Minggu, 06 Juli 2008

Esei Denni Pinontoan: "Mencoba Memaknai Globalisasi".

Utu yang tinggal di salah satu wanua terpencil di wilayah Minahasa tak lagi harus bersusah-susah untuk menonton final siaran langsung Euro 2008. Dia bisa langsung tahu, Spanyol adalah juara Euro 2008. Cuma kopi pahit manis satu gelas, tv 21 inch, duduk di kursi empuk dan ditemani beberapa teman sekampung yang gila bola, Utu sudah bisa pergi ke dunia lain. Ini berkat Parabola yang kemudian yang menjadi bisnis TV Kabel menguntungkan bagi Om Benni sejak tahun 90-an. Film-film aksi dan kasih produksi hollywood dan bollywood juga sudah akrab dengannya setiap hari. Padahal, di lemarinya ada kartu Rumah Tangga Miskin. Besok dia akan antri di Kantor Pos Kecamatan untuk menerima BLT.

Utu, juga tak lagi pusing jika ingin bercakap-cakap langsung dengan adiknya di Jakarta. Dia punya seluler second, yang dibelinya dengan murah dari Alo yang sekarang mengganti hp-nya dengan fasilitas 3G. Cuma menekan beberapa angka di hp itu, dia langsung bisa bicara, tanya kabar juga kadang bercanda minta dikirimkan uang melalui rekening banknya kepada adiknya. Kadang canda itu membuahkan hasil. Tak dia kira, ketika mengambil waktu ke kota, cek di ATM, eh ternyata saldonya sudah bertambah.

Keke, adik Utu yang lain, yang sementara kuliah di kota, sehari-hari ke warnet. Chatting dan kirim surat elektronik (e-mail) kepada teman sekolahnya waktu SMA yang sekarang bekerja di Amerika. Mereka saling menanyakan kabar, atau bercanda. Foto-foto yang dipotret pakai kamera digital temannya di Amerika bisa Keke lihat langsung di salah satu fasilitas emailnya. Temannya banyak bercerita tentang Amerika. Keke pun membagi ceritanya tentang suasana kampung kalau Natal, Tahun Baru atau Pengucapan Syukur yang baru dialaminya sejak temannya itu ke Amerika. Keke pun jadi tahu banyak seperti apa kehidupan di Amerika. Temannya pun tak jadi lupa kampung halamannya. Mereka jauh, tapi tetap sebagai teman dekat. Ketika di warnet, Keke seolah-olah sedang berada dekat dengan temannya itu. Keke juga menjadikan Google, Yahoo dan web mesin pencari lainnya untuk mendapatkan informasi yang dia butuhkan.

Utu, Keke, Om Benny dan Alo, adalah kita di sini dan kini, yang sementara menikmati berkat tapi juga sementara terancam dengan globalisasi. Dunia telah menjadi datar, demikian Thomas L Friedman. Dunia seolah-olah tak ada lagi batas. Antara Utu, Alo, Keke, dengan George, Chelse, Jurgen, atau Suprapto, Inem, dan lain sebagainya adalah manusia-manusia di sebuah dusun kecil bernama bumi. Kemajuan teknologi dan informasi serta perdagangan antara negara, telah membuat dunia ini menjadi datar.

Ini membawa konsekuensi pada perubahan cara pandang, paradigma berpikir, sistem dan paradigma politik dan ekonomi. Kita memang akhirnya telah dibuat takut dengan globalisasi, tapi karenanya kita juga terhibur dan senang menonton pertandingan sepak bola di ESPN dan film-film Box Office di HBO. Itulah globalisasi yang adalah realitas sejarah, yang bukan nanti sekarang terjadi. Di Indonesia, sejak bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda datang, globalisasi pun telah dimulai. Meski memang yang dominan waktu itu tampilannya adalah imprealisme, namun, di satu pihak, pendidikan modern oleh para zending yang diperkenalkan di Minahasa misalnya, harus disebut sebagai berkat. Di dunia ini, sejak Colombus melakukan perjalanannya dan merambah dunia-dunia baru, globalisasi pun dimulai. Begitu juga perjumpaan antara pedagang Arab, India, Persia dan Cina, dengan di Nusantara, yang dimulai pada abad ke-7, juga adalah usaha-usaha awal mendatarkan dunia. Jangan lupa juga ketika peradaban Islam menancapkan pengaruhnya dari Indus sampai Andalus.

Friedman pengarang buku “The World is Flat, Sejarah Ringkas Abad ke-21,” (Terj. Dian Rakyat, Jakarta, Oktober 2006) meyakini dunia mulai menjadi datar ketika perang dingin berakhir. Di saat itulah dunia bersepakat untuk tunduk pada satu sistem yaitu kapitalisme. Dunia modern, kemudian melahirkan evolusi teknologi informasi. Karena itu muncullah penemuan PC (personal computer), internet pun mendunia.

Tapi, kita bisa juga melihat sejarah kelahiran globalisasi ini dari kemerdekaan rasio (rasionalisme), yang kemudian antara lain memunculkan kapitalisme dan imprealisme. Rasionalisme adalah hasil pemberontakan terhadap dominasi agama (gereja) dengan kemutlakan doktrin dan tradisinya. Abad pertengahan, ketika Luther memberontak terhadap kemutlakan gereja, dan kemudian membuka ruang kritik terhadap doktrin, tradisi dan otoritas gereja yang kalau tidak diinterupsi bisa menjadi tahayul, maka manusia pun akhirnya merasa diri telah bebas merdeka.

Tapi prosesnya panjang sampai bayi globalisasi itu menemukan wujudnya yang menyeramkan, yaitu kapitalisme dan imprealisme. Ada revolusi Industri, ada Kemerdekaan Amerika, ada revolusi Perancis yang mengiringi proses perubahan wujud rasionalisme menjadi monster globalisasi. Kolonialisme Bangsa Barat atas Bangsa Timur, harus kita baca dalam upaya kapitalisme dan imprealisme menundukkan dunia. Ini berawal ketika rasionalisme kemudian lepas kontrol, dan akhirnya peradaban Barat merasa diri sebagai pusat dari segala-galanya. Kalau dulu gereja yang menganggap diri sebagai pusat kebenaran dan keselamatan maka di era rasionalisme yang tak terkontrol itu, peradaban Barat kemudian menjadi poros dunia untuk menilai berdosa (kafir) - tidak berdosa (suci), berbudaya-tidak berbudaya dan beradab-tidak beradab.

Perang Dunia Pertama dan Kedua, adalah jejak sejarah hitam dunia, yang harus kita sebut sebagai ekses dari usaha pendataran dunia. Tapi, pengalaman penjajahan, dan penderitaan karena dua perang dunia itu, akhirnya menjadi pemicu bagi bangsa-bangsa di Asia, termasuk bangsa-bangsa di Nusantara yang kemudian bersepakat secara darurat untuk mendirikan negara Indonesia. Prof. A.B. Lapian, sejarawan, mantan guru besar UI dan peneliti LIPI, dalam sebuah forum diskusi publik mengatakan, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah awal berdirinya sebuah bangsa dan 17 Agustus 1945 adalah kelahiran sebuah negara yang bernama Indonesia. Dua tahap sejarah kita itu, adalah antara lain reaksi politik bangsa-bangsa di nusantara ini ketika globalisasi telah menjadi jahat dengan kapitalisme dan imprealismenya.

Kembali pada kita di sini dan kini. Suka atau tidak, senang atau tidak, kita sebenarnya sedang menjadi bagian dari globalisasi. Tapi yang menjadi persoalan memang, bahwa kebanyakan kita masih bersikap pasif dalam proses yang sebenarnya mengandung banyak peluang itu. Globalisasi dalam wujudnya yang terakhir, misalnya apa yang disebut dengan neoliberalismenya, pada banyak hal memang cuma sampai membuat kita menjadi korban di dalamnya. Kita cuma sampai mampu membeli asesoris buatan Cina, daripada memproduksi dan mengekspornya sehingga kita mendapat untung dari globalisasi itu. Kita akhirnya menjadi korban pencemaran dan mendapat dampak negatif dalam kehidupan sosial dan tata politik dari kehadiran perusahaan-perusahaan tambang misalnya. Negara kita akhirnya harus tunduk pada pasar dunia soal kenaikan harga BBM, ketika hasil-hasil bumi kita kebanyakan sudah dijual kepada perusahaan-perusahaan multinasional. Cap tikus yang diproduksi oleh ribuan petani di Minahasa misalnya, hingga sekarang ini hanya dijadikan sebagai kambing hitam tindakan kriminal. Kita, rakyat dan pemerintah daerah, tidak kemudian berpikir serius untuk mengolah cap tikus menjadi bahan ekspor sampai ke rumah-rumah sakit di London atau bar-bar di Texas.

Tapi, globalisasi, dalam tampilannya terkini itu, akhirnya bukan lagi sesuatu yang harus kita lawan, dan berusaha menghilangkannya. Sejarah seolah-olah memang telah mengkodratkan kita, di sini dan kini untuk berada dalam proses pendataran bumi itu. Kita perlu berkawan dengannya. Karena bagaimanapun, globalisasi telah memaksa kita untuk berproses di dalamnya.

Memang sampai kini kita belum menemukan resep mujarab untuk menjinakan globalisasi itu sehingga bisa memberi untung bagi kita pada soal berekonomi. Tapi, poros dunia belum berhenti, sehingga, kita masih punya waktu untuk menjinakannyanya, asalkan kita belum kehabisan energi. Proses belajar dan berpengetahuan, beradab dan berbudaya, jangan pernah berhenti.

Dalam proses itu, berbudaya, bukanlah pertama-tama soal bahwa kita harus terlalu bernostalgia lagi dengan kelampauan sejarah Tanah kita. Berbudaya adalah proses berpengetahuan untuk memperbarui peradaban. Keke yang secara cerdas memaknai internet untuk belajar demi ilmu pengetahuan, adalah juga sedang berbudaya. Utu yang menikmati Indovision dengan segala tayangannya kemudian menemukan banyak hal baru tentang dunia luar, dan kemudian melakukan refleksi atau perenungan terhadap yang apa sedang terjadi di tanah adatnya sekarang, adalah juga sedang berbudaya. Begitu juga, dalam soal kebijakan politik pemerintah daerah kita, WOC, TFF di Tomohon misalnya, kalau paradigma dan spiritnya adalah untuk memperkuat ekonomi rakyat, yang caranya adalah promosi massal ke dunia internasional tentang segala potensi sumber daya alam daerah ini, menurut saya ini adalah juga sedang berbudaya.

Sehingga untuk memaknai secara cerdas globaliasasi itu, maka institusi politik, birokrasi, agama dan lain sebagainya harus dalam kesadaran sebagai bagian dari proses berbudaya. Politik yang berbudaya adalah kekuasaan untuk mengatur atau mengolah institusi pemerintahan dalam usaha mengarahkan rakyat atau publik pada tujuan hidupnya, yaitu sejahtera. Institusi birokrasi, atau pemerintah yang berbudaya, adalah institusi yang melayani dengan tulus dan jujur publik dalam usahanya memenuhi segala kebutuhan hidupnya untuk berpolitik, bersosial dan berekonomi. Pemerintah Pusat di Jakarta, akhirnya harus secara terbuka untuk kemudian memberlakukan otonomi daerah yang benar-benar menjadikan daerahnya kuat. Kalau daerah kuat, maka negara akan kuat pula menghadapi kapitalisme yang banyak ditakuti orang dalam globalisasi. Sementara agama yang berbudaya, adalah institusi religius yang terus menerus memperbaharui diri untuk menjadi gerakan moral dan spiritual rakyat dalam usahanya menuju ke keselamatan lahir maupun batin, bukan terutama di sana, tapi di sini dan kini. Dan semua itu terkandung pada apa yang sering kita sebut sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal pada Tanah kita harus digali, diinterpretasi dan direvitalisasi. Itu kira-kira usulan saya untuk memaknai globalisasi.

Tomohon, sehari setelah ToF 2008 di Tomohon.