Sebuah ocehan kultural mengenai apa dan bagaimana yang sebenarnya merupakan budaya Minahasa
Likupang mungkin bukan sebuah tempat yang istimewa bagi kebanyakan orang, dan juga tidak begitu dikenal. Orang bahkan lebih kenal Paradise Resort, Pantai Surabaya, (aslinya “Surawaya” yang artinya rawa dan bambu) atau pulau Gangga, daripada desa Likupang, yang merupakan Ibukota Kecamatan Likupang (sekarang Likupang Timur, setelah dimekarkan dengan pupuk kandang), dimana terdapat ketiga tempat tadi. Secara pemerintahan, Likupang termasuk dalam wilayah Kabupaten Minahasa Utara. Tapi bila ditinjau dari segi budaya, sungguh merupakan suatu hal yang menarik karena budaya yang ada di
Setelah kuliah di Fakultas Sastra Unsrat, pernah pada suatu saat dosen mata kuliah Etnolinguistik memberikan tugas untuk menerjemahkan sejumlah kata-kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah darimana kita berasal. Beberapa teman mahasiswa yang berasal dari Minahasa Induk dan Minahasa Selatan oke-oke saja tapi aku justru bingung; di daerah asalku, Likupang tidak ada yang menggunakan bahasa daerah Minahasa. Saat aku bilang kalau di Likupang tidak ada bahasa daerah seperti yang ada di Minahasa Selatan dan Minahasa Induk, mereka (lagi-lagi) tidak percaya, bahkan ada yang ingin bunuh diri karena mengira kalau Likupang termasuk dalam Kabupaten Sangihe. Saki kita pe hati.
Perbandingan Kecil
Akhirnya tiba waktunya aku KKN (artinya Kuliah Kerja Nyata, bukan yang lain). Kebetulan lokasinya di desa Pahaleten Kecamatan Kakas Kabupaten Minahasa Induk. Nah...di sanalah aku banyak melihat dan mempelajari apa yang selama ini dianggap orang sebagai “Budaya Minahasa”. Di sini bisa ditemukan stereotip budaya yang dianggap orang sebagai budaya yang “benar-benar sangat asli Minahasa sekali”.
Perbedaan yang terasa memang sangat besar antara budaya masyarakat di Kakas dengan budaya masyarakat Likupang. Di sini aku melihat langsung berbagai kesenian masyarakat. Rata-rata semua lapisan masyarakat tahu mengenai kesenian daerah walaupun tidak semuanya merupakan praktisi. Masyarakat mengerti betul makna tentang Maengket, Kabasaran, ritual-ritual dan kebiasaan-kebiasaan (walaupun sebenarnya telah dipengaruhi oleh dogma agama Kristen) bahkan sampai dengan sejarahnya. Disini orang tua sampai anak-anak mengerti dan lancar berkomunikasi menggunakan bahasa daerah Minahasa.
Di sini aku merasa benar-benar asing secara budaya. Orang-orang di sini sangat membanggakan ke-Minahasa-an mereka dari segi budaya. Artinya, seorang manusia Minahasa alias Tou dianggap sebagai Tou bila ia hidup dengan budaya kebiasaan Minahasa, minimal bisa berbahasa daerah dan tentu saja; keperkasaan seorang lelaki Minahasa yang berani menyandang senjata tajam dalam
Kong, bagimana dang tu budaya Minahasa yang sebenarnya?
Mungkin kita perlu membedakan antara “Minahasa sebagai suku bangsa” dengan “Minahasa sebagai daerah pemerintahan”. Budaya yang selama ini kita sebut dengan budaya Minahasa, berlaku dominan bagi masyarakat yang termasuk suku bangsa Minahasa. Likupang, yang termasuk dalam Minahasa karena daerah pemerintahan, tentu saja memiliki kebudayaan yang berbeda. Lokasinya yang terletak di ujung Utara daratan Sulawesi, menyebabkan banyak suku bangsa berkumpul dan bersatu di
Bagaimanapun, sampai sekarang saya tetap merasa sebagai orang Minahasa, dan Minahasa adalah tempat lahir dan tempat saya dibesarkan, namun saya tidak ingin mati di Minahasa, karena kalau bisa, saya tidak ingin mati, tako maso neraka . . . . . .