MAWALEMORFOSA
Untuk apa mengelana ke selatan
sementara di sini tersedia
cukup tanah yang menghidupi
sinaran jiwa bunda
mencurah tegar bijak sang ayah
menyejuk sukma, memancar ramah
dari mata sedarah
bahwa tanah ini
Untuk apa menjejal takdir ke selatan
ternyata di sini masih cukup
banyak cinta
sebar ketulusan tak hanya ucap
tapi terulur panjang menjamah hati tetap
mendekap erat, supaya tak lepas harap
berseru kekasih
mari membajak di tanah sendiri
PULANG PADA CINTA
Mengapa gontai jejaki takdir?
Mari pulang..pulang pada cinta
yang wariskan keabadian darah
mahkotahkan kodrat
berhias kemurnian rasa
percuma mengais hidup
di hati yang kerontang.
Mari pulang.. pulang pada cinta
yang melautkan setia
meriak seia
menepi rindu
sauhlah segala rasa
karam di dermaga
karena cinta menanti
maknai usia
dengan karya
TENTANG SUATU BANGSA
Mengkristal kini budaya
pada prasasti raya
tentang suatu bangsa
Terpajang indah pula
kilau jayanya
dalam romansa
artefak sejarah
yang dengan bangganya dikumandangkan
sebagai wujud kekinian peradaban
bangsa itu
sungguh ironis…
pembenaran yang bercumbu munafik
berkilah sebagai pewaris
tapi mengemis pada gerimis globalisasi
yang bengis, meringis pada sang pewaris
yang saying, terlalu tersenyum manis
terdengar kini hanyalah dongeng konon
dan setumpuk buku
berbaris kata “pernah”…
TENTANG KASIH
Kasih yang t’lah terbakar sucinya
menyisakan debu yang terbang
bersama kepulan asap
usaha ‘tuk menghirup sisa kemurniannya
ternyata hanya menyesakkan saluran hidup
keperkasaanmu dulu
yang akhirnya
tinggal menjadi dongeng tidur bagi anakku
Awan hitam berkabung atas layunya harummu
laut keruh, seiring kulitmu yang keriput
akh, inikah tandanya waktu
tidak!!!
Wahai dunia,
sambil meratap
kita tinggal menunggu
datangnya hari penghakiman
REALITA
Nyiur melambai di tepian
lirih, menatap kelambu hitam
yang halangi mentari mencurah
cahya nirwana
membasuh fana
dosa yang terjebak bencana
mulut – mulut yang menganga
meraup baka..ampuni jiwa
demi satu dua hela nafasnya
Nyiur melambai di tepian
miris, berkhayal dalam imaji
bilakah mulut – mulut itu terkatup janji
bukankah nasi yang tersaji
meski meronta nadi menuntut gizi
tetap tak terucap
hasrat mengecap
tirani mendesak
Nyiur melambai di tepian
perih, merontah sukma
berserakkan raga – raga
taruna pengemban sabda
yang jejali dunia dengan sok mulia
terlupa menentang tameng
atau, memang sengaja
yakin jiwa terlalu baja?
Dogma sang bunda
katanya serak mengiang
pecahkan gendang
menabuh bintang
tapi apa?
Terseret meraka
bersama arus neraka