Selasa, 22 Juli 2008

Esei Matulandi PL Supit: "PANDANGAN SAM RATULANGI TENTANG KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA"

(Red: Tulisan ini sudah berumur hampir satu dekade, namun masih terasa kontekstual hari ini, bahkan mungkin sampai puluhan tahun mendatang. Nyanda rugi mo baca boz!)


Memperhatikan penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan UUD 1945 selama 39 tahun terhitung sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Mei 1998 didapati beberapa kelemahan internal yang mendasar. Kelemahan - kelemahan tersebut akibat konstitusi yang "singkat dan fleksibel", memberi peluang kepada setiap penguasa untuk menafsirkan sesuai dengan keinginannya. Disisi lain UUd 1945 menghendaki penguasa adalah seorang yang jujur, saleh, dan bertanggung jawab.
Untuk memahami kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945, sebaiknya diperhatikan proses terjadinya negara Republik Indonesia. Hematnya dibagi dalam 3 periode yaitu, persiapan kemerdekaan, membentuk negara dan pembangunan (terdiri dari "penguatan" dan "pengembangan"). Periode persiapan kemerdekaan diawali pada tahun 1928 ketika di Deklarasikan Sumpah Pemuda. Inti deklarasi tersebut adalah "persatuan" atas wilayah, natie dan bahasa yang kemudian dikristalisir dalam "Pancasila". "Persatuan" dijadikan isu strategis politis karena kondisi rakyat yang sebagian besar menderita dan terkekang oleh penjajahan Belanda. Melalui isu "persatuan" dikembangkan dengan janji perbaikan kondisi memotivasi seluruh komponen rakyat untuk menuntut kemerdekaan hingga pada akhirnya diproklamirkan kemerdekaan Indonesiap pada 17 Agustus 1945 dalam suasana memanfaatkan momentum kekalahan Jepang pada "Sekutu" di Pasifik. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 dideklarasikan konstitusi sebagai salah satu syarat adanya negara setelah Rapat Besar Panitia Persiapan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (Konstituante I). Adapun konstitusi yang dikenal dengan UUD 1945 menurut catatan sejarah yang resmi dikeluarkan oleh Pemerintah merupakan karya Badan Penyelidik Urusan Kemerdekaan Indonesia, terdiri dari "jurist - jurist", mulai bekerja sejak 28 Mei s/d 16 Juli 1945. Memperhatikan perumusan konstitusi oleh Sam Ratulangi dan beberapa anggota lainnya menegaskan bahwa konstitusi itu tidak menggambarkan keinginan rakyat secara keseluruhan. Pertama, perumusannya didasari atas kondisi nasionalisme, internasionalisme, perang, kemerdekaan dan filsafat hukum. Kedua, dalam suasana yang terburu - buru. Penegasan kelemahan konstitusi (UUD 45) tersebut jelas dalam pasal 3 yang berbunyi, "MPR menetapkan UUD dan GBHN" dan Aturan Tambahan pasal 37 (2) yang berbunyi "Dalam 6 bulan sesudah MPR dibentuk, majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD". Periode kedua yaitu perumusan bentuk negara yang sesuai dengan keinginan seluruh rakyat Indonesia berlangsung sejak 1950 s/d 1959. Hasil pemilihan umum tahun 1955 menghasilkan Dewan Konstituante guna merumuskan Konstitusi yang sesuai dengan keinginan seluruh rakyat Indonesia. Perdebatan sengit mengenai bentuk negara (Kesatuan dan Federasi) terjadi antara fraksi - fraksi di dewan. Unitaris yang terdiri dari Nasionalis, Komunis dan sebagian Islamis mendukung bentuk Negara Kesatuan berhadapan dengan Federalis yang didukung oleh golongan minoritas dan sebagian Islamis. Sementara di lapangan terjadi pemberontakan melawan pemerintah seperti PRRI, Permesta, DI-TII dan lain - lain. Debat yang tidak selesai dimanfaatkan oleh Soekarno sebagai sesepuh Unitaris untuk kembali ke UUD 1945. Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 didasari atas alasan bahwa untuk menyelamatkan rakyat yang menderita akibat krisis ekonomi dan politik. Hal ini tergambar dalam Manifes Politik 17 Agustus 1959 sebagai berikut :
"Biar kaum imperialis di luar negeri geger ! Mereka menuduh kita, bahwa UUD 1945 adalah bikinan Jepang, Mereka menuduh pula, bahwa kekuasaan Presiden dalam rangka UUD 1945 sekarang ini, dilandaskan kepada kediktatoran militer. Sekali lagi biar mereka geger ! UUD 1945 bukan bikinan Jepang, UUD 1945 bukan Japanese - made. UUD 1945 adalah asli cerminan kepribadian (identity) bangsa Indonesia, sejak zaman purbakala - mula mendasarkan sistem pemerintahannya kepada masyarakat dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral ditangan seorang sesepuh, - seorang tertua -, yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin, mengayomi. Demokrasi Indonesia sejak zaman purbakala - mula adalah demokrasi terpimpin, dan ini adalah karakteristik bagi semua demokrasi - demokrasi asli di benua Asia." (Prof. Mr. Muh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid III 1960 : 716)
Perjuangan memposisikan Unitaris melalui UUD 1945 dituntaskan pada Rekayasa Politik (resminya Suksesi Kepemimpinan) 1965 yang melahirkan "Orde Baru". Pemerintahan yang baru dibawah Orde Baru bertekad meletakkan dasar negara dan pemerintahannya melalui penegasan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Periode Pembangunan melalui Orde Baru diawali dengan tahap penguatan komponen - komponen pembangunan yang puncaknya pada pembulatan tekad melalui Konsensus Nasional tahun 1985 tentang Azas tunggal Pancasila dan UUD 1945. Tahap berikutnya adalah pengembangan, komponen - komponen vital yang telah dikuasai dikembangkan secara sistematis guna mencapai tujuan akhir Unitarisme yakni homogenitas sosial di segala aspek.
Tahap kedua dari periode ketiga mendapat hambatan ketika krisis ekonomi melanda republik ini. Kekacauan ekonomi memicu eksistensi politik yang telah dibangun selama 39 tahun. Perkembangan terakhir justru mengarah pada krisis kenegaraan ketika Otonomi Daerah Yang Seluas - luasnya diangkat kepermukaan oleh daerah - daerah. Perdebatan di tahun 50an menjadi hangat kembali di era 1998 (era reformasi) walaupun dengan atau tanpa kaitan dengan angkatan 50an.
Latar belakang obsesi unitarisme menciptakan negara kesatuan adalah kesuksesan dua imperium yang pernah ada di masa lalu yaitu, Sriwijaya (imperium pertama) dan Majapahit (imperium kedua) dengan gamblang tergambar dalam pidato - pidato provokatif Soekarno, "..... berpuluh - puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk memerdekakan tanah air kita. Bahkan telah beratus - ratus tahun !". (Manifes Politik 17 Agustus 1959) dan argumentasi ilmiah Mr. Muhammad Yamin (Lihat Persiapan Naskah UUD 1945 oleh Prof. Mr. Muh Yamin, 1960).
Kedua imperium pernah menguasai hampir semua pulau yang tersebar disekitarnya (sekarang ini disebut wilayah RI). Bentuk monarkhi absolut merupakan pola pemerintahan yang dijalankan guna menguasai daerah - daerah seberang. Jadi daerah - daerah seberang ditaklukkan untuk kemudian wajib memberi upeti kepada kaisar sebagai penguasa tunggal. Berdasarkan gambaran masa lalu disusun strategi unitarisme untuk membentuk imperium ketiga yaitu Republik Indonesia. Perwujudan obsesi tersebut tergambar pada kata Pancasila hingga bahasa Indonesia yang dominan mengkonversi kata dari bahasa Sansekerta serta penamaan ruangan - ruangan di Gedung MPR - RI. Penyelenggaraan negara yang nepotis merupakan konsekuensi logis daripada negara berkedaulatan raja (monarkhi) yang terselubung melalui UUD 1945 (rezim Soeharto) guna melestarikan bentuk negara sekaligus kekuasaan. Pembenaran atas tujuan adalah, "Program (politik) Nasional itu ialah perjuangan sejak runtuhnya Negara Indonesia yang kedua yaitu, Majapahit pada permulaan abad XVI, dengan tidak berorganisasi sampai penghabisan abad XIX dengan berorganisasi modern dengan menjalankan massa aksi teratur dalam abad XX". (Muh. Yamin 1960 : 51)
Secara umum disimpulkan bahwa Soekarno adalah inisiator dan fasilitator imperium ketiga dengan jargon Revolusioner dan Soeharto sebagai kaisar pertama yang memerintah dengan jargon Pembangunan. Mengamati kedua jargon beserta isinya maka jelas tahapan strategis yang telah dibuat oleh unitarisme selama kurun waktu 70 tahun (1928 s/d 1998).
Momentum 1998 adalah saat yang ditunggu - tunggu oleh semua pihak yang didustai dan tersingkir selama 39 tahun. Celah waktu yang diciptakan melalui gerakan reformasi Mei 1998 merupakan saat yang paling merdeka bagi seluruh rakyat untuk menentukan sikap bagi masa depan, apakah kembali pada komitmen 1959 atau menciptakan sesuatu yang baru. Proses tersebut sedang berlangsung diantara ketiga kelompok yaitu yang mempertahankan sistem imperium melalui UUD 1945 dengan segala kelemahan dan keburukannya, yang menghendaki revisi UUD 1945 sesuai dengan nilai - nilai yang hidup dalam masyarakat dewasa ini (living law) melalui amandemen (revisionist sampai retooling); dan yang menghendaki membuat konstitusi baru.
Solusi yang tepat guna mengatasi krisis kenegaraan akibat krisis ekonomi adalah otonomi daerah yang seluas - luasnya (konfederasi) atau federasi. Melalui solusi seperti ini negara dapat dipertahankan eksistensinya dan ekonomi dapat dipulihkan dalam tempo yang singkat. Mempertahankan sistem imperium melalui UUD 1945 jelas sudah bangkrut. Upaya - upaya menggunakan UUD 1945 sebagai alat guna mencapai kesejahteraan sosial tidak dipercaya lagi oleh banyak orang. Untuk itu kesempatan emas yang telah terbentang dihadapan kita merupakan jalan menuju pembaruan strategi kesejahteraan rakyat di masa depan.
KEBEBASAN
Nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat mengkristal dalam hukum meliput seluruh aspek kehidupan. Hukum meliputi hak dan kewajiban perorangan dan pribadi hukum (subyek hukum).
Hak-hak tidak dapat berdiri sendiri karena tanpa dibatasi akan cenderung mengancam atau memangsa sesamanya (homo homini lupus), untuk itu perlu dibatasi oleh kewajiban-
kewajiban.Namun demikian Manusia Dilahirkan merdeka (bebas), dan dimana dia terbelenggu dengan rantai, J.J. Rousseau dalam bukunya Kontrak Sosial 1762.
Implementasi pandangan Rousseau tergambar dalam Piagam Virginia Amerika Serikat 12 Juni 1776 pasal 1 berbunyi, bahwa segala manusia adalah menurut alam sama-sama bebas dan merdeka, serta mempunyai beberapa hak yang tidak terpisah darinya, yaitu kesenangan hidup dan kemerdekaan. Sebulan kemudian dikuatkan oleh Thomas Jefferson dengan ucapan, bahwa semua manusia dijadikan sama dan merdeka, diberkati oleh yang menjadikan beberapa hak yang tidak terpisah-pisah dan diantaranya yaitu hidayat, kebebasan dan tuntutan kesenangan : bahwa untuk menjamin hak-hak itu, maka dibentuklan pemerintahan di antara manusia, yang mengalirkan kekuasaan mereka yang benar dari persetujuan yang diperintah.
Kesepakatan yang dicapai oleh masyarakat di benua Eropah pada tanggal 27 Agustus 1789 melahirkan Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia dalam pasal 1 berbunyi, bahwa manusia lahir dan tetap bebas, serta mempunyai hak yang sama. Dan pasal 2 berbunyi, tujuan segala susunan politik ialah melindungi hak manusia alamiah dan tidak terpisah-pisah. Hak-hak itu ialah kemerdekaan, hak milik, keamanan dan perlawanan terhadap penindasan.
Untuk itu hak - hak diartikan sebagai kebebasan / kemerdekaan diperinci sebagai berikut, Kebebasan rohani yaitu kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi; Kebebasan dari kekurangan; Kebebasan dari ketakutan; Kebebasan beragama dan menjalankan ibadat.
Kebebasan rohani meliputi menyatakan pendapat dan berorganisasi merupakan hak yang melekat pada kehidupan. Dalam konteks manusia sebagai mahluk yang berpikir / berakal maka penyampaian buah pikiran / gagasan tidak dapat dihalangi sepanjang tidak bertentangan dengan nilai - nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Operasional kebebasan ini pada masyarakat dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, berbeda aplikasinya antara kondisi masyarakat liberal dan konservatif. Berdasarkan proposisi ini maka generalisasi aplikasi kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi pada keragaman suku bangsa di Indonesia adalah mustahil dengan begitu integralisme / unitarisme solusi yang tidak tepat.
Tentang kebebasan dari kekurangan menekankan pada penghargaan yang layak terhadap jasa - jasa. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendapat guna pemenuhan kehidupan yang layak meliputi pangan, sandang dan papan. Berbicara bebas dari kekurangan secara riil meliputi beberapa aspek pendukung seperti kapasitas SDM dan perekonomian suatu masyarakat. Kondisi SDM dari perekonomian tidak sama pada masing - masing komunitas yang ada di Indonesia, hal ini nyata berlangsung dalam perjalanan negara kesatuan RI. Keragaman bukan menjadi perhatian utama unitarisme karena diyakini melalui strategi pertumbuhan ekonomi dapat menjawab permasalahan. Untuk itu diterapkan otonomi terbatas bagi daerah guna memudahkan penyelenggaraan perekonomian secara menyeluruh. Pembatasan kewenangan daerah berdampak pada pengembangan potensi lokal sehingga ketergantungan merupakan kondisi yang diciptakan guna menjamin kelangsungan integralisme. Pemiskinan struktural terjadi didaerah - daerah melalui ketergantungan pada pusat dan ekonomi biaya tinggi (prosedur biaya tinggi) yang terjadi dalam rangkaian birokrasi. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh kemurahan hati pemerintah pusat.
Tentang kebebasan dari ketakutan meliputi kepastian dan perlindungan hukum dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pelaksanaan hak dan kewajiban perorangan dan lembaga dalam praktek cenderung terjadi penyelewengan oleh penguasa karena diberikan peluang oleh aturan yang tidak jelas / pasti atau belum diatur oleh peraturan. Kedua kemungkinan tersebut terjadi dalam penyelenggaraan NKRI berdasarkan UUD 45. Konstitusi yang sangat singkat dan fleksibel seperti UUD 45 membutuhkan penyelenggara yang bermoral dan saleh sementara manusia adalah binatang berakal. Fleksibilitas tersebut memberikan peluang kepada setiap penyelenggara untuk menafsirkan sesuai dengan keinginannya sehingga bentuk - bentuk kekuasaan fascis dan diktator bukan sesuatu yang menyalahi konstitusi. Konsekuensinya terhadap kepastian dan perlindungan hukum bukan berdasarkan keinginan / kehendak terbanyak (voluntee generale) melainkan kehendak seseorang atau kelompok orang. Politik pendidikan yang mengacu pada unitarisme mengharapkan keseragaman kurikulum diseluruh wilayah negara, disamping itu rekayasa sejarah merupakan syarat mutlat guna menekan serta menghilangkan pemahaman tentang fakta - fakta. Indoktrinasi halus seperti pemberlakuan ketentuan pers dan penerbitan yang bertanggung jawab dan indoktrinasi kasar melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diwajibkan pada segala tingkatan usia sekolah. Kemutlakan ideologi merupakan prasyarat guna menopang nasionalisme. Nasionalisme mengandung egoisme, sektarianisme dan seterusnya sehingga upaya internal untuk mempertahankannya adalah devide et impera melalui isu SARA.
Tentang kebebasan beragama dan beribadat adalah hak setiap manusia untuk menjalankan agamanya dengan merdeka. Namun sejarah menunjukkan bahwa agama dipergunakan sebagai alat politik yang ampuh guna mempertahankan kekuasaan dan atau melebarkan kekuasaan. Contoh sederhana di bekas Yugoslavia antara Serbia dan Bosnia yang serupa dengan di Inggris. Demikian juga dengan internasionalisme Kristen pada permulaan tarikh masehi yang melahirkan negara - negara Kristen berdasarkan kedaulatan Tuhan (Theokrasi). Internasionalisme Islam pada abad 20 yang melahirkan negara - negara Islam yaitu perpaduan antara ketuhanan dan sosialisme. Contoh diatas menunjukkan keampuhan agama sebagai alat politik untuk menguasai manusia di bagian - bagian dunia. Perseteruan tersebut menjadi isu paling diminati oleh manusia karena keyakinan merupakan impuls manusia yang paling rapuh untuk dipermainkan dalam segala tingkatan kesadaran. Walaupun agama telah dimanfaatkan untuk kepentingan politis dari masa kemasa, bukan menjadi alasan guna membatasi kebebasan manusia untuk memeluk agama dan melaksanakan ibadatnya.
Keempat kebebasan yang dibicarakan di atas banyak diselewengkan oleh kekuasaan di berbagai negara, baik secara sadar (sudah jelas dalam konstitusi) maupun tidak sadar (penafsiran konstitusi akibat ketidakjelasan aturan). Kaitannya dengan negara Indonesia yang berbentuk kesatuan (NKRI) terhitung sejak Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, menunjukkan penyelewengan yang nyata terhadap keempat kebebasan diatas. Untuk itu rakyat sebagai pemilik kebebasan harus bertindak mereposisi melalui konsensus berdasarkan mekanisme yang diatur oleh rakyat sendiri.
OTONOMI
Penyelenggaraan pemerintahan seperti diatur dalam pasal 18 UUD 1945 menjadi dasar Desentralisasi dan Dekosentrasi seperti tertuang dalam UU No. 5/1974 tentang Pokok - Pokok Pemerintahan Di Daerah. Adapun definisi beberapa istilah yang digunakan dalam UU No. 5/1974 masing - masing Pemerintah Pusat adalah Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta pembantu - pembantunya. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya; Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat - Pejabat di daerah; Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku; Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
UU No. 18/1965 tentang Pokok - Pokok Pemerintahan di Daerah menganut prinsipil riil dan seluas - luasnya dicabut dan digantikan dengan UU No. 5/1974 tentang hal yang sama dengan prinsip nyata dan bertanggung jawab. Perbedaan prinsip antara riil dan seluas - luasnya dengan nyata dan bertanggung jawab menurut penjelasan UU No. 5/1974 didasari atas kekhawatiran bahwa, pengertian riil dan seluas - luasnya ternyata dapat menimbulkan kecenderungan permikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip - prinsip yang digariskan didalam GBHN. Memperhatikan kekhawatiran tesebut maka jelas pemerintah pusat tidak rela untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dengan alasan klise membahayakan keutuhan NKRI. Hematnya bahwa prinsip riil dan seluas - luasnya bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan seperti yang tercantum dalam UUD 1945. Hal tersebut jelas terbaca dalam penjelasan UU No. 5/1974 angka I.1.e.i. Dengan begitu UU ini merupakan bagian dari periode ketiga (pembangunan) tahap pertama sepertu yang digambarkan pada bagian I diatas.
Sehubungan dengan kekhawatiran tersebut maka Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat diarahkan ke daerah tingkat II (Kabupaten dan Kotamadya), dengan kewenangan mengatur rumah tangga sendiri dalam batas - batas tertentu. Pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan terhadap sektor - sektor tradisional seperti, galian C, pajak bumi dan bangunan, retribusi pasar, pajak kendaraan bermotor dan lain - lain. Sementara sektor strategis diatur langsung oleh pemerintah pusat. Dikaitkan dengan jumlah pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan suplai anggaran melalui APBN, jelas PAD jauh lebih kecil jumlahnya. Apabila dihitung menyeluruh maka pendapatan asli daerah akan jauh lebih besar dibanding suplai melalui APBN. Contoh sederhan di sektor pertambangan emas, produksi emas PT. Newmont Minahasa Raya sebesar 58.000 ons / kwartal (Manado Post Selasa, 9 Juni 1998). Jika dinilai dengan rupiah pada standar harga jual emas Rp 75.000 / gram maka penghasilan bruto kurang lebih 1.3 trilyun/tahun. Bisa dibayangkan kekayaan daerah secara keseluruhan yang disedot ke pusat. Kenyataan ini tidak dapat disangkal karena merupakan konsekuensi logis pelaksanaan UU No. 5/1974.
Di bidang politik berdasarkan UU No. 5/1974 penjelasan angka I.4.d. menunjukkan bahwa pemerintah daerah adalah Kepada Daerah dan DPRD dengan tujuan tercapainya kerjasama yang serasi antara KDH dan DPRD untuk mencapai tertib pemerintahan di daerah. Keterangan ini menunjukkan pemerintah pusat berupaya menyatukan kekuasaan legislatif dan ekskutif guna menekan keinginan rakyat yang dapat merusak tatanan dalam konsep NKRI.
Dibidang Hukum, pengambilan keputusan baik dalam bentuk kebijakan Kepala Daerah maupun Peraturan Daerah harus sesuai dengan kerangka yang telah ditetapkan pemerintah atasannya. Hal ini merupakan konsekuensi NKRI dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden (sistem kabinet pressidentil).
Sesuai dengan petunjuk pasal 88 UU No. 5/1974 bahwa, pengaturan tentang pemerintahan desa ditetapkan dengan undang - undang, melalui UU No. 5/1974 tentang Pemerintahan Desa diatur sistem pemerintahan di tingkat desa. Semangat yang dikandung undang - undang ini mengacu pada induknya yaitu UU No. 5/1974 antara lain tujuan penyeragaman pemerintahan di seluruh pelosok negara. Namun dalam redaksi judul Menimbang huruf b., terdapat kerancuan antara tujuan penyeragaman dan mengindahkan keragaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku. Dua penegasan yang tidak dapat dipertemukan itu memberi kesan bahwa keterangan yang tertuang dalam judul menimbang huruf b., hanya sebagai slogan guna menutupi agenda utama yang (penyeragaman).
Undang - Undang ini sejiwa dengan induknya (UU No. 5/1974 jo. GBHN jo UUD 1945) dengan prinsip sesuai dengan kerangka NKRI bahwa, Negara Indonesia itu suatu eenheids staat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga (penjelasan pasal 18 UUD 1945).
Memperhatikan teori yang dikemukakan oleh Robert C. Fried, The Italian Prefects (dikutip dari Hukum dan Pembangunan 1978 hal. 441) bahwa, tipologi pemerintahan daerah dibagi dalam tiga jenis sistem yaitu, sistem fungsional, sistem prefektur tak terintegrasi, sistem prefektur terintegrasi.
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah menurut UU No. 5/1974 menganut sistem prefektur terintegrasi seperti tergambar dalam pasal 2, 74(1) & (2), 79(1) & (2), 80, 81, 85(1). Penganutan sistem ini dipengaruhi oleh proses sejarah dan ditopang oleh berbagai faktor ekologis lainnya. Sistem ini berasal dari zaman Merkantilisme dan kemudian dikembangkan di Perancis oleh Napoleoon Bonaparte. Untuk mendalami sistem ini lebih lanjut diperlukan pendekatan "behavioralism". Pola militer (vini, vidi, vici) jelas mempengaruhi sistem ini, bahkan menurut pengamatan Fried, sistem prefektur terintegrasi seringkali dipergunakan sebagai senjata untuk mengatasi ancaman bahaya yang datang dari suku - suku atau kekuatan sosial dan ekonomi yang berkonsentrasi di wilayah - wilayah tertentu. Dengan jalan menempatkan seorang gubernur di wilayah - wilayah itu dengan segala atribut yang dimilikinya, maka Gubernur dapat melakukan keseimbangan kepentingan, menetralisir keadaan dan menciptakan stabilitas politik diwilayahnya.
Kenyataan itu telah berlangsung sejak ditetapkannya UU No. 5/1974. Tidak dapat disangkal seperti ucapan Satjipto Rahardjo, ....... hal itu pada hemat saya disebabkan oleh karena saya mencoba untuk menegaskan penggunaan dari pada hukum itu sebagai sarana sosial engineering yang sekarang ini merupakan kemungkinan yang berkembang dikalangan hukum. Dan dengan demikian maka saya mencoba untuk menekankan betapa hukum itu dipakai sebagai suatu sarana yang sistematis, yang terencana, yang diucapkan dengan dasar untuk melakukan perobahan - perobahan dalam masyarakat atau untuk menuju pada suatu susunan masyarakat yang dicita - citakan. (Hukum dan Pembangunan No. 4 Tahun ke-IX Juli 1979).
Menengok kebelakang ketika perumusan UUD 1945, Sam Ratulangi mengingatkan bahwa, ..... supaya daerah pemerintahan di beberapa pulau - pulau besar diberi hak seluas - luasnya untuk mengurus keperluannya menurut pikirannya sendiri, menurut kehendaknya sendiri, tentu dengan memakai pikiran persetujuan, bahwa daerah - daerah itu adalah daerah daripada Indonesia, dari satu negara. (Risalah Sidang BPUPKI 1992, 312). Menyimak pandangan Sam Ratulangi tentang bentuk negara maka jelas kearah federasi. Beliau mengerti dengan jelas bahwa eksistensi suku bangsa yang tersebar dalam wilayah Republik Indonesia adalah riil dan tidak bisa dinegasikan dalam kerangka negara yang baru dibentuk.
Jelas sudah penipuan - penipuan oleh utopist yang menghendaki negara ini seperti di zaman Majapahit. Berdasarkan kenyataan itu maka daerah - daerah harus mempersiapkan diri guna merebut kembali hak - hak yang telah dirampas itu. Untuk itu harus segera dilaksanakan penguatan rakyat melalui revitalisasi hak adat maupun hak - hak kepemilikan yang diakui masyarakat lokal guna mengisi dan mendukung perjuanga merebut hak tersebut daru tangan penipu - penipu.

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM KERAKYATAN
Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Kerakyatan (disingkat PSAK) dibangun atas alasan mendasar yaitu, penyelenggaraan kekuasaan berdasarkan NKRI dan perekonomian berdasarkan pertumbuhan seluruhnya menegasikan hak - hak rakyat atas pemilikannya. Sebagai contoh pembangunan yang didukung oleh perundang - undangan berdasarkan alasan tersebut di sektor pertambangan, kehutanan, perdagangan, pertanian, perikanan, perindustrian dan masih banyak lagi.
Seluruh proses pembangunan di sektor ini mulai dari perencanaan hingga pengawasan dilakukan oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah hanya mengikuti pola yang telah ditetapkan. Pemerintah daerah hanya memiliki wewenang mengatur sektor - sektor tradisionil seperti galian C, pertanian rakyat, perikanan rakyat dan lain - lain. Yang paling menyedihkan adalah, setiap jengkal tanah dan laut maupun isinya di seluruh Indonesia telah diperjualbelikan antara pemerintah pusat dan pengusaha besar (konglomerat) di Jakarta. Sementara rakyat di daerah / desa sebagai pemilik sah atas sumberdaya alamnya merasa aman dibawah perlindungan aturan - aturan hukum yang dibuat bukan untuk melindunginya seperti, UU No. 5/1960 tentang Pokok - Pokok Agraria. UU ini merupakan cerminan konstitusi dalam hal penguasaan tanah oleh negara (Hak Menguasai Tanah oleh Negara disingkat HMN). Tujuan akhir UU ini adalah penyeragaman hak - hak tanah di seluruh Indonesia. Hal ini didukung oleh ungkapan Soekarno dalam Manifesto Politik 17 Agustus 1959, .... kita mewarisi dari zaman beberapa hal yang harus diberantas. Antara lain apa yang dinamakan hak eigendom di atas sesuatu bidang tanah. Mulai sekarang kita coret sama sekali hak egendom tanah dari hukum pertanahan Indonesia. Tak dapat kita benarkan, di Indonesia Merdeka ada sesuatu bidang tanah yang di eigendomi oleh orang asing, in casu orang Belanda ! Kita hanya kenal hak milik tanah bagi orang Indonesia, sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. (Muh. Yamin 1960 : 712)
Dalam laporan Residen Manado E. J. Jellesma 1903 bahwa, menurut penerapan verklaring di Keresidenan Manado atas pertimbangan agar membatasi / menghalangi penguasaan tanah oleh para Hukum Besar secara semena - mena.
Keterangan ini dibenarkan oleh Agrarische Wet 1870 yang tercantum dalam pasal 51 Indische Staatsregeiing berisi sebagai berikut, Gubernur Jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah, Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai pemberian tanah - tanah itu melanggar hak - hak rakyat, Persewaan tanah oleh rakyat asli kepada orang - orang bukan rakyat asli berlaku menurut peraturan undang - undang.
Memperhatikan ketentuan di atas maka nampak bahwa orang asing tidak diperbolehkan memiliki tanah yang belum dikonversi menurut Agrarische Wet, dengan demikian hak asli didudukkan sebagai hak yang terkuat. Hak pemilikan tersebut tidak saja atas tanah tetapi juga terhadap apa yang terkandung didalamnya, sehingga kebebasan untuk menikmati pemilikan perorangan dijamin oleh pemerintah. Dikaitkan dengan PSA, jelas hak - hak pengelolaan yang dilakukan oleh rakyat. Kelihatannya kolonialisme Belanda tidak sampai menekan hak - hak pengelolaan yang dilakukan oleh rakyat. Kelihatannya kolonialisme Belanda tidak sampai menekan hak - hak rakyat atas tanah seperti pasal 33 : 3 UUD 1945 yang dianggap sebagai produk bangsa merdeka. Benar ungkapan salah seorang wakil fraksi dalam Majelis Konstituante bahwa, Lebih mudah merebut hak dari penjajah daripada merebut hak dari bangsa sendiri. Kondisi yang berlangsung setelah kemerdekaan Indonesia tidak lebih dari ungkapan, penjajah putih pergi digantikan dengan penjajah hitam (bangsa sendiri).
Menurut Van Vollenhoven bahwa, di wilayah Hindia Belanda tidak kurang dari 300 suku bangsa yang satu dengan lainnya terdapat perbedaan. Kehidupan suku bangsa sebelum kolonialisme Belanda adalah merdeka / bebas dalam arti mengatur sendiri kepentingan komunitasnya. Hal ini sesuai dengan ungkapan J.J. Rousseau bahwa, Manusia terlahir merdeka / bebas, namun dimana - mana dia terbelenggu. Berdasarkan kenyataan itu maka tidak seorangpun melalui kekuasaan yang dimilikinya mematikan kemerdekaan / kebebasan yang dimiliki oleh sesamanya. Untuk itu masyarakat lokal sebagai pemilik sah atas SDA nya berhak mengelola sesuai dengan prinsip - prinsip yang berlaku dalam komunitas itu.

Juni 1999