Sebuah pertanyaan yang biasa dan mudah, karena sering ditanyakan lewat sebuah relasional di dalam keluarga secara khusus dan lingkungan masyarakat sebagai bagian besar proses interaksi hidup. Dan menjadi mudah ketika dijawab dengan pernyataan ideal berdasarkan sebuah kebutuhan semu penguasaan bahasa asing sebagai salah satu modal penetrasi kapitalisme di dalam jaman yang mengglobal saat ini. Dari sini bisa diduga kebanyakan akan memilih kerja di luar profesi pekerja sastra karena secara tegas institusi sastra telah gagal dalam praktek pengajarannya. Lihatlah institusi sastra di daerah ini seperti Fakultas Sastra Universitas Sam ratulangi Manado yang notabenenya lembaga yang berkompeten dalam pengajaran dan praktik sastra, secara kuantitas lulusannya hampir tak ada yang mengambil kerja sastra sebagai pilihan yang ia geluti dan berproses di dalamnya. Sungguh ironis ketika bergelar Sarjana sastra bekerja sebagai pegawai kantor pemerentah atau pegawai di sebuah perusahaan swasta. Realitas inilah yang harus dirubah yang di dalamnya pemikiran yang berdiri kokoh hampir di setiap kepala seluruh civitas sastra mesti dibenturkan dan dirobohkan, karena aliran yang sebenarnya telah jauh bergerak pada arah yang bukan menuju ke satu muara tujuan, dan hanya kita yang bisa mengembalikan ke jalur pergerakan yang sebenarnya, atau secara tepatnya esensi sastra telah jauh meninggalkan ruangnya sebagai sebuah proses penciptaan karya lewat teks yang melalui proses keterjalinan antara kondisi kemanusiaan di dalam masyarakat dengan pengalaman sang pengarang di dalam interaksi sosial kemasyarakatan, di samping sebuah intertekstualitas dengan karya sastra yang lain yang ke semuanya bertransformasi dalam sebuah karya yang di dalamnya bukan hanya sebuah pencapaian estetis tetapi menjadi suara bagi khalayak umum akan kebenaran dari sebuah realitas yang tidak manusiawi, juga praktik hidup baik personal atau kolektif yang menghancurkan ketidakmanusiaan daloam direi dan tubuh sosial dari realitas yang terpampang.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kelesusan sastra sebagai media penutur kebenaran baik itu sebagai faktor internal ataupun faktor eksternal. Sebagai faktor internal dan yang perlu dikritisi lebih dalam karena sering menjadi sebuah apologi dari kebanyakan civitas sastra di fakultas ini sehingga berpasrah dalam keadaan tersebut dan payah untuk bangun kembali:
Pertama, kurikulum sastra yang berpeluh debu, karena materi sastra yang diajarkan terbatas pada karya-karya sastra yang terbit beberapa periode saja beserta pengarangnya dan tidak dipelajari karya-karya sastra dan pengarang yang diterbitkan saat ini. Situasi ini berakibat tidak memadainya penguasaan materi sastra dari tenaga pendidik dan mahasiswa.
Kedua, Metode pengajaran (dengan proses belajar yang terfokus satu arah) yang berorientasi pada pengkajian danb bukan pada penciptaan karya sastra itu sendiri, terlebih tenaga pendidik yang tidak berpraktik dalam proses penciptaan karya sastra.
Ketiga, Kesadaran mahasiswa yang kurang dalam menghargai ruang pembelajaran di Fakultas sastra ini baik intensitas dan inisiatif mengeksplor bahan dan mencipta karya sastra, karena praktek-praktek hedonisme (Perilaku dari sebuah paham yang dianut oleh orang-orang yang mencari kesenangan semata-mata) dari kebanyakan mahasiswa saat ini.
Keempat, Tidak adanya pengajaran materi sastra lokal sebagai bahan pembanding karya sastra di luar daerah dan wilayah baik itu karya sastra asing atau karya sastra dalam skala nasional, sehingga selalu berpatron pada karya-karya sastra yang menjadi mainstream.
Kelima, Fasilitas yang bisa memfasilitasi ruang eksperimen pelacuran yang mengadaikan esensi sastra hingga bergeser pada nilai hakikinya dengan terikut dalam arus sistem yang biadap dan menjadi hampa pada tuan asing lewat penyediaan tenaga kerja untuk keuntungan yang tersentralisir pada pemilik modal.
Tapi kita harus bijak untuk berkaca pada realitas sebagai cerminan kan letak dan wujud yang saat ini kita tampaki. Dan selayaknya sebuah kelesuan dibuat oleh segelintir orang yang sesat maka tak salah untuk kita sebagai manusia yang hadir dan mempunyai nilai karena dilahirkan ( yang sama dengan seluruh tenaga pendidik yang lahir dengan bentuk manusia yang sama seperti mahasiswa dan mahasiswi yang mencicipi pendidikan di fakultas sastra ini, cuma bedanya sang pendidik lebih banyak bicara dan mahasiswa kenyakan diam) meruntuhkan kondisi Fakultas sastra ini dengan mengambil peran dalam mengobatati luka sastra yang dialami fakultas kita baik mengambil proses dialog yang terbuka dan kritis dengan para pendidik mengenai kondisi dan bergaining sastra saat ini dan inisiatif untuk membangun iklim penciptaan sastra lewat diskusi maupun praktek sastra.
Pada akhirnya mungkinkah masih tercipta kata-kata kebenaran yang keluar dari setiap lulusan Fakultas sastra ini sebagai obat mujarap dari racun di dalam realitas saat ini, sebab sebuah kata dalam puisi, prosa, drama ataupun teater merupakan kebenaran pada zaman yang teks tersebut hidupi, dan akan terus berdialektika, dan itu membuktikan nilkai keabadian seseorang yang pernah hadir dan berpijak di dalam dunia ini. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah roman tetraloginya, ”Engkau boleh pandai setinggi langit, tapi selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah” (Rumah Kaca, 2001:352).
Diiringi bisik angin pantai kalasey, wake up, my poeple!
(Telah dimuat dalam Jurnal Sastra & Budaya "Tounaas")