Kerinduan
Dari puncak Kasendukan sepasang mata bening terpaku tak berkedip
Dari mata itu terpancar kekaguman yang terbungkus keharuan
Dari kelopak matanya terlihat hamparan sawah yang luas
Warna tanah sawah itu jawaban kesuburannya
Lontoh, Supit, Paat….Stin Adam, Paul Pinontoan...Sam Ratulangi, M. Maramis….
Mereka tumbuh dari petak yang sama
Tarian mereka sempat membuat jutaan mata terpana
Tepukan mereka sempat membuat jutaan jantung terhenti sejenak
Di puncak kasendukan mata bening itu mulai basah
Sebab tanah subur itu sepertinya tak subur lagi
Mungkinkah air tak cukup lagi membasahinya ?
Mungkinkan benih yang ditabur tak unggul lagi ?
Atau ada yang salah dengan pemeliharaannya ?
Mungkin juga benih itu terlalu bodoh hingga mengoyak tubuhnya sendiri
Seketika mata bening itu menari perlahan
Entah tarian perpisahan bagi sebuah kenangan indah
Atau itu sebuah tarian harap bagi tanah itu.
Mimpi Buruk
Negeri apa ini ?
Negeri mimpikah ?
Mimpi buruk bagi yang tak beralas kaki
Tak bisa menyentuh halaman sekolah karena pakaiannya compag-camping
Tak bisa menyentuh pena sebab tak punya kuasa untuk meraihnya
Tak bisa mendekati istana kesehatan karena wajah mereka kusam
Tak bisa divisum karena kuman tubuhnya bisa merusak alat cek up
Ya, sehat dan pintar hanyalah sebuah mimpi bagi penghuni dunia bawah
Negeri apa ini ?
Negeri dongengkah ?
Menampilkan pemeran utama, sutradara dan sekenario seorang saja
Pemeran utama yang rakus
sutradara yang mau berteriak sesuka hati
sekenario seenak perut
dan yang lain hanya figuran
Ya, panggung luas ini mungkin miliknya
Negeri apa ini ?
Negeri mimpi atau negeri dongeng ?
Mimpi mengasikkan dari para monster
Dongeng kengerian bagi yang terhimpit
Menangislah ….menangislah sebab ini mungkin bukan negerimu
Harapan
Dengan kalbu terjepit kuhendak mengakhiri hari itu
Walau berat kugerakan kaki yang penuh beban
Menuju pembaringan yang semakin jauh saat kudekati
Angin berhembus menyemarakkan kesuraman malam itu
Mengorek sampai ke dasar sendi tulangku
Seakan terus menyedot liur yang tersisa
Lambaian dedaunan seakan menyindirku
Dan sindiran itu tepat memukul bagian perutku
Ia meronta sebab hari itu hampir tak ku belai sedikitpun
Ia memang tak bisa memahami seperti kalbuku
Yang setia memelukku walau ia tercekik
Nafasku yang tersengal terlepas dari sekat penghalangnya
Ketika mendapat kiriman berita dari mataku
Pembaringan telah siap menanti
Saat kasur kusam memelukku
Kupikir rantai tubuh dan jiwa yang mengikat bisa kulepas
Ternyata ia mau terus mengusikku
Malam semakin pekat
Aku benar-benar ingin melepas rantai itu
Tenggelam bersama mimpi
Sambil berharap
besok lahan yang dikais orang tuaku segera berbuah
dan topi sarjana bisa menghibur peluh mereka
Semikin erat kupajam mataku
dan coba mengabaikan otak yang menginterupsi
untuk sabar dan realistis
semakin ia mengganggu
semakin ku berusaha tenggelam dalam mimpi dan impian
kalbu menghibur
biarlah wajah hari esok berbeda dari wajahnya hari ini.
Wajah Mereka
Pagi itu kuingat……
Rumengan menyambut mentari dengan senyuman
Sambil menyapa Lokon yang masih terlelap
“Kau tampak gagah seperti kemarin”
Sambil tersenyum Lokon menyambut sapaan itu
Dalam kalbu ia berdecak kagum
“Pagi ini kau bangai pangeran berjubah embun”
Di sendangan…..
Kelabat menyapa Dua Sudara
“Elok persaudaraanmu seirama kedamaianmu”
Dengan bangga Dua Sudara menyambut sapaan itu
Dalam kalbu mereka berdecak kagum
“Oh…kelabat kau putri berjubah hijau pujaan kami,
Jika senja menanti mahkota putih menambah keindahanmu”
Ketika senja tiba……
Lolombulan menyapa Soputan yang berambut hijau lebat
Dengan lembut Soputan membalas
“Tidurlah cantik dalam kedamaianmu”
Pagi ini……
Mentari sepertinya enggan menampakkan wajahnya
Entah sedih atau takut melihat kenyataan
Pagi ini Rumengan tampak muram
Lokon tampak pucat
Dua sudara seperti saling berpaling
Kelabat kini bebaju kusam
Rambut Soputan mulai rontok
Dan sore ini Lolombulan tak lagi terlelap dalam kedamaian
Kerakusan telah menelan keceriaan mereka
Keogoisan mengabaikan rintihan mereka
Bersama mereka berucap
“Nantikanlah kesedihan kami menggumpal menjadi kegeraman”
Perjuangan
Dari dunia jauh
Kita turun ke dalam lembah perjuangan ini
Bumi berlari mengiringi perjalanan kita
Perlahan-lahan mata terbuka
Hingga kita mengenal tempat yang kita pijak
Di sana-sini bertaburan berjuta mutiara
Jauh di dasar laut, dalam lembah yang dalam
Dan di atas bukit-bukit terjal
Setapak demi setapak mengayunkan langkah
Untuk menemukan dimana milik kita
Kadang letih
Tergelincir dan terluka
Kalbu tertunduk
Membiarkannya mengapung di antara gelombang
Badai dan gelombang kadang menghalangi
Darah dan keringat turut mewarnai
Haruskah kita menutup lembaran ini dengan goresan hitam ?
Masih banyak tinta emas tersedia
Menanti setiap kaisan langkah kita