Menjelang subuh Amos melangkahkan kakinya untuk pulang. Noda kuning menempel pada baju putih yang baru dibelinya kemarin. Jalanan sudah sunyi. Hingga bunyi derap langkahnya bisa menerobos masuk ke dalam rumah orang. Wajahnya kusut. Sekusut rambutnya yang acak-acakkan. Tetapi perasaan hatinya tak sekalabu penampilan luar. Amos merasakan kegembiraan yang tak terukur. Sesekali ia tersenyum sendiri sambil menendang kaleng minuman di tengah jalan.
Pesta baru saja usai. Menikmati deru musik dugem di tengah gemerlap cahaya lampu bersama kontjo-kontjonya. Malam yang berseri nan mengesankan. Amos menengok isi dompetnya yang melompong, sambil berpikir bagaimana ia bisa kembali lagi ke sana.
Hari mulai terang. Amos tersungkur letih pada sebuah kursi kayu depan rumahnya. Pikirannya ikut terbawa dengan suasana hati yang berbinar-binar. Ia bermimpi indah sebelum akhirnya dihentikan pukulan keras gagang sapu yang dihempaskan ayahnya. Amos terjaga dan untuk pertama kalinya terlambat memberi makan ternak yang telah sekian lama terbiasa dengan perlakuan manjanya.
Di luar kebiasaan hari itu wajah Amos berseri-seri. Semua pekerjaan yang dibebankan padanya, ditunaikan dengan senyuman. Tidak ada nada sedih atau kata-kata keluh untuk menunda pekerjaan. Sang ayah biasanya memerlukan usaha ekstra keras dan kejam untuk mendisiplinkannya melakukan kewajiban. Kali ini tidak. Semua berjalan mulus dan seisi rumah ikut tersenyum juga. Di luar perkiraan, Jam dua belas siang Amos sudah rampung dengan kewajiban yang dibebankan. Waktu lowongpun menjadi lebih longgar. Ia lalu melancong ke rumah Ivan, karib kental sepenanggungan.
“Minggu depan torang kasana ulang ne chiks?
Karib dekatnya itu tersenyum kecil. ”sabar sob. Nongkrong di tampa bagitu perlu banya pluru wan”
“So itu mulai skarang torang musti rajin batabung. Anak muda rupa torang musti tahu gaya hidup modern sob. Ngana nimau dorang bilang kurang gaul to?”
Ivan tersenyum lagi. Menyadari karib dekatnya tengah demam gaul. Kini Sabtu malam benar-benar menjadi malam istimewa bagi Amos. Setiap kali akhir pekan tiba, Amos paling tak tahan berdiam-diam diri di rumah. Pokoknya ia harus ke tempat dugem. Dengan usaha apapun itu. Tiga tahun lalu ia menarik diri dari statusnya sebagai anak sekolah tingkat atas. Walau berpenghasilan di bawah rata-rata, sebetulnya kedua orangtuanya masih sanggup menebus kebutuhan-kebutuhan sekolah. Namun Amos lebih sering mampir ke tempat nongkrong daripada memanfaatkan peluang ini. Mereka memberhentikannya karena merasa menyekolahkannya adalah usaha sia-sia. Sejak itu ia hanya menghabiskan waktu dengan nongkrong bersama orang-orang tak mengenyam pendidikan formal lainnya di gang. Ia juga sesekali membantu kedua orang tua yang menggantung hidup dengan usaha yang tak tetap. Ayahnya hanya seorang buruh bangunan. Bekerja jika ada proyek yang kebetulan ditawarkan. Ibunya seorang guru sekolah dasar. Profesi yang kelayakan penghasilannya masih terus diperjuangkan sampai sekarang. Amos adalah putra semata wayang hasil buah kasih mereka.
Jam dua belas malam seisi rumah sudah tenggelam dengan dengkuran masing-masing. Amos menghidupkan sebatang rokok sembari merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Isi kepalanya tengah bergerak kesana-kemari menyiasati bagaimana supaya akhir pekan ini ia bisa menggaet cukup uang. Hasil tabungan selama beberapa bulan sudah habis hari sabtu kemarin.
Besok paginya ia mengkonsultasikan problem ini dengan ayahnya.
“Kita so beking keputusan mo cari penghasilan sandiri Pa. Kita nimau sepanjang hidop kurang bagantong trus pa ngoni” Tutur Amos simpatik. Sang ayah yang jarang sekali mendengar inisiatif dari Amos, tertegun. Ia memalingkan wajah sambil menatap putra tunggalnya penuh haru.
“Kalu ngana mau, ngana boleh bantu bantu pa Papa pe proyek di rumah sablah. Lumayan, satu hari ja dapa sampe dua puluh lima ribu”
“Asal nya baganggu kita pe karja di rumah no Pa”
Mulai hari itu Amos tampak lebih bersemangat. Secara gamblang bisa dibilang ia berubah drastis menjadi sosok pekerja keras. Dari pagi hingga sore keringatnya tak henti bercucuran karena mengangkat bahan-bahan berat. Kawan-kawan sekonconya yang memantau perubahan pada diri Amos kontan merasa kehilangan. Teman baik kita berubah. Pikir mereka.
Seperti biasa pada akhir pekan Amos kembali bisa tersenyum. Hasil tabungannya selama sepekan cukup memuaskan. Ia merapikan diri di depan cermin. Menyisir rambut hitamnya bergaya klimis. Merasa sudah cukup fasung Amos bergegas menemui Ivan yang sudah sepuluh menit menunggu di depan rumah. Keduanya telah siap sedia menikmati pesta yang dinanti-nanti.
Di dalam pub kedua pria berpakaian stylis itu duduk sambil memangku kakinya. Dengan isyarat kecil Amos memesan bir. Tidak lama kemudian seorang pelayan wanita datang membawa minuman.
“Ngana boleh pesan minuman sampe puas. Pokoknya ini malam torang dua minum sampe mati” ujarnya sambil tersenyum bangga.
Setelah empat jam Amos tetap antusias menikmati setiap hiburan di klub malam itu. Tubuhnya meliuk-liuk tanpa pola yang jelas. Sementara Ivan sudah terkulai lemah di tempat duduk. Beberapa pengunjung lain yang sudah sama-sama mabuk mengajaknya menari. Amos tak pernah bosan meladeni. Ia berlari, mengelilingi seluruh penjuru pub dengan semangat yang kian menderu.
Hari sudah terang ia tiba di rumah. Hatinya merasakan kepuasan yang sama. Ia terlelap lagi di kursi depan dengan wajah tersenyum. Ayahnya mulai merasakan perubahan terjadi pada diri Amos. Kemana saja ia setiap malam minggu?. Selain itu ia mulai bertanya-tanya kemana perginya uang hasil pekerjaannya selama ini?. Tapi sang ayah memutuskan tidak terlalu membatasi dan menanyakan hal itu padanya.
Beberapa minggu lewat proyek yang dijalankan ayahnya selesai. Siang itu sekumpulan anak-anak muda patah pinsil di sekitar gang sedang keasyikan duduk-duduk sambil ngobrol di warung tempat bagate. Berbagai jenis obrolan dibahas hangat bibir-bibir yang enggan berhenti bakarlota. Mulai pergunjingan mengenai sepakbola sampai saling unjuk gigi masalah perempuan. Atau ada juga yang menggebu-gebu membicarakan tentang masa lalunya sebagai preman kelas kakap.
Amos duduk pada pojok paling kiri kursi panjang di warung. Raut mukanya tampak memelas. Gelas demi gelas Captikus mengalir terus di tenggorokannya. Keributan di warung sedikitpun tak mencuri perhatiannya.
“Murung-murung ini Sob?, santai kwa, samua da sanang-sanang Cuma ngana yang melamun” sapa Ivan mencoba menghibur kawan baiknya.
“Skarang atik so nintau bagimana mo dapa doi sandiri”
“Jang talalu pikir-pikir masalah tu dia, tetap musti ada jalang, oi to? Kalu ngana mau torang dua baku tamba doi kong sabantar manyabung ayang di kampung sablah, sapa tau mujur depe untung basar Chiks”
“Mar atik pe pluru kurang dua puluh ini”
“Sudah, gampang mo stel tu dia”
Amos dan Ivan meninggalkan warung, mencoba mengadu keburuntungan di tempat adu ayam. Setelah memasang taruhan pertama terlihat sedikit titik terang, ayam taruhan mereka melibas lawannya tanpa ampun. Merasa di atas angin Amos tak sungkan-sungkan mengucurkan sisa uangnya terus. Dan lagi-lagi si jago mereka menumbangkan lawannya. Modal yang mereka kucurkan menjadi berlipat-lipat jumlahnya. Amos sumringah. Sepertinya malam minggu besok ia bisa ke tempat dugem lagi. Namun beberapa menit kemudian ia harus membuang jauh-jauh angan yang menguak. Sejumlah petugas berseragam secepat angin menggerebek tempat itu. Entah karena sedang terbuai dengan keuntungan yang baru diraup, Amos tidak cukup sigap untuk meloloskan diri. Sementara Ivan dan tukang judi lainnya sudah kabur dengan kecepatan maksimal. Amos dan beberapa orang yang kurang beruntung lain ditahan petugas. Mereka dikurung sementara di sel tahanan kepolisian setelah memperoleh pembinaan kejam oleh petugas yang haus menganiaya. Garis-garis wajah Amos yang sebelumnya enak dipandang kini dihuni gumpalan-gumpalan memar.
Di dalam sel yang lembab Amos tak tahan menahan sedih. Hatinya dirundung perasaan bersalah yang hebat. Ia tak henti membayangkan kekhawatiran yang sedang melanda orangtuanya di rumah. Rasa sepi ikut-ikutan membuatnya tambah stres. Setiap menit ia tak henti-hentinya berdoa. Meminta perlindungan dari Tuhan.
Keesokan pagi Amos merasakan tubuhnya semakin melemah. Ia tak sanggup lagi menggerakan tangan dan kaki. Terasa ada benda-benda kecil yang menggeliat di dalam otot-ototnya. Tak lama kemudian kedua orang tuanya datang. Berita musibah yang menimpa anak mereka disampaikan Ivan tadi malam. Amos seperti tak mampu lagi menatap wajah mereka. Rasa malu benar-benar membuatnya ciut.
Meski sedikit marah, sang ayah tetap memperlakukannya dengan bijaksana. Kemarahan mereka dikalahkan oleh rasa prihatin melihat keadaan si buah hati. Kesehatannya memburuk drastis. Melalui sedikit pembicaraan dengan petugas yang disertai sejumlah uang sogokan, akhirnya Amos diizinkan dirawat di rumah sakit.
Dokter yang kelihatannya ramah itu memutuskan Amos harus dirawat selama beberapa hari. Kondisinya tak memungkinkan untuk menjalani rawat jalan.
“Bapak pe anak talalu lalah. Itu yang beking dia pe badang gampang diserang panyaki” kata dokter itu menjelaskan keadaan Amos.
Sesungguhnya selain menanggung rasa tidak enak, ketika sedang sakit Amos mensyukuri banyak hal. Dalam situasi seperti ini ia diperlakukan istimewa. Ayah dan ibunya melipatgandakan perhatian dan kasih sayang yang biasa ia alami pada hari-hari sebelumnya. Ia diperlakukan layaknya anak kecil. Segala keinginan yang mustahil diperoleh sehari-hari, bukan tidak mungkin digenggamnya kali ini. Maka bukan hal aneh bila kamar tempat ia dirawat kini dipenuhi bermacam benda serta makanan kegemaran Amos.
Sore itu seorang dokter cantik datang memeriksa perkembangan kondisinya.
“Bagimana kita pe kondisi skarang Dok?” Tanya Amos pada dokter.
“Ngana masih perlu banya istirahat. Mungkin sekitar satu minggu le baru boleh pulang”. Jawab dokter sambil tersenyum manis. “Kong kiapa dang ngana boleh dapa saki bagini, talalu banya bapontar kang?” lanjut dokter masih sambil tersenyum.
“Samua memang kita pe salah no Dok, kita talalu forser mo berusaha supaya boleh mo dapa doi sandiri”
“Artinya mo coba mandiri dang, bagus no kalu bagitu”
“Cuma kita so beking orangtua susah. Kong doi yang kita dapa nya pernah kita kase pa dorang, ini yang beking kita rasa bersalah”
“Ngana ja pake for apa so tu doi?”
“Itu no, kita Cuma bapake bajalang deng tamang-tamang”
“So itu mulai skarang pergunakan bae-bae ngana pe doi for hal-hal yang berguna”
“Memang samua musti bagini dulu Dok, Tuhan kase hukuman supaya torang jadi sadar deng tu kesalahan”
“Awas jang Cuma sampe di mulu ne?” Ujar dokter sembari melangkah keluar dari kamar itu. Tapi sebelum dokter melewati pintu, Amos buru-buru berteriak, “Boleh mo tanya Dok?”
Dokter kaget lalu memalingkan wajahnya ke belakang, “mo tanya apa?”
“Skarang hari apa kang Dok?”
Dengan sigap dokter itu meraih agenda kecil di kantong bajunya, “em.. hari Sabtu”
Tiba-tiba Amos bangkit dari tempat tidurnya. “hari Sabtu Dok?, cilaka, butul hari Sabtu Dok?” Tanyanya lagi seperti tak percaya.
“Memangnya kiapa kalu hari Sabtu?”
“Dok,....ini malam kita musti kaluar dari sini Dok!”
“So mo kaluar?, blum boleh, ngana blum boleh ka mana-mana”
“Tolong Dok, Cuma ini malam jo, beso’ pagi nanti kita bale ulang ka mari” Bujuknya dengan wajah permohonan.
“Pokoknya nimbole” Bentak dokter yang mulai beranjak marah. Amos tetap tidak ambil peduli. Ia bersikeras mau keluar rumah sakit malam itu juga. Sambil menangis Amos terus berteriak tiada henti, “Dok... kase kaluar kita dari sini!”.
April 2006.