Dulu, bagi Ober, begitu pemuda bergelar serjana teologi itu biasa disapa, kekuasaan dan kekayaan adalah setan yang menakutkan. Bagi Ober, sang aktivis mahasiswa kesiangan pasca 98, kekuasaan hanya berdampak pada peminggiran dan diskriminasi bagi rakyat kecil. Ia tahu betul itu, karena ia juga dari golongan masyarakat yang barangkali korban kekuasaan. Soal kekayaan, bagi Ober, adalah usaha tertinggi manusia yang bernafsu dengan harta duniawi.
Sebagai seorang yang berpendidikan teologi, ia lebih setuju kalau kekuasaan itu diserahkan saja kepada Sang Penguasa Langit dan Bumi, Tuhan barangkali maksudnya. Kalau kekayaan, menurutnya lebih baik kalau itu dianggap hak sepenuhnya dari Sang Maha Kaya, Tuhan lagi barangkali maksudnya. Manusia lebih baik hidup dalam kemiskinan yang menyakitkan agar, kata Ober, ia dapat menghayati bagaimana penderitaan itu sebagai konsekuensi menaati tradisi dan dokrin agama.
Tapi itu setahun yang lalu. Sekarang, si Ober telah berubah 180 derajat. Kini, ia menjadi pembela rezim yang dulunya ia tentang mati-matian karena kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, katanya waktu itu. Dalam sebuah aksi, ia saya lihat berdiri pada posisi yang dulu ia tentang. Tapi yang memprihatinkan ketika isi orasinya, hampir sama dengan khotbahnya dulu ketika memimpin ibadah di suatu jemaat. Ada kata-kata: “keadilan,” “kebenaran” “kejujuran” dan sudah tentu ia meneriakan dengan suara yang menggelegar karena sound system yang digunakan cukup baik, kata “Tuhan”.
Cerita yang beredar, si Ober ternyata kini telah menduduki suatu jabatan bergengsi yang diberi oleh rezim penguasa itu. Setelah ia duduk di jabatan itu, tentu ia juga sudah bagian dari rezim itu. Orang yang tahu siapa Ober itu terheran-heran. Baru sekitar satu tahun menyandang gelar sarjana, belum punya pengalaman apa-apa terhadap kerja kini ia sudah punya jabatan.
“Saya baru sadar sekarang. Ternyata dengan idealisme saja tidak membuat saya bisa bertahan hidup. Soe Hok Gie, memang bisa tampil garang melawan ketidakadilan dengan idealismenya. Tapi, itu kan ketika ia masih mudah. Kira-kira 27 tahun usianya waktu itu. Juga karena dia memang hadir di zaman yang menuntut orang harus tampil dengan 100 persen idealis. Tapi coba dia hadir sekarang? Barangkali akan menjadi lain,” ujar Ober pada teman-teman lamanya sebagai aktivis yang bertanya tentang pendiriannya sekarang. Waktu itu di acara pelantikan pengurus baru sebuah partai berkuasa. Ober ternyata juga termasuk salah satu pengurus partai itu.
Aku menguping pembicaraan Ober dan teman-teman lamanya dari jarak kira-kira 1 meter. Mereka tak kenal siapa aku. Tapi aku mengenal Ober, setidak-tidaknya dari pernyataan-pernyataannya mengecam ketidakadilan waktu dulu, juga bicara-bicaranya di koran hampir setiap hari akhir-akhir ini. Aku memang orang tak terkenal. Pekerjaanku hanya sebagai Satpam di gedung tempat digelarnya acara partai besar itu.
Ober, yang aku lihat sekarang tidak seperti yang aku lihat di fotonya dulu, setahun yang lalu itu. Dulu, penampilannya memang khas aktivis mahasiswa. Foto yang aku lihat itu ditaruh di halaman depan sebuah koran lokal dengan tangan mengepal dan berteriak menuntut keadilan atas diskriminasi dan kejahatan yang dibuat rezim. Yang aku baca, Ober waktu itu bertindak sebagai Koordinator Lapangan dalam aksi yang melibatkan kurang lebih 500 mahasiswa.
Ober barangkali pertama sama dengan aku, sama-sama hanya sekedar mencari apa yang bisa diisi di perut. Tapi, antara satpam dengan sebagai pejabat apalagi ditambah juga pengurus partai, sudah tentu berbeda. Jenis pekerjaan dan jabatan sudah pasti menentukkan pendapatan. Tapi, yang aku lihat terakhir ini, yang Ober kejar bukan lagi pendapatan untuk makan sehari sampai seminggu. Ini, sudah berkembang pada usaha pencarian kedudukan demi kekuasaan. Siapapun tahu, kalau sudah sampai masuk ke wilayah politik praktis, yang dicari hanya dua, kekayaan dan kekuasaan. Kalau bekerja sebagai Satpam, bukannya membela diri, ya, paling hanya sekedar mempertahankan hidup di tengah kejamnya zaman.
Sebuah koran lokal, seminggu yang lalu menulis tentang profil Ober dengan segala prestasi dan prestisenya. Ober memang masih muda. Kalau saya taksir, kira-kira usianya antara 27 atau 28 tahun. Pantas saja, kalau kekritisannya semasa mahasiswa menjadi incaran rezim berkuasa. Tulisan di koran lokal itu menceritakan juga bagaimana menderitanya kehidupan Ober semasa kecil. Seorang anak yatim yang dibesarkan dengan penuh kekurangan. Ternyata itulah yang membuat Ober bangkit dan bergerak melawan kenyataan hidup yang menderita. “Hidup harus diperjuangkan,” begitu tulis koran lokal itu mengutip ungkapan Ober.
“Ini juga kan bicara strategi. Menundukkan orang yang berpotensi menjadi pemberontak dengan cara memberi kedudukan dengan iming-iming kekayaan adalah cara yang sering ditempuh oleh rezim berkuasa, siapapun rezim itu, “ begitu komentar komandan Satpamku ketika kami membahas tulisan mengenai Ober itu.
“Tapi ini juga soal nurani manusia. Banyak orang yang tak bisa bertahan menghadapi godaan kekayaan dan kekuasaan. Meski dulu lantang berteriak keadilan dan kebenaran, tapi pada saat-saat tertentu pendiriannya bisa berubah secara drastis,” ujarku.
Merenung tentang profil seorang Ober, aku mendapatkan sebuah pengetahuan. Bahwa, hidup ini belum berhenti dan ternyata memang warna-warni. Ternyata, aliran hidup ini macam-macam cabangnya. Ada yang mengalir menuju ke suatu arah yang mendamaikan meski dipenuhi dengan bebatuan. Ada yang sedang mengalir menuju kehancuran dengan kegemerlapan dan kemudahan hidup. Tapi ada juga yang alirannya dipenuhi bebatuan dan kadang-kadang bergantian dengan kegemerlapan hidup, tapi tujuan akhirnya penuh dengan kerahasiaan. Aku sedang berusaha mencari tahu, hidupku sebagai Satpam sedang mengarah ke mana.
Uh, hidup… hidup… Itulah hidup. Aku baru tahu sekarang, kira-kira dua minggu dari merenung itu, Ober kini telah masuk bui. Ia terbukti menggelapkan uang milik rakyat. Ober, ternyata koruptor. Ini yang komandanku duga sejak Ober menjadi bagian rezim itu.
Tomohon, 26 April 2007