Secuil catatan 2 dari Ekspedisi Tonsea, Makalisung, kema, Sagerat dan Treman
02 - 05 November 2008
“(Manusia) menjadi bebas terhadap ikatan- ikatan yang berasal dari luar. Yang mencegahnya bertindak dan berpikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak dengan bebas jika ia tau apa yang hendak di inginkan, dipikirkan, dan dirasakan. Tapi masalanya ialah bahwa ia tidak tahu, dan karena ia akan menyesuaikan diri dngan penguasa- penguasa yang tidak dikenal dan ia akan mengiyakan hal- hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, semakin ia tidak berdaya untuk merasa dan semakin ia ditekan untuk menurut! Manusia modern, meskipun dipulas dengan optimisme dan inisiatif, dikuasai oleh perasaan amat tidak berdaya bagaikan orang lumpuh yang hanya mampu menatap malapetaka sebagai tak terhindarkan.- Erich Fromm, Escape from freedom”.
Ada perasaan yang lucu campur malu secara pribadi bagi saya terasa ketika perjalanan kami dimulai di wilayah Tonsea, maklum disinilah saya berasal yaitu di wanua (kampung) kecil yang bernama Treman (bukan Preman ok) diwilayah minawerot, daerah antara Airmadidi dan Bitung dibawah kaki gunung Klabat, 28kilometer dari titik nol kota Manado. Langkah kami (Mawale Movement), Saya, Greenhill weol, Fredy Wowor, Frisky Tandaju dan Bodewyn Talumewo dan Kent Oroh berayun ke desa yang paling jauh diwilayah Minahasa Utara bernama Makalisung langsung disambut dengan hujan dan petir begitu kami sampai disana otomatis basah kuyub yang kami terima, permulaan yang menyenangkan pikir saya dongkol. Untunglah ada sebuah keluarga yang sangat baik hati dapat meluangkan tempat untuk kami berteduh sementara sekalian memberikan informasi tentang keadaan sekitarnya termasuk keberadaan situs Batu Lisung itu. Tanpa ba-bi-bu lagi begitu langit memperlihatkan senyumnya kepada alam untuk membuka jalannya, kami bergegas mencari tempat itu. Di perjalanan yang sedikit menguras tenaga karena pendakian kami sedikit dibingungkan oleh beberapa buah objek yang sering kami anggap bahwa itulah tempatnya (maklum itu pertama kali kami mencarinya), sehingga kami sudah terdampar jauh hampir 1200 meter melewati lokasi itu, kamipun kembali dan berhubung salah satu teman saya (Bode) mempunyai perasaan yang kuat dengan tempat- tempat seperti itu akhiranya bukit yang disebalah timur itu diklaim sebagai tempat situs itu.
Ternyata memang benar inilah tempatnya, tapi selain sulit untuk menaikinya dan Greenhill harus berjuang beberapa melewati barisan tentara alam dan akhirnya harus terjungkal juga karena tagate di tali pohong (semak pohon), sampailah kami dipuncaknya. Ada sekitar lebih dari 20-an batu yang berbentuk lisung ditempat itu. Heran bercampur takjub kami terus mencari lagi sisa batu itu dengan menyisir sebagian timur bukit itu dan tak disangka saya dikagetkan oleh kepakan sayap burung yang lembut namun lebar itu terbang kelangit.”Titikak!” (sejenis Burung Hantu), temanku berkata. Dalam hati saya membenarkan saja karena saya telah melihatnya sendiri, dengan alis yang menyembul keluar dan muka seperti perangai yang marah, mungkin itulah jenis burung Hantu yang dipakai sebagai lambang Minahasa. Yang lebih menarik lagi, burung tadi telah meniggalkan seekor bayi burung tergeletak dengan sayap terbuka. Secara refleks kami menjauhi tempat itu dengan perasaan yang sangat bersalah tapi memang bukan itu tujuan kami, mengganggu keberadaannya. Di sisi jurang bagian utara kami menemukan sebuah batu yang sangat besar lubangnya serta ada guratan- guratan dibagian pinggir batu itu. Hati saya senang sekali, berpikir bahwa tidak banyak orang- orang khususnya orang Minahasa yang mampu melihat benda seperti ini yang konon telah melewati perjalanan waktu ini dan mungkin menitipkan pesan bahwa sebelum kami sudah pernah ada orang (Leluhur) yang telah hidup disini.
“Sebuah konsep latar pertahanan yang kuno namun sangat efektif untuk tempat ini dimana orang- orang dulu bisa berlindung”. Lamunan kami dikagetkan oleh perkataan fredy. Memang benar setelah dianalisa, tempat ini adalah sebuah bukit kecil, dngan bebatuan disekelilingnya, mampu menjangkau penglihatan sampai ke daerah yang sangat jauh kedalam tanah minahasa maupun luar minahasa, dapat mengintai setiap pergerakan disekitar wilayah itu baik teman maupun lawan! “ah, lihat bentuk tempat ini seperti altar pemujaan pada jaman dahulu” Greenhill kemudian menimpali… Ada benarnya juga. Semoga tetap menjadi pembawa saksi untuk generasi selanjunya, kalaupun saja ada orang- orang yang mau peduli dengan tempat yang seperti ini. Setelah puas dan sedikit mengabadikan tempat itu, kamipun turun, dan kembali ke kampong untuk bersiap- siap melanjutkan perjalanan ke desa kema.
Sesudah berpamitan kepada saudara yang telah menerima kami dengan sangat baik tadi kamipun segera meluncur ke Kema dengan menempuh sekitar 20 menit perjalanan. Desa Kema adalah sebuah desa diwilayah bagian tenggara Tonsea- Minahasa yang bisa ditempuh dengan waktu sekitar 45menit dari titik nol kilometer kota Manado. Dengan sebagian besar lanskape wilayah perairan itu pada umumnya masyarakat disini bergantung hidupnya pada mata pencaharian dilaut. Aaah.. cukup penjelasannya, toh saya sudah melihatnya sendiri. Sampai diperempatan desa kema kami berbelok kea rah kanan dan mulai memasuki daerah wisata Batu Nona. Perasaan saya mendadak jadi aneh, demikian juga ketika melihat sebagian teman- teman yang hanya tersenyum- senyum kecut pada saya! Saya menjelaskan bahwa wilayah daerah wisata itu berada dibalik bukit sebelah sana, kataku menyimpulkan!
Namun apa mau dikata, terkejut, terhina, malu, marah, frustasi, hancur, dan hamper menangis, semua semua perasaan bercampur jadi satu keluar saja dari pikiranku begitu melihat tempat itu. Batu Nona, kenapa wajahmu terlihat buruk? kenapa terlihat sendu? Tempat yang dulu sangat asri, sejuk dengan pantai yang jernih kini menjadi keruh, 2 bukit yang hijau disebelah sana yang dulu begitu hijau kini terasa panas dan gersang, perahu- perahu berserakan dimana- mana, rumah- rumah yang entah mempunai ijin atau tidak berdiri dimana- mana, coret- coretan dimana- mana, galian- galian lubang harta karun dari orang- orang yang tidak bertanggung jawab terlihat disana- sini, ada juga segerombolan orang- orang sedang mennggak minuman keras disekitar situ, dan yang lebih mengejutkan saya lagi ada sebuah bangunan permanent bertuliskan “pabrik es mini”. Pikiranku langsung menegaskan bahwa ini bukan daerah wisata batu Nona dulu itu, ini bukan tempat berkunjung/ berwisata dan tempat memperlihatkan betapa cantiknya daerah malesung yang sebenarnya itu, ini PELABUHAN!! Bukan, pelabuhanpun tidak seberantakan ini… tapi yang pasti ini bukan lagi proyek pemerintah pariwisata dan budaya yang dulu telah menghabiskan miliaran rupiah demi pembangunan dan pemeliharaan tempat ini. Apakah orang- orang disekitar sini telah melupakannya?? Dimana canda tawa anak- anak rombongan wisata itu, dimana pedagang gorengan yang selalu mangkal di pinggir Los rumah sebelah sana? Dengan linangan airmata saya berlari sekuat tenaga mencari batu itu, sesampai didepannya, tatapan nanar seakan menatapku didepan mataku sendiri, mungkin hendak mengatakan, “kamana ngana selama ini, kyapa baru datang lia pa qta skarang? (kemanakah engkau selama ini, kenapa baru menemuiku sekarang?”. seluruh tenaga saya keluarkan untuk berteriak sekuat- kuatnya ditempat itu.
Apa dayaku? mungkin tak berdaya saat itu… tidak ada lagi tempat untuk menyombongkan diri dihadapan teman- temanku, tidak ada lagi sebuah tempat diwilayahku yang akan kuberitahu pada dunia bahwa disini ada sebuah fenomena alam yang sangat menarik. pikiranku hancur saat itu, apakah mungkin Waruga yang ada di dalam air itu sudah tidak ada lagi?? Mari kita pikirkan kembali dan kalo siapa saja yang ingin atau pernah ketmpat ini pasti sudah pernah mengenal tempat ini dan saya jamin 100% kalau kalian datang lagi sekarang pasti akan salah jalan. Semua ingatan langsung terhapus menyaksikan kegilaan ini… dengan langkah gontai dan dendam yang sudah tersulut demikian besarnya. saya mengajak teman- teman untuk meneruskan perjalanan ke Sagerat, dengan perasaan kurang semangat saya memimpin rombongan yang harus eberapa kali tersesat karena belum tau pasti dimana lokais situ situ berada, tapi satu semangat yang masih membara memaksakan kami yang pada akhirnya sampai di tujuan.
Sebuah tempat yang bkata orang bernama Erpak adalah suatu tempat yang mungkin buat saya adalah tempat yang fenomenal, lihat saja sepanjang perjalanan tadi, tak satupun ada bebatuan yang saya lihat tapi didepan saya sudah berdiri megah sebuah batu yang diameternya mungkin lebih dari 15meter itu membuat saya terheran- heran sekaligus melupakan kejadian tadi. Itulah Batu siouw kurur. Situs ini berada di geo-strategy 4km dari titik nol kota Bitung. dinamakan seperti itu karena diangkat dari sosok urban legendnya orang Minahasa Opo Siouw Kurur, Dia adalah salah satu dari 3 penasihat Opo Muntu Untu jaman pertamanya hidup orang Minahasa, mengemban tugas sebagai penasihat, Kurir sampai tukang Raghes (algojo pemotong kepala). Dan batu ini adalah salah satu pos persinggahannya diwilayah Tonsea bagian timur, sebelumnya juga dikatakan warga masyarakat bahwa ada juga batu seperti ini dibeberapa wilayah di Tonsea seperti Toka Tawalan & tokaimarang desa Treman dan Bukit Makawembeng! Sedikit berlepas lelah dan bertukar pikiran, sambil menukar persepsi dan data hingga diskusi Grenhill sampai ke pojok Permesta, bersenda gurau kami lakukan disitu sehingga tak terasa perut kami keroncongan dan memaksa kami untuk pulang. Lucunya, saya tidak melihat juru kunci disitu sama seperti tempat- tempat yang lain. Tapi tetap pernyataan saya bahwa tana’ orang Minahasa sampai jauh ke utara tangkai Celebes ini dan sudah ada buktinya! tapi apakah orang minahasa telah menyadarinya? Apakah mereka tau akan kehadiran batu itu?
Sampai di Treman kami langsung dihadiakan kopi pahit panas oleh orang tua saya, kontan saja kami langsung tangingi- ngingi sanang ( tersenyum lebar) karena tadi harus bergulat dengan dinginnya alam. Setelah selesai makan kami berencana untuk istirahat tapi Greenhill sangat bersih keras untuk segera melihat tenget Watu (batu Lisung), sebuah situs yang ada di Treman yang berlokasi di wilayah perkebunan Eris. Dengan langkah gontai tapi masih diikat dengan semangat, tim yang tinggal saya, Freddy dan Greenhill itu mengarah ke selatan desa Treman. Jujur saja, cukup sulit untuk menemukan Tenget Watu karena selama hidup saya baru 2 kali saya melihat keberadaannya disitu. Satu hal yang membuat saya sangat kecewa sesampainya disana setelah beberapa kali bertanya, keadaannya tidak lagi terurus, jalan masuknya saja sulit diketahui orang, bagaimana orang lain akan mengetahuinya, mungkin saja saya menjamin bahwa generasi sekarang orang kampung Treman pun sudah tidak tau lagi tempat ini, tempat yang pernah menjadi Puser in tana’ nya orang- orang Tareuman ( artinya ; yang pertama, atau pembaharuan dari nama desa Treman sekarang), saksi perjalanan yang hebat dari Malesung Besar mencari dunia baru, mungkin saja orang- orang Treman sekarang sudah tidak mengerti lagi bahwa Dotu Tua pembawa leluhur- leluhur Treman adalah orang kuat yang Bergelar Lengkong Waya… mungkin saja disini dimulainya peradaban orang Tonsea kalawat pertama sehingga menjadi rumpun Tonsea yang besar ketika memulai perjalanan yang eksotis dari kelewer dan keraris termasuk eris sampai ke minawanua dan berakhir di Tareuman jaya.. apakah kita sudah mengetahuinya?? Saat ini kita sudah kabur dan sudah tidak tau- menau akan sebenarnya darimana tempat kita berasal, dan mungkin saja sebentar kita akan kehilangan tempat dimana kita berasal… mungkin saja…
Dan mungkin saya harus mengakhiri catatan ini dengan Satu pertanyaan yang melingkar dikepala sampai saat ini, apakah sebagian wilayah di ujung utara Malesung ini masih Tana’ adatnya orang Minahasa Tonsea lagi atau bukan??? Impian saya, mengembalikan harkat dan martabat tanah & masyarakat yang saya cintai ini… (Qta lapas napas panjag lia samua ini, nda sadar minahasa so jaga baganti kuli, dalang hati kita Cuma rasa manages deng batahang diri. Cuma satu yang tatap tabakar dihati, mo ambe ulang qta pe tana deng I jajat U santi!!!, kutipan dari buku puisi bahasa manado JONGEN SPOKEN, Ch. D. Rooroh).