Aku berseru kepada mama di kamar sebelah yang sedang tergesa memasukkan beberapa potong pakaian kedalam valis. Pecah-belah adalah harta, begitu mama balas menyeru. Peti disesaki seragam-seragam hijau, loreng, dan putih. Paling bawah bersemayam tiga pasang lars dan satu sepatu kulit mengkilat. Selusin piring porselen putih dengan motif kembang hijau dan pinggiran emas mendapat tempat terhormat di tumpukan paling atas peti kayu. Peti ditutup setelah terlebih dahulu piring-piring ditutupi blangket tebal.
Peti tua itu akhirnya kembali lagi ke tanah kelahirannya. Ya. Kayu peti ini diambil dari hutan lebat di kawasan Lolombulan, Minahasa. Konon, kakek sendiri yang pergi menebang kayu bahan peti ini. Percaya atau tidak, sebulan penuh dihabiskan untuk menggorit kayu untuk peti ini. Seminggu sesudahnya untuk membentuk kayu menjadi peti. Dulu, sebelum valis dan bufet jadi tren, peti semacam ini seperti menjadi barang wajib di tiap rumah. Kakek beruntung, karena ia pedagang rumpu-rumpu yang sering lein ke pasar di Menado, ia jadi punya kesempatan untuk mendekor peti ini menjadi lebih indah dengan kelengkapan-kelengkapan yang jarang ditemui. Lihat! Di tiap sudut ada logam kekuningan yang melindungi dari benturan. Pada saat masih baru, pastilah logam-logam ini berkilauan. Juga di sekelilung bibir mulut peti ada lapisan logam yang saling merapat pada saat peti ditutup. Di kiri-kanan peti ada pula handel yang berguna untuk mengangkat peti. Dari logam? Ya, tentu saja, tetapi bukan seperti yang biasa, yang ini begitu kokoh dan berukir dan bukan dipaku ke sisi-sisi peti, namun seolah di buatkan lobang khusus sehingga kelihatan ditanam dalam kayu. Engsel-engselnya pun masih kokoh, seolah lima puluh tahun tak ada artinya. Yang paling indah, yang selalu membuat darahku berdesir entah kenapa, adalah mekanisme penguncinya yang bukan memakai gembok seperti umumnya, tetapi dari besi kuning mengkilat (entah mengapa bagian yang ini tidak menjadi kusam), yang berada di bagian tutup peti memiliki semacam pengait yang masuk ke bagian bawah, di badan peti, yang menggunakan anak kunci sebagai pembukanya. Di bagian inilah terpatri sesuatu yang aku tak mengerti: sebuah gambar timbul seorang wanita yang menghadap ke samping dengan tulisan timbul di sekelilingnya... WILHELMINA REGINA, entah apa itu artinya...
“Mi, laju jo! Kalu torang nyanda capat, so nyanda mo tamuat samua tu barang-barang”. Ibuku telah berdiri di teras, barang-barang lain telah berada di atas jip. Kami akan segera menuju pelabuhan.
“Ma, Papa nyanda sama-sama deng torang?”, tanyaku setengah merengek.
“Torang mo duluan pulang kampung. Papa musti bertahan deng pasukan. Makassar so babale gagang”, pendek-pendeknya.
Kami berangkat.
***