Exegi monumentum ære perennius.
(Horace, Odes III, 30, 1, meaning "I have built a monument more durable than bronze”).
“I must study politics and war that my sons may have liberty to study mathematics and philosophy. My sons ought to study mathematics and philosophy, geography, natural history, naval architecture, navigation, commerce and agriculture in order to give their children a right to study painting, poetry, music, architecture, statuary, tapestry, and porcelain” (John Adams).
Gaius Cilnius Maecenas di Romawi, Masa Silam
Tak dapat disangkal bahwa peradaban dunia hari ini dibangun di atas sebuah proses evolusi-revolusi kesenian dan kebudayaan yang menjalani pembentukannya bermilenia waktu. Secara teoritis tradisional, kita mengenal segitiga Pekarya-Karya-Apresian dalam proses daur hidup sebuah produk kesenian. Tetapi, ada sesuatu yang kadang kita luputkan dalam scema grande pelahiran kesenian itu sendiri: pihak benefaktor yang dengan sengaja dan sadar mendevosikan waktu, tenaga dan juga kemampuan finansialnya demi eksistensi kesenian dan kebudayaan. Maka, tersebutlah seorang Gaius Cilnius Maecenas (70 – 8 B.C.), penasehat politik Oktavian, dikenal kemudian sebagai Kaisar Agustus, yang namanya kemudian menjadi byword terhadap seseorang yang ‘kekayaannya’ digunakan untuk patronasi kesenian. Namanya, dan makna dibalik itu, bahkan diadopsi kedalam berbagai bahasa, menjadi mecenaat dalam bahasa Belanda, mesenaatti dalam bahasa Finlan, mécène dalam bahasa Prancis, Mäzen dalam bahasa Jerman, mecenate dalam bahasa Itali, mecen dalam bahasa Slovenia, dan mecenas dalam bahasa Spanyol.
Dari Cicero (Pro Cluentio, 56), sebuah gambaran tentang pribadi Maecenas sedikit terungkap. Ia adalah seorang anggota berpengaruh dari ordo equestrian. Sedang dari kesaksian Horace (Odes 8, 5) dan juga dari tulisan-tulisan pribadi yang merefleksikan selera literaturnya, nampak bahwa Maecenas terdidik dengan didikan yang ‘terbaik’ di zaman itu. Kemampuan finansialnya sebahagian mungkin adalah hereditary, tetapi kemudian kedekatannya dengan rezim berkuasa, Kaisar Agustus, adalah yang membuka gerbang seluas-luasnya untuk menjadi seorang ‘patron’ (baca: pengayom) kesenian di masanya.
Memang ada banyak pendapat, seiring waktu, yang berucap tentang pribadi Maecenas. Namun, kesaksian-kesaksian yang banyak terungkap dalam kitab-kitab sejarah cukuplah sudah mendefinisikan siapa ia, terutama pengakuan unanimous terhadap kemampuan diplomatis dan administratifnya. Maecenas sangat menikmati berbagi pemikiran baru. Ia juga sering mendedikasikan segala kemampuannya untuk mengadakan iven-iven kesenian dan kebudayaan yang, ini sering luput dianalisa, akhirnya mampu membawa Emperium Romawi yang masih muda pada waktu itu lepas dari banyak ‘bahaya’. Malah, Marcus Valleius Paterculus (Propertius, 88) merangkum seorang Maecenas sebagai "of sleepless vigilance in critical emergencies, far-seeing and knowing how to act, but in his relaxation from business more luxurious and effeminate than a woman”. Setelah Maecenas wafat, seluruh kekayaanya dikelola secara khusus oleh sebuah badan, dan disalurkan sepenuhnya untuk urusan-urusan seni-budaya.
Gaius Cilnius Maecenas di Minahasa, Masa Kini
Tersebutlah serangkaian perhelatan kebudayaan raksasa yang dilaksanakan marathon di tanah Minahasa selang beberapa tahun terakhir ini. Mulai ritual adat di Watu Pinawetengan, ceramah dan simposium kebudayaan, pelatihan keterampilan, sumbangan berbagai infrastruktur kesenian, festival tari-tarian, festival makanan, sampai usaha-usaha pencapaian rekor lewat bentuk-bentuk yang sophisticated. Anda tak mungkin melewatkan, paling tidak mendengar satu saja, dari even-even tadi. Kemudian, terbacalah: sebuah grand strategy kebudayaan sedang di bawa ke tataran praktis. Di belakang semua itu hanya ada satu nama: Kombes Pol Beny Mamoto.
Mamoto sehari-harinya disibukkan dengan berburu penjahat sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kepala transnational crime division, sebuah partisi elit dalam kepolisian Indonesia ini, sedang intens menyidik David Nusa Wijaya, mantan pimpinan Bank Umum Servitia yang didakwa penyalahgunaan dana BLBI setotal $13.5 billion, yang “pulang dengan sadar” ke Indonesia setelah ditemukan bersembunyi di Los Angeles. Indonesia dan Amerika Serikat tidak punya perjanjian mengenai ekstradisi, namun kelihatannya proses ini berlangsung tanpa banyak hambatan. Tentu saja ini banyak kaitan dengan negosiasi dari pihak kepolisian Indonesia, di mana Mamoto berperan.
Dua dunia yang kelihatan sangat berbada, Kebudayaan dan Kriminalitas, namun sebenarnya jika dikaji lebih lanjut terdapat benang merah diantaranya, keduanya saling mempengaruhi. Boleh-boleh saja kita bertanya dalam hati, apa yang menyebabkan seorang Beny Mamoto rela merogoh kantongnya dalam-dalam, membuang waktunya yang amat-sangat berharga dan terutama menyumbang pemikirannya terhadap sebuah Kebudayaan Minahasa? Pada sebuah kesempatan gathering dengan para seniman dan budayawan Sulawesi Utara, Mamoto berusaha menyederhanakan apa yang sedang dilakukannya saat ini dengan kalimat-kalimat “Ini semacam amanat yang harus saya laksanakan. Lama saya jauh dari tanah Minahasa, jadi sekarang saya harus berbuat sesuatu untuknya dan selebihnya saya mengerti benar pentingnya peran kebudayaan dalam menata pri-kehidupan. Minahasa jelas perlu menata kembali masyarakatnya lewat kebudayaannya dan itu perlu dilakukan sekarang!”
Patronasi: Jalan Keluar dari Stagnasi Seni-Budaya
Setelah tuntas dengan proses kreatifnya, penyair yang bermaksud menulis puisinya akan butuh paling-tidak selembar kertas dan sebuah pena. Pelukis perlu kuas dan kanvas. Penari, pemahat, pemusik dengan “paling-tidak-paling-tidak” yang serupa. Lalu, dari mana kebutuhan-kebutuhan kesenimanan esensial semacam itu bisa terpenuhi? Pertama, dari usaha swadaya seniman itu sendiri, entah dari pendapatan yang melibatkan skill kesenimanannya sendiri atau dari sumber sekunder (yang akhirnya jadi primer!). Kedua, dari bantuan pihak lain seperti pemerintah, grant-grant pihak swasta, dan, tentu saja, dari pengayom-pengayom.
Kesenimanan masih belum terhitung profesi yang menjanjikan penghidupan, apa lagi di Minahasa. Pahit, memang. Tetapi itulah realitas. Terlalu lama kita, orang Minahasa, seolah menihilkan peranan kesenian, dan kebudayaan dalam bentuk besarnya, dalam ruang hidup kita. Sedari kecil anak-anak kita telah dicekoki cita-cita menjadi ‘pilot’ atau ‘presiden’ dan tak ada yang menerima (apalagi mendukung) jika anaknya menyebut ‘menggambar’ atau ‘menari’. Anak-anak malah tak kenal kata ‘penyair’ apalagi ‘peteater’. Paling-paling, untuk keterlibatan dalam dunia seni, anak didorong untuk ‘bisa menyanyi’ yang kemudian diikutkan dalam ‘idol-idolan’ yang memang lagi mewabah bahkan sampai ke gereja-gereja (padahal ‘idol’ maknanya kurang-lebih setara dengan ‘ilah’). Itulah makanya sampai saat ini seniman yang bisa hidup dari kesenimanannya di Minahasa bisa dihitung dengan jari tangan sebelah. Bahkan seniman yang paling gifted pun harus ‘nyambi’ jadi PNS, wartawan, atau malah politisi. Seniman juga manusia, perlu makan. Setelah ia kenyang, barulah ia berkarya. Tak ada yang salah tentang hal ini, sudahilah masa dimana sebuah manuskrip karya tulis raksasa ditemukan dalam tumpukan kertas seorang sastrawan yang mati kelaparan. Atau sebuah lukisan avant-garde ditemukan di sebuah loteng puluhan tahun setelah pelukisnya tewas karena tuberkolosis. Saat ini esensi seharusnya mampu beralur bersama eksistensi. Ini perkara mindset, memerlukan tak sedikit waktu untuk membentuk sebuah atmosfer kebudayaan yang benar-benar kondusif untuk bisa menghidupi pekarya-pekaryanya.
Kemudian kita mencoba berpaling pada pemerintah. Bantuan memang kadang ada, namun akhirnya selalu terbingkai dengan ada-tidaknya alokasi dana. Kalaupun ada sedikit dana, masih terkungkung dengan konsep pelaksanaan agenda-agenda kesenian dan kebudayaan ‘dalam rangka’. Kesenian seolah telah terkonsep dan terpola, sehingga melupakan unsur yang paling hakiki dari kesenian itu sendiri: kreativitas dan subjetivitas. Seniman-seniman kita ternyata masih harus ‘malele gidi-gidi’ kepada seniman-seniman di negara-negara lain seperti Malaysia yang pemerintahnya justru ‘berburu’ sastrawan dan karyanya sampai ke kampung-kampung untuk diberi tunjangan hidup dan di cetak-terbitkan karyanya. Atau Kuba sebagai misal, anak-anak yang punya bakat kesenian diberikan pendidikan khusus dengan infrastruktur lengkap.
Di akhir tulisan ini, tak berpanjang- lebar lagi, kelihatan tersisalah sebuah skenario terakhir: Patronasi. Seorang Gaius Cilnius Maecenas dalam seorang Beny Mamoto menjadi solusi terakhir ‘penyelamat’ Kesenian dan Kebudayaan Minahasa hari ini. Jika Seorang Maecenas di Romawi masa lalu berhasil menyelamatkan bangsanya, maka seorang Mamoto, melalui apa yang telah dan akan dilakukannya, pun harus bisa. Toh sebuah pertanyaan mesti tetap dilayangkan: apakah semua ini hanya ‘monumen perunggu’?