Minggu, 09 September 2007

Esai Greenhill G. Weol: "Kembali ke Manusia dan Budaya: Tawaran Solusi Untuk Deklinasi Pendidikan di Minahasa"

Man vs. Machine

Rusuh hasil Ujian Nasional komputerisasi itu masih belum pudar dari ingatan. Di berbagai daerah penolakan-penolakan malah telah memicu beberapa tindak vandalisme, baik dari siswa yang merasa dirugikan atau pihak keluarganya, yang telah cukup meresahkan masyarakat hingga jatuh korban. Pro-kon yang terjadi kemudian adalah tentang perlu-tidaknya Ujian Nasional atau tentang etis-tidaknya penggunaan komputer sebagai mesin pemeriksa serta pengelola hasil ujian. Lalu, saya adalah termasuk yang tidak setuju.

Ada yang berargumen bahwa menyerahkan nasib seorang peserta didik, yang adalah manusia selengkap-lengkapnya ini, di tangan sekumpulan kabel, timah dan arus listrik yang disebut komputer itu adalah sebuah tindakan yang terlalu naif. Saya setuju itu. Memang, jika dikatakan bahwa komputer memiliki daya analitik yang begitu stabil, cepat, tepat dan akurat itu benar. Saya pun tidak akan membantah jika dikatakan bahwa komputer punya error margin yang sangat kecil. Tetapi, seorang Bill Gates pun mau tak mau harus mengamini ini, komputer bukanlah periferal yang error-free. Saya punya komputer dengan spek yang cukup advance. Dengan komputer ini saya dapat melakukan apa saja, begitu lebih-kurangnya, yang membuat saya sangat bersyukur bisa lahir di abad Microsoft ini. Informasi yang bisa saya kelola keluar-masuk bisa sangat banyak dan memang hasilnya hampir tak pernah cacat. Hampir.

Tahun di belakang saya kelimpungan mencari obat untuk virus karya anak bangsa yang namanya Brontok. Padahal, saya punya perlindungan antivirus yang ternyata Cuma mempan menangkal virus-virus import. Dapat memang, setelah menunggu enam bulan. Tetapi kemudian ada mampir juga varian Brontok A, Brontok B, Brontok MyBro, Brontok Laknats, Brontok Sensasi, dst., dst. yang daftarnya bisa sepanjang menu di restoran. Sudahlah membahas dari mana dan bagai mana penyakit-penyakit itu, yang jelas komputer saya berantakan. Segalanya yang stabil, cepat, tepat dan akurat itu lenyap sudah. Tersisalah sebuah mesin yang berpikir dan bertindak laksana seorang skizo. Dan, sekedar informasi, di dunia saat ini ada setidaknya 2 juta virus komputer yang siap melumpuhkan, atau setidaknya mengacaukan mesin ini. Jadi, sekali lagi, rasanya terlalu naif untuk percaya sepenuhnya pada sekumpulan besi tak berperasaan ini. Kalau begitu kepada siapa tanggung jawab akan keberhasilan anak-anak kita?

Guru. Ya, orang yang setiap hari berinteraksi dengan sang murid. Orang yang mengamati tiap usaha, tiap kegagalan dan tiap keberhasilan yang dialami sang murid hari demi hari sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di halaman sekolah sampai di hari ujian akhirnya. Orang yang mengajar, mendidik dan membina sang murid dengan intelektualitas, totalitas, dan diatas semuanya: perasaan dan kasih sayang. Demi Tuhan! Tak ada penilaian yang lebih sahih dari penilaian seorang guru. Jika kemudian yang dipertanyakan adalah objektivitas, bahwa dari komputer didapatkan hasil yang lebih fair dan objektif tanpa beban dan muatan, tanpa memandang bulu, dan tanpa memandang resiko, maka saya akan menyarankan agar di meja hijau pengadilan juga, ketimbang memakai hakim yang malah rawan suap itu, lebih baik ditempatkan seperangkat komputer (yang bebas virus tentunya), bukan begitu? Lantas, bagaimana menemukan guru yang kapabel untuk melakukan semua hal-hal ideal diatas? Pada poin ini saya sebenarnya lebih percaya a good teacher is born, not made. Tetapi, saya juga percaya good things come to those who work, not only wait.

Mencetak Guru: Creating The Man of Steel?

Minahasa Masih Kekurangan Ribuan Guru, begitu sebuah tajuk berita di halaman pendidikan sebuah surat kabar lokal. Di halaman hiburan ada berita tentang preview film Superman Returns. Saya tersenyum. Dua hal yang berbeda tapi persis sama. Mengapa? Karena menurut saya menciptakan guru yang berkemampuan ibarat menciptakan seorang manusia super.

Pada penerimaan CPNS baru lalu, ada porsi yang cukup signifikan yang khusus direservasi untuk guru, dan fakta selalu berkata bahwa setiap penerimaan pegawai negeri pasti sold out layaknya tayang perdana sebuah film blockbuster Holywood sekelas, ya itu tadi, Superman Returns. Semua orang ingin nonton. Semua orang ingin jadi PNS (sejujurnya, termasuk saya). Seorang teman yang bermodalkan ijazah S1 dan sedikit faktor luck (ia mujur punya saudara “tempat tinggi”, begitu maksud saya) tahun ini akhirnya berhasil menerima jaminan gaji plus pension seumur hidup. Saya sedikit bagara: “jadi guru dang, eee!” Dia menjawab dengan kalem: “sala sala no, tumbus di situ”. Dua puluh lima tahun lalu ibu saya juga mulai mengenakkan seragam KORPRI dan PGRI-nya. Katanya, pada masa itu guru (juga) dibutuhkan dalam jumlah besar, sehingga jika ingin pekerjaan yang paling tersedia ya itu, jadi guru. Saya anak yang berbakti, saya menganggap ibu saya termasuk tipe guru yang luar biasa, tetapi something is really wrong in here. Kelihatannya, dalam kurun puluhan tahun terakhir, lebih banyak guru yang tercipta dari demand untuk mengisi ruang lowong ketimbang dari pure calling untuk menjadi guru.

Saya senang menulis, saya menulis karena saya senang dan saya menulis karena itu membuat saya senang. Saya bisa duduk menulis bejam-jam hingga lupa apa pun (kecuali makan). Saya tidak berkata bahwa saya tidak dapat hidup tanpa menulis, tetapi saya merasa tanpa menulis saya tidak menjadi seseorang yang saya inginkan. Saya merasa bahwa tanpa menulis saya tidak memberikan apa yang saya mampu berikan untuk orang lain. Bagi saya menulis itu panggilan, bukan pekerjaan (di Manado jadi penulis memang belum bisa menghidupi!). Lalu saya berpikir: bukankah jadi guru juga seharusnya begitu? Lalu, apakah ini doable? Saya bertanya kepada ibu saya, berdasar pengalamannya di dunia pendidikan, apakah ini bisa diujudkan, dan dia menjawab: “ngana cari pa mner Hengky Rondonuwu. So dia tu guru yang butul-butul guru”.

Culture-Conscious Education

Orangnya sederhana tetapi classy. Usianya senja, namun pemikirannya masih cukup tajam, radikal dan, terlebih, visioner, khas pemikir Minahasa. Saya beruntung dapat bersua dengannya pada sela riuh-rendah Pengucapan Syukur di Wuwuk, Tareran, Minahasa Selatan yang baru lewat. Kami duduk-duduk di fores rumah dan dia mulai bercerita. Beliau sekarang sudah pensiun dari mengajar di ruang kelas, namun ternyata, layak iklan susu buat orang lanjut usia itu, masih seorang guru yang penuh dedikasi. Buktinya, saya “dikuliahi” lima jam non-stop dimulai dari statement “kita kalo maso klas mo mengajar, nyanda pernah bawa buku”.

Menurutnya, seorang guru adalah pengajar, pendidik dan pelatih bagi setiap murid. Ini bukan idealnya. Ini hakikatnya. Mengajar baginya berarti membuat murid menjadi tau apa yang sebelumnya mereka tidak tau. Mendidik adalah membuat murid mengerti apa yang tidak dimengerti. Melatih adalah membuat murid mampu melakukan yang sebelumnya tidak bisa mereka lakukan. Ketiganya adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang harus dilakukan seutuhnya. “Yang terjadi sekarang adalah banyak guru yang tidak mampu mensinergikan ketiga hal ini. Bahkan, lebih banyak lagi yang tidak tahu akan ketiga dalil ini”, dengusnya. Maka output yang dihasilkan adalah pribadi-pribadi yang tidak lengkap pula, simpulnya. “Pola pendidikan yang paling sempurna, padahal, telah dimiliki dan diterapkan oleh kita, bangsa Minahasa, sejak dahulu kala”.

Falsafah “Touna’as” yang menempel dalam ruang hidup budaya Minahasa, menurutnya, adalah solusi yang paling menjawab bagi permasalahan penurunan mutu pendidikan di tanah ini. Touna’as, yang kemudian saya definisikan sebagai seorang yang memiliki “pengetahuan” ini, adalah sebuah taraf tertinggi penghargaan terhadap person-person yang dinilai outstanding dalam sendi-sendi peri kehidupan masyarakatnya. Adapun “pengetahuan” yang dikandung oleh seorang touna’as adalah perpaduan antara penguasaan akan keterampilan olah fisik, penguasaan pengetahuan kekuatan-kekuatan alam (yang saat ini harus saya kontekstualkan sebagai penguasaan akan science dan teknologi), dan kemudian pengertian mahaluas akan kehidupan, yang mungkin lebih akrab disebut sebagai kebijaksanaan. Niscaya, seseorang dengan kombinasi unsur-unsur ini akan memiliki sebuah “kekuatan” yang luar biasa. Jadi, ternyata, analogi “Knowledge is Power” bukan sesuatu yang baru lagi bagi leluhur kita. “Begitu seharusnya orang Minahasa dididik dan mendidik!”, tandas mner Hengky. Kesalahan terbesar terjadi ketika kita kemudian menerima pola didik yang tidak kompatibel. “Minahasa seharusnya tidak mengimplementasikan falsafah ‘tut wuri handayani’ dalam pendidikan di daerah ini, sekalipun itu mungkin yang menjadi falsafah pendidikan nasional Indonesia, sebab sama sekali tidak sesuai dengan tata kehidupan dan budaya Bangsa Minahasa. Ini kesalahan fatal!”, semburnya. “Cara Jawa mungkin akan berhasil di masyarakat yang menganut sistem masyarakat multi-level, tetapi, maaf saja, tidak akan sukses diberlakukan di masyarakat Minahasa yang horizontal. Jadi, sudah saatnya dunia pendidikan di desentralisasi juga. Let us do things our way!”. Masuk akal, kan?

Tak terasa malam telah beranjak tua. Angin dari bukit Tareran berhembus dingin. Kelas larut malam ini harus ditutup. Sang Guru tua ini meneguk sloki sopinya yang terakhir seraya pamit pulang...