"... Culture should be regarded as the set of distinctive spiritual, material, intellectual and emotional features of society or a social group, and that it encompasses, in addition to art and literature, lifestyles, ways of living together, value systems, traditions and beliefs". (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco), 2002).
Culture? What Culture?
Saya tersenyum geli, ketika pertama kali mendengar lagu makaaruyen yang di-remix dengan sampel-sampel disko dari sound system menghentak sebuah mikrolet. Bukan karena campuran yang lucu itu, tetapi karena akhirnya tiba-tiba ada irama khas Minahasa, yang selama ini oleh sebagian anak muda dianggap sebagai musik “pangge-pangge ujang”, mendapatkan “raga” baru dan pemaknaan baru sehingga bisa kembali tampil melaksanakan tugas, sebagai bagian dari fungsi estetikanya, untuk menghibur manusia yang menciptakannya. Sambil tersenyum, pikiran saya mulai berliar-liar tentang lantai-lantai disko yang sering dipadati clubbers Manado dan mulai mengimajinasikan tubuh-tubuh yang bergoyang diiringi niko mokan si gumenang lah sa aku lewo wia niko… He he he, saya jadi tergelak, ternyata kebudayaan Minahasa belum mati.
Tapi tunggu, apa lagu remix yang dipakai untuk berkeringat semacam itu bisa dianggap sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai “kebudayaan”? begitu mungkin anda langsung menyanggah. Bukankah kebudayaan itu sesuatu yang kita saksikan dalam ritus-ritus dan situs-situs purba? Bukankah kebudayaan itu sesuatu yang kita lihat terpampang rapi dalam museum-museum? Bukankah kebudayaan itu adalah kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan oleh pihak-pihak terkait, pemerintah terutama, seperti festival kesenian tradisional semacam Maengket, Kawasaran, Pindah Waruga atau yang sejenisnya? Bukankan kebudayaan adalah sesuatu yang agung, indah, dan monumental? Anda tidak keliru, jika kita bicara tentang kebudayaan sebagai sebuah warisan dari masa lalu. Melville J. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Tetapi tolong jangan berhenti pada pemahaman itu saja. Kebudayaan kita bukan hanya sesuatu yang telah terjadi. Sesuatu dari hari kemarin. Kebudayaan kita juga adalah apa yang sedang terjadi hari ini, sekarang. Jadi, sebenarnya gerakan-gerakan yang tadi saya imajinasikan sedang dilakukan di lantai disko Ha-Ha Café tidaklah beda berbudaya dengan serangkaian gerakan seorang penari Maengket! Pula sebuah lagu remix yang mendentum dalam mikrolet punya kesetaraan kultural dengan tembang yang dinyayikan dalam tari Maengket! Mungkin anda bisa saja tersinggung dengan ide seperti ini, tetapi ini dikarenakan kebudayaan juga menurut J.J. Hoenigman, dibedakan menjadi tiga wujud:
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Suatu ketika, seorang sahabat yang juga bergiat dalam bidang budaya berkata bahwa tanpa menggali sedalam-dalamnya kultur, lewat berbagai artefak dan praktik, kita tak akan bisa mengerti apapun tentang itu. Beliau memang telah cukup dalam menggali budayanya, terbukti dengan terkumpulnya sejumlah benda-benda kultural di rumahnya, juga dari pengetahuan-pengetahuan meta-kultur yang telah dikuasainya. Saya hampir-hampir setuju dengan pendapat itu. Tetapi saya lantas berpikir: apakah sebagai tou Minahasa, saya dikehendaki oleh leluhur saya untuk kembali membongkar kubur-kubur tua, memburu berbagai mustika dan benda kuno lainnya, yang, meminjam istilah seorang sastrawan Minahasa saudara Pnt. Fredy Wowor, usaha melap-lap benda usang agar mengkilat kenbali? Saya rasa tidak. Kebudayaan Minahasa adalah hari ini, bukan kemarin.
Ada pula seorang praktisi budaya yang mempertanyakan kepada saya mengapa kebanyakan orang Minahasa praktis sudah meninggalkan tradisi-tradisi shamanisme kuno semisal upacara foso dan, bentuk besarnya, konsep teologi tradisional. Saya katakan bahwa dia salah. Orang minahasa tidak melupakan semua itu. Akan halnya sistem religi yang universal, ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik menusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:
... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.
Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", yang dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Agama tradisional telah menjawab kebutuhan rohani tou Minahasa akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri. Dan saat ini, kata saya, orang Minahasa telah menemukan itu semua dalam keimanan mereka terhadap Empung Kasuruan dalam Yesus Kristus. Jabatan shaman saat ini dipegang para pemimpin jemaat. Tidak ada yang berubah.
Beliau kemudian juga berargumen tentang rendahnya minat orang Minahasa saat ini terhadap “pengetahuan-pengetahuan” tradisional semacam ilmu mengendalikan kekuatan alam. Saya tersenyum dan berkata bahwa itu juga salah. Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).
Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:
- pengetahuan tentang alam
- pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
- pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia
- pengetahuan tentang ruang dan waktu
Teknologi, saya selalu menggolongkan pengetahuan-pengetahuan semacam itu dalam perspektif ini, adalah segala sesuatu yang menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:
Jadi, lanjut saya, jika pada suatu masa leluhur saya menggunakan aspek-aspek teknologi zamannya semacam memakai cidako (yang menurut saya pasti sangat modis pada saat itu), maka saat ini saya sebagai orang Minahasa yang hidup di milenium ketiga memilih memakai jins dan t-shirt. Atau, jika dulu ada peti kayu untuk menyimpan benda berharga, sekarang saya punya flashdisk untuk sesuatu yang kurang lebih sama. Dan, mungkin ini yang paling menarik: kalau dulu nenek moyang saya perlu menggunakan telepati (atau apalah namanya) untuk mengirimkan pesan ke tempat yang jauh, sekarang saya tinggal memencet tombol telepon genggam. Jadi, sekali lagi, tidak ada yang berubah. Saya yakin orang Minahasa tidak pernah meninggalkan aspek-aspek budayanya. Jika kelihatan ada yang berubah, itu karena memang yang berubah adalah yang kelihatan saja, wujud fisiknya saja. Sedangkan esensinya, lebih tepat: filosofinya, tetap ada dan tinggal.
Saya katakan kepada rekan itu bahwa saya percaya Kebudayaan Minahasa adalah sesuatu yang everchanging, sesuatu yang terus-menerus berkembang, berubah dan beradaptasi menurut kebutuhan masanya. Kebudayaan Minahasa bukanlah sebuah finished product, namun sebuah ongoing process. Kebudayaan yang stagnan, yang hanya mengelu-elukan kebesaran dan kejayaan masa lampau, menurut saya adalah kebudayaan yang mati. Kebudayaan yang agung adalah kebudayaan yang menghargai identitas ancient civilization-nya sekaligus memiliki perspektif jauh ke depan.
Redefining Minahasan Culture
Saya dan beberapa saudara tou Minahasa lainnya sedang mempersiapkan penerbitan sebuah Antologi Puisi Penyair Minahasa. Ini dilakukan dengan kesadaran penuh akan “…lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut” tadi. Dalam draft buku tersebut saudara Jenry Kora’ag dalam puisinya Mawale mencantumkan kata-kata:
aku ingin pulang
tapi bukan kepada batu
karena batu tak mampu mengisahkan
segala kisah tentang sejarah
aku ingin pulang
tapi bukan kepada pohon
karena pohon tak bisa tuturkan
liku jalanan panjang cermin lalu
aku ingin pulang
tapi bukan kepada gunung
karena gunung hanya diam
tak dapat cerahkan coretan alam.
Semua ini adalah usaha sadar untuk kembali “menemukan” apa yang kita harapkan akan diberi label “Kebudayaan Minahasa”. Sesuatu yang lebih dari sekedar “batu” atau “gunung”. Sesuatu yang kelak dapat kita pertanggung-jawabkan di dihadapan leluhur kita dan, terutama, dapat kita wariskan kepada generasi sesudah kita, sampai tiba giliran anak-cucu Lumimuut-Toar untuk kembali meredefinisikan kebudayaan Minahasa di masa mereka.
Mengapa sastra (baca: tulisan)? Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari Bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Fungsi bahasa secara umum adalah:
Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah:
- Mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari (fungsi praktis).
- Mewujudkan seni (fungsi artistik).
- Mempelajari naskah-naskah kuno (fungsi filosofis).
- Untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, bukan begitu?
Mengapa? Karena salah satu kelemahan “Kebudayaan” yang hanya mengacu pada artefak dan aktifitas adalah kecenderungan untuk menjadi apa yang dijabarkan sebagai "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture), yang pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas , seni tingkat tinggi, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".
Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature).
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu — berkebudayaan dan tidak berkebudayaan — dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik pop sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
Saat ini kebanyakan ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama — masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Demikian halnya lagu disko remix tadi, yang dentumannya saya yakin telah merambat sampai ke sudut-sudut terdalam tana’ Minahasa, biarlah menjadi penyadar bagi kita bahwa esensi kebudayaan Minahasa adalah kemampuan untuk selalu dapat memahami kontekstualitas kehidupan hari ini. Memang, sejarah selalu diciptakan hari ini. Kebudayaan Minahasa adalah hari ini, bukan hanya hari kemarin. Niko mokan si gumenang lah sa aku lewo wia niko…
I yayat u santi!