Minggu, 05 April 2009

Esei Freddy Sreudeman Wowor: "PEMUDA MINAHASA DAN PERUBAHAN ZAMAN".

Salah satu masalah mendasar yang kerap kali menghantui kaum muda minahasa adalah masalah kepercayaan diri. Masalah kepercayaan diri ini, menurutku terkait sekali dengan politik pencitraan yang dilakukan oleh para penguasa dari setiap zaman di sepanjang lintasan sejarah orang Minahasa.
Pada zaman kompeni-hindia belanda misalnya, kita disebut sebagai orang-orang alifuru yang berarti orang-orang yang tidak beradab. Usaha pembentukan citra kita sebagai orang yang tidak beradab terutama dilakukan dengan mengeksploitasi leluri-leluri atau kisah-kisah masa lalu kita terutama yang terkait dengan soal asal usul yaitu kisah Lumimuut dan Toar. Kisah Lumimuut dan Toar sebagai persetubuhan antara ibu dan anak yang semula hanya merupakan salah satu versi dari sekian versi yang ada di dalam leluri-leluri para walian di seluruh wilayah Malesung kemudian ditetapkan oleh para ahli dari eropa sebagai versi yang dominan. Hal ini jelas tidak bisa dilepaskan dari politik kebudayaan kaum orientalis yang senantiasa menetapkan bahwa barat beradab dan timur tidak beradab, barat paling maju dan timur paling terbelakang. Politik kebudayaan yang senantiasa menempatkan segala hal pada posisi oposisi biner. Wacana yang memang menjadi landasan dari politik imperialisme.
Pada zaman awal kemerdekaan, orang minahasa disebut sebagai antek-antek atau kaki tangan penjajah. Orang-orang yang makan roti belanda. Citra ini dibangun dengan landasan pemikiran bahwa selama masa penjajahan Belanda, orang minahasa menikmati status lebih dibandingkan bangsa-bangsa lain di masa itu. Hal ini dibuktikan dengan melihat banyaknya orang minahasa yang terpelajar dan kemudian menjadi pegawai di kantor-kantor milik pemerintah atau menjadi tentara. Kedudukan-kedudukan ini menempatkan orang minahasa secara ekonomi lebih mampu.
Pada era pemerintahan orde lama dan orde baru, orang minahasa juga mendapat status baru sebagai kaum pengkhianat. Ini terkait dengan peristiwa piagam Permesta yang telah mengakibatkan peperangan dan korban baik manusia maupun materi. Politik pencitraan dimasa ini sangat terkait dengan usaha sistematis untuk membatasi peran orang minahasa di bidang sipil dan militer.
Pertanyaan kemudian yang bisa dimunculkan adalah mengapa harus ada usaha-usaha pembunuhan karakter terhadap orang minahasa dan bagaimana sebenarnya perkembangan kaum muda maesa di setiap zaman ?
Menurutku, adanya usaha-usaha pembunuhan karakter ini justru sangat terkait dengan kehadiran kaum muda. Munculnya generasi baru di setiap zaman berarti munculnya motor penggerak perubahan dari sebuah zaman yang baru. Munculnya generasi baru sangat menentukan kemajuan dan masa depan Minahasa, untuk itulah maka generasi baru ini harus dibuat kehilangan jati dirinya. Kehilangan identitasnya. Kehilangan rasa percaya dirinya. Sebab generasi yang telah kehilangan rasa percaya dirinya akan senantiasa hidup dalam kebimbangan dan tidak bisa lagi menentukan sikap. Ia akan selalu ikut arus tidak perduli arus itu akan membawanya ke dalam jeram kehancuran.
Adapun perkembangan kaum muda maesa di setiap zaman adalah sebagai berikut:
Pada zaman colonial, kaum muda minahasa banyak yang menjadi guru dan sangat berperan dalam proses pendidikan di seluruh wilayah nusantara. Dalam perkembangan kemudian, kaum intelektual yang dengan sadar mengambil kelebihan dari pengetahuan barat ini menjadi pelopor ideologis maupun praktis bagi perjuangan melawan penjajahan colonial belanda. Kita bisa menyebut antara lain, Ward Kalengkongan, ahli budaya yang kemudian menjadi sahabat dekat dan guru ideology dari Douwes Dekker Tokoh Nasionalis pendiri Indische Partij yang menuntut Hindia diperintah oleh Orang Hindia – Indie voor de Indier. F.D.J Pangemanann, pengarang dan pelopor pers, J.H. Pangemanan, pelopor pers dan pendiri Rukun Minahasa di Semarang. Sam Ratulangi, pelopor pers, futurolog. Ketua indische vereniging (Perhimpunan Indonesia). Arnold Mononutu, wakil Perhimpunan Indonesia di Prancis.
Pada zaman kemerdekaan,kita bisa menyebut antara lain J.F Malonda, sastrawan dan filsuf, penulis buku Membuka Tudung Filsafat Purba Minahasa. Giroth Wuntu, penulis roman Perang Tondano, H.M Taulu, penulis sejarah Minahasa dan Kisah pingkan Matindas (Bintang Minahasa), Jappy Tambayong (Remi Silado) Seniman serba bisa
Pelopor puisi Mbeling. Benni Matindas, penulis karya filsafat setebal seribuan halaman berjudul Negara Sebenarnya. Harry Kawilarang, wartawan dan penulis buku tentang terorisme internasional.
Pada penghujung era Orde Baru juga muncul gerakan budaya melalui kegiatan sastra,teater dan musik melalui Teater Kronis Manado, KONTRA, dan Teater Ungu. Gerakan budaya ini kemudian bermuara pada apa yang sekarang dikenal sebagai Mawale Movement : Gerakan Membangun Tempat Tinggal. Gerakan yang bertolak dari penulisan karya sastra berbahasa Melayu-Manado dan juga bahasa minahasa, eksperimentasi teater dan musikalisasi puisi serta pembangunan basis dan jaringan kebudayaan di seluruh Sulawesi Utara lebih khusus lagi Minahasa, Minahasa Selatan Minahasa Utara, Tomohon dan Minahasa Tenggara.
Apa yang bisa dijadikan permenungan dari kisah kaum muda Minahasa dari zaman dahulu sampai zaman sekarang adalah semangat untuk senantiasa menuntut pengetahuan yang lebih maju dan sikap kritis serta semangat kepeloporan untuk melakukan perubahan. Si Tou Timou Tumou Tou.