Kalau orang dari daerah pegunungan di Tanah Minahasa datang ke Manado yang mereka keluhkan antara lain soal suhunya yang panas. Dugaan aku, suhu yang panas itu antara lain karena kota Manado semakin padat penduduknya, sementara pohon-pohon besar telah sangat berkurang diganti dengan gedung-gedung megah milik para pembesar itu. Bukan cuma suhunya yang panas, tapi juga percaturan politik, social dan ekonomi di sana. Maklum, Kota Manado adalah kota plural, tinutuan, dengan berbagai dinamikanya. Bahkan hari-hari terakhir ini suhu semakin panas lagi ketika para PKL dikejar-kejar oleh Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Manado atas nama penertiban. Kata Pemerintah Kota, ini demi visi Kota Manado sebagai Kota Pariwisata 2010.
Tapi, banyak orang harus ke kota itu. Aku juga. Dari Kota Tomohon menuju Kota Manado kebanyakan orang akan menumpang bus antar kota. Aku hari itu menumpang salah satu bus yang melayani jalur Tomohon-Manado.
Waktu itu jam kira-kira menunjuk pukul 09.30 pagi. Pas memasuki Winangun di kompleks Citraland jalan macet. Antrian mobil sangat panjang. Diketahui kemudian kira-kira 500 meter dari bus yang aku tumpangi ada orang meninggal yang akan dimakamkan. Sudah pasti jalan harus jadi macet. Orang-orang di bus itu termasuk aku so jadi pastiu. Seorang pemuda yang duduk di dekat aku berbicara di selulernya dengan seseorang di seberang sana. “Udah, tunggu aja. Maaf jalan lagi mecet nih. Lu tunggu aja di situ, gue udah deket. Iyo, jang ba bamarah dang,” begitu kata si pemuda itu untuk – aku tak tahu – siapanya itu melalui seluler. Hei bae-bae balogat metro sbantar munta bete.
Hampir satu jam baru bus yang kami tumpangi itu tiba di terminal Karombasan. Memasuki terminal itu, hiruk pikuk manusia-manusia pejuang kehidupan tampak sekali. Hari belum terlalu siang jadi kita masih bisa melihat semangat mereka. Ketika turun dari bus, loper koran lokal meneriakan headline koran yang dia jual. “PKL Pasar 45 bentrok dengan Pol-PP, korban berjatuhan!” Teriak si loper koran. Aku tertarik membacanya.
Setelah membaca headline yang diteriakan si loper tadi, aku membaca halaman lain koran itu. Di sebuah halaman ada judul berita “Kawasan Boulevard Surga Belanja Indonesia Timur.” Berita itu isinya adalah soal Boulevard yang beberapa waktu lalu telah dicanangkan menjadi kawasan Boulevard on Business (B on B). Di berita itu dipromosikan bagaimana Boulevard yang kini berdiri megah banyak pusat perbelanjaan bisa menjadi tempat yang nyaman, karena katanya terlengkap bagi orang-orang yang suka berbelanja.
Setelah membaca dua berita itu dengan posisi berdiri di antara mobil-mobil angkutan umum berjubel aku langsung menuju ke jalan tempat lewat angkot-angkot. Sebuah angkot yang papan trayeknya bertuliskan “Wanea-Samrat” berhenti pas di depanku. Si sopir seolah-olah sudah tahu kalau aku memang menunggu angkot jurusan trayek itu. Aku yang memang bertujuan ke Pasar 45 langsung masuk dalam angkot itu. Si sopir tersenyum ramah.
Di dalam angkot itu telah ada beberapa penumpang yang tujuannya bermacam-macam. Tapi mereka semua sama dengan aku harus melewati jalan Samratulangi. Seorang perempuan berseragam PNS duduk di paling belakang. Di sampingnya ada seorang perempuan yang kemungkinan bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Boulevard. Itu kentara dari seragam yang ia kenakan. Duduk pas di samping sopir seorang laki-laki kira-kira berusia 50 tahun. Aku duduk di kursi ke dua di belakang si sopir.
Angkot yang aku tumpangi tidak melaju dengan cepat. Si sopir kadang-kadang mengerem mobilnya. Maklum ia harus mencari penumpang. Pas di depan Coco Supermarket lagi-lagi aku melihat antrian mobil. Si sopir yang mengemudikan angkot yang aku tumpangi untuk kesekian kalinya menginjak pedal rem. Aku lihat di dalam Coco Supermarket itu berjubel orang sedang berbelanja. Setelah lewat dari supermarket itu aku melihat seorang berkacamata hitam dengan tongkat di tangan digandeng seorang perempuan tua. Di tangan perempuan itu ada sebuah tas berwarna coklat.
Angkot yang aku tumpangi berjalan pelan seperti siput. Angkot dan mobil lainnya juga begitu. Sehingga baru beberapa menit kemudian angkot baru bisa melewati patung Dr. GSSJ Sam Ratulangie. Patung Sam Ratu Langie tampak memegang sebuah buku. Benda itu yang diandaikan sebagai buku berjudul “Indonesia In den Pacific: Kernpoblemen Van den Aziatischen Pacific”. Sebuah maha karya Sam Ratu Langie yang terbit di Batavia tahun 1937. Angkot-angkot dari Terminal Karombasan yang akan akan melewati jalan Samratulangi untuk menuju Pasar 45, Pall 2, Teling, 17 Agustus dan lain-lainnya harus sedikit memutar mengelilingi patung itu. Patung itu, tampak menatap warga yang melewatinya. Tatapan mata si patung Sam Ratulangi seolah-olah mengisyaratkan sesuatu. Aku berandai-andai, kira-kira yang ingin disampaikan oleh patung Sam Ratulangi adalah, ”Hati-hati kalau datang ke Kota Manado. Kota Manado sekarang telah begitu kompleks dengan persoalan.”
Angkot yang aku tumpangi meski pelan tapi tetap berjalan. Sepanjang jalan Samratulangi aku melihat berbagai macam manusia dengan aktivitasnya. Di depan gedung gereja GMIM “Paulus” Titiwungen aku melihat lagi-lagi seseorang yang berkacamata hitam di gandeng oleh seseorang. Masih serupa dengan yang aku lihat sebelumnya. Anak sekolah memang belum tampak.
Setelah itu beberapa menit kemudian angkot yang aku tumpangi melewati Toko Buku Gramedia. Dari dalam angkot aku melihat banyak orang di dalamnya. Kebanyakan yang aku lihat adalah mereka-mereka yang berkacamata tebal. “Pasti mereka-mereka ini hobinya membaca,” pikirku.
Lewat sedikit Matahari lama yang depan Korem itu, tiba-tiba kami yang ada di dalam angkot itu dikejutkan dengan suara yang datangnya dari sebuah mobil pick up (aku tak tahu apa mereknya) berwarna putih. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh si perempuan itu melalui alat pengeras isinya menghimbau warga Kota Manado atau yang sedang berada di kota itu untuk tidak membuamg sampah sembarangan. Katanya, kalau ada yang kedapatan membuang sampah sembarangan akan diancam dengan hukum penjara dan denda. Karena, soal cara membuang sampah di Kota Manado menurut si perempuan itu telah diatur dalam Perda Sampah.
Mendengar himbauan itu, perempuan berseragam PNS yang duduk di paling belakang langsung memberikan komentarnya. “Uh, sgala jo. Cuma lei mo buang sampah sampe musti mo ator-ator deng perda. Di Indonesia, skarang ini, samua so mo ator deng perda ini deng itu, undang-undang ini deng itu. Sampe lei cara ba pake so mo ator lei deng undang-undang. Mar, de pe aneh tu korupsi deng pembunuhan nda mo abis-abis,” kata si perempuan itu.
Dari nada bicaranya aku menangkap sebuah kekesalan.
Aku tidak bicara, tapi memberi respon dengan melihat kepadanya sambil mengangguk-angguk. Aku memang setuju. “Butul ngana tanta,” gumanku dalam hati. Ternyata masih ada orang yang kritis seperti itu. Benar, negara dan daerah ini semua akan diatur dengan macam-macam aturan atau perda. Jangan-jangan ini konsekuensi dari semakin bertambahnya beban daerah yang antara lain karena otonomi setengah hati dari pemerintah pusat. Aku ingat pendapat seseorang dalam sebuah dialog public di Radio Suara Minahasa 93.3 FM di Tomohon, yang mengatakan bahwa perda sama dengan retribusi dan retribusi sama dengan penghisapan.
“Lia jo kwa, orang mo buang sampah di mana, nda ada tampa sampah, “ kata perempuan itu lagi sambil menunjuk ke luar.
Jari telunjuknya mengarah di trotoar depan pertokoan itu. Aku ikut melihat apa yang dia maksud. Tapi perhatianku setelah itu terarah pada seorang pengemis yang sedang meminta-minta di trotoar itu.
“Nda usah kwa mo ator dengan s’gala undang-undang. Torang kwa mangarti itu. Yang pemerentah mo beking tare s’krang bagiman tu rakyat bole mo mancari bagus. Bagimana mo iko tu pemerentah pe mau kalu mo bajual jo so dusu-dusu sama deng binatang. Lia jot tu PKL di ampa lima,” perempuan itu berkata dengan serius sekali.
Tapi si perempuan berseragam PNS tak lama kemudian berkata, “muka jo sopir!” Tepat di depan Multi Mart, ia harus turun dari angkot. Ketika itu pandanganku beralih ke sebelah kanan. Aku melihat bekas gedung Minahasa Raad mulai tak tampak lagi keasliannya. Padahal gedung itu adalah saksi sejarah tentang asas-asas demokrasi yang sudah lama berkembang di Tanah Minahasa.
Angkot bergerak lagi. Di depan Gedung Joang aku turun. Penumpang yang lain juga begitu. Aku berjalan sampai di perempatan. Di sana aku melihat gedung gereja GMIM “Sentrum” Manado. Sebuah gereja tua di tengah hiruk pikuknya Kota Manado. Di sampingnya ada tugu peringatan pemboman perang dunia ke-II.
Aku memang bermaksud ke Pasar 45. Tapi karena angkot telah dilarang oleh Pemerintah Kota masuk sampai ke kawasan itu, maka aku lebih baik memilih untuk menyusuri jalan di sebelahnya.
Panasnya suhu Kota Manado siang itu minta ampun. Wajahku semakin memerah (dasar orang gunung). Aku sampai juga di kawasan Pasar 45 itu. Di sana suasananya beda jauh dari yang aku tahu beberapa waktu sebelumnya. Semenjak ada kebijakan penertiban PKL di kawasan itu, hari itu adalah hari pertama aku ke lokasi yang beberapa waktu terakhir ini ramai diberitakan. Suasana memang jadi lain. Ada sesuatu yang hilang dari Pasar 45 yang aku tahu, juga barangkali kebanyakan orang gunung tahu. Jauh sebelum ada pencanangan B on B, orang-orang dari kampung (jangan samakan ini dengan kampungan, neh) telah sangat familiar dengan Pasar 45. Juga meski telah ada pusat perbelanjaan di kawasan Boulevard, semasa pemerintahan Walikota Wempie Frederik, orang-orang masih banyak yang berbelanja di Pasar 45 itu. Orang-orang di kampung-kampung kalau ingin cuci mata atau berbelanja dulunya tidak ke Mall-Mall tapi ke Pasar 45 itu. Tapi sekarang semua itu tinggal kenangan. Tidak ada lagi tempat plesir dan berbelanja macam-macam barang kalau musim panen cengkih tiba.
Pasca penertiban PKL di Kota Manado yang kemudian membuat Pasar 45 menjadi sunyi dengan terpaksa orang-orang yang kantongnya pas-pasan sedikit bingung akan berbelanja di mana kalau hari raya tiba. Memang kawasan B on B telah hadir. Tapi ada yang mengeluh, kalau berbelanja di sana uang lima ratus ribu rupiah hanya untuk beberapa macam barang belanjaan.
Di sebuah sudut di Pasar 45 itu aku melihat banyak – yang barangkali mantan PKL – berkerumun. Aku tak terlalu simak apa yang sedang mereka percakapkan. Yang tampak jelas cuma keseriusan mereka. Itu tampak dari bahasa tubuh mereka. Tak lama aku memperhatikan itu. Selanjutnya perjalananku dilajutkan.
Menyusuri emperen-emperan toko. Di dekatnya ada Jalan Roda (Jarod). Siang itu aku melihat spanduk berwarna kuning dipajang pas di jalan masuk ke lokasi itu. Pesan spanduk itu lengkapnya aku sudah lupa, tapi isinya semacam memberi ucapan selamat menjalankan ibadah puasa bagi kaum muslim. Ada juga satu kalimat yang menyatakan dukungan terhadap program pemerintah kota. Yang aku dengar dari teman-teman bahwa Jarod itu, setiap harinya banyak aktivis dan pemikir yang berkumpul dan mendiskusikan banyak hal. Termasuk juga barangkali soal penertiban PKL itu.
Aku terus menyusuri emperen-emperan toko mengarah ke Plaza. Tapi dari jalan-jalanku di samping TKB sampai mendekat Plaza aku tidak lagi melihat lemari-lemari berisi emas. Kecuali memang toko-toko emas. Yang aku maksudkan para pembeli dan penjual emas yang biasa menyapa orang lewat: “Jual mas om, tanta, cowok?” Benda mirip atau memang lemari itu memang sudah tidak ada, tapi sapaan-sapaan itu masih banyak terdengar. Bahkan di sebuah sudut toko aku melihat dua orang perempuan yang menggegam tas berukuran sedang berkacap-cakap. Ketika aku melewati mereka salah satu di antaranya menyapaku, “Jual mas, cowok?” Aku hanya tersenyum.
Aku akhirnya sampai di tujuan. Di sebuah gedung dengan sebuah kepentingan. Setelah bercakap-cakap dengan seorang perempuan muda yang bekerja di gedung itu aku harus duduk antri menunggu nama dipanggil. Antriannya panjang. Memang di gedung itu banyak orang yang berkepentigan.
Sambil duduk di menunggu nama dipanggil, aku kembali merenungi perjalanan tadi. “Oh Kasiang, Kota Manado,” gumamku.