(Red: Son, napa ngana pe cerpen. Sori, da ta huk sama2 deng spam!)
Ekornya pasti berputar-putar, kapan saja ketemu Mince. Bleki, pemilik ekor itu, adalah anjing yang tak bisa diam. Tetapi, tak tampak ekor yang berputar dua hari terakhir ini.
âMa, nya lia pa Bleki?â, tanya Mince pada ibunya yang sedang menumis kangkung.1
So pi tanya pa Om Kale? Kage stou da pi pa dorang.2
Mince tahu, Bleki tak bakal melakukan itu. Kemungkinannya kecil, kalau bukan nol. Om Kale, tetangga mereka itu, memang kerap dikunjungi Bleki, meskipun tidak sampai lama. Tak pernah lewat petang. Tak pernah sampai siutan Mince berbunyi tiga kali.
Bleki merupakan anjing hadiah. Ia diberikan paman Mince di Sonder, sebuah tempat di dataran tinggi Minahasa, yang dirimbuni pohon cengkih.
Anjing itu buah suar lelah. Imbal kerja Mince memetik cengkih. Dua karung penuh berhasil Mince petik menggunakan tangga, dirajam terik matahari. Saat pindah tangan, anjing hitam pekat itu belum berumur satu bulan.
Na urus bae-bae pa dia, nehâ, titip pamannya. 3
Rajing ja se mandi, supaya nyanda bakutu. 4
Bleki serupa cermin Mince. Ketika perempuan ini kena demam berdarah dan mesti dibawa ke Puskesmas, Bleki murung. Saat Mince girang selesai menjuarai lomba menyanyi antar gereja setempat, Bleki ikut gembira. Di depan gereja, Bleki tak henti menghidung-hidung betis Mince, sampai-sampai tungkai kaki Mince yang jenjang dan temaram, seperti ketela yang baru dikupas, terlihat dibalik rok.
Di mana Mince ada, disitu ditemukan Bleki. Mereka menempel terus laiknya permen karet. Di pasar. Di sungai. Di gereja. Di mana-mana.
Bila malam tiba, Bleki mengerutkan badannya di bawah tempat tidur Mince, di atas tumpukan karung kosong bekas beras ransum. Setiap ujung bulan datang, Ibu Mince menerima sekarung beras dari SD tempat ia mengajar. Bleki baru bersedia menuju kolong, sesudah Mince menggaruk-garuk manja lehernya.
Tadi malam, tak terdengar sesungutan Bleki dari kolong tempat tidur.
***
Malam sebentar lagi datang mengakhiri hari. Kendaraan umum terakhir baru saja meninggalkan terminal kecamatan. Suara ojek sesekali terdengar memecah sunyi. Tak seberapa jauh dari terminal, sekelompok anak muda tampak duduk melingkar.
Kiapa dang kong pe lanut bagini?, tanya salah satu di antara mereka. 5
Mulutnya monyong dengan salah satu tangan menarik-narik daging di antara jepitan gigi-giginya.
Pe mai deng ngana, badiang jo!, timpal kawan disampingnya. 6
Cuma tau makang lei, banya muluâ, tambah seorang lain, dari seberang meja. 7
Da suru pi ambe rica deng pongpong tadi, na cuma pi tidor di dego-dego, ketusnya, dengan suara sedikit meninggi. 8
Yang lain tertawa. Terkekeh-kekeh, hampir-hampir nyaris tersedak.
Eh kapista, leng kali, ngana tu pegang karong. Nanti kita tu toki di kapala. 9
Malam telah menjadi genap. Angin satu dua kali membawa sayup-sayup suara mereka sampai terminal. ***
Sonny Mumbunan, Januari 2008.
Catatan kaki
[1] Mama, tidak lihat si Bleki?
[2] Sudah menanyakannya pada Om Kale? Barangkali [Bleki] pergi ke
[3] Kau urus dia baik-baik, ya.
[4] Rajin dimandikan, supaya tak banyak kutu.
[5] Kok, [dagingnya] kenyal begini?
[6] Sialan kau, tutup mulutmu!
[7] Cuma tahu makan saja, banyak omong.
[8] Tadi, disuruh mengambil cabe pedas dan daun kemangi (basilikum), kau cuma pergi tidur di meja jualan (SM: meja yang lazim digunakan di pasar).
[9] Eh bangsat, lain kali, kau yang pegang karungnya. Nanti aku bagian memukul kepala [anjing].