Cahaya tumbang
Ini kali langit menangis mengirit bengis
Ada apa dengan mega yang mencinta kelabu?
Bahkan malaikatpun henti menyanyi sekejap kerlip
Para penyair menua lalu puisi memburam
Ada apa dengan bumi yang mencinta matahari?
Rembulan pun tanggal, tak muncul lagi
Katakan padaku, dimana cahaya yang tak mencinta debu?
satu-satu rongsokan tanah liat tumbang
tiap bangkai hanya menyisa mimpi yang berlalu terdepak angin lalu
Lelah
Ada suara yang bergema, ”semua terlanjur menjelma lelah”
Bumi lelah menghitung rontok dedaunan disamping pendopo tua
Langit lelah menjumlah gemuruh di selubung mega
Air mata lelah menumpahkan aroma bebauan basi yang tak termakamkan
Dan,
Aku lelah mengukur luka yang lahir lewat matamu pada setiap rembulan buta
Katakan, apa yang terjadi pada matahari yang menangis?
Kepada sesal
Pergi engkau sirna lenyap
Lelaplah di balik gelap
Berkawan sepi, berjeruji sunyi
Nyanyikanlah nyinyir
Pun, jangan melagu sumbang undang kunang-kunang
Atau senyum goda gemintang
Mengapa melulu menetas malam?
Bakar saja pagi serupa dara
Bosan aku bercabul hitam
Sasar gila, berkandil kelam
Sesekali jenguklah mentari
Menari saja dengan pagi
Sajak Hari Ini
Hari ini,
Mentari muram
Awan kelam
Bunga-bunga layu sebelum mekar
Dengan sisa-sisa asa berbalut ragu
Kucoba berdiri tegak
Menanti seekor merpati
Terbang merendah membawa sekuntum cinta
Namun,
Yang ada hanyalah seekor elang
Yang siap memangsa anak ayam yang tak berpegangan
Langit berubah terang saat pagi menjelang
Namun kala mata terbuka
Tiba-tiba gelap merajalela
Lalu,
Dosa itu kembali mengintip di balik jendela..
Membawaku menikmati surga dunia..
Kukerahkan segala kuat yang ada
Namun ku tak mampu menepisnya
Akupun terjatuh dalam jurang kehampaan
Yang ada hanya sesal tak bertepi