Acara yang dilaksanakan pada 17 agustus lalu ini dimulai pukul tepat pukul 18.00 wita ini berlangsung kurang lebih tiga jam. Acara ini didahulukan dengan ibadah pendek dan diteruskan oleh pergelaran kolsborasi seni dari Studio Eben Haizer dengan jumlah personil 15 orang diantaranya ada juga peteater yang memotori jalannya pentas seperti Erick Waturondong, Arke Pinontoan, Vino Mekel, Ryon Pontoh, Robert Mandagi dan Norman Londok, serta pedenser sekaligus peteater Mayshel Kusen, Ngangi, Prilly Mekel, Pretty Lewu, Sayongbati, Frandy Mawuntu, yang tampil denan naskah berjudul “Rumahku Tuhan, Rumahku Hantu “ yang ditulis serta disutradarai oleh penulis sendiri. Pemuisi-pemuisi yang tampil sebagai pendukung pada teater tersebut misalnya, Jemmy Katuuk STh, Amelia Rotty dan Raymon Tangkudung. Pentas kolaborasi tari-puisi-teater ini berlangsung hikmat, mistis dan kental aroma adat Minahasa digabungkan dengan diangkatnya isu-isu kontemporer Minahasa. Ini mengandung arti biarpun satu era berganti, oleh modernisasi sekalipun, namun seni budaya sudah seharusnya tetap ada dan terpelihara dengan pewujudan yang kontemporer pula tentunya. Kemudian, lewat acara ini para kreator-kreator seni muda dapat mengapresiasikan talenta-talenta mereka dalam suatu wadah (sanggar) yang telah ada di desa ini sehingga dapat lebih terarah dan profesional.
Pagelaran acara ini adalah sebuah jawaban terbuka terhadap “provokasi” menantang daerah-daerah pedalaman untuk bangkit ber-seni yang telah digelindingkan oleh pegiat-pegiat sastra dan budaya sulut dari Komunitas Pekerja Sastra (KONTRA) Sulut, Teater Kronis Manado, Sanggar Dodoku Wuwuk, Studio X Sonder, Komunitas Soesube Koha, Teater Ungu Tondano, dan kamerad-kamerad budaya lainnya yang sedang giat-giatnya menghembuskan angin “Renaisans Sastra-Budaya Minahasa”, kebangkitan kesadaran identitas bangsa Minahasa, yang mengajak kita untuk “ mawale “ atau kembali ke “rumah”, kembali membangun lokalitas. Lewat kegiatan ini nyata bahwa seni di Tonsea tidak tidur apalagi mati dan akan selalu terjaga, selama intensitas kegiatan-kegiatan seni-budaya dan pembangunan kantong-kantong seniman seperti sanggar, teater, kelompok seni, dan sebagainya masih tetep dipertahankan.
Akhir kata, giliran saya ingin berucap: “Kalu Manado sudah, Sonder sudah, Tareran sudah dan Koha sudah, sekarang Treman juga sudah, no skarang sapa le?”.