Spanduk bertulis,” Pra Kongres II Kongres Nasional Pembangunan Manusia
Indonesia 2006 Manado, 16-17 Mei 2006 “ terbentang di atas gedung hotel
Ritzy. Warnanya putih seperti buih ombak yang mendampar dari seberang
boulevard.
Aku bergegas melewati deretan orang yang sedang duduk di samping pintu
ke lobi. Para petugas keamanan tampak memasang muka yang bisa membuat
anak kecil mengkeret ketakutan. Maklum banyak pejabat yang mesti
dilindungi.
“Dilindungi ? Ah, sinisnya itu kata !”, ujar Greenhill Weol padaku.
Lobi hotel ini kelihatan lebih ramai dari biasanya. Ada pegawai
pemerenta, tokoh agama dan masyarakat, aktivis LSM, akademisi serta para
jurnalis dari berbagai media massa.
Para pemain kolintang pun dapa lia lebe smangat membawakan lagu-lagu
pop Manado.
Dalam lift yang sedang bertolak ke Grandball Room di lantai VI, aku
dicekam selintas pertanyaan,”Pembangunan manusia indonesia ? Manusia
macam apa manusia Indonesia itu ? “
Mochtar Lubis dalam “Manusia Indonesia : Sebuah Pertanggungjawaban”
menulis,” Manusia ideal Indonesia, yang sering dikemukakan kini adalah
manusia pancasila, yaitu manusia Indonesia (menurut ahli-ahli pemikirnya)
yang menghayati dan membuat dasar dan pedoman hidupnya dasar tingkah
laku dan budi pekertinya berdasar pada lima sila pancasila : Ketuhanan,
Kemanusiaan, Keadilan Sosial, Kerakyatan, Persatuan Nasional.”
“Saya berdoa sekuat tenaga”, lanjutnya,”Semoga kita akan berhasil
membina manusia pancasila menjelang tahun 2000. Jika ini tercapai maka
Indonesia pasti akan jadi sorga, dan kita semua akan hidup penuh nikmat dan
bahagia.”
Tapi sorga seperti diidamkan Mochtar Lubis ini ternyata tak pernah
terwujud.
Pada tahun 1958, tentara-tentara bayaran dari Jakarta membom Manado
untuk menumpas PERMESTA di Minahasa. Tahun 1975, tentara-tentara bayaran
dari Jakarta menyerbu Timor Timur untuk membendung subversi komunis.
1989, tentara-tentara bayaran dari Jakarta menteror Aceh untuk
mengganyang GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Ini semua atas nama “Bangsa Indonesia”.
“Bangsa Indonesia ?”
Pramoedya Ananta Toer mengatakan dalam wawancara tentang Sejarah,
Politik,
Kebudayaan, dan Delapan Ekor Ayam, “ bahwa “bangsa Indonesia” itu tidak
ada. Yang ada itu nasion Indonesia. Ini untuk menyelamatkan ide
Indonesia sebagai suatu kesatuan. Sekarang ini misalnya bangsa Aceh dianggap
tidak ada. Yang dianggap ada adalah “sukubangsa” Aceh. Ini merupakan
awal dari kekeliruan itu. Jawa itu bangsa. Bugis itu bangsa.
Masing-masing punya sistem nilai sendiri. Tapi perkembangan berikut menjadikan
pengertian atas soal ini kacau balau. Bangsa Indonesia itu tidak ada. Yang
ada nasion Indonesia. Jadi mari kita kembalikan hal itu, dengan
mengakui kembali adanya bangsa-bangsa Nusantara. Mereka mempunyai sistem
nilainya sendiri-sendiri, bahasa sendiri-sendiri, bahkan tulisan-tulisan
sendiri.”
“Apa artinya nasion itu ?”
“Persekutuan bangsa-bangsa. Bukan bangsa. Menjadikan bangsa sebagai
sukubangsa itu merupakan suatu penindasan.”
Bel tanda lift berhenti menghentakku dari cekaman. Aku keluar.
Hembusan angin dari laut perlahan mendinginkan kepalaku.
Banyak orang disini. Ada yang diam merokok. Ada yang bercakap-cakap
satu sama lain. Ada pula yang kesana-kemari persis strika.
Konter-konter yang menjual sovenir seperti jam, cincin dan bolpoin
bertulis “Pra kongres II kongres nasional manusia Indonesia” serta
konter-konter yang menjual baju safari dan buku-buku peraturan pemerintah
juga tidak ketinggalan.
Seorang lelaki separuh baya berbaju dinas pemerintah menanyakan harga
sebuah safari berwarna kuning.
“Ini harganya seratus ribu!”, jawab lelaki penjaga konter itu.
“Sama deng pasar jo !”, kataku pada Alfrits Oroh yang lagi sibuk
mengambil gambar dengan handycam.
Aku meraih sebuah buku berjudul ”Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom
dan Pemberdayaan Masyarakat” dari meja di depanku. Aku jadi ingat kalau
tanggal 22 februari 1958 Manado dibom lantaran orang Minahasa mau
membangun daerah serta memberdayakan masyarakatnya.
Menteri pendidikan Bambang Sudibyo sedang memberikan ceramah, ketika
aku masuk ke grandball room. Ia mengatakan,” Pendidikan di Sulawesi
Utara lebih baik daripada di Jawa Barat.”
Pernyataannya didasarkan pada data statistik yang ditampilkan melalui
OHP.
“Ini adalah buah dari desentralisasi”, lanjutnya.
Para peserta serempak bertepuk tangan.
Aku mengamati data statistik itu melalui handycam. Urutan pertama D.I.
Yogyakarta, kedua, Jawa Timur, Ketiga, Sumatra Utara, Empat, Bali,
Lima, DKI Jakarta, Enam, Jawa Tengah, Tujuh, Sulawesi Utara, Delapan,
Sumatra Barat, Sembilan, Jambi, Sepuluh, Jawa Barat.
Ismail, seorang peserta dari salah satu LSM mengatakan padaku usai
kegiatan ini di sudut kantin Manus Fakultas Sastra Universitas Sam
Ratulangi, “Kalau sekedar mengukur kemajuan pendidikan di Sulawesi Utara
berdasarkan statistik, jelas terlalu kuantitatif sifatnya. Misalnya menilai
tingkat melek huruf di Sulawesi Utara sebagai hasil dari proses
desentralisasi. Ini tidak berdasar. Sudah sejak zaman Belanda Sulawesi Utara
maju tingkat pendidikannya. Jadi bisa dikatakan bahwa kesadaran akan
pendidikan telah ada dalam masyarakat sejak dulu jauh sebelum program
desentralisasi menjadi agenda para “reformis”.”
Aku mengangguk mengingat Barbara Sillars Harvey dalam bukunya
“PERMESTA : Pemberontakan Setengah Hati” menulis, “Pada tahun 1930 keresidenan
Manado mempunyai perbandingan tertinggi antara pelajar dan penduduk dan
angka melek huruf yang paling tinggi di Hindi Belanda.”
Bila dibuat perbandingan antara 1930 dan 2006, Sulawesi Utara justru
mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Dari peringkat pertama
turun ke peringkat ke tujuh. Ini terjadi sepanjang 75 tahun terakhir.
Ironisnya kemunduran ini terjadi di era “Kemerdekaan” di bawah cengkraman
kuku garuda pancasila Negara Kesatuan Repoblik Indonesia.
Hari itu di pojok bus yang melaju ke Tomohon, aku dengar senandung
sendu Agnes Monica menyentuh keluku.
“Dimana letak sorga itu”
Aku menelan pilu dalam hati.
Sonder – Minahasa, 20 Mei 2OO6