Cot di Bukit Tareran
Semuanya siap di posisi. Semua larut dalam ketegangan masing-masing. Semua diam. Hanya raung rie-rie di kejauhan yang sekali-kali naik-turun mengusik peka telinga. Semua mata mengarah ke tikungan jalan. Laras-laras juga menujuk ke arah itu. Senjata-sejata sudah dikokang sejak setengah jam lalu, semenjak scout terakhir kami kembali dengan terengah-engah dengan laporan “Tentara Pusat sudah hampir melewati Wuwuk! Lima belas menit lagi giliran kita”. Kulirik jam tanganku. Pukul tiga lewat lima. Ini terlalu lama, pikirku. Seharusnya mereka sudah di sini seperempat jam lalu. Pasukan kami yang di tempatkan di desa sebelah tidak seberapa jumlah dan persenjataanya, hanya lsekitar sepuluh orang, lima tentara regular dan sisanya anak-anak sekolah lanjutan yang diberi senjata. Tidak mungkin mereka bisa bertahan terlalu lama melawan lapis baja. Lagipula letusan senjata sudah tak menggema lagi sejak lebih duapuluh menit. Mereka bertugas hanya untuk memperlambat gerak musuh agar kami bisa bersiap lebih lama lagi, bisa membuat pertahanan yang lebih sulit di penetrasi. Aku tak tau berapa lama kami juga bisa bertahan namun setidaknya sekarang ada delapan belas tentara terlatih lengakap semi otomatik, sekitar sepuluh laskar rakyat dengan bedil dan satu pom-pom mengawal cot ujung kampung Rumoong Atas.
“Komandan, dinamit di jembatan Tunan sudah selesai dipasang” sebuah suara berbisik pelan. Lima orang tentara bergerak hati-hati ke depan. Dua kearah pekuburan seberang jalan tepat di bawah cot, tiga menganbil posisi di semak depan. Jembatan bikinan Belanda walaupun tua perlu perlu penanganan khusus, salah penempatan peledak, bergeming pun tidak. Jembatan Pineleng contohnya, karena tak cermat diledakkan Cuma hancur sebagian. Hanya setengah hari diperlukan tentara Pusat untuk merekonstruksinya. Sungai tunan bertempat di ujung sebelah kampung ini. Jembatan di atasnya peninggalan kolonial. Pasukan Karundeng memasang peledak di sana hampir dua jam. Dia memang ahlinya. Pensiunan KNIL ini sudah meledakkan hampir sepuluh jembatan. Kelima orang anggota regunya juga tentara terlatih. Mereka anggota pasukan Ular Hitam yang dulunya bertugas di wilayah pantai Bolaang Uki, yang bertugas menjemput dan mengawal kiriman senjata dari Tawao. Setelah Kotamobagu jatuh, mereka ditarik mudur dan bergabung ketitik-titik pertahanan kami di selatan. “Jangan jauh-jauh dariku”, aku menanhannya pada waktu ia hendak merayap maju ke parit di depan.
Tentara Pusat datang dari arah bawah, arah Tumpaan, dengan kekuatan dua tank dan dua panzer, serta satu truk dan infantri yang jumlahnya kami tak tau pasti. Setelah sebulan mulai memborbardir Amurang, seminggu lalu mereka berhasil mendaratkan pasukan dan merebutnya, dan sekarang moncong senjata mereka mulai diarahkan ke pedalaman. Mereka mulai menjelajah ke atas. Bukit Tareran adalah wilayah pembatas antara pesisir pantai dan pegunungan. Dari arah selatan, di tempat inilah pertahanan terdepan kami, “Orang Gunung”, sebagai last line of defence. Bahkan sejak ratusan tahun lalu, dikala Malesung bersengketa dengan Mongondouw, tempat ini sudah melegenda sebagai tempat pembantaian serdadu-serdadu musuh. Bahkan konon, Bukit Tareran adalah jelmaan dari tumpukan jasad pasukan Mongondouw yang jatuh korban. Kami hanya bertahan.
Musuh tak pernah melewati garis ini. Pasukan gabungan walak-walak se- Minahasa selalu mampu mempertahankan batas. Tetapi itu dulu. Sekarang, ceritanya lain. Tidak ada tentara gabungan. Aku telah meradio Kawangkoan minta tambahan pasukan, namun katanya cadangan sudah dikirim ke Tondano. Pasukan disana lagi kewalahan menangkis gempuran musuh dari dua titik sekaligus, dari arah Tonsea Lama dan dari Tomohon. Andai saja si Mongdong tidak menyerah segampang itu, mungkin Pusat masih sejauh Tinoor dan akan ada pesediaan tenaga untuk menjaga front selatan. Utusan yang kukirin ke Motoling pun sampai detik ini belum kembali. Kabarnya disana keadaan lagi genting-gentingnya. Pusat beusaha untuk memotong garis komunikasi dan aliran logistik pasukan kami yang bergerilya di hutan-hutan Mongondow dengan menguasai selatan Minahasa. Dengan begitu mereka mengisolasi wilayah PERMESTA menjadi hanya di dataran tinggi. Jadi, dengan kekuatan yang tak lebih dari tiga regu dan persediaan amunisi yang terbatas, kami kelihatannya harus benar-benar memberikan semua yang kami punya. Sejak dua hari lalu parit-parit pertahanan telah digali. Jalan diblokir dengan drum-drum bekas dan sebuah bis tua. Cot dibentengi dengan karung-karung pasir. Sayang, kami tidak punya ranjau darat. Jika punya berapa unit saja kami... “Mereka tiba!” seru seorang tentara di parit terdepan membuyar lamunanku. Benar. Sayup-sayup suara derit rantai dan gir mulai terdengar. Semua kelihatan menahan napas...