, kali ini bicara Bapak pakai ‘aku-akuan,” kataku.

“Biar kita lebih akrab.”

Aku merasa nyaman dengan perilakunya kali itu. Mengingat sebelumnya aku banyak menyimpan penasaran tentang sosoknya. Saat itu, hati kecilku yang telah lama aku kubur bersama prinsip, tercuri oleh Fredi.

“Kita makan apa Pak?”

“Terserah pilihanmu!...Terus jangan panggil aku ‘Pak’ lagi. Cukup panggil Fredi.”

“Oke, Fredi!”

Tujuan dari janji kami adalah memperbincangkan sastra. Alih-alih mendapat pelajaran tentang sastra, aku malah mendapat sebuah rasa yang tak perlu diajari oleh siapa pun. Kantin, tempat kami berseteru sebelumnya, menjadi tempat yang memancing getar hatiku.

“Lantas, apa yang akan diajarkan Fredi hari ini?” tanyaku setelah memesan makanan.

“Sabar! Kita pastikan dulu posisi hari ini. Kau calon istriku atau muridku?”

“Bagaimana kalau aku pilih kedua-duanya?”

“Bagus. Senang mendengarnya.”

Makanan pun datang tersedia di meja. Sambil itu aku bertanya;

“Apa pelajaran untuk seorang murid?”

“Semangat dan sabar dalam kemauan. Tapi sayangnya aku bukan guru yang bisa memberimu arti semangat, karena aku selalu digerogoti kesepian.”

“Oh ya? Guru yang kesepian,” simpulku. “Lalu bagaimana dengan pelajaran untuk seorang istri?” terdengar selayak gumam

“Mengenal kesepian seseorang dan menyikapinya. Lalu ajarkan dia untuk mencintai.”

Aku terperangah bahagia. Kami saling bertatapan seakan berbahasa lewat mata. Alunan musik seolah terdengar di benak kami, dan mengiringi perasaan yang telah kami ukir. Kami saling membuang pandang karena malu, tetapi akhirnya saling mencuri pandang. Tak jarang senyum sumringah terbesit di wajah kami.

Sejak itu, pertemuan demi pertemuan yang kurasa semacam kencan, menderas. Seringnya kami di bawah pohon beringin kampus. Pohon yang membuat kecemburuan Fredi terkuak karena di pohon itulah ia sempat melihat aku berakrab-akraban dengan Hadi.

Suatu ketika kami berpayung rindang pohon itu. Aku dan Fredi asyik berdiskusi. Para mahasiswa lalu lalang di taman itu. Tiba-tiba Fredi mengambil buku birunya dari dalam tasnya, lalu menulis. Melihat itu aku merasa diabaikan. Aku merenggut buku biru itu dari tangannya, dan menyembunyikan di balik punggungku. Ia tersenyum dan mencoba merampas buku itu lagi, tetapi aku bertahan. Kami pun bermain kucing-kucingan sembari cekikikan, semacam rangkul-rangkulan kecil, semacam adegan klasik film romantik. Sampai akhirnya kami pun kelelahan. Terebah di rumput kering dan menatap langit sore.

Kami sama tengah berada di ruang pikir masing-masing. Tiba-tiba, Fredi seperti mengingat sesuatu. Perlahan tangannya merogoh kantong belakang dan mengambil dompet. Dikeluarkan selembar potret. Aku menggeser tubuh lebih dekat dengannya. Lantas memperhatikan potret di tangannya. Dalam potret itu ada Dia yang masih kecil bersama seorang perempuan.

“Inilah yang jadi momok kesepian buatku selama ini,” jelasnya seiring memberikan potret itu kepadaku.

“Ini Ibu kamu?” Dugaku seraya menunjuk perempuan dalam potret itu.

Ia mengangguk sambil bertanya;

“Coba diperhatikan, apa yang hilang dari anak kecil itu di saat sekarang?”

Aku membandingkan dia kecil dalam potret itu dengan dia yang di sampingku. Setelah aku memperhatikan senyum dia sewaktu kecil, dan celong mata dia kini, aku pun bersimpul;

“Mmmh...Aku tahu. Keceriaan. Di wajahmu kini ada kesepian.”

“Ibuku ingin sekali menimang cucu, dan dialah orang yang paling merasa hidup sendiri di dunia ini.”

Sesaat diam.

“Bagaimana dengan rasa yang ada dalam dirimu?” tanyaku.

“Seperti tadi, kesepian,” jawabnya. “Kesepian anak yang kehilangan senyum Ibunya, juga kesepian harapan lelaki untuk...”

Ia menyendatkan katanya pada rasa sungkan. Aku tahu itu. Sedang aku berharap lanjutan penjelasannya.

“Untuk...?” kupancing dia untuk meneruskan kalimatnya.

Ia menatapku. Sendu serupa bayang pohon di tengah terik mentari.

“Disikapi perempuan sebagai suaminya.”

Mendengar itu aku terdiam dan terharu. Kembali kuperhatikan potret itu lagi. Di mana senyumnya penuh keceriaan terpampang di situ.

“Namanya perempuan antara siap dan tidak siap. Tergantung dari keberanian laki-laki,” gumamku.

Mendengar gumamku, ia lebih melekatkan pandangnya padaku. Tak pernah kuduga, tangannya mengelus pipiku. Sangat lembut. Wajahku menggeliat dalam elusannya. Lewat tatapan aku memberikan rasa penuh kasih padanya. Sementara mulutnya seakan ingin bekata-kata. Namun tampaknya ada yang menahan ia untuk mengucapkan sesuatu. Dan ia pun melempar pandangnya ke rumput-rumput kering. Ia seperti berpikir. Tak lama, dengan mata yang lebih yakin, ia menatapku lagi.

“Maukah kau, menyikapi diri sebagai istri di sampingku selama hidup bergulir menuju akhir nafas?” ungkapnya.

Aku seakan terbang oleh bulu romaku sendiri. Seakan aku berada di dunia tak berpijak, dan melihat bintang-bintang tersenyum padaku. Namun, alam khayali itu berganti wajah Fredi yang penuh harapan. Hanya senyum yang aku lontarkan untuk menjawab semua harapannya. Dan kini rona wajahnya memerah.

“Pulang nanti, kau katakan itu di depan orang tuaku,” tandasku.

Bintang khayali tadi, kini kulihat kerlap-kerlip di matanya. Aku pun tertawa melihat tingkahnya yang melompat-lompat kegirangan. Dan akhirnya kami berpelukan. Pohon-pohon seakan bergoyang dan menjatuhkan daunnya untuk turut merasakan tautan dahsyat dalam janji yang bernama cinta.

Kuingat bagaimana lucunya sikap grogi Fredi di hadapan Ayahku ketika menjelaskan tentang rencana melamarku. Begitu pula kuingat betapa bahagia Ibunya ketika mendengar akulah calon istri Fredi. Hari-hari itu begitu bahagia. Terlebih sewaktu mengingat nikmatnya senggama bersama Fredi. Betapa bahagianya hatiku melihat Fredi puas dengan selaput dara itu, dan betapa puasnya aku melihat Fredi menyesal karena telah memperawaniku. Hilanglah masa laluku. Akulah perawan kemasan. Semenjak itu kami seperti tak ada habisnya mereguk kenikmatan lewat sex. Dan kami lakukan tanpa penyesalan. Toh, nantinya kami akan menikah. Bahkan tanggal dan bulannya telah kami tentukan. Semua persiapan pernikahan telah kami sediakan. Hal apalagi untuk mengisi masa penantian kesakralan nikah itu selain kenikmatan sex. Terlebih kami sering berduaan semenjak Fredi melamarku, dan aku juga telah menganggapnya pemilik iga yang bermukim di tubuhku. Aku tak ragu lagi.

Namun, saat aku dan Fredi berada di Bandara Sam Ratulangi, aku telah merasakan ada hal yang beda dengan pertemuan kali ini. Bukankah ini disebut pertemuan untuk perpisahan. Mungkin memisah selama-lamanya? Entah kenapa begitu hebatnya daya magis dari bandara. Dengan seketika bandara bisa memisahkan seseorang dengan orang lain. Sedetik kemudian semua menjadi kenangan, begitu cepat.

Di ujung, tempat yang masih diijinkan bagi bukan penumpang pesawat, aku dan Fredi berhadapan tanpa berkata-kata. Sementara para penumpang yang lain tengah antri untuk memasuki ruang tunggu menuju pesawat. Tangannya memegang sesuatu, yang ternyata adalah kamera digital. Dipotretlah aku sekenanya.

“Sabar, hanya tiga minggu. Itu waktu yang sebentar,” ujarnya sambil melihat hasil potret yang barusan, tetapi daya batere kamera tak mengijinkan. Kamera pun off.

“Aku tahu. Tapi rindu ini pasti,” kataku.

“Kalau rindu, Ibuku adalah obat yang paling mujarab. Temuilah dia, dan berbicanglah tentang masa kecilku. Mungkin itu bisa mengobati rindumu.”

“Akan kulakukan. Tapi sebenarnya tak ada obat rindu ini selain kau berada di dekatku.”

Di ruang itu tergema pengumuman untuk para penumpang agar segera bersiap-siap untuk menaiki pesawat.

“Waktunya untuk masuk. Pokoknya kalau aku rindu, aku hanya bisa melihat potretmu di kamera digital ini, sebab ini foto yang paling terakhir sebelum aku pergi, dan pasti paling cantik,” rayunya.

Dengan segera Fredi melewati detektor logam dan semua pemeriksaan. Matanya terus tertuju padaku. Sesampai di area para penumpang, area yang memisahkan kami, ia masih saja berhenti sejenak untuk melihatku. Aku melempar senyum dan ia membalasnya. Melihat senyumku, ia memaksakan kamera digital itu untuk aktif lagi. Meski daya baterenya sudah melemah, usahanya itu berhasil, sekali potret tak jadi masalah. Setelah blitz kamera mengerjap, seketika itu pula kameranya off, kehabisan batere lagi. Lalu ia perlahan menjauh dariku sambil melambai-lambai dan hilang di kerumunan orang.

Sepulang dari bandara itulah, aku merasa sesuatu dalam rahimku tumbuh dan membuatku tak sekali merasa mual. Aku mencuriga rahimku, dan langsung aku membeli test pack di apotik dengan perasaan malu. Aku malu, karena diriku bukanlah perempuan yang telah menikah. Bukankah yang membeli benda itu pantasnya perempuan yang telah menikah?

Malamnya aku langsung memfungsikan benda itu. Hasilnya membuat aku seolah berputar lambat. Mengunjungi Ibu Fredi dan berbicara dengan Ayahku, hanya membuatku tersesat dalam dilema.

Namun aku teringat sebelum aku menjadi perawan kemasan. Siapa yang tak kenal Crsithy dengan kebebasannya. Tak ada yang tabu bagiku. Terlebih setelah kutemui filsafat yang bijak dari waruga. Penghancuran raga adalah kesucian itu sendiri. Ternyata kesucian itu seperti tidur lelap. Tenang dan menyegarkan. Yang aku bicarakan adalah kematian. Aku tak perlu bertanggung jawab dalam kubur. Menurutku kubur adalah perjalanan hidup yang paling diam. Kenapa juga, aku harus hadir di dunia yang penuh kecurigaan dan caci maki ini bersama bayi yang tak menahu tentang semuanya. Bukankah itu sama saja dengan menyakiti anakku sendiri? Lagipula jika aku bunuh diri, bukan berarti bayiku juga bunuh diri. Dan juga bukan berarti aku menggugurkannya.

Sungguh waruga membuatku seperti puisi. Aku memutuskan untuk melahirkan bayi ini dalam waruga. Di mana aku pun kembali dilahirkan. Kembali suci seiring melumatnya daging yang tumbuh kembang dengan debu-debu keduniaan. Dan tersisa tulang-belulang yang meriwayatkan hakikah pembentukan.

Memang ada perasaan menyesal meninggalkan dunia yang penuh gelora ini. Tapi aku lebih menyesal jika bertahan menghirup permasalahan dunia ini. Biarlah, aku telah yakin. Seyakin tatapan mataku yang membayang di cermin. Kali ini, rasa dingin yang muncul dari genangan air di lantai, tak lagi kurasakan. Aku ingin buru-buru terlahir kembali dalam waruga.

SELESAILAH semua tulang-tulang itu. Bagaimana? Kau tertarik dengan kisah tulang-tulangku? Memang, waruga itu tak pernah kutemukan dalam kenyataan seperti yang kuceritakan tadi. Ia tumbuh di lidahku ini, karena aku terlalu banyak mengecap segala-galanya dari Manado. Dan akhirnya aku pun membiarkan waruga yang tak tersentuh tangan-tangan pemerintah kota untuk dijadikan aset wisata –Memang benar, waruga di kisah ini kan hanya ada di lidahku, sementara yang nyata, Ya, di Taman Waruga—. Dan sampai kini masih dikunjungi oleh para turis. Ya, aku hanya ingin menceritakan padamu, suatu malam di Manado, dengan kabut-kabutnya yang menggumpal. Sesederhana itu saja.

-()-

TUJUH

“ROMANTIS,” bentakku. “Sudah salah kau berikan naskah padaku, isinya pun tak lebih dari kisah cengeng. Apa maksudmu? Menghina cita rasa seniku?”

Ia meringis tak seperti kesakitan. Tapi terlebih seperti menertawaiku. Aku mengeratkan kembali genggamanku di gagang pistol yang tadinya kendor saat mendengar kisahnya. Ujung pistol kembali kutekan di jidatnya. Darah yang keluar dari wajahnya itu hampir mengering.

“Kau membawa karya sastra yang tidak berpihak,” sambungku. “Kau berkesenian untuk seni, bukan untuk sesuatu yang lebih. Untuk rakyat, misalnya. Dan itu alasan yang cukup untuk membunuhmu.”

“Hei, aku sudah pasti berwarna putih,” balasnya. “Memangnya kamu berwarna merah? Hijau? Atau Hitam? Hingga kau bernafsu sekali untuk membunuhku.”

“Dari tadi kau belum sadar siapa aku?” kataku. “Aku adalah kalumba dalam kisah-kisah ketakutan Hadi. Akulah malaikat maut yang akan menjemputmu.”

“Dan kau pun belum sadar tentangku,” balasnya. “Aku adalah Fredi. Aku adalah Hadi. Aku adalah Cristhy. Aku adalah kalumba. Aku adalah semua tokoh dalam kisahku. Dan juga, Aku adalah Kau. Bunuhlah aku! Maka kau berarti membunuh dirimu sendiri.”

Kembali dengan tawa ia seakan mengejekku. Meskipun bingung, aku tak sabar lagi dengan kebingungan yang ia perbuat padaku sedari tadi. Genggamanku mengeras. Jari telunjukku yang tertambat pada pelatuk, dengan seketika bertukar suara ledakan dari ujung pistol

DOR!

Terburailah segala isi otaknya. Tanpa menggelepar, tubuhnya terkapar bersimbah darah. Tapi tiba-tiba, aku merasakan hal yang sama di kepalaku. Ada cairan meluncur di kulit wajahku, hingga sampai ke mataku. Mataku kini seperti berselaput merah darah. Oh, kepalaku meledak pula. Siapa pula yang menembak kepalaku? Apakah benar katanya, bahwa Dia adalah Aku. Dia telah mati, berarti aku juga. Dan rasa sakit di kepalaku karena benda logam panas itu membuat mataku seketika gelap.

-()-

BELUM JUGA TERTULIS KISAH

AKU dalam darah itu, dalam masa purba, berhasil membuat waruga. Sudah kupahat berupa rumah mini. Tersisa mengukir sesuatu yang membahasakan pekerjaanku di masa purba. Biasanya menggunakan gambar. Namun aku belum tahu gambar seperti apa yang harus aku ukir. Untuk pemimpin negeri, hakim, pemimpin agama, ksatria, panglima perang, petani, pemburu binatang, semuanya bisa digambarkan dengan mudah di waruga. Tapi seperti apakah gambar seorang penyair? Ini zaman belum ada kata-kata. Bahkan aksara pun belum juga kutemui.

Akhirnya, setelah aku berpikir bahwa tak ada yang bisa kuukir, aku pun meringkuk dalam waruga, lantas menutup waruga itu dengan atap dari batu. Aku kini dalam waruga, membiarkan tak terukir apa-apa tentang riwayat hidupku. Biarkan orang-orang mengenal bahasa lewat tulang-tulangku. Karena di sini, di Manado, tak ada yang namanya Kaba ataupun Tembang. Yang ada hanya kerabunan budaya untuk berucap.

Perlahan diriku keluar dari darahku sendiri. Aku kini sadar berada di mejaku. Kepalaku masih tercelup genangan darahku. Rasa sakit di kepala akibat benturan, kini kurasakan. Dengan lambat, aku mengangkat kepalaku dan menyenderkan tubuhku pada sandaran kursi. Aku rasa mau mati saja untuk berusaha mengucap lewat akar budayaku. Kepalaku bertambah sakit akibat kepenatan. Mataku berkunang-kunang. Semuanya mati dalam kepalaku. Fredi, Cristhy, Hadi, Pembeli, Penjual, dan semuanya mati terkubur dalam kepalaku.

Apa bedanya dengan plot, setting, tokoh, logika cerita, sudut pandang, dialog, klimaks, judul, dan sebagainya yang membangun sebuah roman. Tanpa kau runut serupa tubuh manusia, roman tetap roman. Seperti waruga itu. Dan aku...Ah, siapa yang kini ada di depanku. Segumpal hitam yang membuat kudukku meremang.

“Itu kalumba!”

Mata merahnya tepat berhadapan denganku. Aku telah ditakdirkan mati. Sama seperti semua manusia. Tapi aku belum percaya ini. Kalumba adalah tokoh ciptaanku.

“Pergi kau kalumba!” usirku. “Kau pikir kau yang akan mencabut nyawaku?”

“Kau juga tokoh, Penulis!” katanya. “Kau harus berakhir.”

“TIDAAAK...PERGIIII...Aku yang mencipta. Aku tak akan mati, pergi kau! Aku masih mau menulis KISAAAAAA...AAAHHHH....AAAHHHHH KEPALAKU SAKIT.”

“WOI, BERISIK!” teriak dari luar kamar. “TAI KUKU kau! Kau pikir ini tempat berteriak? Apa sih yang kau teriakan dari tadi? (Hening) ... Hei Penyair gila, jawab pertanyaanku! (Hening) ... Haloo, kau masih di situ?”

Kalipasir, 2005-2007

TAMAT



[1] Celana Purba Minahasa. Terbuat dari kulit kayu. Bentuknya seperti rok pendek terbelah samping dari dari pinggang sampai lutut.

[2] Sarkofagos Minahasa.

[3] Operasi selaput dara

[4] Bambu penyeimbang di perahu

[5] Tuhan Allah, ungkapan kaget

[6] Manusia pertama di Minahasa.